SYUBHAT KEENAM
Diantara syubhat yang dijadikan dalih oleh para pendukung bid'ah hasanah adalah pernyataan mereka bahwa sebagian sahabat telah melakukan perbuatan-perbuatan ibadah yang bid'ah yang tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan hal tersebut, akan tetapi ternyata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya. Contoh akan hal ini diantaranya :
Diantara syubhat yang dijadikan dalih oleh para pendukung bid'ah hasanah adalah pernyataan mereka bahwa sebagian sahabat telah melakukan perbuatan-perbuatan ibadah yang bid'ah yang tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan hal tersebut, akan tetapi ternyata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya. Contoh akan hal ini diantaranya :
Pertama : Kisah Khubaib radhiallahu 'anhu yang sholat dua raka'at sebelum terbunuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya. Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu berkata :
فَلَمَّا خَرَجُوا مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوْهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ : ذَرُوْنِي أَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ، فَتَرَكُوْهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ لَوْلاَ أَنْ تَظُنُّوْا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَطَوَّلْتُهَا ... فَقَتَلَهُ ابْنُ الْحَارِثِ فَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ لِكُلِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا
"Tatakala mereka keluar dari daerah tanah haram untuk membunuh Khubaib di tanah halal maka Khubaib berkata kepada mereka, "Biarkanlah aku sholat dua raka'at". Maka merekapun membiarkan beliau, lalau beliau sholat dua raka'at, setelah itu beliau berkata, "Kalau bukan karena kawatir kalian menyangka aku ketakutan maka tentu aku akan memanjangkan sholatku….
Maka Khubaibpun dibunuh oleh Ibnu Al-Haarits, maka Khubaib adalah orang yang mempelopori sholat dua raka'at bagi setiap muslim yang akan terbunuh dengan penuh kesabaran" (HR Al-Bukhari no 3045)
Kedua : Kisah Bilal radhiallahu 'anhu yang selalu sholat dua raka'at setelah berwudhu, padahal tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan sunnahnya sholat dua raka'at setelah wudhu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Bilal :
Kedua : Kisah Bilal radhiallahu 'anhu yang selalu sholat dua raka'at setelah berwudhu, padahal tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan sunnahnya sholat dua raka'at setelah wudhu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Bilal :
يَا بِلاََلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّي
"Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku tentang amalan yang paling memberikan pengharapan padamu yang telah kau kerjakan, karena aku mendengar gerakan kedua sendalmu di hadapanku di surga". Bilal berkata, "Tidaklah aku mengerjakan suatu amalan yang paling memberikan pengharapan padaku daripada jika aku bersuci kapan saja di malam hari atau siang hari kecuali aku sholat dengan bersuciku tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah" (HR Al-Bukhari no 1149 dan Muslim no 2458)
Ketiga : Dari Rifaa'ah bin Roofi', ia berkata :
Ketiga : Dari Rifaa'ah bin Roofi', ia berkata :
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ الرسول ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ ، قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ ، قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : أَنَا ، قَالَ : رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
"Suatu hari kami sholat dibelakang Rasulullah, maka tatkala beliau mengangkat kepala, beliau berkata, "Sami'allahu liman hamdahu". Lalu ada seseorang di belakang beliau berkata, رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. Tatkala beliau selesai sholat maka beliau berkata, "Siapa tadi yang berbicara?". Orang itu berkata, "Saya". Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku melihat tiga puluh sekian malaikat berlomba-lomba siapa yang pertama diantara mereka yang mencatatnya" (HR Al-Bukhari no 799)
SANGGAHAN
Pertama : Perbuatan sahabat tergantung pada persetujuan/taqrir dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jika Nabi menyetujui dan mentaqrirnya maka jadilah perbuatan tersebut dikenal dengan sunnah taqririyah. Selain itu tiga contoh di atas merupakan perbuatan para sahabat sebelum turunnya ayat tentang sempurnanya agama.
Adapun perbuatan bid'ah hasanah setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka bagaimana cara mengetahui taqrir atau persetujuan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam??
Ternyata tidak semua ijtihad sahabat disetujui oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Contohnya :
Pertama : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyetujui Al-Baroo' bin 'Aazib radhiallahu 'ahu atas kesalahannya dalam mengucapkan lafal doa yang diajarkan Nabi kepadanya. Yaitu Al-Baroo' telah merubah lafal Nabi dengan lafal Rasul.
