Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [1] ;
Ibnul Atsir –rahimahullah– mengatakan:
وَقِيْلَ سَلَفُ الإِنْسَانِ مَنْ تَقَدَّمَهُ بِالْمَوْتِ مِنْ آبَائِهِ
وَذَوِي قَرَابَتِهِ وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ مِنْ
التَّابِعِينَ السَّلَفَ الصَّالِحَ. {النهاية في غريب الأثر – (ج 2 / ص 981)}
“Salaf
seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya
(meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak
kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan
As Salafus Shaleh” [2]
Perhatikanlah firman-firman Allah berikut:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22).
"Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu;
dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka)
sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).
Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’ artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara istilah,
maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang meliputi para
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalam kitab Al Wajiz fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِذَا أُطْلِقَ (( السَّلَفُ )) عِنْدَ
عُلَمَاءِ الاِعْتِقَادِ فَإِنَّمَا تَدُورُ كُلُّ تَعْرِيْفَاتِهِمْ
حَوْلَ الصَّحَابَةِ، أَوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، أََوِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِيْهِمْ مِنَ الْقُرُوْنِ
الْمُفَضَّلَةِ ؛ ِمنَ الأَئِمَّةِ الأَعْلاَمِ الْمَشْهُودِ لَهُمْ
بِالإِمَامَةِ وَالفَضْلِ وَاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَالإِمَامَةِ فِيهَا ،
وَاجْتِنَابِ الْبِدْعَةِ وَالْحَذَرِ مِنْهَا، وَمِمَّنْ اتَّفَقَتِ
الأُمَّةُ عَلىَ إِمَامَتِهِمْ وَعَظِيْمِ شَأْنِهِمْ فِي الدِّيْنِ ،
وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ. (الوجيز
1/15)
Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa
embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar
pada para
sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang
yang mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk
diantaranya para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya
serta keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan
memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya)
yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’:
…هَذَا قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ ، وَهُمُ السَّلَفُ الصَّالِحُ…
“…Ini adalah pendapat para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dan mereka lah As Salafus Shaleh…” [3].
Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka? Maka kami jawab, ini dalilnya;
Dari Al Qur’anul Karim
Ayat Pertama
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu,
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali (QS. 4:115).
Penjelasannya:
Cobalah anda renungkan kalimat yang bercetak tebal di atas. Bukankah
Allah telah menyatakan bahwa diantara sebab tersesatnya seseorang ialah
karena ia mengikuti jalan yang lain dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas
bahwa orang-orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah
mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para
sahabat Rasulullah.
Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [4].
Ayat Kedua
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100).
Penjelasannya:
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah meridhai para sahabat dari
kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik. Mereka semua (muhajirin & anshar) telah dijamin surga
oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari teladan selain mereka yang belum
tentu masuk surga dan selamat dari neraka?? Padahal di hadapan kita
telah terbentang jalan yang terang benderang menuju Surga dan keridhaan
Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?!
Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka? Mungkinkah
kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka ketahui?
Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka dalam
mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai siapa
pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada-adakan suatu praktik
ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut pembaca?
Ayat Ketiga:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS. 9:119)
Ayat Keempat:
Bagi para
fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan
mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang
yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9).
Penjelasan ayat ketiga dan keempat:
Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang-orang yang benar (ash shaadiquun),
kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah
para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah
ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain
yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka.
Ayat Kelima:
Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya, berarti mereka telah mendapat petunjuk… (QS. 2:137).
Penjelasan ayat kelima:
Konteks
ayat ini selengkapnya merupakan bantahan terhadap klaim orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa barangsiapa mengikuti mereka
niscaya akan mendapat petunjuk (ayat 135). Maka Allah membantah klaim
mereka tersebut, kemudian memerintahkan mereka untuk mengatakan: Kami
beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,….
dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah menentukan hakikat keimanan
tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[5], maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat.
