Islam Pedoman Hidup: Kekeliruan Analisa Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Sangkaan Mereka bahwa ‘Udzur Diberikan Secara Mutlak untuk Semua Kasus Kesyirikan

Selasa, 17 November 2015

Kekeliruan Analisa Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Sangkaan Mereka bahwa ‘Udzur Diberikan Secara Mutlak untuk Semua Kasus Kesyirikan

Ini adalah konsekuensi logis bagi kebanyakan mereka yang meniadakan ‘udzur kejahilan secara mutlak dalam perkara syirik akbar. Cara berpikir mudah, karena mereka meniadakan secara mutlak, maka lawannya pun dianggap mewujudkannya secara mutlak, semua perkara/kasus dan semua kondisi. Padahal tidak seperti itu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya[1], beberapa kondisi diberikannya ‘udzur kejahilan adalah:
1.     Baru Masuk Islam.
2.     Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu (syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
3.     Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari ilmu dan ulama.
4.     Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
5.     Hidup di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang menyebabkannya tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
6.     Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Oleh karena itu, kebalikannya, kondisi tidak diterimanya ‘udzur kejahilan adalah jika orang tersebut tinggal di Daarul-Islaam yang menerapkan hukum-hukum Islam. Maka, jika seorang baligh yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin di Daarul-Islaamtersebut mengaku jahil terhadap permasalahan agama yang masuk al-maa’luum minad-diin bidl-dlaruurah[2] di situ, tidak diberikan ‘udzur. Atau ia hidup di lingkungan ilmu dan ulama.
Dalilnya adalah kisah Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu. Setelah ada kesaksian valid bahwa Qudaamah bin Madh’uun minum khamr:
فَقَالَ عُمَرُ لِقُدَامَةَ: " إِنِّي حَادُّكَ "، فَقَالَ: لَوْ شَرِبْتَ كَمَا يَقُولُونَ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تَجْلُدُونِي، فَقَالَ عُمَرُ: " لِمَ؟ "، قَالَ قُدَامَةُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا الآيَةُ، فَقَالَ عُمَرُ: " أَخْطَأْتَ التَّأْوِيلَ، إِنَّكَ إِذَا اتَّقَيْتَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ "، ...... فَأَمَرَ بِقُدَامَةَ فَجُلِدَ، ......
 ‘Umar berkata kepada Qudaamah : “Sesungguhnya aku akan menjatuhkan hukumanhadd kepadamu”. Qudaamah berkata : “Seandainya aku minum sebagaimana yang mereka katakan, engkau tidak berhal mencambukku”. ‘Umar berkata : “Kenapa ?”. Qudaamah berkata : “Allah ta’ala telah berfirman : ‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman’ (QS. Al-Maaidah : 93). ‘Umar berkata : “Engkau keliru dalam menakwilkan ayat tersebut. Seandainya engkau bertaqwa, niscaya engkau jauhi apa yang diharamkan Allah terhadapmu”…… Kemudian ia memerintahkan Qudamah untuk dicambuk…. [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 17076; shahih].
‘Umar tidak mentoleransi ketidaktahuan Qudaamah yang kemudian menta’wilkan ayat. Hal itu dikarenakan ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang diberlakukan hukum pengharaman khamr. Selain itu, ia juga pernah menjabat Gubernur Bahrain[3] yang tentunya sangat dimungkinkan baginya untuk mengetahui hukum haramnya khamr.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
فمن كان من المسلمين يعيش في جو إسلامي علمي مصفى، وجهل من الأحكام ما كان منها معلوماً من الدين بالضرورة- كما يقول الفقهاء- فهذا لا يكون معذوراً؛ لأنه بلغته الدعوة وأقيمت الحجة.......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah – sebagaimana dikatakan para fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzurHal itu dikarenakan telah sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah.……” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].
Adapun mengenai ‘udzur kejahilan dalam masalah syirik terkait jenis kasusnya, gambarannya adalah:
“seorang muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui Allah adalah ilahnya dan Muhammad adalah Nabinya, ia beriman dan mengakui ketidakbolehan berbuat syirik dan memalingkan peribadahan/penyembahan kepada selain Allah, mengakui bahwa menyembah selain Allah termasuk syirik akbar yang dapat mengeluarkan dari Islam, namun kemudian ia tidak mengetahui bahwa istighatsah kepada selain Allah yang ia lakukan termasuk kesyirikan, begitu juga dengan permohonan doa/syafa’at, tabarruk, dan yang lainnya”.[4]
Orang tersebut tidak mengetahui perincian sesuatu yang diwajibkan Allah tentang syarat keikhlasan dalam peribadahan kepada Allah ta’ala. Inilah yang menjadi objek diberikannya ‘udzur kejahilan dalam masalah perincian masalah tauhid dan syirik.
