Yang dimaksud dengan ayat miitsaaq tersebut adalah firman Allah ta’ala:
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
غَافِلِينَ * أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ
وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ
الْمُبْطِلُونَ * وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka
apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang
sesat dahulu?". Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar
mereka kembali (kepada kebenaran)” [QS. Al-A’raaf : 172-174].
Sisi pendalilan : Hujjah dianggap telah ditegakkan atas mereka dengan adanya miitsaq(perjanjian) yang pertama, karena mereka telah menyaksikan ketauhidan atas diri mereka sehingga hilang ‘udzur kejahilan [lihat : Al-Jawaabul-Mufiid fii Hukmi Jaahilit-Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Hamiid, hal. 17-dst.].
Kita katakan:
Pendalilan dengan ayat miitsaaq tersebut sangat lemah dari banyak sisi:
a. Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut[1] kontradiktif dengan banyak ayatyang
menunjukkan Allah mengutus Rasul yang membawa Al-Qur’an (dan
As-Sunnah) agar menjadi hujjah bagi manusia, diantaranya firman Allah ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka
kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul” [QS. An-Nisaa’ : 165].
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
وَسِيقَ
الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا
فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ
رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ
لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ
الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Orang-orang
kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila
mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah
kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu
rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan
memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka
menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan
azab terhadap orang-orang yang kafir” [QS. Az-Zumar : 71].
Seandainya miitsaaq yang pertama tersebut mencukupi, tentu tidak ada faedahnya Allah ta’ala mengutus Rasul untuk memberikan peringatan dan khabar gembira kepada manusia.
b. Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut kontradiktif dengan sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi
Dzat, yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat
ini, Yahudi atau Nashrani, yang mendengar tentang diriku lantas mati
dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali pasti
ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dakwah beliau menjadi hujjah bagi
manusia yang mendengarnya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman,
masuk ke dalam surga; dan barangsiapa mati dalam keadaan yang tidak
beriman, masuk ke dalam neraka. Adapun orang yang mati dalam keadaan
tidak sampai padaya dakwah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan diuji sebagaimana hadits di bawah.
c. Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut kontradiktif dengan sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَرْبَعَةٌ
يَحْتَجُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ،
وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ،
فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ، وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا،
وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ جَاءَ الإِسْلامُ
وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونَنِي بِالْبَعَرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ،
فَيَقُولُ: رَبِّ، لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا
الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ: رَبِّ، مَا أَتَانِي لَكَ
رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ، فَيُرْسِلُ
إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا
“Ada
empat orang yang akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1)
orang tuli, (2) orang idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati
dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabb,
sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali'.
Orang yang idiot akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah
datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan'. Orang yang
pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang,
namun aku tidak dapat memahaminya'. Adapun orang yang mati dalam masa
fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu
yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk
mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan
mereka agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku
ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka
akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya (4/24), Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya (16/356 no. 7357), Al-Bazzaar sebagaimana dalamKasyful-Astaar (3/33 no. 2174), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (1/287 no. 841), dan yang lainnya; shahih].
Hadits di atas menunjukkan bahwa keempat jenis orang di atas yang tidak sampai/tidak mengetahui (= jahil) akan dakwah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamsama sekali, akan diuji di kelak di hari kiamat.
Seandainya miitsaaq pertama cukup menjadi hujjah,
tentu tidak ada faedahnya ujian yang akan diberikan kepada keempat
golongan tersebut kelak di hari kiamat, karena mereka dianggap tidak
punya ‘udzur dan langsung masuk ke dalam neraka.
d. Pendalilan dengan menggunakan ayat tersebut kontradiktif dengan ijmaa’ yang menyatakan bahwa orang yang baru masuk Islam atau orang yang tinggal di daerah terpencil yang jauh dari ilmu dan ulama diberikan ‘udzur jika mereka meninggalkan atau mengingkari hukum-hukum dhahir lagi mutawatir (al-ahkaam adh-dhaahirah al-mutawaatirah).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لهذا
اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث
العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا
يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول
“Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa
barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan
iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari
hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir
sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul
shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan
As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
e. Bagaimana bisa mereka mengatakan kejahilan terangkat (hilang) dengan adanyamiitsaaq pertama jika mereka sendiri dan manusia lainnya dilahirkan dalam keadaan jahil ?.
Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur” [QS. An-Nahl : 78].
Tidaklah
mungkin kita memahami apa yang diperitahkan dan apa yang dilarang
syari'at kecuali dengan mendapatkan ilmu/informasi setelahnya yang
kemudian hal itu menjadi hujjah atas diri kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
ومعنى (قالوا بلى) أي إن ذلك واجب عليهم.
فلما
اعترف الخلق لله سبحانه بأنه الرب ثم ذهلوا عنه ذكرهم بأنبيائه وختم الذكر
بأفضل أصفيائه لتقوم حجته عليهم فقال له: " فذكر إنما أنت مذكر. لست عليهم
بمصيطر ".