Jadi, jelas sekali bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk
ialah dengan mengikuti manhaj para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ayat Keenam:
Ketika
orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu)
kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada
Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26).
Penjelasan ayat keenam:
Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti takwa yang sesungguhnya,
sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah yang paling bertaqwa.
Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi “stempel ahli taqwa”
bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya… tetapi Pencipta alam
semesta; Allah Ta’ala.
Namun sayangnya, masih banyak orang yang berat menerima pengertian ini.
Mereka merasa ada banyak cara untuk bertakwa kepada Allah yang
terluputkan oleh para sahabat.
Dalil dari As Sunnah
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ… أخرجه البخاري ( 2652, 3651, 6429) و مسلم ( 2533 )
Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik
manusia ialah mereka yang hidup di zamanku, kemudian yang datang
setelah mereka, kemudian yang datang setelahnya lagi…” (H.R. Bukhari no 2652,3651,6429; dan Muslim no 2533).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ قَالَ دَخَلْتُ
الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ
فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ فَأَتَيْتُهُمْ
فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ في سَفَرٍ
فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ وَمِنَّا مَنْ
يَنْتَضِلُ وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِي جَشَرِهِ إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ
اللَّهِ الصَّلَاةَ جَامِعَةً فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
فَقَالَ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا
عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ
جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ
وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا … الحديث
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke
masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash sedang duduk
berteduh di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada orang-orang
yang berkumpul mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk di majelis
itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah suatu ketika kami bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami ada
yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan ada yang
sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru
lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka
segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk
menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan
memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui. Sesungguhnya
umat kalian ini ialah umat yang keselamatannya ada pada generasi
awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan mengalami bala’ dan berbagai
hal yang kalian ingkari… al hadits” (H.R. Muslim no 1844).
Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas maknanya bagi para pembaca.
Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As Salafus Shaleh) dari umat ini,
ialah generasi terbaik yang terpelihara dari fitnah-fitnah besar yang
menimpa umat ini di kemudian hari. Maka wajar jika manhaj mereka yang
paling dekat kepada kebenaran, dan paling terjaga dari penyimpangan.
Kemudian disusul oleh generasi kedua dan ketiga.
Berangkat dari sini, maka setiap praktik ibadah yang muncul sepeninggal
mereka harus kita waspadai. Janganlah terkecoh dengan banyaknya
pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah jaminan sebuah kebenaran.
Mutiara Hikmah As Salafus Shaleh
Sebagai pelengkap, berikut ini adalah wasiat-wasiat berharga dari para salaf yang lebih memperjelas akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) dan bahayanya ibtida’ (membuat bid’ah). Sebagian besar mutiara hikmah ini kami nukil dari kitab Al Wajiez fi Aqidatis Salafis Shaleh Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsary –hafidhahullah– jilid 1 hal 153-160.
1. Hudzaifah ibnul Yaman :
كُلُّ
عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أََصْحَابُ رَسُولِ اللهِ فلاَ
تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فإَِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛
فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ
(رواه ابن بطة في الإبانة)
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak
menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka takutlah kepada Allah
wahai orang yang gemar beribadah, dan ikutilah jalan orang-orang
sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).
2. Abdullah bin Mas’ud :
مَنْ كان
مُسْتنَاًّ فَلْيَسْتَنِّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ
مُحَمَّدٍ كَانُوا خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ ، وَأَبَرَّهَا قُلُوباً ،
وَأََعْمَقَها عِلْماً ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ
اللهُ لِصُحْبَة نَبِيِّهِ وَنَقْلِ دِيْنِهِ فَتَشَبَّهُوْا
بِأََخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ؛ فَهُمْ كَانُوا عَلَى الهَدْيِ
المُسْتَقِيمِ (أخرجه البغوي في شرح السنة)
“Siapa yang ingin mengikuti ajaran tertentu, hendaklah ia mengikuti
ajaran orang yang telah wafat, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ialah sebaik-baik umat ini. Hati mereka paling baik, ilmu mereka
paling dalam, dan mereka paling tidak suka berlebihan (takalluf) dalam beragama. Merekalah kaum yang dipilih Allah untuk menjadi pendamping Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan menyampaikan dien-Nya. Maka tirulah akhlak dan tingkah laku mereka,
karena mereka selalu berada di atas petunjuk yang lurus” (Diriwayatkan
oleh Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah).
