Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ، وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ، كَمَثَلِ صَاحِبِ
الْمِسْكِ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ، لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ،
إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ
بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ، أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang shaalih dengan teman duduk yang buruk adalah seperti penjual miskdan tukang pandai besi. Pasti ada sesuatu yang engkau dapatkan dari penjual minyak wangi, apakah engkau membeli minyak misk-nya
atau sekedar mendapatkan bau wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi ia
membakar badanmu atau pakaianmu; atau minimal engkau mendapatkan bau
yang tidak enak darinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2101].
Hadits
ini sebenarnya berbicara tentang perumpamaan ‘teman’. Teman
yang baik diumpamakan seperti penjual minyak wangi (misk),
sedangkan teman yang buruk diumpamakan seperti pandai besi. Melalui
hadits ini diketahui bahwa minyak wangi dan bau wangi adalah sesuatu
yang baik, dicintai semua orang - baik laki-laki dan wanita - sehingga
syari’at menganalogkannya dengan teman yang baik. Beda halnya
dengan bau busuk yang tidak akan disukai semua jiwa kecuali lalat dan
semisalnya[1].
Minyak wangi adalah sesuatu yang baik, hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammelarang kita menolak pemberian minyak wangi dari orang lain melalui sabdanya:
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ طِيبٌ فَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّهُ خَفِيفُ الْمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ
“Barangsiapa yang diberikan wewangian, janganlah ia tolak, karena ia ringan untuk dibawa lagi harum baunya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 2/320, Abu Daawud no. 4172, An-Nasaa’iy
no. 5259, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/399].
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطِيبٍ لَمْ يَرُدَّهُ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberikan
wewangian, maka beliau tidak pernah menolaknya” [Diriwayatkan
oleh An-Nasaa’iy no. 5258, Ahmad 3/118, dan yang lainnya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/399].
Dan bagi wanita...., minyak wangi merupakan perhiasan yang dianjurkan dipakai di hadapan suaminya.
عَنْ
أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ، لَمَّا جَاءَهَا نَعِيُّ
أَبِيهَا دَعَتْ بِطِيبٍ، فَمَسَحَتْ ذِرَاعَيْهَا، وَقَالَتْ: مَا لِي
بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ، لَوْلَا أَنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ
إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا "
Dari
Ummu Habiibah bintu Abi Sufyaan : Ketika datang berita kematian
ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun
mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata : “Sebenarnya
aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada
suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5345].
Maksudnya, Ummu Habiibah sebenarnya masih sedih atas kematian ayahnya, namun syari’at melarangnya untuk berkabung[2] lebih dari tiga hari. Oleh karena itu, pada hari ketiga[3] ia meminta wangi-wangian untuk ia pakai berhias di hadapan suaminya (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam), karena masa berkabung telah habis.
Seorang
wanita juga dianjurkan untuk senantiasa wangi dihadapan suaminya,
hingga saat haidl selesai ia diperintahkan untuk membersihkan bekas
darah dengan kain yang dicampuri minyak wangi sehingga bau tak sedang
yang lazim timbul dari wanita yang sedang haidl hilang.
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ
مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا، فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا، فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا، حَتَّى تَبْلُغَ
شُئُونَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ
فِرْصَةً مُمَسَّكَةً، فَتَطَهَّرُ بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: وَكَيْفَ
تَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، تَطَهَّرِينَ بِهَا،
فَقَالَتْ عَائِشَةُ: كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ، تَتَبَّعِينَ أَثَرَ
الدَّمِ......
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Asma’ pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :“Hendaknya
engkau mengambil air dan daun bidara. Lalu bersuci (wudlu) dan
membaguskannya. Kemudian menyiram air di kepalanya, lalu menggosoknya
dengan gosokan yang kuat hingga menyentuh kulit kepalanya. Lalu dia
menuangkan air di kepalanya. Kemudian dia ambil kain/kapas yang diberi minyak misk, lalu dia bersuci dengan kapas itu”. Asmaa’ bertanya lagi : “Bagaimana aku bersuci dengan kapas itu ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Subhaanallaah, engkau pakai kapas itu untuk bersuci”.
‘Aaisyah mengatakan - seakan-akan ia tidak mengetahuinya - :
“Engkau usap bekas-bekas darahnya (dengan kapas/kain itu)”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 245].