Al-Baroo' bin 'Aazib berkata :
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ وَقُلْ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku : Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah sebagaimana berwudhu untuk sholat, lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan, lalu katakanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إْلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتُ
"Yaa Allah aku menyerahkan jiwaku kepadaMu, dan aku pasrahkan urusanku kepadaMu, dan aku sandarkan punggungku kepadaMu, dengan kekhawatiran dan harapan kepadaMu. Tidak ada tempat bersandar dan keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Aku beriman kepada kitabMu yang Engkau turunkan dan beriman kepada Nabimu yang Engkau utus"
Nabi berkata :
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
"Jika engkau meninggal maka engkau meninggal di atas fitroh, dan jadikanlah doa ini adalah kalimat terakhir yang engkau ucapkan (sebelum tidur)"
Al-Baroo' bin 'Aazib berkata :
فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لاَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
"Lalu aku mencoba untuk mengingatnya dan aku berkata "Dan aku beriman kepada RasulMu yang Engkau utus"
Nabi berkata, "Tidak, (akan tetapi) : Dan aku beriman kepada NabiMu yang Engkau utus" (HR Al-Bukhari no 6311)
Kedua : Sebagaimana telah lalu dimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingkari tiga orang sahabat yang berijtihad dalam beribadah sehingga ada yang ingin sholat malam terus, dan ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah demi beribadah.
Ketiga : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah mengingkari Utsman bin Madz'uun yang ingin beribadah dan tidak menikah. Maka Nabi shallallahu 'alaihi sallam pun berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا, أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟ فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ , وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
"Wahai 'Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah tidaklah disyariatkan kepada kita. Tidakkah aku menjadi teladan bagimu?, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan akulah yang paling menjaga batasan-batasanNya" (HR Ibnu Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir, dan dishahikan oleh Al-Albani, lihat takhrij beliau terhadap hadits ini di Al-Irwaa' 7/79).
Nabi berkata :
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
"Jika engkau meninggal maka engkau meninggal di atas fitroh, dan jadikanlah doa ini adalah kalimat terakhir yang engkau ucapkan (sebelum tidur)"
Al-Baroo' bin 'Aazib berkata :
فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لاَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
"Lalu aku mencoba untuk mengingatnya dan aku berkata "Dan aku beriman kepada RasulMu yang Engkau utus"
Nabi berkata, "Tidak, (akan tetapi) : Dan aku beriman kepada NabiMu yang Engkau utus" (HR Al-Bukhari no 6311)
Kedua : Sebagaimana telah lalu dimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingkari tiga orang sahabat yang berijtihad dalam beribadah sehingga ada yang ingin sholat malam terus, dan ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah demi beribadah.
Ketiga : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah mengingkari Utsman bin Madz'uun yang ingin beribadah dan tidak menikah. Maka Nabi shallallahu 'alaihi sallam pun berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا, أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟ فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ , وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
"Wahai 'Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah tidaklah disyariatkan kepada kita. Tidakkah aku menjadi teladan bagimu?, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan akulah yang paling menjaga batasan-batasanNya" (HR Ibnu Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir, dan dishahikan oleh Al-Albani, lihat takhrij beliau terhadap hadits ini di Al-Irwaa' 7/79).
Jika ternyata tidak semua ijtihad para sahabat dalam ibadah disetujui oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas darimana para pelaku dan pencipta bid'ah hasanah mengetahui bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pasti menyetujui bid'ah-bid'ah mereka??!!. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Semua bid'ah sesat"??!!
Kedua : Sholat sunnah wudhu dan juga sholat sunnah sebelum dibunuh oleh musuh bukanlah suatu ibadah yang baru yang tidak pernah disyari'atkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah disebutkan bahwasanya sholat sunnah wudhu adalah kreasi Bilal. Akan tetapi Nabi hanya bertanya kepada Bilal tentang ibadah yang paling memberi pengharapan kepadanya. Tidak termaktub dalam riwayat-riwayat hadits ini bahwasanya Bilal telah menciptakan sholat sunnah wudhu. Maka bisa jadi sudah ada anjuran dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya.
Demikian halnya juga dengan sholat sunnah dua raka'at yang dikerjakan oleh Khubaib, pada dasarnya bukanlah cara peribadatan yang baru. Merupakan perkara yang sangat wajar jika seseorang tahu ia akan meninggal maka ia ingin beribadah kepada Allah dengan ibadah yang agung. Diantara ibadah yang sangat agung adalah sholat.
