Islam Pedoman Hidup: Menyikapi Metode Pengobatan Bekam (Hijamah) dengan Bijak – Bagian Ke dua

Jumat, 12 Juli 2019

Menyikapi Metode Pengobatan Bekam (Hijamah) dengan Bijak – Bagian Ke dua






Aspek Keamanan Pengobatan dengan Bekam



Isu lain yang penting diperhatikan adalah tentang keamanan pengobatan dengan hijamah. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kondisi-kondisi yang merupakan kontra-indikasi dari dilakukannya tindakan hijamah. Sehingga apabila ditemukan kondisi-kondisi tersebut pada diri seseorang, maka tidak boleh dilakukan tindakan hijamah kepadanya. Tindakan bekam secara umum dapat melemahkan badan, sehingga dapat menyebabkan seseorang membatalkan puasa karena lemahnya badan setelah dibekam.

Ketika sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya,
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ؟
“Apakah kalian (para sahabat) membenci hijamah bagi orang yang sedang berpuasa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

maka beliau radhiyallahu ‘anhu menjawab,

«لاَ، إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ»
“Tidak, kecuali jika menyebabkan lemah (lemas).” [1]

Sebagai contoh, hijamah dapat menurunkan kadar besi dalam darah. Oleh karena itu, harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh terutama pada kelompok yang rentan terhadap anemia defisiensi besi, misalnya anak-anak dalam usia pertumbuhan dan wanita pada usia subur, agar tindakan hijamah yang dilakukan tidak sampai menurunkan kadar besi dalam darah secara berlebihan. Karena besi merupakan komponen yang diperlukan untuk menyusun hemoglobin, yang berfungsi membawa oksigen dalam darah. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah frekuensi pembekaman dan volume darah yang dikeluarkan dalam setiap proses pembekaman. Anemia defisiensi besi (ADB) ini bukan merupakan masalah yang sepele, karena ADB bertanggung jawab pada ±90% kasus anemia pada anak-anak.

Pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi manusia juga sangat penting dalam menentukan titik-titik mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan tindakan hijamah. Salah satu sebab malpraktik dalam tindakan hijamah antara lain kesalahan dalam memahami penentuan titik bekam ini, sehingga dapat berakibat fatal bagi pasiennya, seperti kelumpuhan atau akibat lainnya. Pengetahuan ini juga penting untuk menentukan titik terbaik untuk jenis penyakit tertentu, sehingga masing-masing penyakit mungkin memiliki titik bekam tertentu yang efektif dan berbeda dengan jenis penyakit lainnya.

Selain itu, yang harus diperhatikan juga adalah efek samping yang mungkin muncul akibat terapi hijamah. Di antara hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan terapi hijamah antara lain anemia defisiensi besi, infeksi lokal, dan kemungkinan penyebaran penyakit yang menular melalui darah seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV/AIDS. [2]

Infeksi lokal pada kulit juga masalah yang harus diperhatikan oleh setiap juru bekam. Bagaimanapun, tindakan invasif terhadap bagian tubuh, apalagi dengan jarum atau pisau bedah, memiliki risiko infeksi yang tidak kecil. Apalagi, jika infeksi yang diperoleh berasal dari virus mematikan seperti virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan virus HIV. Beberapa aktivitas seperti bekam dan tato,  dapat meningkatkan penularan virus hepatitis B dan virus HIV. [3, 4] Kabir et al. (2006) yang melakukan penelitian di Iran melaporkan bahwa hijamah (atau tindakan pengobatan tradisional yang mirip dengan bekam) merupakan salah satu sumber transmisi (penularan) virus hepatitis C selain transfusi darah, penggunaan obat-obatan terlarang melalui jarum suntik (Intravenous Drug Use/IVDU), kontak seksual, cuci darah (hemodialisis), dan faktor-faktor lainnya. Pada penelitian ini, dari 135 pasien yang diketahui mengidap virus hepatitis C, 30 orang (22,2%) di antaranya tertular virus tersebut melalui hijamah. [5] Penelitian di Iran lainnya yang dilakukan oleh Sali et al. (2005) melaporkan bahwa hijamah juga merupakan salah satu faktor risiko penularan virus hepatitis B. Pada penelitian ini, dari 500 orang pasien yang positif terinfeksi virus hepatitis B (HBsAg positif), 34 orang (6,8%) di antaranya tertular virus tersebut melalui hijamah. [6]

Infeksi virus hepatitis B dan C merupakan infeksi yang berbahaya karena kemungkinan adanya komplikasi serius seperti sirosis hati, gagal hati (liver failure), dan kanker hati (karsinoma hepatoseluler). Infeksi virus hepatitis B dan C merupakan penyebab utama penyakit hati kronik, karsinoma hepatoseluler (kanker hati), dan penyebab utama yang menyebabkan seorang pasien membutuhkan transplantasi (cangkok) hati.

