Islam Pedoman Hidup: Menyikapi Metode Pengobatan Bekam (Hijamah) dengan Bijak – Bagian Pertama

Jumat, 12 Juli 2019

Menyikapi Metode Pengobatan Bekam (Hijamah) dengan Bijak – Bagian Pertama


Metode Pengobatan dengan Hijamah

Bekam (hijamah) merupakan salah satu bentuk pengobatan yang dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,
احْتَجَمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَعْطَى الَّذِى حَجَمَهُ ، وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada juru bekam. Seandainya upah tersebut haram, tentu beliau tidak akan memberikannya.” [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَمْثَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْقُسْطُ الْبَحْرِىُّ
“Sesungguhnya metode pengobatan kalian yang terbaik adalah hijamah dan qusthul bahri (sejenis tanaman obat, pen.).” [2]

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ
“Sebaik-baik pengobatan yang kalian gunakan adalah hijamah.” [3]

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang status hukum berobat dengan hijamah, apakah sekedar mubah atau mencapai derajat sunnah (dianjurkan), pengobatan dengan metode ini saat ini sudah banyak dipraktikkan oleh kaum muslimin sebagai salah satu metode untuk mencegah (misalnya untuk menyegarkan badan) atau untuk menyembuhkan penyakit tertentu.
 
Praktik Pengobatan dengan Metode Hijamah di Indonesia

Di Indonesia, hijamah pada umumnya dikembangkan oleh para ahli pengobatan tradisional yang belum pernah mengenyam pendidikan medis. Pendidikan hijamah hanya didapatkan dari pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh lembaga tertentu, dengan rentang waktu yang sangat bervariasi. Ada yang sangat singkat (satu-dua hari), sedang (satu sampai beberapa minggu), atau yang agak lama (beberapa bulan). Berdasarkan pengetahuan kami, belum ada satu pun Fakultas Kedokteran di Indonesia yang memasukkan hijamah sebagai salah satu bagian dari kurikulum pendidikannya. Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia, Cina, Mesir, dan beberapa negara lainnya yang telah memasukkan hijamah pada kurikulum sebagian Fakultas Kedokteran di sana.

Sebagian besar lembaga yang menyelenggarakan pelatihan hijamah di Indonesia hanya membatasi pengajaran pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan hijamah saja, tidak disertai mekanisme penyembuhan dan tinjauan ilmiah yang terkandung di dalam pengobatan hijamah. Hal ini tidak lain memang karena masih kurangnya pengetahuan tentang hijamah. Ada lembaga yang berusaha menyampaikan sedikit hipotesis tentang hijamah, namun sangat sulit diterima oleh masyarakat awam, bahkan terkesan dibuat-buat. Padahal dari hari ke hari, masyarakat semakin kritis. Selain itu, belum diajarkan bagaimana pemahaman terhadap proses terjadinya suatu penyakit atau mengenali (mendiagnosis) penyakit tertentu. Padahal, titik-titik pembekaman sangat bergantung pada jenis penyakit apa yang diderita oleh pasien tertentu.