Dan sholat dalam kondisi ini termasuk dalam keumuman hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
"Rasulullah jika mendapati perkara yang menyulitkan beliau maka belipun sholat" (HR Ahmad no 23299, Abu Dawud no 1319, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/172 dan Al-Albani)
Allah juga telah berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu" (QS Al-Baqoroh : 45)
Ketiga : Kalaupun sholat dua raka'at sebelum terbunuh musuh merupakan kreasi Khubaib radhiallahu 'anhu maka perbuatan beliau tersebut menjadi sunnah karena beliau lakukan semasa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Al-Qostholaani rahimahullah berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ فِعْلُ خُبَيْبٍ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاةِ الشَّارِعِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَاسْتَحْسَنَهُ
"Dan hanyalah perbuatan Khubaib itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dianggap baik oleh Nabi" (Irsyaad As-Saari 5/165)
Ia juga berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاتِهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَاسْتَحْسَنَهُ وَأَقَرَّهٌ
"Hanyalah hal itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dianggap baik oleh beliau dan ditaqrir/diakui/disetujui oleh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam"(Irsyaad As-Saari 5/261)
Adapun setelah meninggalnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana kita bias mengetahui suatu bid'ah hasanah disukai dan disetujui oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau sebaliknya justru Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membencinya??
Keempat : Adapun perkataan Ibnu Hajar tentang hadits Rifaa'ah bin Roofi radhiallahu 'anhu
Kedua : Sholat sunnah wudhu dan juga sholat sunnah sebelum dibunuh oleh musuh bukanlah suatu ibadah yang baru yang tidak pernah disyari'atkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah disebutkan bahwasanya sholat sunnah wudhu adalah kreasi Bilal. Akan tetapi Nabi hanya bertanya kepada Bilal tentang ibadah yang paling memberi pengharapan kepadanya. Tidak termaktub dalam riwayat-riwayat hadits ini bahwasanya Bilal telah menciptakan sholat sunnah wudhu. Maka bisa jadi sudah ada anjuran dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya.
Demikian halnya juga dengan sholat sunnah dua raka'at yang dikerjakan oleh Khubaib, pada dasarnya bukanlah cara peribadatan yang baru. Merupakan perkara yang sangat wajar jika seseorang tahu ia akan meninggal maka ia ingin beribadah kepada Allah dengan ibadah yang agung. Diantara ibadah yang sangat agung adalah sholat.
Dan sholat dalam kondisi ini termasuk dalam keumuman hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
"Rasulullah jika mendapati perkara yang menyulitkan beliau maka belipun sholat" (HR Ahmad no 23299, Abu Dawud no 1319, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/172 dan Al-Albani)
Allah juga telah berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu" (QS Al-Baqoroh : 45)
Ketiga : Kalaupun sholat dua raka'at sebelum terbunuh musuh merupakan kreasi Khubaib radhiallahu 'anhu maka perbuatan beliau tersebut menjadi sunnah karena beliau lakukan semasa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Al-Qostholaani rahimahullah berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ فِعْلُ خُبَيْبٍ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاةِ الشَّارِعِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَاسْتَحْسَنَهُ
"Dan hanyalah perbuatan Khubaib itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dianggap baik oleh Nabi" (Irsyaad As-Saari 5/165)
Ia juga berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاتِهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَاسْتَحْسَنَهُ وَأَقَرَّهٌ
"Hanyalah hal itu menjadi sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dianggap baik oleh beliau dan ditaqrir/diakui/disetujui oleh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam"(Irsyaad As-Saari 5/261)
Adapun setelah meninggalnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana kita bias mengetahui suatu bid'ah hasanah disukai dan disetujui oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau sebaliknya justru Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membencinya??
Keempat : Adapun perkataan Ibnu Hajar tentang hadits Rifaa'ah bin Roofi radhiallahu 'anhu
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إْحَدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ ... وَعَلَى أَنَّ الْعَاطِسَ فِي الصَّلاَةِ يَحْمَدُ اللهَ بِغَيْرِ كَرَاهَةٍ وَأَنَّ الْمُتَلَبِّسَ بِالصَّلاَةِ لاَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
"Hadits ini dijadikan dalil akan boleh mengada-ngadakan dalam sholat suatu dzikir yang tidak ada ma'tsur (tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pen) jika tidak menyelisihi dzikir yang ma'tsuur…serta bolehnya orang yang bersin memuji Allah, dan tidak makruh, dan orang yang sedang sholat tidak mesti menjawab orang yang bersin" (Fathul Baari 2/287)
Dalam pernyataan di atas bukan berarti Al-Hafiz memandang bolehnya berbuat bid'ah hasanah secara bebas. Akan tetapi beliau menyebutkan permasalahannya secara khusus, yaitu bolehnya berkreasi dzikir dalam sholat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya Ibnu Hajar tidak membolehkan kreasi dzikir dalam seluruh kondisi sholat, tentunya beliau (Ibnu Hajar) –bahkan tidak seorang ulamapun- yang membolehkan bebas berkreasi dalam menciptakan dzikir-dzikir tatkala doa iftitah, ruku', tatkala sujud, tatkala duduk diantara dua sujud, dan tatkala tasyahhud.
