Ini
adalah konsekuensi logis bagi kebanyakan mereka yang meniadakan
‘udzur kejahilan secara mutlak dalam perkara syirik akbar. Cara
berpikir mudah, karena mereka meniadakan secara mutlak, maka lawannya
pun dianggap mewujudkannya secara mutlak, semua perkara/kasus dan semua
kondisi. Padahal tidak seperti itu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya[1], beberapa kondisi diberikannya ‘udzur kejahilan adalah:
1. Baru Masuk Islam.
2. Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu (syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
3. Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari ilmu dan ulama.
4. Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
5. Hidup
di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang menyebabkannya
tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih sesuai dengan Al-Kitab
dan As-Sunnah.
6. Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Oleh karena itu, kebalikannya, kondisi tidak diterimanya ‘udzur kejahilan adalah jika orang tersebut tinggal di Daarul-Islaam yang menerapkan hukum-hukum Islam. Maka, jika seorang baligh yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin di Daarul-Islaamtersebut mengaku jahil terhadap permasalahan agama yang masuk al-maa’luum minad-diin bidl-dlaruurah[2] di situ, tidak diberikan ‘udzur. Atau ia hidup di lingkungan ilmu dan ulama.
Dalilnya adalah kisah Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu. Setelah ada kesaksian valid bahwa Qudaamah bin Madh’uun minum khamr:
فَقَالَ
عُمَرُ لِقُدَامَةَ: " إِنِّي حَادُّكَ "، فَقَالَ: لَوْ شَرِبْتَ كَمَا
يَقُولُونَ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تَجْلُدُونِي، فَقَالَ عُمَرُ: " لِمَ؟
"، قَالَ قُدَامَةُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا
اتَّقَوْا وَآمَنُوا الآيَةُ، فَقَالَ عُمَرُ: " أَخْطَأْتَ التَّأْوِيلَ،
إِنَّكَ إِذَا اتَّقَيْتَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ "،
...... فَأَمَرَ بِقُدَامَةَ فَجُلِدَ، ......
‘Umar berkata kepada Qudaamah : “Sesungguhnya aku akan menjatuhkan hukumanhadd kepadamu”.
Qudaamah berkata : “Seandainya aku minum sebagaimana yang mereka
katakan, engkau tidak berhal mencambukku”. ‘Umar berkata :
“Kenapa ?”. Qudaamah berkata : “Allah ta’ala telah berfirman : ‘Tidak
ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang
saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila
mereka bertakwa serta beriman’ (QS. Al-Maaidah
: 93). ‘Umar berkata : “Engkau keliru dalam menakwilkan
ayat tersebut. Seandainya engkau bertaqwa, niscaya engkau jauhi apa
yang diharamkan Allah terhadapmu”…… Kemudian ia
memerintahkan Qudamah untuk dicambuk…. [Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaaq no. 17076; shahih].
‘Umar
tidak mentoleransi ketidaktahuan Qudaamah yang kemudian
menta’wilkan ayat. Hal itu dikarenakan ia hidup di tengah-tengah
masyarakat yang diberlakukan hukum pengharaman khamr. Selain itu, ia
juga pernah menjabat Gubernur Bahrain[3] yang tentunya sangat dimungkinkan baginya untuk mengetahui hukum haramnya khamr.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
فمن
كان من المسلمين يعيش في جو إسلامي علمي مصفى، وجهل من الأحكام ما كان
منها معلوماً من الدين بالضرورة- كما يقول الفقهاء- فهذا لا يكون معذوراً؛
لأنه بلغته الدعوة وأقيمت الحجة.......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah – sebagaimana dikatakan para fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur. Hal itu dikarenakan telah sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah.……” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].
