Membongkar Kedok Sufi: Ilmu Laduni
Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425
Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425
Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin)
tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat
erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya.
Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak
sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada
tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan
sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya
secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan
dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh
ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian?
Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan
tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu
Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam
karya-karya tulis mereka sendiri.
1. Al Ghazali dalam
kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya
tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas
seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak
tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari
tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga
(sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan
malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara
mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul
Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al Busthami
berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami
mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti
kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al
Mizan: 1/28)
3. Ibnu Arabi berkata:
“Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat.
Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil
ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.”
(Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan
sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa
Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan
ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau
seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari
penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia
berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan
dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi.
Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak
membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan
hatinya." (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits
atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong
kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu
dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik
dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan
kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari
ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut
kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir
hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus
(ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ
يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu
diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat
manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ
يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus
kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita
gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa
Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus,
maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah 'Azza wa jalla
berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ
مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
(artinya) “Kami
tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu
(Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah shallallahu'alaihi
wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ
تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari
ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan
Ahmad)
Adapun keyakinan kaum
sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya
rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan
Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan
musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan
pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang
pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari
seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah
mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي
أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang
mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang
ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى
مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾
يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku
beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada
tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada
syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum
sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan
ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad
shallallahu'alaihi wa sallam:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ
قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ
فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham.
Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi:
“Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat
seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena
dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh
diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi.
Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran
hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ
أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74,
beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya
tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy
Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh
Dha’ifah no 1227)
(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi
31/II/I/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli “Tasawuf Dan
Ilmu Laduni”. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.) Sumber: Abuyahya8211.wordpress.com
Ilmu Laduni, Antara Hakikat dan Khurafat
Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa.
Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan
pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dengan penuh kesadaran dan pengertian. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.” (an-Nahl: 78)
Pada hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah “Ilmu Laduni” artinya ilmu yang
berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Para malaikatnya pun berkata, “Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami.” (al-Baqarah: 32).
Ilmu laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian.
o
Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy ).
o
Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
Bagian pertama (didapat tanpa belajar) terbagi menjadi dua
macam:
1. Ilmu Syar’iat
Yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu
tasyri’), baik yang langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala maupun yang
menggunakan perantaraan malaikat Jibril 'alaihissalam. Jadi semua wahyu yang
diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam 'alaihissalam hingga nabi kita
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima
oleh Nabi Musa 'alaihissalam dari Nabi Khidlir 'alaihissalam. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman tentang Khidhir 'alaihissalam, “Yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.” (al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam al
Bukhari, Nabi Khidlir 'alaihissalam berkata kepada Nabi Musa
'alaihissalam, “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu
Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan
engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu
yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini
sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap
mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.
2. Ilmu Ma’rifat
(hakikat)
Yaitu ilmu tentang
sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib)
atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada
hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan
dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak
boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah
termaktub di dalam mushaf al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di
sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua : ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah
ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru.
Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah
hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.
Khurafat Shufi
Istilah “ilmu laduni” secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari)
oleh virus khurafat shufiyyah. Sekelompok shufi mengatakan bahwa:
♦ Ilmu laduni” atau kasyf
adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah Subhanahu waTa'ala kepada para
wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits (sunnah), tidak bisa mendapatkannya.
♦ Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama
daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi
Khidlir 'alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa 'alaihissalam adalah
ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir 'alaihissalam adalah ilmu kasyf
(hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid al-Busthami (261 H.) mengatakan, “Seorang
yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa
yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang
mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan
tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
♦ Ilmu syari’at (Al-Qur’an
dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa
sampai kepada Allah Subhanahu waTa'ala.
♦ Dengan ilmu laduni saja
sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak
kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah
Subhanahu waTa'ala, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abdul Karim
al-Jiliy mengarang kitab al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan
Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
♦ Untuk menafsiri ayat
atau untuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad
(riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan
mereka, “Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau “Aku
diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara
apapun.” Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits,
dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa
mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf
(tasawwuf).
Bantahan Singkat Terhadap Kesesatan di atas
→ Kasyf atau ilham tidak
hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk
dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ilham. Abu Bakar radhiyallahu
'anhu diilhami oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa anak yang sedang dikandung
oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau
(menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam
mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal
shalih yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dunia ini. Jadi tidak ada
dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum,
seperti sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Barangsiapa
mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang
belum ia ketahui.” (al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
dari Anas radhiyallahu 'anhu, hadits dhaif).
→ Yang benar menurut
Ahlusunnah wal Jama’ah adalah Nabi khidir 'alaihissalam memiliki syari’at
tersendiri sebagaimana Nabi Musa 'alaihissalam. Bahkan Ahlussunnah sepakat
kalau Nabi Musa 'alaihissalam lebih utama daripada Nabi Khidhir 'alaihissalam
karena Nabi Musa 'alaihissalam termasuk Ulul ‘Azmi (lima Nabi yang memiliki
keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh 'alaihissalam, Ibrahim
'alaihissalam, Musa 'alaihissalam, Isa 'alaihissalam dan Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam).
→ Adapun pernyataan Abu
Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu
'alaihi wasallam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), al-Qur’an dan
as-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami al-Kitab dan
as-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam yang mengambil ilmu langsung dari Allah Subhanahu
waTa'ala kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
→ Anggapan bahwa ilmu
syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk
merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan.
Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari cahaya
Islam.
→ Anggapan bahwa dengan
“ilmu laduni’ sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama
Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir al-Jailani mengatakan, “Setiap
hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
→ Inilah penyebab lain
bagi kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan dalam tasawwuf
yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang menyebabkan
orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap masalah
karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam menilai
hadits, dua metode bid’ah yang menyesatkan.
Tiada kebenaran kecuali apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan difaqihkan (difahamkan) dalam agama ini.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Thabrani, al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan).
Abu Hamzah As-Sanuwi
Maraji:
o al-Fathur Rabbaniy, Abdul Qadir
al-Jailani (hal. 159, 143, 232).
o al-Fatawa al-Haditsiyah, al-Haitamiy
(hal. 128, 285, 311).
o Ihya ‘Ulumuddin, al-Ghazali (jilid
3/22-23) dan (jilid 1/71).
o at-Tasawwuf, Muhammad Fihr Shaqfah (hal.
26, 125, 186, 227).
o Fathul Bariy, Ibnu Hajar al-Asqalaniy
(I/141, 167).
o Fiqhut Tasawwuf, Ibnu Taimiah (218).
o Mawaqif Ahlusunnah, Utsman Ali Hasan
(60, 76).
o al-Hawi, Suyuthiy (2/197).
From <http://faisalchoir.blogspot.co.id/2016/04/membongkar-kedok-sufi-ilmu-laduni.html>