Beliau juga mengatakan:
اِتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ؛ عَلَيْكُمْ بِالأََمْرِ العَتِيْقِ (أخرجه الدارمي في سننه)
“Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi.
Hendaklah kalian berpegang teguh dengan perkara yang terdahulu”
(Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya).
3. Umar i=Ibnul Khatthab :
وَعَنْ
عَابِسٍ بْنِ رَبِيْعَةَ ، قاَلَ : رَأََيْتُ عُمَرَ بْنَ الخْطَاَّبِ
يُقبِّلُ الحَجَرَ- يَعْنِي الأَسْوَدَ- وَيَقُوْلُ : إِنِّي لأَعْلَمُ
أََنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وُلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ
رَسُولَ الله ِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلتُكَ
(متفق عليه)
Dari ‘Aabis bin Rabi’ah, katanya: Aku melihat ‘Umar ibnul Khatthab shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium
Hajar Aswad seraya berkata: “Aku tahu pasti, bahwa engkau hanyalah
sebuah batu yang tak dapat memberi madharat maupun manfaat. Kalaulah
bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, kau tak akan kucium!” (Muttafaq ‘Alaih)[6].
عَنْ
أَبِي الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ شِخِّيْرٍ قَالَ : عَطَسَ رَجُلٌ
عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ ، فَقَالَ
عُمَرُ : وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أٌمِّكَ ، أَمَا يَعْلَمُ أَحَدُكُمْ مَا
يَقُوْلُ إِذَا عَطَسَ ؟ إِذَا عَطَسَ أَحَدَكُمْ فَلْيَقُلْ : اَلْحَمْدُ
ِللهِ ، وَلْيَقُلِ الْقَوْمُ : يَرْحَمُكَ اللهُ ، وَلْيَقُلْ هُوَ :
يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ
(رواه عبد الرزاق في المصنف, 10/451-452, رقم 19677؛ و البيهقي في شعب الإيمان 39, فصل فيما يقول العاطس في جواب التشميت, رقم 9030).
Dari
Abul ‘Ala’ bin Abdillah bin Syikhkhir, katanya: “Ada
seseorang bersin di samping Umar bin Khatthab, lalu mengucapkan: “Assalaamu ‘alaika…”, maka sahut ‘Umar: “Alaika wa ‘ala ummik…! Apa kalian tidak tahu apa yang musti diucapkan ketika bersin? Kalau kalian bersin hendaknya mengucapkan: “Alhamdulillah”, sedang yang mendengar mengucapkan: “Yarhamukallaah” lalu yang bersin membalas: “Yaghfirullaahu lakum” (H.R. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya, dan Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman).
