Islam Pedoman Hidup: Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah

Rabu, 04 November 2015

Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah

1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah ta’ala merupakan jalan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. ‘Sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui jalan kamu lebih baik bagimu daripada onta merah (pilihan)’. Pahala akan diperoleh hanya dengan berdakwah, tidak terkait dengan respon (objek dakwah).Juru dakwah tidak dituntut untuk merealisasikan kemenangan agama Islam karena hal ini adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi, juru dakwah dituntut untuk mencurahkan segala kemampuannya dalam berdakwah.
Bagi juru dakwah, mempersiapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sementara dakwah merupakan salah satu bentuk jihad. Oleh karena itu, terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.
2. Menegaskan dan memperdalam manhaj As-Salafush-Shaalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang terkenal dengan wasathiyyah(pertengahan), syumuliyyah (universal), i’tidal (moderat), serta jauh dari ifrath(berlebihan) dan tafrith (melalaikan).
Landasannya adalah ilmu syar’iy yang konsisten terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran – dengan anugerah Allah – dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.
3. Berupaya mewujudkan Jama’atul-Muslimin (jama’ah kaum muslimin) dan menyatukan kalimat mereka di atas kebenaran, yang bersumber dari manhaj yang menyatakan : “Kalimatut-Tahiid (Laa ilaha illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan barisan(كلمة التوحيد أساس توحيد الكلمة)”. Selain itu, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat memecah-belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini seperti tahazzub(berpartai-partai) yang tercela, yang mencerai-beraikan barisan kaum muslimin, bahkan menjauhkan antara hati mereka.
Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah dakwah yang mengajak kepada jalan Allah adalah jama’ah dari kaum muslimin (jama’atun minal-muslimiin), bukan Jama’ah Kaum Muslimin (Jama’atul-Muslimiin).
4. Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh. Sebab, kebenaran akan kekal sedangkan tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu, niscaya engkau akan mengenal penganutnya.
5. Menyeru untuk saling tolong-menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat mewujudkannya serta menjauhi dari khilaf (perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Hendaknya satu sama lain harus tolong-menolong dan nasihat-menasihati dalam hal yang kita perselisihkan selama hal tersebut dalam masalah khilafiyyah dengan tanpa saling membenci.
Prinsip yang harus ditegakkan di antara kelompok-kelompok Islam adalah saling bekerjasama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, hendaknya senantiasa tolong-menolong. Jika itu juga tidak dapat diwujudkan, hendaknya hidup damai dan berdampingan. Jika itu pun juga tidak, maka pilihan yang keempat adalah kebinasaan.
6. Tidak fanatik terhadap jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tafrith.
7. Perselisihan dalam masalah furu’ (cabang-cabang) syari’at menuntut sikap lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.
8. Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinu, dan evaluasi yang berkesinambungan.
9. Belajar adab berselisih pendapat dan memperdalam dasar-dasar diskusi, serta menyatakan bahwa kedua-duanya penting dan perlu sehingga harus dimiliki sarananya.
10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini, serta jauh dari sikap tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi. Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan makna-makna (yang tersirat), bukan dari yang tersurat (الحكم على المعاني دون المباني).
11. Membedakan antara tujuan dan sarana. Misalnya : Dakwah adalah tujuan; sedangkan pergerakan, jama’ah, markaz, dan lain-lain merupakan sarana.
12. Teguh dalam tujuan dan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai dengan yang diperbolehkan syari’at.
13. Memperhatikan masalah prioritas dan menyusun segala sesuatu secara berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika ada suatu masalah sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat, dan kondisi yang tepat.
14. Tukar-menukar pengalaman di antara juru dakwah adalah hal yang penting – di samping itu, dapat membangun bangunan berdasarkan pengalaman orang lain. Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai dakwahnya dari nol. Bukanlah dia orang yang pertama tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga bukan orang yang terakhir. Sebab, sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak perlu nasihat dan petunjuk, juga tidak akan ada orang yang memonopoli seluruh kebenaran atau sebaliknya.
15. Menghormati para ulama umat yang dikenal dengan konsistensinya terhadap ‘As-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya, menghormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatik kepadanya, dan tidak menuduh mereka. Sebab, setiap ulama ada benar dan salahnya. Kesalahan dari ulama tersebut ditolak, tanpa mengurangi kehormatan dan kedudukannya, selama dia seorang mujtahid.
16. Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada pengertian yang terbaik serta menutup cacat mereka, tanpa melalaikan untuk memberikan keterangan/penjelasan (nasihat) kepada orang yang bersangkutan.
17. Jika kebaikan seseorang lebih banyak, janganlah disebut kejelekannya, kecuali jika ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, janganlah kebaikannya disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.
18. Menggunakan kata-kata yang syar’i karena lebih tepat dan sesuai, serta menjauhi kata-kata asing dan pelik. Seperti menggunakan musyawarah (syuuraa), bukan demokrasi.
19. Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqh adalah bahwasannya madzhab-madzhab tersebut merupakan kekayaan fiqh yang agung. Oleh sebab itu, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil manfaat darinya, dan tidak fanatik serta menolaknya secara keseluruhan. Hendaknya kita menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil yang haq dan benar menurut tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafush-shaalih.
20. Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia Barat dan peradabannya, yaitu dengan mengambil manfaat dan ilmu pengetahuan empiris sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.
21. Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqh musyawarah.
22. Suri tauladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahnya.
23. Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang baik serta menjadikan firman Allah berikut ini sebagai neraca dalam berdakwah dan himah untuk diikuti.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [QS. An-Nahl : 125].
24. Berhias diri dengan kesabaran, karena itu merupakan sifat dari para Nabi dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.
25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit/keras) dan berhati-hati dari penyakit tasyadduddan akibatnya yang negatif. Selain itu, berbuat kemudahan dan lemah-lembut dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at.
26. Seorang muslim selalu mencari kebenaran. Keberanian mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika engkau lemah untuk mengatakan yang benar, maka janganlah mengatakan yang bathil.
27. Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif, serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.
28. Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan tidak menyebarkannya. Selain itu, waspada terhadap hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.
29. Barometer keistimewaan seseorang adalah taqwa dan amal shalih, serta mengesampingkan segala fanatisme jahiliyyah; seperti fanatisme daerah, keluarga, kelompok, maupun jama’ah.
30. Manhaj (metode) yang afdlal dalam berdakwah adalah memulai dengan mengemukakan hakekat Islam dan manhajnya, bukan mendatangkan syubhat lalu membantahnya. Kemudian, memberikan kepada manusia neraca kebenaran, mengajak mereka pada pokok-pokok agama, dan berbicara menurut kemampuan akal pikiran mereka. Mengetahui celah untuk memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada mereka.
31. Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa berpegang teguh kepada syari’at Allah ta’ala, bersungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan, meminta pertolongan kepada Allah ta’ala, serta meyakini bahwa Allah-lah yang membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah. Dia-lah yang akan melimpahkan taufiq bagi para da’i. Sesungguhnya agama dan segala urusan hanya milik Allah ta’ala.
Itulah beberapa kaidah dan landasan dalam berdakwah yang merupakan buah pengalaman kebanyakan ulama dan juru dakwah. Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abu Al-Jauzaa’ – ditulis sambil minum kopi dari buku Al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis-Salafish-Shaalih oleh Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil-Hamiid Al-Atsariy, www.dorar.net – bersama terjemahannya : Intisari ‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (penerjemah : Farid bin Muhammad Bathathiy), Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. 2/1428 H, dengan sedikit perubahan].
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/07/kaidah-dan-landasan-para-juru-dakwah.html