Aspek Keamanan Pengobatan dengan Bekam
Isu lain yang penting diperhatikan adalah tentang keamanan pengobatan dengan hijamah. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kondisi-kondisi yang merupakan kontra-indikasi dari dilakukannya tindakan hijamah. Sehingga apabila ditemukan kondisi-kondisi tersebut pada diri seseorang, maka tidak boleh dilakukan tindakan hijamah kepadanya.
Tindakan bekam secara umum dapat melemahkan badan, sehingga dapat
menyebabkan seseorang membatalkan puasa karena lemahnya badan setelah
dibekam.
Ketika sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya,
Ketika sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya,
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ؟
“Apakah kalian (para sahabat) membenci hijamah bagi orang yang
sedang berpuasa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
maka beliau radhiyallahu ‘anhu menjawab,
«لاَ، إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ»
“Tidak, kecuali jika menyebabkan lemah (lemas).” [1]
Sebagai contoh, hijamah dapat menurunkan kadar besi dalam
darah. Oleh karena itu, harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh
terutama pada kelompok yang rentan terhadap anemia defisiensi besi,
misalnya anak-anak dalam usia pertumbuhan dan wanita pada usia subur,
agar tindakan hijamah yang dilakukan tidak sampai menurunkan
kadar besi dalam darah secara berlebihan. Karena besi merupakan komponen
yang diperlukan untuk menyusun hemoglobin, yang berfungsi membawa
oksigen dalam darah. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah
frekuensi pembekaman dan volume darah yang dikeluarkan dalam setiap
proses pembekaman. Anemia defisiensi besi (ADB) ini bukan merupakan
masalah yang sepele, karena ADB bertanggung jawab pada ±90% kasus anemia
pada anak-anak.
Pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi manusia juga sangat penting
dalam menentukan titik-titik mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan
tindakan hijamah. Salah satu sebab malpraktik dalam tindakan hijamah antara
lain kesalahan dalam memahami penentuan titik bekam ini, sehingga dapat
berakibat fatal bagi pasiennya, seperti kelumpuhan atau akibat lainnya.
Pengetahuan ini juga penting untuk menentukan titik terbaik untuk jenis
penyakit tertentu, sehingga masing-masing penyakit mungkin memiliki
titik bekam tertentu yang efektif dan berbeda dengan jenis penyakit
lainnya.
Selain itu, yang harus diperhatikan juga adalah efek samping yang mungkin muncul akibat terapi hijamah. Di antara hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan terapi hijamah antara
lain anemia defisiensi besi, infeksi lokal, dan kemungkinan penyebaran
penyakit yang menular melalui darah seperti Hepatitis B, Hepatitis C,
dan HIV/AIDS. [2]
Infeksi lokal pada kulit juga masalah yang harus diperhatikan oleh
setiap juru bekam. Bagaimanapun, tindakan invasif terhadap bagian tubuh,
apalagi dengan jarum atau pisau bedah, memiliki risiko infeksi yang
tidak kecil. Apalagi, jika infeksi yang diperoleh berasal dari virus
mematikan seperti virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan virus HIV.
Beberapa aktivitas seperti bekam dan tato, dapat meningkatkan penularan
virus hepatitis B dan virus HIV. [3, 4] Kabir et al. (2006) yang melakukan penelitian di Iran melaporkan bahwa hijamah (atau
tindakan pengobatan tradisional yang mirip dengan bekam) merupakan
salah satu sumber transmisi (penularan) virus hepatitis C selain
transfusi darah, penggunaan obat-obatan terlarang melalui jarum suntik (Intravenous Drug Use/IVDU),
kontak seksual, cuci darah (hemodialisis), dan faktor-faktor lainnya.
Pada penelitian ini, dari 135 pasien yang diketahui mengidap virus
hepatitis C, 30 orang (22,2%) di antaranya tertular virus tersebut
melalui hijamah. [5] Penelitian di Iran lainnya yang dilakukan oleh Sali et al. (2005) melaporkan bahwa hijamah juga
merupakan salah satu faktor risiko penularan virus hepatitis B. Pada
penelitian ini, dari 500 orang pasien yang positif terinfeksi virus
hepatitis B (HBsAg positif), 34 orang (6,8%) di antaranya tertular virus
tersebut melalui hijamah. [6]
Infeksi virus hepatitis B dan C merupakan infeksi yang berbahaya
karena kemungkinan adanya komplikasi serius seperti sirosis hati, gagal
hati (liver failure), dan kanker hati (karsinoma
hepatoseluler). Infeksi virus hepatitis B dan C merupakan penyebab utama
penyakit hati kronik, karsinoma hepatoseluler (kanker hati), dan
penyebab utama yang menyebabkan seorang pasien membutuhkan transplantasi
(cangkok) hati.