Hadits yang senada juga diriwayatkan dari sahabat Salim bin ‘Ubeid:
أَنَّهُ
كَانَ مَعَ الْقَوْمِ فِي سَفَرٍ فَعَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقَالَ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ- وَعِنْدَ
الطَّحَاوِي فِي مُشْكِلِ الآثَارِ: مَا شَأْنُ السَّلاَمِ وَشَأْنُ مَا
هَاهُنَا ؟- ، ثُمَّ
قَالَ بَعْدُ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ مِمَّا قُلْتُ لَكَ ؟ قَالَ:
لَوَدِدْتُ أَنَّكَ لَمْ تَذْكُرْ أُمِّي بِخَيْرٍ وَلَا بِشَرٍّ قَالَ :
إنَّمَا قُلْتُ لَكَ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إنَّا بَيْنَا نَحْنُ
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا عَطَسَ
رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ وَعَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ ثُمَّ قَالَ : إذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ
الْحَدِيث } وَرَوَاهُ أَحْمَدُ وَفِي لَفْظٍ { فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ، أَوْ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
}. رواه أبو داود والترمذي وأحمد وابن حبان في صحيحه
Bahwa ketika beliau bersama rombongannya dalam sebuah safar, ada seseorang yang bersin lantas mengucap: “Assalaamu ‘alaikum!”, maka sahut Salim: “Alaika wa ‘ala ummik [7]” –dalam
riwayat Ath Thahawy ditambahkan: “Apa hubungannya antara salam
dengan orang bersin?”– Kemudian Salim berkata lagi: “Nampaknya kau tersinggung dengan ucapanku barusan…?” jawabnya: “Ya… andai saja kau tak menyebut-nyebut ibuku tadi…” lalu kata Salim: “Aku tak mengucapkan lebih dari yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … suatu ketika kami sedang bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ada orang yang bersin dan mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Alaika wa ‘ala ummik…” lalu lanjutnya: “Kalau kalian bersin hendaklah mengucapkan: “Alhamdulillah” atau “Alhamdulillahi ‘ala kulli haal” atau: “Alhamdulillahi rabbil ‘alamien” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ath Thahawy).
4. Abdullah bin Umar :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ؛ وَإِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً (رواهما اللالكائي في شرح أصول الاعتقاد)
“Semua
bid’ah adalah kesesatan, meski orang-orang menilainya baik
(bid’ah hasanah)” (Diriwayatkan oleh Al Laalaka-i
dalam Syarh Ushulil I’tiqad) [8].
قَالَ
عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ لمن سأله عن مسألةٍ ، وقال له : إِن أَباك نهى
عنها: أَأَمْرُ رَسُوْلِ اللهِ أََحَقُّ أََنْ يُتَّبَعَ ، أََوْ أََمْرُ
أَبِي؟! (زاد المعاد)
Ketika ada seseorang yang mengatakan kepada Abdullah bin ‘Umar :
“Sesungguhnya ayahmu (Umar bin Khatthab) melarang hal itu”. Ibnu Umar
balik bertanya: “Perintah siapakah yang lebih berhak untuk ditaati,
perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perintah ayahku??” (Zaadul Ma’aad 2/178).
Ibnu Umar memang terkenal sebagai sahabat yang paling ittiba’ kepada
sunnah dan anti bid’ah. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya:
Dari Nafi’ katanya; ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar lantas mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah! Maka Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pun mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah, tapi bukan begitu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami (ketika bersin). Beliau mengajarkan kami agar mengucapkan Alhamdulillaahi ‘ala kulli haal” [9].
5. Abdullah bin ‘Abbas :
وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- لِمَنْ عَارَضَ السُّنَّةَ ؛
بِقَوْلِ أََبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : يُوشكُ أَنْ
تَنـْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ ؛ أََقُوْلُ لَكُمْ :
قَالَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلََى آلِهِ وَسَلَّمَ-
وَتَقُوْلُوْنَ : قاَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه عبد الرزاق في المصنف بسند صحيح)
Beliau mengatakan kepada orang yang menolak Sunnah Nabi dengan perkataan
Abu Bakar dan Umar: “Hampir saja hujan batu menimpa kalian…!! Kukatakan
bahwa: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
begini dan begitu…” namun kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar
mengatakan begini dan begitu…!!” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq Ash
Shan’ani dalam Mushannaf-nya dengan sanad shahih) [10].
