[1]- “Apakah diamnya sebagian ahli ilmu
karena memperhatikan maslahat dan mafsadat: adalah perkara yang
dibolehkan atau justru suatu khianat (karena tidak menjelaskan-pent)?
Yang pertama kali harus diikuti dan ditempuh adalah: mengenal sebab-sebab diamnya para ulama dari sebagian perkara; yang terkadang selain mereka telah berfatwa tentangnya.
Maka, bisa jadi para ulama memiliki hujjah yang memuaskan dan (dengannya) bisa diketahui kebenaran dari sikap mereka (yang diam-pent).
Dan masalah pelik semacam ini hendaknya
dipaparkan kepada para ulama. Karena sungguh dalam bermusyawarah dengan
mereka: terdapat kebaikan yang banyak:
– Maka terkadang mereka lebih merajihkan (menguatkan) untuk membicarakannya,
– Dan terkadang mereka lebih memilih untuk tidak membantah secara terang-terangan, dan lebih mendahulukan untuk memberikan berbagai nasehat.
Sehingga yang dinasehati bisa mengambil
faidah atau justru dia menentang. Maka dengan (menentang) semacam ini;
dia telah menjadikan dirinya untuk bahan kritikan para ulama dan
menjatuhkan dirinya.
Maka dengan sebab-sebab semacam ini kita
lebih menjaga kesatuan kalimat dalam dakwah kita, dan bersama
saudara-saudara kita, anak-anak kita, guru-guru kita. Serta para pemuda
akan lebih selamat dari perpecahan dan pertikaian yang tentu saja akan
terjadi dengan sangat keras disebabkan:
– Kesendirian (dalam berpendapat-pent) dan
– Terburu-buru.”
[“Manhaj As-Salaf Ash-Shaalih…” (hlm.
405-406), dari perkataan seorang ulama -hafizhahullaah- yang memberikan
nasehat kepada saudaranya]
KALAUPUN MENASEHATI SEBAGAI SESAMA SAUDARA; MAKA…
[2]- Imam Ibnu Hazm -rahimahullaah- (wafat th. 456) berkata:
“Janganlah engkau menasehati dengan memberikan syarat: harus diterima nasehatmu. Jika engkau melampaui hal ini:
– Maka engkau seorang yang zhalim; bukan orang yang memberi nasehat,
– Engkau seorang yang mencari ketaatan (makhluk kepadamu) dan mencari kerajaan; bukan menunaikan hak amanah dan persaudaraan,
– Dan ini bukanlah hukum akal dan bukan
pula hukum pertemanan, akan tetapi hukum seorang penguasa terhadap
rakyatnya, dan hukum seorang tuan terhadap budaknya.”
[“Al-Akhlaaq Was Siyar” (I/363- Rasaa-il Ibni Hazm)]
[3]- Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:
“Tetapi bagaimana bisa kita akan
menghukumi orang yang tidak menerima nasehat kemudian langsung dikatakan
bahwa dia menentang -apalagi kalau dia seorang Sunni Salafi yang
dikenal-!?!
Apakah setiap orang yang tidak menerima nasehat dihukum demikian (sebagai penentang)?! Dan apakah syarat bagi seorang yang menasehati bahwa dia pasti benar?!
Dan apakah bersabar atas (tidak
menerimanya nasehat) ini lebih baik, atau dengan menjatuhkannya sampai
ke akar-akarnya: itulah yang terbaik?!
Dan Apakah hukum dalam kesemuanya itu adalah satu?!
Atau berbeda-beda sesuai dengan perbedaan negeri dan keadaan?!
Apakah manusia semuanya sama dalam masalah tersebut?!
Maka ini adalah berbagai pertanyaan yang
harus dijawab, dan harus diketahui kebenarannya -sebelum memberikan
hukum dan terus-menerus (ngeyel) berbicara-!!”
[“Manhaj As-Salaf Ash-Shaalih…” (406)]
________
Ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Sumber : https://www.facebook.com/ahmadhendrix.eskanto/posts/444405352567013