Kita tidak dapat menutup kemungkinan bahwa pasien yang dibekam itu bebas dari virus-virus tersebut karena dewasa ini jumlah orang yang terinfeksi virus tersebut semakin meningkat. Kita tidak boleh hanya mengandalkan penjelasan pasien atau percaya begitu saja bahwa dia mengaku tidak terinfeksi virus-virus tersebut. Karena bisa saja dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang digerogoti oleh virus tersebut, akan tetapi pada saat ini belum menimbulkan gejala. Karena infeksi akut virus hepatitis C misalnya, biasanya bersifat asimtomatik (tidak menimbulkan gejala), dan meskipun sistem pertahanan tubuh kadang-kadang bisa membasmi virus tersebut, ±85% pasien berlanjut menjadi infeksi virus hepatitis C kronik. Oleh karena begitu bahayanya hal ini, maka sterilitas alat-alat hijamah merupakan satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sterilitas tidak hanya mencakup jarum yang sekali buang [7], tetapi juga mencakup sterilisasi mangkok (cup) yang selesai digunakan untuk membekam. Yang perlu diperhatikan juga adalah juru bekam juga memiliki risiko yang sama untuk tertular berbagai jenis virus tersebut, tidak hanya pasiennya saja. Dengan adanya kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu dipertimbangkan pula apakah pasien harus menjalani beberapa pemeriksaan laboratorium tertentu lebih dahulu sebelum diterapi dengan hijamah.

Profesionalitas Juru Bekam

Seorang juru bekam –dan juga juru pengobatan lainnya secara umum, termasuk dokter dan sebagainya- hendaklah benar-benar mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« مَنْ تَطَبَّبَ وَلاَ يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ »
“Barangsiapa yang melakukan suatu praktik pengobatan, padahal dia bukan ahlinya, maka dia harus bertanggung jawab.“ [8]

Kandungan hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk melakukan suatu bentuk pengobatan, padahal dia tidak ahli (baca: profesional) di bidang pengobatan tersebut. Barangsiapa yang nekat atau lancang, maka dia berdosa. Apabila tindakannya itu menyebabkan hilangnya nyawa atau rusaknya anggota tubuh pasiennya, maka dia wajib membayar ganti rugi. Dan dia juga wajib menyerahkan kembali biaya pengobatan yang telah diserahkan oleh pasiennya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa ilmu kedokteran atau ilmu pengobatan merupakan suatu cabang ilmu yang bermanfaat baik secara syar’i maupun ‘aqli. [9]

Semoga tulisan ini dapat memotivasi kita secara umum dan para praktisi pengobatan bekam secara khusus untuk terus meningkatkan ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan profesionalismenya di bidang pengobatan bekam sehingga pada akhirnya dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat lainnya. [10] [Selesai]

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Referensi:
[1]      HR. Bukhari no. 1940.
[2]      Tandeter, et al. 2001. A qualitative study on cultural bloodletting among Ethiopian immigrants. IMAJ 3: 937-939.
[3]      Coimbra JC, et al. 1996. Hepatitis B epidemiology and cultural practices in Amerindian populations of Amazonia: the Tupi-Monde and the Xavante from Brazil. Soc Sci Med42(12):1735±43.
[4]      Hardy DB. 1987. Cultural practices contributing to the transmission of human immunodeficiency virus in Africa. Rev Infect Dis9(6):1109-1119.
[5]      Kabir et al. 2006. Distribution of hepatitis C virus genotypes in patients infected by different sources and its correlation with clinical and virological parameters: a preliminary study. Comparative Hepatology, 5:4 doi: 10.1186/1476-5926-5-4.
[6]      Sali, et al. 2005. Risk factors in chronic hepatitis B infection: A case-control Study. Hepatitis Monthly, 5(4): 109-115.
[7]      Penulis pernah diberitahu oleh salah seorang teman yang merupakan praktisi bekam bahwa masih ada praktisi bekam yang tidak memperhatikan atau meremehkan hal ini. Oleh karena itu, hendaklah kita berhati-hati.
[8]      HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 635 (Maktabah Syamilah).
[9]      Lihat Bahjatu Quluubil Abraar, hal. 155-156, karya Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah.
[10]   Dikutip dengan penambahan seperlunya dari buku penulis berjudul, “Ke mana Seharusnya Anda Berobat? Antara Pengobatan Medis, Alternatif, dan Thibb Nabawi”, Wacana Ilmiah Press, Surakarta, tahun 2009.
 
Artikel www.kesehatanmuslim.com


+++++
Share Ulang:
Cisaat, Nengkelan, Ciwidey: 9 Dzulqaidah 1440
Sumber= https://kesehatanmuslim.com/menyikapi-metode-pengobatan-bekam-hijamah-dengan-bijak-bagian-ke-dua/