6. Mu’adz bin Jabal:
Diriwayatkan dari Yazid bin ‘Umairah -salah seorang sahabat Mu’adz– bahwa
Mu’adz bin Jabal dalam setiap majelisnya selalu mengatakan: “Allah itu
bijaksana dan Maha Adil. Celakalah orang-orang yang ragu…”. Kemudian
pada suatu hari Mu’adz mengatakan: “Sesungguhnya di belakang kalian akan
ada fitnah yang banyak…. Saat itu harta melimpah ruah, Al Qur’an dibaca
beramai-ramai oleh orang mu’min maupun munafik, wanita maupun
anak-anak, dan hamba sahaya maupun orang merdeka… sampai-sampai ada yang
mengatakan: “Mengapa orang-orang tak mau mengikutiku, padahal aku telah
membaca Al Qur’an? Sungguh, mereka memang tidak mau mengikutiku sampai
aku membikin bid’ah yang lain bagi mereka…”. Maka waspadalah kalian dari bid’ah yang diperbuatnya, karena setiap bid’ah itu sesat. Dan waspadalah kalian dari kesesatan orang bijak…
karena Syaithan kadang menyampaikan kesesatan melalui lisan si Bijak;
dan kadang si Munafik mengatakan yang haq”. Maka tanyaku: “Semoga Allah
merahmatimu… lantas bagaimana aku tahu bahwa si Bijak menyampaikan
kesesatan, dan si Munafik berkata benar?” “Bisa…” jawab Mu’adz. “Yaitu
ketika si Bijak mengatakan sesuatu yang jelas-jelas batil; hingga kamu
mengatakan: “Omongan apa ini !?” Namun jangan sampai hal itu
menjauhkanmu darinya; karena boleh jadi ia segera bertaubat dan kembali
kepada kebenaran… Maka terimalah al haq begitu kamu mendengarnya, karena
dalam al haq itu terdapat cahaya” [11].
Makna kesesatan orang bijak (زيغة الحكيم), sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud ialah:
أَيْ اِنْحِرَاف الْعَالِم عَنْ الْحَقّ. وَالْمَعْنَى أُحَذِّركُمْ مِمَّا
صَدَرَ مِنْ لِسَان الْعُلَمَاء مِنْ الزَّيْغَة وَالزَّلَّة وَخِلَاف
الْحَقّ فَلَا تَتَّبِعُوهُ (عون المعبود شرح سنن أبي داود, كتاب السنة,
باب: لزوم السنة)
(Yaitu) menyimpangnya seorang ‘alim dari al haq. Jadi maksud ucapan
Mu’adz ialah: “Kuperingatkan kalian akan penyimpangan, kekeliruan dan
pernyataan yang tidak benar, yang muncul dari lisan para ‘ulama; jangan
sampai kalian mengikutinya” (‘Aunul Ma’bud, lihat pada syarah hadits di atas).
7. Abdullah bin Mas’ud :
وَإِيَّاكُمْ وَالْمُحْدَثَاتِ؛ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (إعلام الموقعين 2/428)
“Waspadailah setiap yang baru (dalam agama), karena sejelek-jelek
perkara ialah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan setiap bid’ah
itu sesat” (I’laamul Muwaqqi’in 2/428).
8. Sufyan Ats Tsaury -rahimahullah-
البِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ المَعْصِيَةِ ، المَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا ، وَالبِدْعَةُ لاَ يتُاَبُ مِنْهَا
(أخرجه البغوي في شرح السنة)
“Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis dari pada kemaksiatan. Dosa maksiat
masih ada harapan taubat, tapi dosa bid’ah tidak ada harapan taubat” [12] (Diriwayatkan oleh Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah).
