Allah berfirman;
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
(Al-Maidah: 44)
SEBAB TURUNNYA AYAT
Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…
Mereka berdamai (mengikat perjanjian)
dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh
(seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat
sebesar 50 wisq (1 wisq kurang lebih 130 kg, pen). Sementara bila ada
orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang
mulia maka diyat-nya sebesar 100 wisq.
Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut
merasa hina dengan kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
(padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian
damai.
(Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang
dari kelompok yang mulia. Maka kelompok yang mulia mengirim utusan
kepada kelompok hina agar mereka membayar 100 wisq.
Berkata yang hina: “Beginikah cara dua kampung yang agamanya satu? Nasab keturunannya
satu? Negerinya satu? Sedangkan diyat sebagian mereka setengah diyat
sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami hanya memberikan kamu (jumlah
diyat tersebut) karena penganiayaan kalian terhadap kami dan kami takut
terhadap kalian. Adapun jika Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam)
telah datang maka kami tidak memberikan ini kepada kalian.”
(Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan berkobar peperangan
di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menjadikan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebagai hakim) di antara mereka.
Kelompok mulia berkata: “Demi Allah, Muhammad tidak akan memberikan kepada kalian dari mereka
(kelompok hina) dua kali lipat dari apa yang diberikan mereka dari
kalian. Sungguh mereka telah benar, mereka tidaklah memberikan kepada
kita (diyat tersebut) melainkan penganiayaan dari kami dan menguasai
mereka. Maka hendaklah kalian menyelidiki Muhammad untuk mengecek
pendapatnya. Jika dia memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan
maka kalian boleh mengangkatnya jadi hakim dan jika dia tidak memberikan
kepadamu maka kalian waspada dan jangan kalian jadikan dia sebagai
hakim.”
Maka mereka pun menyusupkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam beberapa orang dari kalangan munafiqin untuk mengecek pendapat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam datang, Allah mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh
perkara mereka dan apa yang mereka kehendaki.
Allahpun menurunkan firman-Nya:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
(Al-Maidah: 44)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menghasankannya dalam Ash-Shahihah, 6/109-110)
TAFSIRAN PARA SHAHABAT DAN TABI’IN AKAN AYAT DIATAS
Ayat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya.”
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka (KHAWARIJ)
inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari
agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu
tidak mengeluarkan dari Islam).” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan
disetujui oleh Adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam
Silsilah Ash-Shahihah karangan Al-‘Allamah Al-Albani 6/113-114).
Ibnu Mas’ud dan Al Hasan berkata, ”Ayat ini umum untuk SETIAP ORANG [.. lihatlah ayat ini UMUM, tidak
dikhususkan kepada orang tertentu, tidak dikhususkan kepada PARA
PENGUASA KAUM MUSLIMIN SAJA, tapi SETIAP KAUM MUSLIMIN!! oleh karena itu
generasi pertama khawarij MENGKAFIRKAN SETIAP MUSLIM (bukan hanya
penguasa) yang tidak berhukum dengan hukum selain Allah!!] yang tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan yaitu yang meyakini (tidak
wajibnya) dan menganggap halal (berhukum dengan selain hukum Allah).” [Al jami’ liahkamil qur’an 6/190]
Mujahid berkata, ”Barang siapa yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah
turunkan karena menolak[‘iinad] kitabullah maka ia kafir, zhalim,
fasiq.”
[Mukhtashor tafsir Al Khozin 1/310]
‘Ikrimah berkata, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
karena juhud (mengingkari) kepadanya maka ia kafir, dan barang siapa
yang menetapkan (kewajiban berhukum dengannya) namun ia tidak berhukum
dengannya maka ia zalim fasiq.” [ibid]
Berkata ‘Aliy bin Abi Thalhah rahimahullah: ”Barang siapa yang JUHUD (mengingkari) kepada apa yang Allah turunkan
maka ia telah kafir, dan barang siapa yang menetapkan (kewajibannya)
namun ia tidak berhukum dengannya maka ia dzalim dan fasiq.” [Dikeluarkan oleh ibnu Jarir dalam tafsirnya 4/333 cet. Dar ibnu Hazm]
PENJELASAN ULAMA TENTANG AYAT DIATAS
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
فإن الله عز وجل قال :
“Sesungguhnya Allah telah berfirman :
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ;
ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq;
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.
فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan
setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena SETIAP
PELAKU KEMAKSIATAN (kezhaliman) itu TIDAKLAH BERHUKUM dengan apa yang
diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]
Berkata IBNUL ‘ARABIY:
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر
Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri
dengan anggapan bahwa hal tersebut dari Allah, maka ia adalah tabdiil
(mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya.
وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبي
Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa
nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai
dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa” [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624]
Berkata IBNUL JAUZIY rahimahullah:
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر
Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa
yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban
(berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang
menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir.
فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan
Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran –
maka dia itu zhalim dan fasiq.
وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas
bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang
diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih
mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu Zhalim dan
fasiq” [lihat Zaadul-Masiir 2/366]
Berkata IMAM AL QURTHUBIY rahimahullah:
يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه
Zhahir ayat ini (yaitu QS 5:44) dijadikan hujjah bagi orang yang
mengkafirkan orang yang berbuat dosa, padahal tidak ada hujjah bagi
mereka pada ayat tersebut.
وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة
قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا .
Penjelasannya adalah: Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui
hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak
menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap
hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi.
وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه
مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ،
Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk
orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum
tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia
BERMAKSIAT dengan meninggalkannya.
وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه
Demikian pula halnya pada setiap perkara yang hukumnya sudah
diketahui dengan gamblang dari syari’at ini; seperti shalat dan
selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab
Ahlus-Sunnah. [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117]
FATWA ULAMA MUTA-AKHIRIN BERKAITAN DENGAN AYAT INI
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Mereka ditanya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?’
Mereka menjawab:
Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْظَالِمُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)
Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini
bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang
mengeluarkan dari agama.
Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain,
dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk
kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama
dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.
Atas nama:Ketua: Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah Ghudayyan
(Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)
Fatwa asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta’ala
Beliau berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan: “Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia.
Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah.
Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut,
namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka
dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan
Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah).”
Beliau berkata pula: “Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali
[2. Apakah Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran pada juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban murid beliau Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- akan syubhat ini :
[2. Apakah Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran pada juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban murid beliau Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- akan syubhat ini :
“Terkadang ada didalam ucapan Syaikh Al-Albani bahwa kekufuran itu
dengan juhud dan takdzib! Maka sebagian orang memahami bahwa Syaikh
rahimahullahu menyempitkan kekufuran hanya pada juhud atau takdzib saja
dan meniadakan macam-macam kekafiran yang lainnya seperti kufur
iba’/istikbar (sombong), imtina’ (menolak), syak, nifak dan selainnya.”
Pemahaman mereka terhadap ucapan Syaikh rahimahullahu ini batil
karena penyebutan sesuatu tanpa selainnya bukan berarti meniadakan akan
selainnya tersebut. Bahkan mungkin bisa jadi penyebutan tersebut
berlandaskan kebanyakan atau mayoritas.
Penyebutan seperti ini juga pernah diucapkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu ‘Fatawa (III/354) :
“Asal kekufuran itu ada pada pengingkaran kepada Alloh.”
Apakah dengan ini kita mengatakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada pengingkaran semata ?!
Demikian pula Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah (III/1156):
“Kekufuran itu ada pada juhud.”
Apakah akan kita katakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!
Beliau juga mengatakan dalam Qosidah Nuniyah (II/453) dengan syarah Syaikh Kholil Harros rahimahullahu :
الكُفْرُ لَيْسَ سِوَى اْلعِنَادِ وَرَدِّ مَا جَاءَ الرَّسُوْلُ بِهِ لِقَوْلِ فُلاَنِ
Kekufuran itu tidak lain melainkan dengan ‘inad/penentangan
dan menolak apa yang dibawa oleh Rasul karena ucapan seseorang
Ucapan yang senada dengan yang di atas juga dikatakan oleh Syaikh
Abdurrohman As-Sa’di rahimahullahu dalam Minhajus Salikin (hal.112) :
“Telah disebutkan oleh para ulama -rohimahumullahu- perincian hal-hal
yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari Islam. Dan semua itu
kembalinya kepada juhud (pengingkaran) terhadap apa yang dibawa Rasul
baik secara keseluruhan atau sebahagiannya.”
Apakah kita akan mengatakan bahwa beliau telah menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!
Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang akan
menjelaskan semua ini dalam Majmu’ Fatawa (XX/98) tentang orang yang
meninggalkan sholat :
“Barangsiapa dari kalangan fuqoha’ yang
memutlakkan/menyatakan bahwa tidak kafir kecuali yang juhud (menentang
kewajibannya) maka yang dia maksud dengan juhud tersebut telah mencakup takdzib akan kewajibannya dan imtina’ ketika mengucapkannya…”
Lantas, apakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah
dan Syaikh Abdurrohman As-Sa’di –rohimahumullahu jami’an- adalah
Murji’ah karena ucapan mereka itu?!
أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqoroh : 44)
Baca: Dakwah Salafiyyah Bukan Dakwah Murji’ah]
Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di
jasmani. Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan
sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka
itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya
dalam neraka selamanya.
Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati,
maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal
amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia
berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan
jika Dia menghendaki maka diampuni.” (lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-‘Allamah Al-Albani rahimahullah, 6/111-112)
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkata:
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena
meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya
lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam.
Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk
manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode
yang manusia berjalan di atasnya. Karena mereka tidaklah meletakkan
undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka
meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi
makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah
bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang
lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode
yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia
berpaling darinya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun
dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum
yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah
bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak
meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih
manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan dunia maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.”
Kemudian beliau berkata:
“Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang
diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim
(pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak
terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang
mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran,
karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–.
Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah
dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan
seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah
dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun,
karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum
mukminin.”
(Lihat Syarah Tsalaatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103)Sumber
– Kerancuan Seputar Berhukum Selain dengan Hukum Allah
– Negara yang tidak berhukum dengan hukum islam adalah negara kafir?
– Menyikapi penguasa yang zhalim
Semoga bermanfaat.
____________
from=https://abuzuhriy.wordpress.com/2011/04/22/berhukum-dengan-selain-hukum-allah-tafsir-qs-544/