Adapun mengenai ‘udzur kejahilan dalam masalah syirik terkait jenis kasusnya, gambarannya adalah:
“seorang
muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui Allah adalah
ilahnya dan Muhammad adalah Nabinya, ia beriman dan mengakui
ketidakbolehan berbuat syirik dan memalingkan peribadahan/penyembahan
kepada selain Allah, mengakui bahwa menyembah selain Allah termasuk
syirik akbar yang dapat mengeluarkan dari Islam, namun kemudian ia tidak mengetahui bahwa istighatsah
kepada selain Allah yang ia lakukan termasuk kesyirikan, begitu juga
dengan permohonan doa/syafa’at, tabarruk, dan yang lainnya”.[4]
Orang tersebut tidak mengetahui perincian sesuatu yang diwajibkan Allah tentang syarat keikhlasan dalam peribadahan kepada Allah ta’ala. Inilah yang menjadi objek diberikannya ‘udzur kejahilan dalam masalah perincian masalah tauhid dan syirik.
Tentu hal ini berbeda dengan
orang yang tidak mau mengikrarkan wajibnya mentauhidkan Allah dalam
ibadah, atau tidak mengetahui kewajiban mentauhidkan Allah dalam
ibadah, atau tidak mengetahui bahwa berbuat syirik itu termasuk
kekafiran yang dapat mengeluarkan dari Islam.
Oleh
karena itu jika kita tanyakan kepada sebagian kaum muslimin yang
beristighatsah di kuburan, bertawassul, bertabarruk, dan meminta
syafa’at di sana (sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang
Nahdliyyiin di tanah air) : “Kenapa kalian berbuat syirik kepada
Allah ?”. Maka mereka pun menjawab : “Kami berlindung
kepada Allah dari perbuatan syirik”. Mereka marah dengan ucapan[5] kita,
karena mereka menganggap apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari
syari’at Islam yang diperbolehkan dan diperintahkan oleh Allah
ta’ala dan Rasul-Nya.
Bandingkan dengan perkataan orang-orang musyrik saat mereka diajak mentauhidkan Allah ta’ala :
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [QS. Shaad : 5].
Orang-orang
musyrik (kafir asli) yang banyak disebukan dalam Al-Qur’an adalah
orang-orang yang memang tidak mau mentauhidkan Allah, bahkan
mengingkarinya, dan dengan sadar menetapkan penyembahan terhadap
berhala/objek selain Allah.
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ * إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا
تَعْبُدُونَ * قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ
“Dan
bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada
bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?". Mereka menjawab:
"Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya" [QS. Asy-Syu’araa : 69-71].
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan
mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr" [QS. Nuuh : 23].
Orang-orang musyrik itu meyakini bahwa Allah bukanlah tuhan Yang Esa sebagaimana firman-Nya:
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ
اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا
بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ
إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا
“Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al
Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga",
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala
yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi
Pemelihara” [QS. An-Nisaa’ : 171].
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ
ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai
berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
Mereka (kaum musyrikin) pun ‘ngeyel’ bahwa tidak mengapa mensekutukan Allah ta’alasebagaimana tergambar dalam talbiyyah mereka waktu haji:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ
يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ "،
فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ،
يَقُولُونَ: هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Dulu orang-orang musyrik mengatakan : ‘LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilan-Mu wahai Dzat yang tiada sekutu bagi-Mu). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan”. Tapi mereka meneruskan ucapan mereka : ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali
sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai)”.
Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1185].
Sekali lagi pertanyaannya :
“Adakah
keadaan kaum musyrikin tersebut sama dengan kaum muslimin yang terjatuh
dalam sebagian perkara kesyirikan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka
memaksudkannya ?”.
Kesalahan (al-khaththa’) dan kejahilan (jahl)
adalah sama maknanya ditinjau dari segi keyakinan yang berbeda dengan
kenyataan yang seharusnya, atau melakukan perbuatan yang tidak
semestinya dilakukan tanpa bermaksud untuk menyelisihi [Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu, hal. 326]. Sementara itu Allah ta’ala berfirman tentang doa orang mukmin yang melakukan kesalahan:
لا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا
مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].