9. Abdullah Ibnul Mubarak –rahimahullah–
اِعْلَمْ-
أَيْ أََخِي- أَنَّ المَوْتَ اليَوْمَ كَرَامَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ لَقِيَ
اللهَ عَلىَ السُّنَّةِ ، فَإِناَّ لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ؛
فَإِلَى اللهِ نَشْكُوْ وَحْشَتَناَ ، وَذَهَابَ الإِخْوَانِ ، وَقِلَّّةَ
الأَعْوَانِ ، وَظُهُوْرَ الْْبِدَعِ ، وَإِلىَ اللهِ نَشْكُوْ عَظِيْمَ
مَا حَلَّ بِهَذِهِ الأُمَّةِ مِنْ ذَهَابِ الْعُلَمَاءِ ، وَأََهْلِ
السُّنَّةِ ، وَظُهُوْرِ الْبِدَعِ
(البدع والنهي عنها لابن وضاح)
“Saudaraku, ketahuilah bahwa kematian hari ini adalah karamah (kemuliaan) bagi setiap muslim yang menghadap Allah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya.
Kepada Allah-lah kita mengadukan kesendirian kita, mangkatnya saudara
kita, sedikitnya penolong kita, dan kemunculan bid’ah di mana-mana.
Kepada-Nya jua kita mengeluh akan besarnya musibah yang menimpa umat
ini, karena mangkatnya para ulama dan pengikut sunnah, serta munculnya
berbagai bid’ah” (Al Bida’u wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah).
10. Al Fudail bin ‘Iyadh –rahimahullah–
اِتَّبِعْ
طُرُقَ الهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ قلَِّةُ السَّالِكِينَ ، وَإِياَّكَ
وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ ، وَلاَ تَغْتَرُّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ (الاعتصام)
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan janganlah risau dengan sedikitnya
pengikut. Tapi waspadailah jalan-jalan kesesatan, dan janganlah terkecoh
dengan banyaknya orang celaka” (Al I’tisham).
11. Amirul Mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziez –rahimahullah–
قِفْ
حَيْثُ وَقَفَ القَوْمُ ، فَإِنَّهُمْ عَنْ عِلْمٍ وَقَفُوا ، وَبِبَصَرٍ
ناَفِذٍ كَفُّوْا ، وَهُمْ عَلَى كَشْفِهَا كَانُوا أَقْوَى ،
وَبِالْفَضْلِ لَوْ كَانَ فِيْهَا أََحْرَى ، فَلَئِنْ قُلْتُمْ : حَدَثَ
بَعدَهُمْ ؛ فَمَا أََحْدَثهُ إِلاَّ مَنْ خَالَفَ هَدْيَهُمْ ، وَرَغِبَ
عَنْ سُنَّتِهِمْ ، وَلَقَدْ وَصَفُوا مِنْهُ مَا يُشْفِي ، وَتَكَلَّمُوا
مِنْهُ بِمَا يَكْفِي ، فَمَا فَوْقَهُمْ مُحَسِّرٌ وَمَا دُوْنَهُمْ
مُقَصِّرٌ ، لَقَدْ قَصَرَ عَنْهُمْ قَومٌ فَجَفَوْا وَتجَاوَزَهُم
آخَرُوْنَ فَغَلَوْا ، وَإِنَّهُمْ فِيْماَ بَيْنَ ذَلِكَ لَعَلىَ هُدًى
مُسْتَقَيْمٍ (أورده ابن قدامة في لمعة الاعتقاد)
“Berhentilah saat mereka (para salaf) berhenti. Karena mereka berhenti
berdasarkan ilmu. Mereka menahan diri setelah berpikir jeli. Padahal
merekalah yang lebih mampu untuk menyingkap setiap masalah, dan lebih
gencar tuk mengejar setiap fadhilah. Kalau kalian berkata: “Banyak hal
baru (dalam agama) yang muncul setelah mereka…” ingatlah, bahwa hal
tersebut tidak dimunculkan kecuali oleh mereka yang menyelisihi
petunjuk salaf, dan menolak ajaran mereka. Para salaf telah menjelaskan
agama segamblang-gamblangnya, dan menerangkannya sejelas mungkin. Siapa
yang mendahului mereka akan menyesal, dan siapa yang berada di bawah
mereka berarti pemalas. Sungguh, orang-orang yang berada dibawah mereka
akhirnya gagal, namun yang ingin mengungguli mereka justru melampaui
batas, sedangkan mereka (para salaf) tetap berada di antara keduanya, di
atas jalan yang lurus” (disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad).