Kita tidak dapat menutup kemungkinan bahwa pasien yang dibekam itu
bebas dari virus-virus tersebut karena dewasa ini jumlah orang yang
terinfeksi virus tersebut semakin meningkat. Kita tidak boleh hanya
mengandalkan penjelasan pasien atau percaya begitu saja bahwa dia
mengaku tidak terinfeksi virus-virus tersebut. Karena bisa saja dia
tidak menyadari bahwa dirinya sedang digerogoti oleh virus tersebut,
akan tetapi pada saat ini belum menimbulkan gejala. Karena infeksi akut
virus hepatitis C misalnya, biasanya bersifat asimtomatik (tidak
menimbulkan gejala), dan meskipun sistem pertahanan tubuh kadang-kadang
bisa membasmi virus tersebut, ±85% pasien berlanjut menjadi infeksi
virus hepatitis C kronik. Oleh karena begitu bahayanya hal ini, maka sterilitas alat-alat hijamah merupakan satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sterilitas tidak hanya mencakup jarum yang sekali buang [7], tetapi juga mencakup sterilisasi mangkok (cup) yang
selesai digunakan untuk membekam. Yang perlu diperhatikan juga adalah
juru bekam juga memiliki risiko yang sama untuk tertular berbagai jenis
virus tersebut, tidak hanya pasiennya saja. Dengan adanya
kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu dipertimbangkan pula apakah
pasien harus menjalani beberapa pemeriksaan laboratorium tertentu lebih
dahulu sebelum diterapi dengan hijamah.
Profesionalitas Juru Bekam
Seorang juru bekam –dan juga juru pengobatan lainnya secara umum,
termasuk dokter dan sebagainya- hendaklah benar-benar mengingat sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« مَنْ تَطَبَّبَ وَلاَ يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ »
“Barangsiapa yang melakukan suatu praktik pengobatan, padahal dia bukan ahlinya, maka dia harus bertanggung jawab.“ [8]
Kandungan hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi seseorang
untuk melakukan suatu bentuk pengobatan, padahal dia tidak ahli (baca:
profesional) di bidang pengobatan tersebut. Barangsiapa yang nekat atau
lancang, maka dia berdosa. Apabila tindakannya itu menyebabkan hilangnya
nyawa atau rusaknya anggota tubuh pasiennya, maka dia wajib membayar
ganti rugi. Dan dia juga wajib menyerahkan kembali biaya pengobatan yang
telah diserahkan oleh pasiennya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa ilmu
kedokteran atau ilmu pengobatan merupakan suatu cabang ilmu yang
bermanfaat baik secara syar’i maupun ‘aqli. [9]
Semoga tulisan ini dapat memotivasi kita secara umum dan para
praktisi pengobatan bekam secara khusus untuk terus meningkatkan ilmu,
pengetahuan, keterampilan, dan profesionalismenya di bidang pengobatan
bekam sehingga pada akhirnya dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada masyarakat lainnya. [10] [Selesai]
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Referensi:
[1] HR. Bukhari no. 1940.
[2] Tandeter, et al. 2001. A qualitative study on cultural bloodletting among Ethiopian immigrants. IMAJ 3: 937-939.
[3] Coimbra JC, et al. 1996. Hepatitis B epidemiology and cultural practices in Amerindian populations of Amazonia: the Tupi-Monde and the Xavante from Brazil. Soc Sci Med42(12):1735±43.
[4] Hardy DB. 1987. Cultural practices contributing to the transmission of human immunodeficiency virus in Africa. Rev Infect Dis9(6):1109-1119.
[5] Kabir et al. 2006. Distribution of hepatitis C virus genotypes in patients infected by different sources and its correlation with clinical and virological parameters: a preliminary study. Comparative Hepatology, 5:4 doi: 10.1186/1476-5926-5-4.
[6] Sali, et al. 2005. Risk factors in chronic hepatitis B infection: A case-control Study. Hepatitis Monthly, 5(4): 109-115.
[7] Penulis pernah diberitahu oleh salah seorang teman yang merupakan praktisi bekam bahwa masih ada praktisi bekam yang tidak memperhatikan atau meremehkan hal ini. Oleh karena itu, hendaklah kita berhati-hati.
[8] HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 635 (Maktabah Syamilah).
[9] Lihat Bahjatu Quluubil Abraar, hal. 155-156, karya Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah.
[10] Dikutip dengan penambahan seperlunya dari buku penulis berjudul, “Ke mana Seharusnya Anda Berobat? Antara Pengobatan Medis, Alternatif, dan Thibb Nabawi”, Wacana Ilmiah Press, Surakarta, tahun 2009.
Artikel www.kesehatanmuslim.com
+++++
Share Ulang:
Cisaat, Nengkelan, Ciwidey: 9 Dzulqaidah 1440
Sumber= https://kesehatanmuslim.com/menyikapi-metode-pengobatan-bekam-hijamah-dengan-bijak-bagian-ke-dua/