Tentu hal ini berbeda dengan orang yang tidak mau mengikrarkan wajibnya mentauhidkan Allah dalam ibadah, atau tidak mengetahui kewajiban mentauhidkan Allah dalam ibadah, atau tidak mengetahui bahwa berbuat syirik itu termasuk kekafiran yang dapat mengeluarkan dari Islam.
Oleh karena itu jika kita tanyakan kepada sebagian kaum muslimin yang beristighatsah di kuburan, bertawassul, bertabarruk, dan meminta syafa’at di sana (sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang Nahdliyyiin di tanah air) : “Kenapa kalian berbuat syirik kepada Allah ?”. Maka mereka pun menjawab : “Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik”. Mereka marah dengan ucapan[5] kita, karena mereka menganggap apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari syari’at Islam yang diperbolehkan dan diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya.
Bandingkan dengan perkataan orang-orang musyrik saat mereka diajak mentauhidkan Allah ta’ala :
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [QS. Shaad : 5].
Orang-orang musyrik (kafir asli) yang banyak disebukan dalam Al-Qur’an adalah orang-orang yang memang tidak mau mentauhidkan Allah, bahkan mengingkarinya, dan dengan sadar menetapkan penyembahan terhadap berhala/objek selain Allah.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ * إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ * قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?". Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya" [QS. Asy-Syu’araa : 69-71].
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr" [QS. Nuuh : 23].
Orang-orang musyrik itu meyakini bahwa Allah bukanlah tuhan Yang Esa sebagaimana firman-Nya:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara” [QS. An-Nisaa’ : 171].
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
Mereka (kaum musyrikin) pun ‘ngeyel’ bahwa tidak mengapa mensekutukan Allah ta’alasebagaimana tergambar dalam talbiyyah mereka waktu haji:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ "، فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يَقُولُونَ: هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Dulu orang-orang musyrik mengatakan : ‘LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilan-Mu wahai Dzat yang tiada sekutu bagi-Mu). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan”. Tapi mereka meneruskan ucapan mereka : ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai)”. Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1185].
Sekali lagi pertanyaannya :
“Adakah keadaan kaum musyrikin tersebut sama dengan kaum muslimin yang terjatuh dalam sebagian perkara kesyirikan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka memaksudkannya ?”.
Kesalahan (al-khaththa’) dan kejahilan (jahl) adalah sama maknanya ditinjau dari segi keyakinan yang berbeda dengan kenyataan yang seharusnya, atau melakukan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan tanpa bermaksud untuk menyelisihi [Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu, hal. 326]. Sementara itu Allah ta’ala berfirman tentang doa orang mukmin yang melakukan kesalahan:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].
Dalam Shahiih Muslim, doa tersebut telah Allah kabulkan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ " لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا، قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab : ‘Ya’…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
Menyamakan antara orang-orang musyrik dari kalangan kafir asli dengan kaum muslimin yang terjatuh dalam kekeliruan karena kejahilan mereka merupakan kedhaliman[6].
Oleh karena itu, para ulama memberikan ‘udzur kejahilan dan ta’wil kepada Taqiyyuddin As-Subkiy, As-Suyuuthiy, Al-Haitsamiy, dan yang lainnya yang terjatuh dalam perkara tawassul kepada para wali, beristighatsah dengan mereka, dan yang lainnya [Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah, 1/292]. Tidak ada ulama yang mengkafirkannya dan menghukumi mereka sebagai musyrik – meski ketergelinciran mereka adalah dalam masalah syirik - , kecuali ada yang akan memulainya di masa sekarang.
Kekeliruan mereka (para ulama tersebut dan pengikutnya yang taqlid kepada mereka) adalah diantaranya karena adanya syubhat dalam memahami ayat:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 64].
Mereka menyangka dengan ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya memohon ampun dengan perantaraan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena meyakininya beliau masih hidup di dalam kuburnya[7] dan dapat mendengarkan[8] doa orang yang masih hidup. Ditambah beberapa syubhat beberapa riwayat lemah semisal kisah ‘Utbiy[9] dan Al-Imaam Maalik bin Anas yang berdoa menghadap kubur Nabi seraya menganjurkan memohon syafa’at kepada beliau[10] [lihat selengkapnya : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 429-437].
Semua syubhat ini tidak benar dan telah dijawab oleh para ulama kita, walhamdulillah.
