Tahnik adalah salah satu ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika menyambut bayi yang baru lahir. Tahnik dilakukan dengan
mengunyah kurma sampai halus, kemudian kita ambil kunyahan kurma
tersebut sebanyak kira-kira seujung jari saja, lalu kita tempelkan dan
gosokkan sedikit (kunyahan) kurma tersebut ke langit-langit mulut bayi.
Dewasa ini, sebagian orang mengaitkan tahnik dengan manfaat kesehatan
tertentu. Ada yang mengklaim bahwa tahnik adalah vaksinasi alami atau
media transfer sel punca (stem cell) atau klaim-klaim lainnya. Oleh
karena itu, dalam kesempatan kali ini kami ingin membahas, apakah klaim
manfaat kesehatan dari tahnik itu sekedar mitos atau fakta?
Syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, antara Ibadah dan Manfaat Kesehatan
Ibadah dan mentauhidkan Allah Ta’ala merupakan tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat [51]:
56).
Di atas pondasi inilah, seluruh ajaran dan syariat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berpangkal, yaitu untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan
menjauhkan umatnya dari kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul untuk tiap-tiap umat
(untuk menyerukan), ’Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’” (QS.
An-Nahl [16]: 36).
Sehingga tujuan utama dari amal yang kita lakukan adalah beribadah
dan mengharap pahala dari-Nya, bukan tujuan-tujuan rendah yang sifatnya
duniawi semata, termasuk tujuan kesehatan. Inilah hukum asal syariat
yang dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, yaitu dalam rangka murni ibadah kepada Allah Ta’ala, bukan
dalam rangka meraih manfaat kesehatan tertentu.
Jika ada klaim manfaat kesehatan tertentu, maka hal ini harus
berdasarkan dalil (bukti) yang valid, baik dalil dari penjelasan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam atau dari bukti penelitian ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Sungguh bagus penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala. Beliau rahimahullahu Ta’ala
berkata,
“Cara untuk mengetahui bahwa sesuatu adalah sebab yaitu dari
keterangan dalil agama, misalnya keterangan dari Al-Qur’an bahwa madu
mengandung obat bagi manusia, sebagaimana hal yang sama juga terdapat
dalam aktivitas membaca Al-Qur’an.
Selain itu, sesuatu dapat dinyatakan sebagai sebab melalui bukti
empirik, seperti ketika kita melakukan uji coba suatu obat dan kita
menemukan bahwa obat tersebut bermanfaat mengobati luka dan penyakit
tertentu. Akan tetapi, pengaruh dari obat tersebut harus terbukti
langsung dan nyata seperti seorang yang berobat dengan besi panas (kay),
kemudian dirinya sembuh. Maka kay adalah sebab yang jelas dan nyata
untuk menyembuhkan penyakit.
Kami memberikan catatan seperti di atas agar setiap orang tidak
beralasan dengan berkata, “Saya telah mencoba hal ini dan ternyata
bermanfaat”. Padahal pengaruhnya tidak langsung dirasakan, seperti
kalung jimat yang digunakan seseorang dan dia meyakini kalung tersebut
bermanfaat. Orang itu pun merasakan manfaatnya karena keyakinan terhadap
sesuatu itu mempunyai pengaruh yang nyata (baca: telah tersugesti).
(Hal serupa dapat ditemui dalam contoh lain). Terkadang, seseorang
meruqyah orang yang sakit dengan bacaan Al-Qur’an, namun pasien tidak
merasakan pengaruh apa-apa. Kemudian datang orang lain, yang meyakini
bahwa bacaan Al-Qur’annya lebih bermanfaat. Kemudian orang itu pun
meruqyahnya dengan bacaan Al-Qur’an yang sama dan ternyata si pasien
merasakan adanya manfaat, sakitnya berkurang. Demikian pula dengan orang
yang memakai kalung atau gelang (baca: semacam “kalung atau gelang
kesehatan”), yang terkadang merasakan sakitnya berkurang karena
tersugesti bahwa hal itu mampu memberikan manfaat.
Berkurangnya rasa sakit bagi seorang yang meyakini manfaat
gelang/kalung tersebut semata-mata sugesti dari dalam diri. Dan sugesti
yang muncul dari dalam diri bukanlah cara yang dibenarkan agama dalam
menetapkan sebab” (Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid, 1/163).
Adapun jika klaim kesehatan itu terbukti, tetap tidak boleh digunakan
sebagai tujuan pokok beribadah. Misalnya, jika benar ada manfaat
kesehatan dari ibadah puasa, maka tujuan pokok kita berpuasa adalah
mengharap pahala dari Allah Ta’ala. Kita berpuasa bukan karena motivasi
ingin sehat, menurunkan berat badan atau tujuan-tujuan kesehatan
lainnya. Meskipun bisa jadi kita memang lebih sehat setelah berpuasa,
maka ini adalah karunia dari Allah Ta’ala.
Demikian pula tahnik. Hukum tahnik kepada bayi yang baru lahir adalah
sunnah (mustahab atau dianjurkan). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak menjelaskan adanya manfaat kesehatan tertentu yang diterima oleh
sang bayi. Oleh karena itu, kita pun melakukan tahnik dalam rangka
beribadah kepada Allah Ta’ala, bukan karena sebab-sebab lainnya,
termasuk dalam rangka mencari berkah dari air liur pentahnik atau dalam
rangka mencari manfaat kesehatan tertentu.
[Bersambung]
***
[Bersambung]
Selesai disempurnakan di pagi hari, Rotterdam NL 1 Muharram 1438/21 September 2017
Yang senantiasa membutuhkan ampunan Rabb-nya,
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id