Masalah Ketiga: Tawassul
Pemahaman yang kacau balau tentang tawassul
Novel mengatakan: “Tawassul dengan orang lain artinya wasilah (perantara) yang kita sebutkan di dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama seseorang. Contohnya adalah doa berikut: “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…”,
“Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…”, “Ya
Allah, berkat para Rasul dan Wali-Mu…””.
Beberapa baris kemudian ia mengatakan: “Saudaraku, perlu kita ketahui bahwa seseorang yang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri. Bagaimana bisa? Kami akan menjelaskannya secara ringkas.
Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain, pada saat itu ia
berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut adalah
seorang saleh yang mencintai Allah dan dicintai Allah. Ia menjadikan
orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya.
Dengan demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada
orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, demi kebesaran
Rasul-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Atau orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti ia
sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i. Kita semua tahu
bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya serta kepada
orang-orang yang saleh merupakan amal yang sangat mulia… dst”.[1]
Saya katakan;
ucapan Novel di sini mengandung kontradiksi. Di awal pembahasan ia
mendefinisikan bahwa tawassul dengan orang lain maknanya ialah bahwa
perantara yang kita sebutkan dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama seseorang. Kemudian dia menyebutkan bahwa ketika seseorang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri?!
Dalam hal ini ia hendak menyamakan antara seseorang yang mengatakan: “Ya
Allah, demi cintaku kepada Nabi-Mu… atau demi cintaku kepada Imam
Syafi’i…” dan semisalnya; dengan orang yang mengatakan: “Ya Allah, demi
kebesaran Nabi Muhammad… atau berkat Imam Syafi’i…”. Padahal setiap
orang yang paham bahasa Indonesia pasti mengatakan bahwa makna kedua
ucapan di atas jelas berbeda. Yang pertama ialah tawassul dengan
menyebut amal saleh yang dia perbuat -dan hal ini dianjurkan-, sedang
yang kedua ialah tawassul dengan menyebut amal seseorang yang hal
tersebut adalah milik orang lain, bukan milik si pendoa. Lantas
bagaimana keduanya bisa disamakan?
Lepas dari ini semua, cara berdoa semacam ini adalah bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun
para salaf. Dan sebagaimana telah pembaca ketahui, bahwa seandainya
cara berdoa semacam ini adalah hal yang dianjurkan dalam agama, pastilah
mereka lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Bila kita perhatikan dalil-dalil yang berbicara mengenai tata cara berdoa, kita akan dapati bahwa Islam bukanlah agama birokrasi yang sedikit-sedikit harus pakai perantara.
Cara seperti ini justeru identik dengan praktek orang jahiliyah yang
menjadikan berhala-berhala mereka sebagai perantara untuk mendekatkan
diri kepada Allah (lihat surat Az Zumar: 3 dan Yunus: 18).
Karenanya, kalau saudara perhatikan ayat-ayat yang menjawab sejumlah pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saudara akan dapati bahwa semua jawabannya dimulai dengan perintah: “Katakanlah (hai Muhammad)…”. Contohnya sebagai berikut:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia…” (Al Baqarah: 189).
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,… dst” (Al Baqarah: 215).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…. dst” (Al Baqarah: 217).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia…” (Al Baqarah: 219).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu [2]. Namun ketika pertanyaannya tentang bagaimana cara berdoa kepada Allah? maka jawabannya sungguh berbeda! Simaklah ayat berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan jika
hamba-Ku bertanya kepadamu mengenai-Ku, maka sesungguhnya Aku Maha
Dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku….” (Al Baqarah: 186).
Perhatikan, dalam ayat di atas Allah tidak menggunakan kata ‘katakanlah’
-alias menjadikan Nabi sebagai perantara-, akan tetapi Dia sendiri yang
langsung menjawab pertanyaan ini. Kemudian mengatakan bahwa diri-Nya
lah yang akan mengabulkan doa hambanya secara langsung, tanpa
menyebut-nyebut perantara dalam hal ini.Ini jelas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak
butuh perantara dalam doa, bahkan Dia lebih menyukai doa yang langsung
dipanjatkan kepada-Nya tanpa perantara, sebab Dia maha dekat terhadap
hamba-Nya.
Lebih dari itu, jika kita meyakini kebesaran Allah dan sifat-Nya yang
Maha lembut, Pengasih, Penyayang, Mengabulkan doa hambanya, dan
sebagainya; maka aneh sekali jika kita lebih suka berhubungan dengan-Nya
melalui perantara.
Kalaulah seseorang yang ingin menghadap Raja atau Presiden telah
mendapat izin langsung untuk menghadapnya, kemudian dia enggan dan
justru mencari perantara, bukankah ini namanya menyia-nyiakan kesempatan
emas?? Lantas bagaimana jika Raja atau Presiden tadi menyatakan bahwa
dirinya lebih suka kalau yang bersangkutan menghadap langsung kepadanya,
namun orang tersebut justru menjauh dan tetap pakai perantara? Bukankah
ini termasuk pembangkangan terhadap keinginannya?
Demikian pula dengan ayat di atas, Allah secara langsung menjawab
pertanyaan tersebut tanpa menjadikan Nabi sebagai perantara, dan secara
tegas menyatakan bahwa diri-Nya maha dekat dengan kita, lantas mengapa
kita tidak mau langsung meminta kepada-Nya?
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/7490-ini-dalilnya-15-keliru-dalam-memahami-tawassul.html