Faedah
lain dari hadits ‘Aaisyah di atas adalah diperbolehkannya wanita
memakai minyak wangi laki-laki, karena misk adalah minyak wangi
laki-laki[4]. Misk
adalah wewangian yang sangat wangi. Namun demikian, yang paling baik
bagi wanita adalah wewangian yang tersembunyi baunya (tidak tajam), dan
nampak warnanya. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
خَيْرَ طِيبِ الرَّجُلِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ، وَخَيْرَ
طِيبِ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ
“Sesungguhnya
sebaik-baik wewangian laki-laki adalah yang nampak baunya dan
tersembunyi warnanya. Dan sebaik-baik wewangian wanita adalah yang
nampak warnanya dan tersembunyi baunya” [Diriwayatkan oleh
Ahmad 4/442, At-Tirmidziy no. 2788, Abu Daawud no. 4048, dan yang
lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalamShahiih Sunan At-Tirmidziy 3/112-113].
Wewangian yang biasa dipakai wanita adalah za’faran (saffron)[5].
Seorang wanita boleh memakaikan minyak wangi kepada suaminya.
عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ حَتَّى أَجِدَ وَبِيصَ الطِّيبِ فِي
رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ "
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Aku pernah memakaikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wewangian
paling baik beliau dapatkan, hingga aku melihat kilauan wewangian
tersebut di kepala dan jenggot beliau” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 5923].[6]
Ada beberapa kondisi dimana wanita dilarang mengenakan wewangian secara mutlak, yaitu:
1. Ihraam.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ
رَجُلًا سَأَلَهُ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ؟ فَقَالَ: " لَا يَلْبَسُ
الْقَمِيصَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا السَّرَاوِيلَ وَلَا الْبُرْنُسَ
وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الْوَرْسُ أَوِ الزَّعْفَرَانُ،
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada beliau apa yang apa
yang dikenakan oleh orang yang melakukan ihram. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ia
tidak boleh memakai qamiish, surba, saraawiil (celana panjang), burnus,
serta pakaian yang diolesi minyak wars dan za’faraan…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 134].
2. Berkabung.
Dalilnya adalah hadits Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa di atas, dan hadits:
عَنْ أُمّ
عَطِيَّةَ، " نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا
تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ
قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ ". قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الْقُسْطُ وَالْكُسْتُ
مِثْلُ الْكَافُورِ وَالْقَافُور
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai wewangian (saat berkabung) kecuali di akhir masa sucinya (dari haidl). Jika ia telah suci, ia boleh memakai qusth (sejenis kayu yang wangi) dan minyak wangi adhfar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5343].
Maksud
perkecualiannya ini adalah diberikan keringanan bagi wanita (yang
berkabung) memakai wewangian sekedar untuk menghilangkan aroma tak
sedap selepas haidl dengan cara mengusap bekas darahnya[7], bukan bermaksud untuk berhias dengan memakai wewangian [Fathul-Baariy, 9/492].
3. Keluar rumah.
عَنْ الْأَشْعَرِيِّ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ
رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ "
Dari (Abu Muusaa) Al-Asy’ariy, ia berkata : “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, lalu melewati satu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4173, An-Nasaa’iy no. 5126, dan
yang lainnya; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 3/372].
Bahkan, ketika menuju keluar masjid sekalipun:
عَنْ زَيْنَبَ
امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ،
فَلَا تَمَسَّ طِيبًا "
Dari Zainab istri ‘Abdullah, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda kepada kami : “Jika salah satu kalian, para muslimah, mau pergi ke masjid maka janganlah dia memakai wewangian” [Diriwayatkan oleh muslim no. 443].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 23062014 – 22:30].
[1]
Bahkan bau busuk dapat menghalangi seseorang masuk ke dalam masjid dan
bercampur dengan manusia karena hal itu akan menyakitinya.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسَاجِدَنَا، حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا، يَعْنِي الثُّومَ
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang memakan sayuran ini, maka janganlah mendekati masjid kami hingga hilang baunya” – yaitu bawang putih [Diriwayatkan oleh Muslim no. 561].
Selanjutnya, silakan dibaca pada artikel : Hukum Makan Bawang Putih, Bawang Merah, atau Bawang Bakung.
[2] Berkabung pada selain suami adalah diperbolehkan dengan meninggalkan berhias dan memakai wangi-wangian.
