Sehabis
shalat ‘Ashar di masjid kemarin, saya berjalan bersama seorang
teman ketika pulang menuju ruangan kantor. Pada waktu itu kami sempat
membicarakan tentang ‘denda’ 1 dinar atau ½ dinar
bagi mereka (laki-laki) yang berjima’ dengan istrinya saat haidl
belum selesai – akibat ketidaktahuannya. Akhirnya, pembicaraan
pun berakhir ketika pintu lift terbuka dan salah seorang dari kami
keluar menuju ruangan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya
ingin menuliskan fatwa Lajnah Daaimah yang berkaitan dengan itu. Semoga
bermanfaat bagi kita semua.
Pertanyaan :
“Seseorang
menjima’i/mencampuri istrinya dalam keadaan haidl atau telah suci
dari haidl/nifas namun belum mandi – karena ketidaktahuannya;
apakah baginya adakaffarat ?
dan berapa besarnya ? Apabila istrinya hamil dari hasil jima’
tersebut, apakah anak yang dilahirkan darinya disebut anak haram
?”.
Jawab :
Alhamdulillahi wahdah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa rasuulihi wa aalihi wa shahbihi…wa ba’d :
Mencampuri wanita haidl hukumnya haram berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci” [QS. Al-Baqarah : 222].
Barangsiapa
yang melakukan hal itu, wajib baginya untuk meminta ampun dan bertaubat
kepada Allah. Dan hendaknya ia bershadaqah satu dinar atau setengah
dinar sebagai kaffarat (denda) atas perbuatannya itu, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashhaabus-Sunan dengan sanad jayyid, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada orang yang mendatangi (mencampuri) istrinya dalam keadaan haidl :
يتصدق بدينار أو نصف دينار
“Hendaknya ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Kitaabuth-Thaharah no. 137; An-Nasa’i, Kitaabuth-Thaharah no. 289; Abu Dawud, Kitaabun-Nikaah no. 2168; Ibnu Majah, Kitaabuth-Thaharah no. 640; Ahmad 1/363; dan Ad-Daarimiy, Kitaabuth-Thaharah no. 1105].
Ia
bisa memilih satu dinar atau setengah dinar. Satu dinar itu sebanding
dengan 4/7 juneh Saudi. Apabila juneh Saudi dikonversi semisal 70 real,
maka ia harus mengeluarkan 20 real atau 40 real untuk dishadaqahkan
kepada fakir miskin.[1]
Dan
tidak boleh baginya untuk mencampuri istrinya setelah suci –
yaitu berhentinya darah – sebelum ia mandi, berdasarkan firman
Allah ta’ala :
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu” [QS. Al-Baqarah : 222].
Allah
tidak memperkenankan seseorang untuk mencampuri wanita haidl hingga
darahnya berhenti dan kembali suci, yaitu dengan mandi. Barangsiapa
yang mencampuri istrinya sebelum mandi, maka ia berdosa dan wajib
baginya membayar kaffarat.
Apabila
istrinya itu hamil dengan sebab jima’ saat ia haidl atau telah
suci namun belum mandi, tidaklah anaknya tersebut disebut anak haram.
Bahkan ia merupakan anak yang sah menurut syari’at.
Wabillaahit-tafiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua
: ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz; Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq
‘Afifiy; Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan; Anggota :
‘Abdullah bin Qu’uud.
[diterjemahkan oleh Abul-Jauzaa’ dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 5/398-400 – Mauqi’ Ruuhil-Islaam, Al-Ishdaaruts-Tsaaniy].
[1] Apabila 1 (satu) dinar itu sama dengan 4,85 gram emas 21 karat dengan asumsi harga per gramnya Rp 200.000,-; maka kaffarat yang harus dibayarkan – jika dikonversi dalam rupiah – sebesar Rp 970.000,- atau Rp 485.000,-. – Abul-Jauzaa’.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/04/kaffarat-satu-dinar-atau-setengah-dinar.html