Diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rahimahullah, Utsman berkata, “Jarir
mengabarkan kepada kami dari Manshur dari Abu Wa’il dari Abu Musa –Radhiyallahu’anhu–, dia berkata, ‘Ada
seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam lalu dia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan
perang di jalan Allah? Sebab ada di antara kami ini yang berperang karena
kemarahan dan berperang demi kebanggaan.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengangkat
kepalanya kepada orang itu.
Beberapa riwayat mengatakan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya kepada orang itu karena orang
yang bertanya dalam posisi berdiri, sedangkan posisi nabi sedang duduk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,
‘Barang siapa yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah paling mulia, maka
dia yang berada di jalan Allah Azza wa
jalla.'” (Lihat Shahih Bukhari dan Fath
al-Bari Jilid 1 hal. 269 cet. Dar al-Hadits).
Keterangan
ringkas
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengomentari
kandungan hadis ini dengan mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat syahid/ dalil pendukung bagi
hadis al-a’maalu bin niyaat (amal itu dinilai
berdasarkan niatnya) …” (Lihat Fath
al-Bari, 1: 270).
Imam Al-‘Aini Rahimahullah menjelaskan, “Di dalamnya terkandung pelajaran bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya ibadah.” (Lihat ‘Umdat al-Qari, 2: 297).
Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengutip riwayat
serupa dengan berkata,
“An-Nasa’i meriwayatkan hadis dari Abu Umamah Radhiyallahu’anhu, dia berkata,
‘Ada seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu dia berkata, ‘Bagaimana pendapat Anda tentang seorang lelaki yang
berperang untuk mencari pahala sekaligus mencari nama/popularitas, apa yang
akan dia dapatkan?’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Dia
tidak mendapatkan pahala apa-apa.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang
ikhlas dan untuk mencari wajah-Nya.'” (Lihat Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 21 cet. Dar al-Hadits).
Kontinyu dalam beramal
Diriwayatkan dari Muhammad bin Salam dia berkata, ‘Abdah mengabarkan kepada
kami dari Hisyam, dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu
’anha beliau berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila
memerintahkan mereka (orang-orang), maka beliau hanya memerintahkan sebatas
amalan yang mampu mereka kerjakan.”
Kemudian orang-orang itu berkata, ‘Sesungguhnya keadaan kami tidak seperti
keadaan Anda, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa Anda
yang telah berlalu maupun yang akan datang.’
Mendengar hal itu, Rasulullah pun marah hingga tampak kemarahan itu pada
rona wajahnya. Lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang paling bertakwa
dan paling berilmu tentang Allah di antara kalian adalah aku.'” (Lihat Sahih
al-Bukhari dan Fath al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi Juz 1 hal. 89).
Keterangan ringkas
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata,
“Para ulama mengatakan bahwa makna hadis ini adalah beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam hanya memerintahkan amalan-amalan yang mudah untuk mereka kerjakan,
dan bukan amal-amal yang memberatkan. Hal itu karena beliau khawatir mereka
tidak bisa terus-menerus/kontinyu dalam melakukannya. Beliau sendiri
mengerjakan amal serupa dengan apa yang beliau perintahkan kepada mereka, yang
di dalamnya terkandung keringanan.” (Lihat Fath
al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90).
Diantara faedah dan pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadits di
atas antara lain:
Pertama, amal-amal saleh akan bisa mengangkat
kedudukan pelakunya menuju tingkatan yang mulia dan membuat dirinya berpeluang
menghapus dosa-dosa.
Kedua, apabila seorang hamba bisa meraih
puncak/akhir dari suatu bentuk ibadah dan bisa merasakan buah-buahnya, maka hal
itu seharusnya lebih mendorong dirinya untuk terus-menerus mengerjakannya.
Dengan demikian, hal itu lebih mempertahankan nikmat yang ada dan akan semakin
mendorongnya untuk mencari tambahan nikmat dengan cara mensyukuri apa yang
telah dilakukannya.
Ketiga, semestinya kita selalu berhenti pada
apa-apa yang telah ditetapkan oleh syariat, baik dalam perkara ‘azimah/hukum asal yang lebih
utama, maupun rukhshah/mengambil keringanan. Di sisi lain, perlu
disertai keyakinan bahwa memilih hal-hal yang lebih ringan lagi selaras dengan
syariat itu lebih utama daripada mengambil sesuatu yang lebih berat dan
menyelisihi syariat.
Keempat, hal yang lebih utama untuk dicari
dalam hal ibadah adalah sederhana/simpel dan mulazamah/terus-menerus dan
konsisten dalam beramal. Bukan sikap berlebih-lebihan yang pada akhirnya
menyeret kepada sikap meninggalkan amalan tersebut.
Kelima, hadis di atas juga menunjukkan
besarnya semangat para sahabat dalam mengerjakan ibadah dan besarnya keinginan
mereka meraih tambahan kebaikan
Keenam, disyariatkannya marah ketika terjadi
suatu hal yang menyelisihi perintah/ajaran syariat. Hendaknya kemarahan itu
ditujukan kepada orang yang cukup cerdas dan bisa menangkap pelajaran yang
baik, agar orang tersebut dapat merenungkan lebih dalam dan dapat tergerak
hatinya untuk menyadari kekeliruannya.
Ketujuh, bolehnya menceritakan kepada
seseorang mengenai keutamaan yang dimiliki orang tersebut ketika hal itu memang
dibutuhkan, selama tidak menimbulkan sikap berbangga diri atau menonjolkan
kehebatan diri sendiri.
Kedelapan, hadis di atas juga
menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam telah mencapai puncak kesempurnaan manusia karena kesempurnaan sifat
hikmah yang ada pada ilmu dan amal yang beliau miliki. Kesempurnaan ilmu beliau
ditunjukkan dalam sabda beliau ‘aku
adalah orang yang paling berilmu di antara kalian’, sedangkan kesempurnaan
amalnya ditunjukkan dari sabda beliau ‘dan
aku juga orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian’. (Lihat Fath
al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90-91).
Imam Ibnu Baththal Rahimahullah menjelaskan,
“Di dalam kesungguhan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam beramal dan sikap marah terhadap ucapan mereka, terkandung
dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang beramal itu tidak boleh bersandar
atau menggantungkan diri kepada amalnya. Hendaknya orang yang beramal selalu
berada di antara perasaan harap dan takut.” (Lihat Syarh
Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 73).
Al-Muhallab Rahimahullah berkata,
“Di dalam hadis ini terkandung faedah bahwasanya orang yang saleh wajib
memiliki ketakwaan dan rasa takut yang besar, sebagaimana halnya yang
seharusnya ada pada seseorang yang melakukan dosa. Orang yang saleh tidak boleh
merasa aman dengan bersandar kepada kesalehan dirinya. Demikian juga seorang pelaku
dosa tidak boleh berputus asa karena dosa yang dilakukannya. Bahkan, semestinya
setiap orang berada di antara perasaan takut dan harap.” (Lihat Syarh
Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 73).
***
Penulis: Ari
Wahyudi, S.Si
Artikel: Muslim.or.id
++++++++++
Share Ulang:
- Serang, Hotel Lynn, 12 Ramadhan 1443
- Sumber: https://muslim.or.id/74273-urgensi-ikhlas-dan-kontinyu.html