Kaburnya batasan harta suami istri dalam banyak kasus menjadi
biang perseteruan dan persengketaan panjang antara anggota keluarga,
terutama tatkala salah satu dari mereka meninggal dunia atau mereka
bercerai.
Kasus perebutan hak waris, dan silang klaim antara anggota
keluarga tidak dapat dielakkan. Kondisi ini tentu tidak baik bagi
keharmonisan keluarga dan bahkan dapat menjadi jurang pemisah dan
pemutus hubungan kekeluargaan.
Budaya penyelesaian masalah melalui metode gono-gini, yang
kurang sesuai dengan aturan syari’at dan terbukti dalam banyak kasus,
tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan menambah runyam permasalahan.
Kondisi ini menjadi semakin parah dikarenakan rendahnya
kesadaran masyarakat tentang hukum syari’at, akibatnya suami dan istri
tidak ada kesadaran untuk mengenali hartanya masing-masing, dan tidak
pula ada kesadaran untuk membuat alat bukti yang dapat dijadikan
petunjuk bagi ahli warinya mereka kelak.
Biasanya, kesadaran baru muncul setelah terjadi sengketa atau
perceraian. Namun tentunya kesadaran yang telat datangnya ini tidak
banyak berguna; mengingat dalam kondisi semacam ini kedua belah pihak
kesulitan untuk menelusuri status kepemilikan seluruh harta kekayaan
yang ada.
Untuk mengurai kebuntuan status seperti dalam kondisi ini,
maka secara syari’at anda harus mengenali tingkat kontribusi keduanya
dalam kepemilikan harta yang dianggap sebagai “harta gono-gini”.
1) Istri tidak memiliki kontribusi
Pada kondisi semacam ini, istri sama sekali tidak berhak
mengajukan tuntutan harta gono-gini. Dan bila masalah mencuat karena
perceraian, maka istri hanya berhak mendapatkan mut’ah (pemberian
sebagai bentuk penghargaan), sebagaimana disebutkan pada ayat berikut:
(وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ)
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah yang sewajarnya, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” [Al Baqorah 241]
Adapun bila masalah ini muncul karena kematian suami, maka
istri hanya berhak mendapatkan bagian dari warisan, sebagaimana yang
ditegaskan di atas. Demikian pula halnya bila yang meninggal dunia
adalah istri, maka suami hanya berhak mendapatkan bagian dari
warisannya.
2) Istri atau suami berkontribusi dalam kepemilikan harta.
Pada kondisi semacam ini, maka sebatas yang saya ketahui hanya
ada satu solusi yang sejalan dengan syari’at, yaitu dengan menempuh
jalur musyawarah untuk mencapai kata mufakat atau kompromi kekeluargaan (as shulhu).
Demikianlah solusi Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menyelesaikan kasus serupa, yaitu sengketa kepemilikan harta yang
masing-masing pihak telah kehilangan alat bukti.
Ummu Salamah mengisahkan: “Suatu hari ada dua lelaki yang
bersengketa perihal harta warisan datang menjumpai Rosulullah
sholllalllahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya sama-sama mengajukan klaim
yang tidak didukung oleh alat bukti.
Sebelum Nabi sholllalllahu ‘alaihi wa sallam memutuskan, beliau terlebih dahulu memberikan petuah kepada mereka:
)إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ
تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ
بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِىَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ
فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ بِشَىْءٍ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْهُ
شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ(
‘Sejatinya aku adalah
manusia biasa, sedangkan kalian berdua mengangkat persengketaan kalian
kepadaku. Bisa jadi sebagian dari kalian lebih mahir dibanding lawannya
dalam mengutarakan alasan. Dan berdasarkan keterangannya, aku membuat
keputusan yang memenangkan klaimnya. Maka barang siapa yang aku
menangkan klaimnya, sehingga aku memberinya sebagian dari hak
saudaranya, maka hendaknya ia tidak mengambilnya walau hanya sedikit.
Karena sejatinya dengan itu aku telah memotongkan sebongkah api neraka
untuknya.’
Mendengar petuah ini, kedua sahabat tersebut menangis, dan masing-masing berkata: ‘Bila demikian, maka lebih baik aku merelakan hakku untuknya.’
Mengetahui bahwa di hati kedua orang yang pada awalnya
bersengketa ini telah tumbuh kesadaran hukum, maka Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا إِذْ فَعَلْتُمَا مَا فَعَلْتُمَا فَاقْتَسِمَا وَتَوَخَّيَا الْحَقَّ. ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ تَحَالاَّ.
‘Bila kalian berdua telah
mengikrarkan yang demikian ini, maka silahkan kalian berdua membagi
harta yang kalian perselisihkan, dan upayakan dengan maksimal agar
pembagiannya benar. Selajutnya masing-masing dari kalian memaafkan
saudaranya.’” [Abu Dawud].
Inilah solusi jitu yang dapat ditempuh guna menyelesaikan kebuntuan dalam masalah seperti ini.
Semoga penjelasan ini dapat dipahami dengan baik, dan semoga menambah hazanah keilmuan anda. Wallahu Ta’ala a’alam bisshowab.
Semoga bermanfaat.
_________Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri MA, حفظه الله تعالى.
=====
Share Ulang:
- Nengkelan, Ciwidey: 28 Ramadhan 1440
- Sumber: https://bbg-alilmu.com/archives/42052