Islam Pedoman Hidup: Berhukum dengan selain hukum Allah (Tafsir QS 5:44)

Senin, 31 Agustus 2015

Berhukum dengan selain hukum Allah (Tafsir QS 5:44)


Allah berfirman;

‎وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” 
(Al-Maidah: 44)


SEBAB TURUNNYA AYAT

Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…

Mereka berdamai (mengikat perjanjian) dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat sebesar 50 wisq (1 wisq kurang lebih 130 kg, pen). Sementara bila ada orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang mulia maka diyat-nya sebesar 100 wisq.

Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian damai.

(Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia. Maka kelompok yang mulia mengirim utusan kepada kelompok hina agar mereka membayar 100 wisq.

Berkata yang hina: “Beginikah cara dua kampung yang agamanya satu? Nasab keturunannya satu? Negerinya satu? Sedangkan diyat sebagian mereka setengah diyat sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami hanya memberikan kamu (jumlah diyat tersebut) karena penganiayaan kalian terhadap kami dan kami takut terhadap kalian. Adapun jika Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah datang maka kami tidak memberikan ini kepada kalian.

(Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan berkobar peperangan di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menjadikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebagai hakim) di antara mereka.

Kelompok mulia berkata: “Demi Allah, Muhammad tidak akan memberikan kepada kalian dari mereka (kelompok hina) dua kali lipat dari apa yang diberikan mereka dari kalian. Sungguh mereka telah benar, mereka tidaklah memberikan kepada kita (diyat tersebut) melainkan penganiayaan dari kami dan menguasai mereka. Maka hendaklah kalian menyelidiki Muhammad untuk mengecek pendapatnya. Jika dia memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan maka kalian boleh mengangkatnya jadi hakim dan jika dia tidak memberikan kepadamu maka kalian waspada dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim.”

Maka mereka pun menyusupkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beberapa orang dari kalangan munafiqin untuk mengecek pendapat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang, Allah mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh perkara mereka dan apa yang mereka kehendaki.

Allahpun menurunkan firman-Nya:
‎وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.
(Al-Maidah: 44)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menghasankannya dalam Ash-Shahihah, 6/109-110)

TAFSIRAN PARA SHAHABAT DAN TABI’IN AKAN AYAT DIATAS

Ayat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya.”

Dalam riwayat lain beliau berkata: “Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka (KHAWARIJ) inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam).” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah karangan Al-‘Allamah Al-Albani 6/113-114).

Ibnu Mas’ud dan Al Hasan berkata, ”Ayat ini umum untuk SETIAP ORANG [.. lihatlah ayat ini UMUM, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, tidak dikhususkan kepada PARA PENGUASA KAUM MUSLIMIN SAJA, tapi SETIAP KAUM MUSLIMIN!! oleh karena itu generasi pertama khawarij MENGKAFIRKAN SETIAP MUSLIM (bukan hanya penguasa) yang tidak berhukum dengan hukum selain Allah!!] yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan yaitu yang meyakini (tidak wajibnya) dan menganggap halal (berhukum dengan selain hukum Allah).” [Al jami’ liahkamil qur’an 6/190]

Mujahid berkata, ”Barang siapa yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena menolak[‘iinad] kitabullah maka ia kafir, zhalim, fasiq.”
[Mukhtashor tafsir Al Khozin 1/310]

‘Ikrimah berkata, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena juhud (mengingkari) kepadanya maka ia kafir, dan barang siapa yang menetapkan (kewajiban berhukum dengannya) namun ia tidak berhukum dengannya maka ia zalim fasiq.” [ibid]

Berkata ‘Aliy bin Abi Thalhah rahimahullah: ”Barang siapa yang JUHUD (mengingkari) kepada apa yang Allah turunkan maka ia telah kafir, dan barang siapa yang menetapkan (kewajibannya) namun ia tidak berhukum dengannya maka ia dzalim dan fasiq.” [Dikeluarkan oleh ibnu Jarir dalam tafsirnya 4/333 cet. Dar ibnu Hazm]

PENJELASAN ULAMA TENTANG AYAT DIATAS

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
‎فإن الله عز وجل قال :
“Sesungguhnya Allah telah berfirman :

‎ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ;

‎ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq;

‎ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.

‎ فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena SETIAP PELAKU KEMAKSIATAN (kezhaliman) itu TIDAKLAH BERHUKUM dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]

Berkata IBNUL ‘ARABIY:

‎وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر
Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa hal tersebut dari Allah, maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya.

‎وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبي
Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa” [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624]

Berkata IBNUL JAUZIY rahimahullah:
‎أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر
Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir.