12. Al Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah–
قَالَ
الإِمَامُ أََحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ ؛ إِمَامُ أَهْلِ السُّنَّةِ رَحِمَهُ
اللهُ : أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَناَ : اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ
عَلَيْهِ أََصْحَابُ رَسُولِ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ
وَسَلَّمَ- وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ ، وَكُلُّ
بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ (شرح أصول الاعتقاد, للأمام اللالكائي).
Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah mengatakan: Pokok-pokok aqidah [13] menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipraktikkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah. Karena setiap yang bid’ah berarti kesesatan” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh Imam Al Laalaka-i).
13. Imam Malik bin Anas —rahimahullah—
مَن
ابْتَدَعَ فِي الإِسْلاِمِ بِدْعَةً يَرَاهاَ حَسَنَةً ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن
مُحَمَّداً – صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلَّمَ- خَانَ
الرِّّسَالَةَ ؛ ِلأََنَّ اللهَ يَقُولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ } فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلاَ يَكُونُ اليَوْمَ
دِيْناً )الاعتصام بالكتاب والسنة, للشاطبي)
“Barangsiapa
melakukan bid’ah dalam Islam yang ia pandang sebagai bid’ah
hasanah, berarti ia mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati kerasulan beliau. Sebab Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian…” (Al
Ma’idah: 3). Karenanya, apa pun yang hari itu tidak dianggap sebagai
ajaran agama, maka hari ini pun bukan termasuk ajaran agama. (Al I’tisham bil Kitab was Sunnah, oleh Imam Asy Syathiby).
Kemudian Imam Malik meletakkan sebuah kaidah agung, yang merupakan intisari dari perkataan para ulama yang tadi kita sebutkan:
لَنْ
يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا ؛
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً لاَ يَكُونُ اليَوْمُ دِيْناً (الشفا في حقوق المصطفي, للقاضي عياض 2/88)
“Generasi terakhir umat ini tak akan menjadi baik (shaleh), kecuali
dengan apa-apa yang menjadikan generasi pertamanya baik. Karenanya, apa
pun yang pada hari itu –saat turunnya surat Al Ma’idah ayat 3– tidak
dianggap sebagai agama, maka hari ini pun juga bukan bagian dari agama” (Asy Syifa fi Huquuqil Musthafa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh).
Kami rasa, nukilan-nukilan di atas cukup gamblang dalam menggambarkan
manhaj salaf yang menjadi tolok ukur kita dalam menilai mana bid’ah mana
sunnah, dan mana haq mana batil.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) Sengaja kami menyebutnya dengan kamus bahasa Arab yang kredibel,
agar kita tidak sembarangan menukil makna suatu kalimat. Seperti yang
dilakukan oleh Novel ketika mendefinisikan bid’ah dengan menukil dari
kamus Al Munjid (Mana Dalilnya 1,
hal 13). Padahal kamus ini ditulis oleh seorang pendeta katholik sekte
Yesuit yang bernama Louis Ma’louf!! Lantas bagaimana kita hendak
mempercayai tulisannya kalau narasumbernya saja seperti ini, laa haula walaa quwwata illa billaah…
[2]) An Nihayah fi Ghariebil Hadits wal Atsar, 2/981. Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy dalam Taajul ‘Aruus (kamus
Arab terbesar & terlengkap dalam sejarah, terdiri dari 35 jilid)
lihat dalam bab Fa’ (ف), kata ‘sa-la-fa (سلف)’.
[3]) hal 146 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Islamiyyah wal Auqaf, Saudi Arabia.
[4]) Lihat kitab Al Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam, 1/200 tulisan As Saif Al Aamidy cet. Al Maktabul Islamy. Demikian pula dalam Al Mankhul min Ta’lieqaatil Ushuul, 1/401 tulisan Al Ghazali, cet. Daarul Fikr.