Jika yang semisal As-Subkiy, Al-Hatsamiy, dan As-Suyuthiy diberikan ‘udzur oleh para ulama[11] atas kesalahan ijtihad mereka, lantas bagaimana dengan orang-orang yang kedudukannya lebih rendah daripada mereka yang tidak mempunyai kapasitas intelektual dan penelaahan seperti mereka ?[12]. Orang-orang ini menyangka telah melaksanakan firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Yaitu bertanya kepada kiyai, ulama, dan merujuk pada referensi yang ada – meski ternyata mereka salah. Kembali ke pokok permasalahan dalam judul, pemberian ‘udzur kejahilan ini tidak mutlak. Tidak akan mungkin diberikan udzur kejahilan pada orang yang tidak mengetahui eksistensi Allah[13]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada orang yang sujud kepada matahari, bulan, dan patung/berhala karena perbuatan ini tidak mengandung pengertian lain selain beribadah kepadanya[14], dan ini kekafiran berdasarkan ijmaa’ [lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad, hal. 439]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada orang yang mengakui, mengikrarkan, dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yang wajib diikuti. Hal ini dikarenakan kejahilan tersebut mencabut pokok syahadat beserta akar-akarnya.
Maka, keliru orang yang menganggap jika kita memberikan ‘udzur kejahilan dalam masalah kufur akbar dan syirik akbar, ini berlaku secara mutlak, asal ada yang mengaku tidak tahu, maka diterima.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga dapat menjadi gambaran.
Wallaahu a’lam.
Tulisan ini banyak mengambil faedah dari:
1.     Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417.
2.     Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy; Daarul-Muslim, Cet. 2/1422.
3.     Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy; Namaa For Research and Studies Center, Cet. 1/2012 M.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 26122014 – 01:48].





[1]        Yaitu artikel : Beberapa Kondisi Ditetapkannya ‘Udzur Kejahilan.
[2]        Silakan baca artikel terkait:
Kekeliruan Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Memutlakkan Perkara Al-Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah.
[3]        Riwayatnya :
أَنَّ عُمَرَ اسْتَعْمَلَ قُدَامَةَ بْنَ مَظْعُونٍ عَلَى الْبَحْرَيْنِ وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا وَهُوَ خَالُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَحَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Bahwasannya ‘Umar memperkerjakan Qudaamah bin Madh’uun sebagai Gubernur di Bahrain. Ia (Qudaamah) turut serta dalam perang Badr, dan merupakan paman dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Hafshah radliyallaahu ‘anhum” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4012].
[4]        Lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 422 dan Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy, hal. 28.
[5]        Mereka menganggapnya : ‘tuduhan’.
[6]        Silakan baca penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah di :http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146056.
Juga artikel : Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur.
[7]        Berdasarkan hadits:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
Para Nabi hidup di kubur-kubur mereka melaksanakan shalat” [Shahiihul-Jaami’ no. 2790].
[8]        Ini merupakan cabang permasalahan apakah mayit dapat mendengar. Silakan baca bahasan : Orang Mati Tidak Bisa Mendengar.
[9]        Silakan baca pembahasannya dalam artikel : Kelemahan Kisah Al-‘Utbiy tentang Tawassul.
[10]       Silakan baca pembahasannya dalam artikel : Anjuran Al-Imam Maalik bin Anas untuk Berdoa Menghadap Kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[11]       Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
المؤمن بالله ورسوله باطنا وظاهرا الذي قصد اتباع الحق وما جاء به الرسول إذا أخطأ ولم يعرف الحق كان أولى أن يعذره الله في الآخرة من المتعمد العالم بالذنب فإن هذا عاص مستحق للعذاب بلا ريب وأما ذلك فليس متعمدا للذنب بل هو مخطىء والله قد تجاوز لهذه الأمة عن الخطأ والنسيان
"Seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhahir dan batin serta berniat untuk mengikuti kebenaran dan apa-apa yang diturunkan kepada Rasul; maka apabila ia bersalah dan belum mengerti kebenaran, maka dia lebih utama untuk Allah berikan ‘udzur di akhirat daripada orang yang telah mengetahui (kebenaran) namun sengaja melakukan dosa. Orang kedua ini adalah orang yang telah bermaksiat yang berhak diadzab tanpa ada keraguan. Adapun orang pertama, maka ia bukan orang yang sengaja melakukan dosa, namun ia hanyalah seorang yang tersalah. Dan Allah telah memaafkan umat ini dari kesalahan dan lupa yang mereka lakukan” [Minhajus-Sunnah, 5/250].
وقد اتفق أهل السنة والجماعة على أن علماء المسلمين لا يجوز تكفيرهم بمجرد الخطأ المحض، بل كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم، وليس كل من يترك بعض كلامه لخطأ أخطأه يكفر ولا يفسق، بل ولا يأثم، فإن الله تعالي قال في دعاء المؤمنين ‏رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا وفي الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم‏:‏‏(‏أن الله تعالي قال‏:‏ قد فعلت‏)‏‏.
