Islam Pedoman Hidup: Hukum Upah Bekam

Senin, 16 November 2015

Hukum Upah Bekam

Dari Raafi’ bin Khudaij radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول (شر الكسب مهر البغي، وثمن الكلب، وكسب الحجام).
Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seburuk-buruk usaha adalah mahar (upah) pezina, hasil jual beli anjing, dan upah tukang bekam”.
Dalam riwayat lain :
ثمن الكلب خبيث. ومهر البغي خبيث. وكسب الحجام خبيث
“Hasil jual beli anjing adalah keji, hasil usaha pezina adalah keji, dan upah tukang bekam juga keji” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1568].
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كسب الحجام
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang mencari rizki (penghasilan) melalui profesi tukang bekam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2165; shahih].
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من السحت كسب الحجام
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Termasuk usaha yang haram adalah upah para tukang bekam” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Al-Musykil no. 4661; shahih].
Para ulama berbeda pendapat mengenai hasil tukang bekam dalam hal menyikapi pelarangan dalam hadits di atas menjadi beberapa pendapat :
a. Mengharamkannya.
b. Apabila tukang bekam tersebut merdeka (bukan budak), maka hukumnya haram. Namun bila tukang bekam tersebut seorang budak, maka boleh.
c. Larangan mengambil upah dari usaha bekam telah mansukh. Ini adalah pendapat Ath-Thahawiy.
d. Apabila tukang bekam memasang tarif tertentu, maka usahanya tersebut tidak dibenarkan. Namun jika tidak, maka dibenarkan. Ibnu Hibban memilih pendapat ini.
e. Jumhur ulama berpendapat usaha tukang bekam adalah halal dengan membawa nash-nash larangan kepada makruh tanzih.
Pendapat yang mengharamkannya adalah tertolak karena telah shahih riwayat bahwasannya beliau pernah memberikan upah kepada tukang bekam.
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :
أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وأمرني فأعطيت الحجام أجره
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan menyuruhku untuk memberikan upah kepada tukang bekamnya” [shahih – lihat Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 310].
Juga dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا حجاما فحجمه وسأله : كم خراجك ؟ فقال : ثلاثة آصع . فوضع عنه صاعا وأعطاه أجره
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengundang tukang bekam, lalu ia membekam beliau. Setelah selesai, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Berapa pajakmu ?”. Ia menjawab : “Tiga sha’”. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatalkan satu sha’ dari pajaknya, kemudian memberikan upahnya” [shahih - Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 312].
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma pernah berkata :
إن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم على الأخدعين وبين الكتفين وأعطى الحجام أجره ولو كان حراما لم يعطه
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam di kedua urat merih dan daerah di antara dua pundaknya. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammemberikan upah kepada pembekam. Seandainya upah bekam itu haram, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberinya” [shahih – Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah hal. 188 no. 311].
Pendapat yang mengkhususkan kebolehan mengambil upah bekam untuk budak saja – tidak untuk orang merdeka – tidak bisa diterima, sebab syari’at tidak pernah membedakan antara budak dan orang merdeka dalam hal perintah mencari usaha yang halal. Perintah ini umum sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” [QS. An-Nahl : 114].
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” [QS. Al-Baqarah : 168].
Pendapat yang mengatakan pelarangan mengambil upah bekam telah mansukh tidak bisa diterima, karena klaim adanya naasikh-mansukh hanya dapat diterima jika diketahui secara pasti mana dalil yang datang paling awal dan yang datang paling belakangan. Selain itu, klaim ini juga hanya bisa diterima jika jalan penggabungan (thariqatul-jam’i wat-taufiq) tidak memungkinkan. Sedangkan dalam kasus ini, jalan penggabungan masih terbuka.
Pendapat yang mengatakan bahwa pelarangan mengambil upah hanya jika memasang tarif adalah satu metode penggabungan yang dapat dipertimbangkan.
Adapun pendapat jumhur yang mengatakan bahwa pelarangan dalam hadits dibawa pada makna makruh tanzih, juga merupakan metode penggabungan yang cukup kuat.
Pendapat yang paling rajih menurut kami adalah pendapat jumhur (membawa pelarangan pada makna makruh tanzih). At-Tirmidzi berkata :
وقد رخص بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم في كسب الحجام. وهو قول الشافعي.
“Sebagian ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selainnya memberikan keringanan dalam hal upah tukang bekam. Dan itulah yang menjadi pendapat dari Asy-Syaafi’iy” [Sunan At-Tirmidzi hal. 304 – Masyhur Hasan Salmaan].
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khaan berkata :
وذهب الجمهور إلى أنه حلال لحديث أنس في الصحيحين وغيرهما "أن النبي صلى الله عليه وسلم إحتجم حجمه أبو طيبة وأعطاه صاعين من طعام........ والأولى الجمع بين الأحاديث بأن كسب الحجام مكروه غير حرام
“Jumhur ulama berpendapat tentang halalnya upah tukang bekam adalah halal berdasarkan hadits Anas yang terdapat dalam Shahihain dan yang lainnya : ‘Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam, lalu beliau dibekam oleh Abu Thayyibah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya upah dua shaa’ bahan makanan’……. Dan yang lebih utama adalah penggabungan di antara hadits-hadits (yang melarang dan yang memperbolehkan), bahwa upah bagi tukang bekam adalah makruh, tidak sampai pada derajat haram” [Raudlatun-Nadiyyah, 2/132].
Namun begitu perlu digarisbawahi bahwa upah pembekaman adalah upah yang hina. Tidak selayaknya bagi seorang muslim yang masih diberikan Allah kekuatan dan kelapangan mengambil upah dari pembekaman. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtelah memerintahkan Muhayyishah untuk mempergunakan hasil upah bekam untuk membelikan makanan ternak.
Dari Muhayyishah radliyallaahu ‘anhu :
أنه استأذن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم في إجارة الحجام فنهاه عنها، فلم يزل يسأله ويستأذنه حتى أمره "أن اعلفه ناضحك ورقيقك".
“Bahwasannya ia pernah meminta ijin kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamuntuk menyewa tukang bekam. Namun beliau melarangnya. Ia terus memohon dan meminta ijin kepada beliau, hingga beliau memerintahkan : ‘Hendaknya upahnya diberikan untuk makan untamu dan budakmu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3422, At-Tirmidzi no. 1277, Ibnu Majah no. 2166, dan yang lainnya; shahih].
Oleh karena itu, sangat disayangkan fenomena dewasa ini suburnya praktek-praktek usaha pembekaman yang memang dijadikan sebagai lahan bisnis yang (dianggap) cukup ‘menjanjikan’. Menyedihkannya, banyak di antara mereka adalah ikhwan Salafiyyun (?). Tidak cukupkah kita memperhatikan kata-kata khabiits, syarr, dan suhtdari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ketiganya bermakna celaan atas hasil usaha (bisnis) pembekaman ?
Masih banyak jalan menuju Jawa Barat, alias….. masih banyak jalan mencari nafkah dari jalan yang halal lagi terhormat. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abu Al-Jauzaa’ 1430 – di perumahan Ciomas Permai yang lagi sering hujan].
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/07/hukum-upah-bekam.html