“Dan makna firman Allah ta’ala : ‘Mereka mengatakan : ‘Betul (Engkau Tuhan kami)’;
yaitu : sesungguhnya hal itu wajib atas diri mereka. Ketika makhluk
mengakui bahwasannya Allah adalah Rabb mereka, lalu mereka melupakannya
sehingga Allah mengingatkan mereka dengan diutusnya para Nabi-Nya dan
menutupnya dengan Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan hujjah kepada mereka. Allah ta’alaberfirman kepadanya : ‘Maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang
memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka’ (QS. Al-Ghaasyiyyah : 21-22)” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 7/317].
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat miitsaaq tersebut dengan perkataannya:
الخامس
أنه سبحانه أخبر أن حكمة هذا الإشهاد إقامة الحجة عليهم لئلا يقولوا يوم
القيامة إنا كنا عن هذا غافلين والحجة إنما قامت عليهم بالرسل والفطرة
التي فطروا عليها كما قال تعالى رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على
الله حجة بعد الرسل
...............
الثامن
قوله تعالى أفتهلكنا بما فعل المبطلون أي لو عذبهم بجحودهم وشركهم لقالوا
ذلك وهو سبحانه إنما يهلكهم لمخالفة رسله وتكذيبهم فلو أهلكهم بتقليد
آبائهم في شركهم من غير إقامة الحجة عليهم بالرسل لأهلكهم بما فعل
المبطلون أو أهلكهم مع غفلتهم عن معرفة بطلان ما كانوا عليه وقد أخبر
سبحانه أنه لم يكن ليهلك القرى بظلم وأهلها غافلون وإنما يهلكهم بعد
الأعذار والإنذار
“Kelima, bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala telah
mengkhabarkan hikmah adanya persaksian ini adalah sebagai penegakan
hujjah terhadap mereka agar mereka tidak mengatakan pada hari kiamat :
‘Sesungguhnya kami lalau dalam perkara ini’. Dan hujjah
hanyalah tegak atas mereka dengan (diutusnya) para Rasul dan fitrah
yang mereka diciptakan atas, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘“(Mereka
kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul” (QS. An-Nisaa’ : 165).
……….
Kedelapan, firman-Nya ta’ala : ‘Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’
(QS. Al-A’raaf : 173).; yaitu : Seandainya Allah mengadzab mereka
karena keingkaran dan kesyirikan mereka, niscaya mereka akan mengatakan
hal tersebut. Dan Allah subhaanahu wa ta’ala hanyalah membinasakan mereka karena penyelisihan dan pendustaan mereka terhadap Rasul-Nya. Seandainya Allah ta’ala membinasakan
mereka karena ketaqlidan mereka terhadap nenek-moyang mereka dalam
perbuatan syirik yang mereka lakukan tanpa adanya iqaamatul-hujjahdengan
diutusnya para Rasul, niscaya Allah akan membinasakan mereka dengan
perbuatan yang dilakukan orang-orang yang sesat dahulu, atau
membinasakan mereka dengan sebab kelalaian mereka untuk mengetahui
kebatilan perbuatan syirik mereka. Namun Allah subhaanahu wa ta’ala mengkhabarkan
bahwa Ia tidak akan membinasakan suatu negeri dan penduduknya yang
lalai secara dhalim. Allah hanya akan membinasakan mereka setelah
memberikan ‘udzur dan peringatan[2]” [Ar-Ruuh, hal. 167-168].
Kesimpulannya : Ayat miitsaaq tidak valid dijadikan hujjah dalam peniadaan ‘udzurkejahilan. Miitsaaq bukanlah hujjah tersendiri, namun ia menjadi hujjah dengan diutusnya para Nabi dan Rasul.
Wallaahu a’lam.
Bahan bacaan :
1. Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417.
2. Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy; Daarul-Muslim, Cet. 2/1422.
3. Al-Ilmaam bi-Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays; Daar Al-Imaam Maalik, Cet. 1/1427.
4. Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy; Namaa For Research and Studies Center, Cet. 1/2012 M.
5. dan lainnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 21122014 – 01:30].
[1] Kita tidak mengatakan ayat tersebut kontradiktif, tapi cara pendalilannya yang kontradiktif.
[2] Sekedar pemberitahuan:
Penukilan perkataan Ibnul-Qayyim ini dalam buku Al-Jawaabul-Mufiid fii Hukmi Jaahilit-Tauhiidoleh Abu ‘Abdillah ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Hamiid terpotong sehingga tidak disertakan. Tentu saja, ini menghilangkan sama sekali inti penjelasan yang ingin disampaikan oleh Ibnul-Qayyimrahimahullah.
Penulis kitab ini melakukan beberapa pemotongan-pemotongan nukilan perkataan ulama [lihat : Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabith At-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy, hal. 256-258 – kitab ini direkomendasikan untuk dibaca dalam bahasan ‘udzur kejahilan oleh Asy-Syaikh Sa’iid bin ‘Aliy bin Wahf Al-Qahthaaniy, penulis kitabHisnul-Muslim, dalam kitabnya Qadliyyatut-Takfiir Baina Ahlis-Sunnah wa Firaqidl-Dlalaal fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah].
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/12/kekeliruan-pendalilan-peniadaan-udzur.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/12/kekeliruan-pendalilan-peniadaan-udzur.html