Dalam Shahiih Muslim, doa tersebut telah Allah kabulkan:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتُرِيدُونَ أَنْ
تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا
وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا،
وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ
ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ
آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ
بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا
اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ " لا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا،
قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah
kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab
(Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami
mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami
taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat,
ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan
mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah
beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan
yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar
dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika
mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu
menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab : ‘Ya’…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
Menyamakan
antara orang-orang musyrik dari kalangan kafir asli dengan kaum
muslimin yang terjatuh dalam kekeliruan karena kejahilan mereka
merupakan kedhaliman[6].
Oleh
karena itu, para ulama memberikan ‘udzur kejahilan dan
ta’wil kepada Taqiyyuddin As-Subkiy, As-Suyuuthiy, Al-Haitsamiy,
dan yang lainnya yang terjatuh dalam perkara tawassul kepada para wali,
beristighatsah dengan mereka, dan yang lainnya [Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah,
1/292]. Tidak ada ulama yang mengkafirkannya dan menghukumi mereka
sebagai musyrik – meski ketergelinciran mereka adalah dalam
masalah syirik - , kecuali ada yang akan memulainya di masa sekarang.
Kekeliruan
mereka (para ulama tersebut dan pengikutnya yang taqlid kepada mereka)
adalah diantaranya karena adanya syubhat dalam memahami ayat:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ
أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan
kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat
lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 64].
Mereka menyangka dengan ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya memohon ampun dengan perantaraan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena meyakininya beliau masih hidup di dalam kuburnya[7] dan dapat mendengarkan[8] doa orang yang masih hidup. Ditambah beberapa syubhat beberapa riwayat lemah semisal kisah ‘Utbiy[9] dan Al-Imaam Maalik bin Anas yang berdoa menghadap kubur Nabi seraya menganjurkan memohon syafa’at kepada beliau[10] [lihat selengkapnya : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 429-437].
Semua syubhat ini tidak benar dan telah dijawab oleh para ulama kita, walhamdulillah.
Jika yang semisal As-Subkiy, Al-Hatsamiy, dan As-Suyuthiy diberikan ‘udzur oleh para ulama[11] atas
kesalahan ijtihad mereka, lantas bagaimana dengan orang-orang yang
kedudukannya lebih rendah daripada mereka yang tidak mempunyai
kapasitas intelektual dan penelaahan seperti mereka ?[12]. Orang-orang ini menyangka telah melaksanakan firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Yaitu bertanya kepada kiyai, ulama, dan merujuk pada referensi yang ada – meski ternyata mereka salah. Kembali
ke pokok permasalahan dalam judul, pemberian ‘udzur kejahilan ini
tidak mutlak. Tidak akan mungkin diberikan udzur kejahilan pada orang
yang tidak mengetahui eksistensi Allah[13].
Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada orang yang sujud
kepada matahari, bulan, dan patung/berhala karena perbuatan ini tidak
mengandung pengertian lain selain beribadah kepadanya[14], dan ini kekafiran berdasarkan ijmaa’ [lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad,
hal. 439]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada orang
yang mengakui, mengikrarkan, dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi yang wajib diikuti. Hal ini dikarenakan kejahilan tersebut
mencabut pokok syahadat beserta akar-akarnya.
Maka,
keliru orang yang menganggap jika kita memberikan ‘udzur
kejahilan dalam masalah kufur akbar dan syirik akbar, ini berlaku
secara mutlak, asal ada yang mengaku tidak tahu, maka diterima.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga dapat menjadi gambaran.
Wallaahu a’lam.
Tulisan ini banyak mengambil faedah dari:
1. Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417.
2. Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy; Daarul-Muslim, Cet. 2/1422.
3. Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy; Namaa For Research and Studies Center, Cet. 1/2012 M.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 26122014 – 01:48].
[2] Silakan baca artikel terkait:
Kekeliruan Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Memutlakkan Perkara Al-Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah.