Akan tetapi sebagian ulama membolehkan kreasi dzikir atau doa dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti tatkala berdoa dalam sujud, atau tatkala doa setelah tasyahhud dan sebelum salam (silahkan lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmuu' 3/469, lihat juga Asnaa Al-Mathoolib 1/166).
Demikian juga dzikir tatkala i'tidal (bangkit dari ruku'), sebagian ulama menyatakan bahwa tatkala i'tidal merupakan maqom (kondisi) untuk mengagungkan Allah, karenanya tidak mengapa memuji Allah dengan dzikir kreasi sendiri selama tidak menjadi kebiasaan. Terlebih lagi ternyata Ibnu Hajar membawakan kisah Rif'ah tersebut pada kisah bersinnya (lihat Fathul Baari 2/286), sebagaimana sangat jelas dalam riwayat yang lain (HR Abu Dawud no 773 dan At-Thirmidzi no 404), sehingga dzikir yang disebutkan oleh Rifa'ah adalah dzikir bersin yang kebetulan ia ucapkan tatkala i'tidal. Al-Imam An-Nawawi membolehkan dzikir bersin dengan beberapa bentuk pujian kepada Allah. Beliau berkata,
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْعَاطِسِ أَنْ يَقُوْلَ عَقِبَ عِطَاسِهِ : الْحَمْدُ للهِ ، فَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ كَانَ أَحْسَنَ ، وَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ كَانَ أَفْضَلَ
"Para ulama telah sepakat bahwasanya disunnahkan bagi orang yang bersin setelah bersin mengucapkan "Alhamdulillah". Jika dia mengucapkan "Alhamdulillahi robbil 'aalamiin" maka lebih baik. Dan jika ia mengucapkan "Alhamdulillah 'alaa kulli haal" maka lebih afdol" (Al-Adzkaar 270)
Akan tetapi Ibnu Hajar berkata :
وَالَّذِي يَتَحَرَّرُ مِنَ الأَدِلَّةِ أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ لَكِنَ مَا كَانَ أَكْثَرَ ثَنَاءً أَفْضَلُ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ مَأْثُوْرًا
"Dan yang tersimpulkan dari dalil-dalil bahwasanya segala bentuk dzikir (setelah bersin) tersebut cukup, akan tetapi yang lebih banyak pujiannya lebih afdol, dengan syarat dzikir tersebut ma'tsuur (ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –pen)" (Fathul Baari 10/601)
Dalam nukilan ini, jelas Ibnu Hajar menyatakan bahwa segala bentuk dzikir setelah bersin boleh dengan syarat harus ma'tsuur.
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْعَاطِسِ أَنْ يَقُوْلَ عَقِبَ عِطَاسِهِ : الْحَمْدُ للهِ ، فَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ كَانَ أَحْسَنَ ، وَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ كَانَ أَفْضَلَ
"Para ulama telah sepakat bahwasanya disunnahkan bagi orang yang bersin setelah bersin mengucapkan "Alhamdulillah". Jika dia mengucapkan "Alhamdulillahi robbil 'aalamiin" maka lebih baik. Dan jika ia mengucapkan "Alhamdulillah 'alaa kulli haal" maka lebih afdol" (Al-Adzkaar 270)
Akan tetapi Ibnu Hajar berkata :
وَالَّذِي يَتَحَرَّرُ مِنَ الأَدِلَّةِ أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ لَكِنَ مَا كَانَ أَكْثَرَ ثَنَاءً أَفْضَلُ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ مَأْثُوْرًا
"Dan yang tersimpulkan dari dalil-dalil bahwasanya segala bentuk dzikir (setelah bersin) tersebut cukup, akan tetapi yang lebih banyak pujiannya lebih afdol, dengan syarat dzikir tersebut ma'tsuur (ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –pen)" (Fathul Baari 10/601)
Dalam nukilan ini, jelas Ibnu Hajar menyatakan bahwa segala bentuk dzikir setelah bersin boleh dengan syarat harus ma'tsuur.
Maksud dari pemaparan ini, sama saja apakah dzikir yang tersebutkan dalam hadits Rif'ah adalah adala dzikir i'tidal atau dzikir bersin maka kalaupun bukan merupakan dzikir yang ma'tsur dan boleh berkreasi dalam dzikir ini maka hal ini hanya dalam cakupan yang terbatas. Maka sungguh aneh jika lalu dijadikan dalil untuk membolehkan bid'ah hasanah…, membolehkan bekreasi membuat dzikir-dzikir baru dalam doa istiftah, dzikir ruku', sujud, dll??, bahkan membolehkan untuk berkreasi membuat model ibadah baru??. Tentunya pemahaman seperti ini tidak dipahami oleh para ulama yang mu'tabar. Wallahu A'lam bis showaab.
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 02-01-1434 H / 16 November 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com