[5]) Begini menurut versi terjemahan Depag, akan tetapi dalam Tafsir Al Baghawy disebutkan
makna lainnya yang lebih jelas, seperti: jika mereka (ahli kitab)
beriman dengan iman kalian, mentauhidkan Allah dengan tauhid kalian,
berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
Sedang dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
« فَإِنْ ءَامَنُوُاْ » بسبب مثل الأسباب التي أرشدتكم أنتم إلى الإيمان فقد اهتدوا
“Jika mereka beriman dengan menempuh sebab-sebab yang telah
menghantarkan kalian kepada Iman (yang sesungguhnya), berarti mereka
telah mendapat petunjuk”.
[6] H.R. Bukhari dalam Shahih-nya, no 1597; dan Muslim dalam Shahih-nya, no 1270 dari sahabat Ibnu ‘Umar.
[7]) Artinya: “(salam sejahtera) atasmu dan atas ibumu”.
[8]) Riwayat ini menjelaskan bahwa para salaf menolak adanya bid’ah yang baik dalam agama.
[9]) Riwayat ini dinyatakan gharieb oleh At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 18/56; dinyatakan jayyid (hasan) menurut Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatu Al Ahaadiets Adh Dha’iefah no
891. Dalam komentarnya Syaikh Al Albani mengatakan: “Lihatlah,
bagaimana Ibnu ‘Umar mengingkari penempatan shalawat (salam) kepada Nabi disamping hamdalah dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak
pernah melakukan yang demikian itu; padahal beliau menyatakan bahwa
dirinya sendiri mengucap hamdalah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan beliau hendak menolak anggapan yang mungkin muncul di benak sebagian orang, bahwa beliau mengingkari ucapan shalawat (salam) secara
mutlak. Persis sebagaimana anggapan sebagian orang jahil ketika
menyaksikan para pembela Sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah semacam ini,
orang-orang jahil itu menuduh mereka mengingkari shalawat atas Nabi…
semoga Allah memberi hidayah kepada mereka! (idem, 2/390).
[10]) Mengomentari
jawaban Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar diatas, Al Imam Al Hafizh Ibnul
Qayyim berkata: “Begitulah cara ulama menjawab. Tidak seperti jawaban
orang yang mengatakan bahwa ‘Utsman dan Abu Dzar -umpamanya- lebih tahu
mengenai Rasulullah dari pada kita… Mengapa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar
tidak mengatakan: “Abu Bakar dan Umar lebih tahu mengenai Rasulullah
dari pada kami”…? Demikian pula tak seorang pun dari sahabat atau
tabi’in yang rela dengan jawaban seperti ini sebagai alasan untuk
menolak sebuah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu karena mereka lebih tahu mengenai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan lebih takut kepada-Nya kalau mereka sampai berani mendahulukan
pendapat seseorang yang tidak ma’shum di atas pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum” (lihat Zaadul Ma’aad, 2/178)
[11])
Lihat Sunan Abu Dawud, kitab: Assunnah, bab: Luzuumus Sunnah, hadits no
4611. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud. Demikian pula dishahihkan oleh sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham, hal 25.
[12])
Memang benar apa yang beliau katakan. Seorang pelaku maksiat bagaimana
pun juga pasti merasa dirinya bersalah. Karena dihantui rasa bersalah
tadi, ia akhirnya terdorong untuk bertaubat. Tapi, lain halnya dengan
pelaku bid’ah yang tidak pernah merasa bersalah, bahkan merasa lebih
shaleh dari orang lain. Kalaulah tidak karena rahmat dan hidayah Allah,
mustahil orang seperti ini akan bertaubat.
[13]) Para salaf biasa menyebut aqidah dengan istilah sunnah, dan ini termasuk salah satu makna sunnah.
Sumber: https://muslim.or.id/7259-ini-dalilnya-2-jadikan-manhaj-salaf-sebagai-rujukan.html