Para
ulama berbeda pendapat mengenai pengadaan walimah khitan. Ada yang
mengatakan walimah khitan itu sunnah, dan memenuhi undangan juga
sunnah. Ini adalah madzhab Hanafiyyah[1], satu pendapat dari madzhab Syafi’iyyah [2], dan satu pendapat dari madzhab Hanabilah[3].
Dikatakan,
disunnahkan mengadakan walimah khitan hanya untuk anak laki-laki, bukan
untuk anak perempuan – karena khitan anak perempuan itu bersifat
tersembunyi dan ada perasaan malu untuk menampakkannya. Pendapat ini
dipilih oleh Al-Adzra’iy dari kalangan Syafi’iyyah.[4]
Dikatakan, walimah khitan adalah mubah, dan memenuhi undangannya juga mubah. Ini adalah pendapat Malikiyyah[5] dan Hanabilah[6].
Dan
dikatakan juga, walimah khitan itu adalah makruh, dan menghadirinya pun
makruh. Pendapat ini dipilih sebagian ulama Malikiyyah[7], dan ia merupakan satu riwayat dari Ahmad[8].
Dari berbagai pendapat yang ada, yang raajih (kuat) hukum mengadakan walimah khitan
adalah mubah, sebab ia hanyalah terkait dengan adat istiadat dan
kebiasaan manusia saja. Inilah hukum asal dari setiap walimah,
sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ushul :
الأصل في الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء
“Asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya” [Min Ushuulil-Fiqh ‘alaa Manhaji Ahlil-Hadiits, oleh Zakariyya bin Ghulaam Qaadir Al-Baakistaaniy, hal. 166].
Ia akan diberikan pahala sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Adapun pendapat yang memakruhkan, atau bahkan sampai mengharamkannya (sebagaimana beredar di sebagian ikhwah), maka ini keliru.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إذا دعا أحدكم أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.
“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya – baik undangan pernikahan atau yang semisalnya” [HR. Abu Dawud no. 3738].
Perkataan beliau : “atau yang semisalnya” mengandung faedah bahwa walimah itu tidaklah sebatas walimatul-‘urs saja. Namun walimah-walimah lain yang menjadi kebiasaan dan adat manusia. Termasuk walimah khitan.
Inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dimana beliau mengatakan :
أما
الوليمة العرس فهي سنة، والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة،
مكروه فعلها، والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة : من شاء
فعلها، ومن شاء تركها.
“Walimatul-‘urs hukumnya sunnah dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan. Adapun walimah atas kematian seseorang, maka itu bid’ah yang dibenci (makruh) melaksanakannya dan memenuhi undangannya. Sedangkan walimah khitan, maka hukumnya jaaiz (diperbolehkan). Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya…” [Majmu’ Al-Fataawaa, 32/206].
Hadits di atas juga mengandung faedah akan wajibnya memenuhi semua undangan walimah, termasuk khitan.[9]
Syamsul-Haq ‘Adhiim ‘Abadiy berkata saat menjelaskan hadits riwayat Abu Dawud di atas :
وقد احتج بهذا من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقاً. وزعم ابن حزم أنه قول جمهور الصحابة والتابعين.
“Hadits ini telah digunakan sebagai hujjah oleh orang yang berpendapat wajibnya memenuhi undangan secara mutlak. Dan Ibnu Hazm mengatakan bahwasannya hal itu merupakan pendapat jumhur shahabat dan tabi’in” [‘Aunul-Ma’bud, 10/204].
Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dengan (tambahan) lafadh :
من لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله.
“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan tersebut, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR. Ahmad no. 5263; shahih – lihat keterangannya dalam Adaabuz-Zifaaf, hal. 154].
Tanbih !!