أَنَّ
عُمَرَ اسْتَعْمَلَ قُدَامَةَ بْنَ مَظْعُونٍ عَلَى الْبَحْرَيْنِ وَكَانَ
شَهِدَ بَدْرًا وَهُوَ خَالُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَحَفْصَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Bahwasannya
‘Umar memperkerjakan Qudaamah bin Madh’uun sebagai Gubernur
di Bahrain. Ia (Qudaamah) turut serta dalam perang Badr, dan merupakan
paman dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Hafshah radliyallaahu ‘anhum” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4012].
[4] Lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 422 dan Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy, hal. 28.
[6] Silakan baca penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah di :http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146056.
Juga artikel : Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur.
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
“Para Nabi hidup di kubur-kubur mereka melaksanakan shalat” [Shahiihul-Jaami’ no. 2790].
[8] Ini merupakan cabang permasalahan apakah mayit dapat mendengar. Silakan baca bahasan : Orang Mati Tidak Bisa Mendengar.
[10] Silakan baca pembahasannya dalam artikel : Anjuran Al-Imam Maalik bin Anas untuk Berdoa Menghadap Kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
المؤمن
بالله ورسوله باطنا وظاهرا الذي قصد اتباع الحق وما جاء به الرسول إذا
أخطأ ولم يعرف الحق كان أولى أن يعذره الله في الآخرة من المتعمد العالم
بالذنب فإن هذا عاص مستحق للعذاب بلا ريب وأما ذلك فليس متعمدا للذنب بل
هو مخطىء والله قد تجاوز لهذه الأمة عن الخطأ والنسيان
"Seorang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhahir dan batin serta
berniat untuk mengikuti kebenaran dan apa-apa yang diturunkan kepada
Rasul; maka apabila ia bersalah dan belum mengerti kebenaran, maka dia
lebih utama untuk Allah berikan ‘udzur di akhirat daripada orang
yang telah mengetahui (kebenaran) namun sengaja melakukan dosa. Orang
kedua ini adalah orang yang telah bermaksiat yang berhak diadzab tanpa
ada keraguan. Adapun orang pertama, maka ia bukan orang yang sengaja
melakukan dosa, namun ia hanyalah seorang yang tersalah. Dan Allah
telah memaafkan umat ini dari kesalahan dan lupa yang mereka
lakukan” [Minhajus-Sunnah, 5/250].
وقد
اتفق أهل السنة والجماعة على أن علماء المسلمين لا يجوز تكفيرهم بمجرد
الخطأ المحض، بل كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وليس كل من يترك بعض كلامه لخطأ أخطأه يكفر ولا يفسق، بل ولا يأثم،
فإن الله تعالي قال في دعاء المؤمنين رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن
نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا وفي الصحيح عن النبي صلى الله عليه
وسلم:(أن الله تعالي قال: قد
فعلت).
“Dan
Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh
dikafirkan atas sebab kesalahan murni. Bahkan setiap orang boleh
diambil ataupun ditinggalkan perkataannya kecuali Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah setiap orang yang
ditinggalkan sebagian perkataannya karena kesalahannya dapat dikafirkan
atau difasiqkan. Bahkan, (mungkin saja) ia tidak berdosa; karena Allah ta’ala telah berfirman tentang doanya orang mukminin : “Wahai
Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau salah”
(QS. Al-Baqarah : 286). Dan dari kitab Ash-Shahiih, dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya Allah
ta’ala telah berfirman (tentang doa tersebut) : Telah Aku lakukan
(yaitu mengampunimu)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/100].
