Para ulama sepakat dimakruhkannya meninggikan suara di sisi jenazah, sebagaimana hal itu dikatakan para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan pembesar taabi’iin[1], dimana hal itu merupakan madzhab imam empat[2].
Mereka ber-istidlaal atas pendapat itu dengan beberapa dalil di antaranya :
Pertama : Riwayat yang berasal dari Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تُتْبَعُ الْجِنَازَةُ بِنَارٍ، وَلَا صَوْتٍ
“Janganlah jenazah diiringi dengan api dan suara”.[3]
Suara dalam hadits di atas mencakup ratapan, qiraa’ah (bacaan), dzikir, dan yang lainnya. Sebagian jenis suara tersebut terdapat dalil yang menunjukkan pengharamannya (tidak sekedar makruh – Abul-Jauzaa’).[4]
Kedua : Riwayat yang berasal dari beberapa orang shahabat yang menyatakan kemakruhannya, diantaranya :
Atsar dari Qais bin ‘Abbaad[5], ia berkata :
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يكرهون رفع الصوت عند ثلاث : عند القتال، وعند الجنائز، وعند الذكر
“Adalah para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci
mengangkat/meninggikan suara dalam tiga keadaan : saat peperangan, saat
berada di sekitar jenazah-jenazah, dan saat berdzikir”.[6]
Ketiga : Mereka berkata bahwa perbuatan itu termasuk tasyabbuh dengan Ahli Kitab, karena ia termasuk adat kebiasaan mereka[7] sehingga hukumnya makruuh.[8]
Keempat : Mereka
berkata : Dikarenakan sikap diam dan tenang lebih menentramkan jiwa dan
mengkonsentrasikan pikiran terhadap segala sesuatu yang berhubungan
dengan jenazah. Itulah yang dituntut dalam keadaan tersebut.[9]
Madzhab jumhur ulama dalam perkara inilah yang benar (yaitu makruuh).
Dan nampak bahwasannya yang menghalangi mereka menetapkan
pengharamannya adalah tidak shahihnya nash dalam pelarangan. Adapun
orang yang melakukannya dengan alasanta’abbud dengan keyakinan disunnahkannya perbuatan itu, maka tidak syakk (ragu)
lagi akan status keharamannya. Adapun alasan bahwa perbuatan orang
tersebut menyerupai Ahli Kitaab, tidaklah hal itu termasuk yang nampak
dari adat kebiasaan mereka yang nyata. Dan hal itu sudah tidak
diketahui lagi (kenyataannya) dari mereka sekarang. Namun jika
realitasnya tidak seperti itu (yaitu perbuatan meninggikan suara nampak
nyata dalam adat kebiasaan mereka- Abul-Jauzaa’), maka meninggikan suara di sisi jenazah menjadi haram hukumnya, wallaahu a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’ - Dari buku At-Tasyabbuh Al-Manhiy ‘anhu fil-Fiqhil-Islaamiy oleh
Jamiil bin Habiib Al-Luwaihiq Al-Mathiiriy, hal. 313-314; Thesis
Fakultas Syari’ah Univ. Ummul-Qurraa’, 1417 H].
[1] Lihat Al-Ausath oleh Ibnul-Mundzir 5/389.
[2] Lihat : Badaai’ush-Shanaai’ oleh Al-Kasaaniy 1/310, Al-Fataawaa Al-Hindiyyah 1/162,Syarh Al-Kharsyiy ‘alaa Khaliil 2/137, Al-Adzkaar oleh An-Nawawiy hal. 136, Al-Mustau’aboleh As-Saamiriy 2/148, dan kasysyaaful-Qinaa’ oleh Al-Bahuutiy 2/130.
[3] Musnad Al-Imaam Ahmad, lihat Al-Fathur-Rabbaaniy oleh As-Saa’atiy, Bab : An-Nahyu ‘an Ittibaa’il-Janaazati bi-Shiyaahin au Naar, hadits no. 214 – 8/20; dan Sunan Abi Daawud, Kitaabul-Janaaiz, Baab : Fin-Naar Yatba’u bihal-Mayyit, hadits no. 3171 – 3/203. Dalam sanadnya terdapat perawi majhuul.
[4] Lihat : Al-Fathur-Rabbaaniy oleh As-Saa’atiy 8/20, dan Al-Kharsyiy ‘alaa Khaliil 2/137.
[5] Ia adalah Qais bin ‘Abbaad Al-Qaisiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy, tabi’iy muhdlaram (hidup semasa Jahiliyyah, namun tidak berjumpa dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam- Abul-Jauzaa’) lagi tsiqah.
Datang ke Madinah saat masa pemerintahan ‘Umar (bin
Al-Khaththaab). Ia meriwayatkan hadits dari sekelompok shahabat, namun
diragukan periwayatannya dari beberapa shahabat yang lainnya. Lihat : Tahdziibut-Tahdziib oleh Ibnu Hajar, biografi no. 5802 – 8/346, dan At-Taqriib oleh Ibnu Hajar biografi no. 5582 – hal. 457.
[6] Lihat : Al-Ausath oleh Ibnul-Mundzir 5/389.
[7] Lihat : Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim oleh Ibnu Taimiyyah 1/316.
[8] Lihat : Badaai’ush-Shanaai’ oleh Al-Kasaaniy 1/310, dan Al-Fathur-Rabbaaniy oleh As-Saa’atiy 8/20.