عن
الحسن قال : دعي عثمان بن أبي العاص إلى ختان فأبى ان يجيب فقيل له فقال
انا كنا لا نأتي الختان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا ندعى له
Dari
Al-Hasan ia berkata : “’Utsman bin Abil-‘Ash pernah diundang walimah
khitan, maka ia menolak untuk memenuhinya. Lalu ditanyakan kepadanya
hal tersebut. Ia menjawab : ‘Kami dulu pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi undangan khitan dan tidak diadakan undangan padanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/217 no. 17938 dan Ath-Thabaraniy 9/48].
Hadits ini adalah dla’if karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis. Oleh karena itu, riwayat ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
***
Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
[Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – Perumahan Ciomas Permai, pertengahan bulan Rajab 1430 H].
[1] Badaai’ush-Shanaai’ (7/10).
[2] An-Nawawi rahimahullah berkata :
الوليمة مستحبة لغير العرش
“Walimah itu disunnahkan, selain dari walimah pernikahan (yang dihukumi wajib)” [I’aanatuth-Thaalibiin, 3/357].
وأما سائر الولائم، فمستحبة، ليس بواجبة على المذهب وبه قطع الجمهور، ولا يتأكذ تأكد وليمة النكاح.
“Adapun
seluruh walimah, maka hukum sunnah, bukan wajib berdasarkan pendapat
madzhab. Dan pendapat inilah yang dinyatakan oleh jumhur ulama. Namun
hal itu tidaklah ditekankan (untuk mengadakannya) sebagaimana
ditekankan dalam walimah pernikahan” [Raudlatuth-Thaalibiin, 7/333].
[3] Dikatakan dalam Al-Inshaaf (5/320) :
هذا قول أبي حفص العكبري، وقطع به في الكافي، والمغني، والشرح، وشرح ابن منجا، وهو ظاهر كلام ابن أبي موسى، قاله في المستوعب.
“Ini adalah perkataan Abu Hafsh Al-‘Ukbariy yang dinyatakan dalam Al-Kaafiy, Al-Mughniy, Asy-Syarh, dan Syarh Ibni Manjaa. Dan hal itu yang nampak dari perkataan Ibnu Abi Musa, dimana ia mengatakannya dalam Al-Mustau’ab”.
[4] Mughnil-Muhtaaj, 4/403.
[5] Dikatakan dalam Mawaahibul-Jaliil (4/3) :
ومباحة
الإجابة : وهي التي تعمل من غير قصد مذموم، كالعقيقة للمولود، والنقيعة
للقادم من السفر، والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس، والإعذار للختان،
ونحو ذلك.
“Walimah
yang hukumnya mubah untuk memenuhi undangannya adalah walimah yang
dilakukan bukan untuk tujuan yang tercela, seperti : ‘aqiqah saat
kelahiran bayi, perjamuan yang dilakukan oleh orang yang baru datang
dari safar, perjamuan karena pembangunan rumah dan wanita setelah
selesai nifas, perjamuan pada waktu khitan, dan yang lainnya”.
[6] Syarh Muntahaa Al-Iraadaat (3/33), Kasysyaaful-Qinaa’ (5/166), dan Mathaalibu Ulin-Nuhaa fii Syarh Ghaayatul-Muntahaa (5/234). Dikatakan dalam Al-Inshaaf (8/320) : “Ia merupakan pendapat yang shahih dari madzhab”.
[7] Dikatakan dalam Asy-Syaamil :
ووجوب إجابة الدعوة إنما هو لوليمة العرس، وأما ما عداها فحضوره مكروه إلا العقيقة فمندوب.
“Wajib hukumnya memenuhi undangan hanya untuk walimatul-‘urs (pesta
pernikahan) saja. Adapun selainnya, maka menghadirinya adalah makruh,
kecuali ‘aqiqah yang itu dianjurkan (untuk menghadirinya)”.
[8] Al-Inshaaf (8/231).
[9] Dengan syarat jika walimah tersebut tidak mengandung/memuat perkara-perkara yang diharamkan oleh syari’at.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/07/hukum-mengadakan-walimah-khitan-dan.html