‎فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu zhalim dan fasiq.

‎وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu Zhalim dan fasiq” [lihat Zaadul-Masiir 2/366]

Berkata IMAM AL QURTHUBIY rahimahullah:
‎يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه
Zhahir ayat ini (yaitu QS 5:44) dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa, padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut.
‎وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا .
Penjelasannya adalah: Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi.

‎ وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ،
Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia BERMAKSIAT dengan meninggalkannya.

‎ وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه
Demikian pula halnya pada setiap perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini; seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117]

FATWA ULAMA MUTA-AKHIRIN BERKAITAN DENGAN AYAT INI

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Mereka ditanya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?’

Mereka menjawab:
Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْظَالِمُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)

Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.

Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.
Atas nama:
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah Ghudayyan

(Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)

Fatwa asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta’ala

Beliau berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan: “Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia.

Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah.

Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah).”

Beliau berkata pula: “Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali
[2. Apakah Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran pada juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban murid beliau Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- ­akan syubhat ini :


Terkadang ada didalam ucapan Syaikh Al-Albani bahwa kekufuran itu dengan juhud dan takdzib! Maka sebagian orang memahami bahwa Syaikh rahimahullahu menyempitkan kekufu­ran hanya pada juhud atau takdzib saja dan meniadakan macam-macam kekafi­ran yang lainnya seperti kufur iba’/istikbar (sombong), imtina’ (menolak), syak, nifak dan selainnya.

Pemahaman mereka terhadap ucapan Syaikh rahimahullahu ini batil karena penyebutan sesuatu tanpa selainnya bukan berarti meniadakan akan selainnya tersebut. Bahkan mungkin bisa jadi penyebutan tersebut berlandaskan kebanyakan atau mayoritas.

Penyebutan seperti ini juga pernah diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu ‘Fatawa (III/354) :

Asal kekufuran itu ada pada pengingka­ran kepada Alloh.”

Apakah dengan ini kita mengatakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada pengingkaran semata ?!

Demikian pula Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah (III/1156):

Kekufuran itu ada pada juhud.

Apakah akan kita katakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!

Beliau juga mengatakan dalam Qosidah Nuniyah (II/453) dengan syarah Syaikh Kholil Harros rahimahullahu :

الكُفْرُ لَيْسَ سِوَى اْلعِنَادِ وَرَدِّ مَا جَاءَ الرَّسُوْلُ بِهِ لِقَوْلِ فُلاَنِ
Kekufuran itu tidak lain melainkan dengan ‘inad/penentangan dan menolak apa yang dibawa oleh Rasul karena ucapan seseorang

Ucapan yang senada dengan yang di atas juga dikatakan oleh Syaikh Abdurrohman As-Sa’di rahimahullahu dalam Minhajus Salikin (hal.112) :

“Telah disebutkan oleh para ulama -rohimahumullahu- perincian hal-hal yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari Islam. Dan semua itu kembalinya kepada juhud (pengingkaran) terhadap apa yang dibawa Rasul baik secara keseluruhan atau sebahagiannya.”

Apakah kita akan mengatakan bahwa beliau telah menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!

Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang akan menjelaskan semua ini dalam Majmu’ Fatawa (XX/98) tentang orang yang meninggalkan sholat :

Barangsiapa dari kalangan fuqoha’ yang memutlakkan/menyatakan bahwa tidak kafir kecuali yang juhud (menentang kewajibannya) maka yang dia maksud dengan juhud tersebut telah mencakup takdzib akan kewajibannya dan imtina’ ketika mengucapkannya

Lantas, apakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dan Syaikh Abdurrohman As-Sa’di –rohimahumullahu jami’an- adalah Murji’ah karena ucapan mereka itu?!

أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqoroh : 44)

Baca: Dakwah Salafiyyah Bukan Dakwah Murji’ah]

Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya.

Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni.” (lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-‘Allamah Al-Albani rahimahullah, 6/111-112)

Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkata:

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam.

Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di atasnya. Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling darinya.

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan dunia maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.”

Kemudian beliau berkata:
Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–.
Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin.

(Lihat Syarah Tsalaatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103)

Sumber
Kerancuan Seputar Berhukum Selain dengan Hukum Allah
Negara yang tidak berhukum dengan hukum islam adalah negara kafir?
Menyikapi penguasa yang zhalim
Semoga bermanfaat.
____________
from=https://abuzuhriy.wordpress.com/2011/04/22/berhukum-dengan-selain-hukum-allah-tafsir-qs-544/