إن
استفرغ وسعه في طلب الحق فإن الله يغفر له خطأه وإن حصل منه نوع تقصير فهو
ذنب لا يجب ان يبلغ الكفر وإن كان يطلق القول بأن هذا الكلام كفر كما أطلق
السلف الكفر على من قال ببعض مقالات الجهمية مثل القول بخلق القرآن أو
إنكار الرؤية أو نحو ذلك مما هو دون إنكار علو الله على الخلق وأنه فوق
العرش فإن تكفير صاحب هذه المقالة كان عندهم من أظهر الأمور فإن التكفير
المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه
الحجة التي تكفر تاركها
“Apabila
ia telah mengerahkan segala daya upayanya dalam mencari kebenaran,
niscaya Allah akan mengampuni kesalahannya. Dan jika terdapat
kekurangan (dalam hal kesungguhannya), maka ini merupakan suatu dosa
yang tidak mengharuskan sampai pada tingkat kekafiran, meskipun
perkataan tersebut secara mutlak adalah perkataan kufur. Sebagaimana
kaum salaf memutlakkan kekafiran kepada siapa saja yang berkata dengan
sebagian perkataan Jahmiyyah; seperti perkataan Khalqul-Qur’aan (Al-Qur’an
adalah makhluk), atau mengingkari ru’yah (melihat kepada Allah
kelak di akhirat), atau yang lainnya selain dari pengingkaran terhadap
ketinggian Allah di atas para makhluk-Nya, dan bahwasannya Ia di atas
‘Arsy - karena sesungguhnya pengkafiran terhadap orang yang
mengatakan perkataan-perkataan ini menurut mereka (salaf) termasuk dari
hal-hal yang paling jelas. Dan sesungguhnya pengkafiran secara muthlak
seperti halnya ancaman secara mutlak yang tidak melazimkan pengkafiran
secara mu’ayyan (individu), hingga tegak padanya hujjah yang mana bisa mengkafirkan orang yang meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, 1/164]
وإذا
تبين هذا، فمن ترك بعض الإيمان الواجب لعجزه عنه، إما لعدم تمكنه من
العلم، مثل ألا تبلغه الرسالة، أو لعدم تمكنه من العمل ـ لم يكن مأمورًا
بما يعجز عنه، ولم يكن ذلك من الإيمان والدين الواجب في حقه، وإن كان من
الدين والإيمان الواجب في الأصل، بمنزلة صلاة المريض، والخائف،
والمستحاضة، وسائر أهل الأعذار، الذين يعجزون عن إتمام الصلاة، فإن صلاتهم
صحيحة بحسب ما قدروا عليه، وبه أمروا إذ ذاك، وإن كانت صلاة القادر على
الإتمام أكمل وأفضل
"Apabila
hal ini telah jelas, maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian
keimanan yang wajib karena ketidakmampuannya, apakah karena tidak mampu
untuk mendapatkan pengetahuan seperti tidak sampainya risalah kenabian,
atau tidak mampu untuk mengamalkannya ; maka ia tidak diperintahkan
dengan apa-apa yang dia tidak mampu. Dan hal ini tidak termasuk
keimanan dan dien yang wajib pada dirinya, walaupun pada asalnya hal
itu termasuk dien dan keimanan yang wajib seperti shalatnya orang yang
sakit, shalatnya orang yang takut, shalatnya mustahadlah (wanita yang
terus menerus mengeluarkan darah selain hari-hari haidlnya –
akibat penyakit/sakit), dan selain mereka dari orang-orang yang
mendapatkan ‘udzur yang
tidak mampu untuk menyempurnakan shalat. Shalatnya tetap sah sesuai
dengan kemampuannya. Dan dengan itulah mereka diperintahkan pada waktu
itu, walaupun shalatnya orang yang mampu untuk menyempurnakan lebih
sempurna dan afdlal"[Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/478-479].
[13] Abu Haniifah rahimahullah berkata: “Tidak ada ‘udzur bagi seorang pun atas kejahilannya tentang Penciptanya (Allah), karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabbsubhaanahu wa ta’ala dan
mengesakan-Nya, berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan
bumi, penciptaan dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang
lain. Adapun perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum
mengetahuinya dan ilmunya belum sampai kepada dirinya, maka hujah
secara hukum belum tegak atas dirinya” [Badaai’ush-Shanaa’i’, 9/521].
[14] Sebagai suplemen, silakan baca juga artikel : Sujud kepada Manusia dalam Rangka Penghormatan.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/12/kekeliruan-analisa-peniadaan-udzur.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/12/kekeliruan-analisa-peniadaan-udzur.html