“Dan Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh dikafirkan atas sebab kesalahan murni. Bahkan setiap orang boleh diambil ataupun ditinggalkan perkataannya kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah setiap orang yang ditinggalkan sebagian perkataannya karena kesalahannya dapat dikafirkan atau difasiqkan. Bahkan, (mungkin saja) ia tidak berdosa; karena Allah ta’ala telah berfirman tentang doanya orang mukminin : “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau salah” (QS. Al-Baqarah : 286). Dan dari kitab Ash-Shahiih, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya Allah ta’ala telah berfirman (tentang doa tersebut) : Telah Aku lakukan (yaitu mengampunimu)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/100].
إن استفرغ وسعه في طلب الحق فإن الله يغفر له خطأه وإن حصل منه نوع تقصير فهو ذنب لا يجب ان يبلغ الكفر وإن كان يطلق القول بأن هذا الكلام كفر كما أطلق السلف الكفر على من قال ببعض مقالات الجهمية مثل القول بخلق القرآن أو إنكار الرؤية أو نحو ذلك مما هو دون إنكار علو الله على الخلق وأنه فوق العرش فإن تكفير صاحب هذه المقالة كان عندهم من أظهر الأمور فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Apabila ia telah mengerahkan segala daya upayanya dalam mencari kebenaran, niscaya Allah akan mengampuni kesalahannya. Dan jika terdapat kekurangan (dalam hal kesungguhannya), maka ini merupakan suatu dosa yang tidak mengharuskan sampai pada tingkat kekafiran, meskipun perkataan tersebut secara mutlak adalah perkataan kufur. Sebagaimana kaum salaf memutlakkan kekafiran kepada siapa saja yang berkata dengan sebagian perkataan Jahmiyyah; seperti perkataan Khalqul-Qur’aan (Al-Qur’an adalah makhluk), atau mengingkari ru’yah (melihat kepada Allah kelak di akhirat), atau yang lainnya selain dari pengingkaran terhadap ketinggian Allah di atas para makhluk-Nya, dan bahwasannya Ia di atas ‘Arsy - karena sesungguhnya pengkafiran terhadap orang yang mengatakan perkataan-perkataan ini menurut mereka (salaf) termasuk dari hal-hal yang paling jelas. Dan sesungguhnya pengkafiran secara muthlak seperti halnya ancaman secara mutlak yang tidak melazimkan pengkafiran secara mu’ayyan (individu), hingga tegak padanya hujjah yang mana bisa mengkafirkan orang yang meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, 1/164]
[12]       Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وإذا تبين هذا، فمن ترك بعض الإيمان الواجب لعجزه عنه، إما لعدم تمكنه من العلم، مثل ألا تبلغه الرسالة، أو لعدم تمكنه من العمل ـ لم يكن مأمورًا بما يعجز عنه، ولم يكن ذلك من الإيمان والدين الواجب في حقه، وإن كان من الدين والإيمان الواجب في الأصل، بمنزلة صلاة المريض، والخائف، والمستحاضة، وسائر أهل الأعذار، الذين يعجزون عن إتمام الصلاة، فإن صلاتهم صحيحة بحسب ما قدروا عليه، وبه أمروا إذ ذاك، وإن كانت صلاة القادر على الإتمام أكمل وأفضل
"Apabila hal ini telah jelas, maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib karena ketidakmampuannya, apakah karena tidak mampu untuk mendapatkan pengetahuan seperti tidak sampainya risalah kenabian, atau tidak mampu untuk mengamalkannya ; maka ia tidak diperintahkan dengan apa-apa yang dia tidak mampu. Dan hal ini tidak termasuk keimanan dan dien yang wajib pada dirinya, walaupun pada asalnya hal itu termasuk dien dan keimanan yang wajib seperti shalatnya orang yang sakit, shalatnya orang yang takut, shalatnya mustahadlah (wanita yang terus menerus mengeluarkan darah selain hari-hari haidlnya – akibat penyakit/sakit), dan selain mereka dari orang-orang yang mendapatkan ‘udzur yang tidak mampu untuk menyempurnakan shalat. Shalatnya tetap sah sesuai dengan kemampuannya. Dan dengan itulah mereka diperintahkan pada waktu itu, walaupun shalatnya orang yang mampu untuk menyempurnakan lebih sempurna dan afdlal"[Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/478-479].
[13]       Abu Haniifah rahimahullah berkata: “Tidak ada ‘udzur bagi seorang pun atas kejahilannya tentang Penciptanya (Allah), karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabbsubhaanahu wa ta’ala dan mengesakan-Nya, berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas dirinya” [Badaai’ush-Shanaa’i’, 9/521].
[14]       Sebagai suplemen, silakan baca juga artikel : Sujud kepada Manusia dalam Rangka Penghormatan.

from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/12/kekeliruan-analisa-peniadaan-udzur.html