[3] Dalam riwayat lain disebutkan :
لَمَّا
جَاءَ نَعْيُ أَبِي سُفْيَانَ مِنْ الشَّأْمِ دَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بِصُفْرَةٍ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ، فَمَسَحَتْ
عَارِضَيْهَا وَذِرَاعَيْهَا
“Ketika datang kabar kematian Abu Sufyaan dari Syaam, Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa meminta shufrah (sejenis
wangi-wangian) pada hari ketiga, lalu mengusapkan pada kedua pipinya
dan kedua lengannya...” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1280].
[4] Dan....... misk adalah sebaik-baik wangi-wangian.
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَطْيَبُ الطِّيبِ الْمِسْكُ ". قَالَ أَبُو
عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wangi-wangian yang paling baik adalah misk” [Diriwayatkanm oleh At-Tirmidziy no. 991, dan ia berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”].
Banyak hadits yang mensifati hal-hal yang berkaitan kebaikan, pahala, dan surga dengan misk, misalnya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَوَّلُ زُمْرَةٍ تَلِجُ الْجَنَّةَ
صُورَتُهُمْ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَا يَبْصُقُونَ
فِيهَا، وَلَا يَمْتَخِطُونَ وَلَا يَتَغَوَّطُونَ آنِيَتُهُمْ فِيهَا
الذَّهَبُ أَمْشَاطُهُمْ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَمَجَامِرُهُمُ
الْأَلُوَّةُ وَرَشْحُهُمُ الْمِسْكُ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ
زَوْجَتَانِ يُرَى مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ مِنَ
الْحُسْنِ، لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ، وَلَا تَبَاغُضَ قُلُوبُهُمْ
قَلْبٌ وَاحِدٌ يُسَبِّحُونَ اللَّهَ بُكْرَةً وَعَشِيًّا "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
rombongan pertama yang masuk surga dalam rupa seperti bulan purnama.
Tidaklah mereka meludah, beringus, dan buang air besar. dan.
Bejana-bejana mereka dari emas, sisir-sisir mereka dari emas dan perak,
pembakar gaharu mereka dari kayu india, keringat mereka beraroma misk,
dan bagi setiap mereka dua orang istri, yang nampak sum-sum betis
mereka di balik daging karena kecantikan. Tidak ada perselisihan di
antara mereka, tidak ada permusuhan, hati-hati mereka hati yang satu,
mereka bertasbih kepada Allah setiap pagi dan petang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3245].
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...... وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ، أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ
يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ
فَرِحَ بِصَوْمِهِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……Demi
Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut
orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada baumisk di
hari kiamat. Dan bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua
kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Rabbnya,
ia gembira dengan puasanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1904 dan Muslim no. 1151; dan ini lafadh Muslim].
[5] Salah satu dalilnya adalah:
عَنْ
أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَعَلَيْهِ رَدْعُ زَعْفَرَانٍ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَهْيَمْ "، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً، قَالَ: " مَا أَصْدَقْتَهَا؟ "
قَالَ: وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ، قَالَ: " أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ "
Dari Anas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf yang padanya terdapat bekas kuning za’faraan. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah itu ?”. Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita”. Beliau bersabda : “Mahar apa yang engkau berikan ?”. Ia menjawab : “Emas sebesar biji kurma”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Adakanlah walimah meskipun hanya menyelbelih satu ekor kambing” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2109; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 1/589].
Bekas
za’faraan yang yang ada di tubuh ‘Abdurrahmaan bin
‘Auf adalah bekas za’faraan yang dipakai istrinya untuk
berhias.
[6] Ibnu Hajar rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits ini:
وقال
ابن بطال: يؤخذ منه أن طيب الرجال لا يجعل في الوجه بخلاف طيب النساء،
لأنهن يطيبن وجوههن ويتزين بذلك بخلاف الرجال، فإن تطييب الرجل في وجهه لا
يشرع لمنعه من التشبه بالنساء
“Ibnu
Baththaal berkata : Faedah yang diambil darinya bahwasannya wewangian
laki-laki tidak dioleskan pada wajah, berbeda halnya dengan wewangian
wanita. Hal
itu dikarenakan mereka (wanita) mengenakan wewangian di wajah mereka
dan berhias dengannya, berbeda halnya dengan laki-laki. Memakai
wewangian di wajahnya bagi laki-laki tidak disyari’atkan karena
menyerupai (tasyabbuh) dengan wanita” [Fathul-Baariy, 10/366].
[7] Sebagaimana hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa yang disebutkan sebelumnya.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/06/minyak-wangi-parfum-wanita.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/06/minyak-wangi-parfum-wanita.html