Sebagai salah satu contoh, dikatakan bahwa bekam dapat menghilangkan racun atau toksin-toksin yang ada dalam darah. Di antara indikasinya, darah yang keluar karena dibekam berwarna hitam yang kemudian diasosiasikan sebagai “darah kotor yang banyak mengandung racun”. Padahal kalau kita mau berpikir kritis, bukankah pembuluh darah kita adalah satu sistem kesatuan? Bagaimana mungkin mengeluarkan sebagian darah dari pembuluh darah tertentu dapat membuang total seluruh racun dalam darah? Hal ini diperkuat oleh dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meskipun telah melakukan bekam, beliau masih merasakan sisa-sisa racun akibat upaya pembunuhan yang dilakukan oleh wanita Yahudi dari daerah Khaibar dengan meracuni makanan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa daging kambing. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ: «يَا عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ، فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السُّمِّ»
 “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menderita penyakit yang akhirnya beliau meninggal dunia karenanya, ‘Wahai Aisyah, aku senantiasa merasakan nyeri akibat makanan yang aku makan ketika aku berada di daerah Khaibar. Dan sekarang ini adalah saatnya urat nadiku terputus karena pengaruh racun itu.’” [4]
Oleh karena itu,Syaikh Abdurrahman bin Abdullah As-Suhaimi menjelaskan,
ولذا قال بعض العلماء إن الله جَمَع لرسوله صلى الله عليه وسلم بين الكَمالات: فجمع له بين النبوة وبين الشهادة فمات وهو يجد أثر السم
“Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, ‘Allah telah mengumpulkan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa kesempurnaan. Di antaranya adalah terkumpulnya nubuwwah (kenabian) dan syahadah (mati syahid), di mana beliau wafat dengan membawa bekas racun.’[5]

Sebetulnya hijamah telah diterima dengan baik oleh kebanyakan kaum muslimin di Indonesia dari kalangan non-medis, bahkan tanpa diberikan penjelasan ilmiah sekalipun. Meskipun demikian, ada pula yang memandang hijamah sebagai metode pengobatan tradisional yang tidak steril dan tidak ilmiah, sehingga justru sangat berisiko menularkan berbagai penyakit. [6] Menurut mereka, tindakan seperti bekam seharusnya dilakukan oleh tenaga medis profesional, di tempat khusus (steril) dengan peralatan yang steril pula. Oleh karena itu, mereka belum “melirik” pengobatan hijamah karena cenderung menghindari sesuatu yang menurut mereka masih belum jelas dan berisiko. Mereka lebih memilih pengobatan yang sudah jelas mekanismenya, walaupun metode pengobatan hijamah merupakan bagian dari pengobatan Islam.

Ketidakseragaman prosedur pembekaman di Indonesia menjadi salah satu penyebab sulitnya hijamah ini diterima secara luas oleh masyarakat, terutama dari kalangan medis. Kita juga belum mempunyai organisasi tertentu yang secara aktif mengembangkan hijamah atau melakukan proses standarisasi pengobatan dengan hijamah. Inilah yang membedakan hijamah dengan akupuntur yang sudah diterima secara luas oleh kalangan medis. Dampak lebih lanjut, pengobatan hijamah akan jalan di tempat dan tidak mampu menembus masyarakat luas, khususnya di negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim.

Berkaitan dengan kenyataan di atas, pengetahuan para praktisi hijamah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang mekanisme atau tinjauan ilmiah hijamah sangatlah terbatas. Pengetahuan yang berkembang saat ini sebagian besar terbatas pada teori-teori yang disampaikan oleh ahli pengobatan tradisional. Sehingga sangat diperlukan suatu usaha dalam menjelaskan rahasia ilmiah yang terkandung dalam terapi hijamah. [7] [Bersambung]


[dr. M. Saifudin Hakim, MSc]
 
Referensi:
 
[1] HR. Bukhari no. 2103.
[2] HR. Bukhari no. 5696.
[3] HR. Al-Hakim dan Ahmad. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihahno. 1053.
[4] HR. Bukhari no. 4428.
[5]http://ar.islamway.net/fatwa/12800
[6] Akan kami bahas lebih lanjut di bagian ke dua.
[7] Dikutip dengan penambahan seperlunya dari buku penulis berjudul, “Ke mana Seharusnya Anda Berobat? Antara Pengobatan Medis, Alternatif, dan Thibb Nabawi”, Wacana Ilmiah Press, Surakarta, tahun 2009.
 
Artikel www.kesehatanmuslim.com

++++
Share Ulang:
Cisaat, Nengkelan, 9 Dzulqaidah 1440
Sumber= https://kesehatanmuslim.com/menyikapi-metode-pengobatan-bekam-hijamah-dengan-bijak-bagian-pertama/