Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin
SEPUTAR
KITAB BARZANJI
Secara umum peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :
Secara umum peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :
Secara
umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
PENULIS
KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]
Sebagai
seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi
sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang
Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di
bumi Nu’mân”.[2]
KESALAHAN
UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن
قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ
أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ
وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِِيْ
"Barang
siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan
yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak
mengatakan Alif Lâm Mîm satu huruf. Akan tetapi, Alif satu huruf, lâm satu
huruf mîm satu huruf".[3]
KESALAHAN
KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Kesalahan
Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
وَقَدْ
أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ
شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
Dan
sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan
telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Jelas,
yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwa
sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau
Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku
dan bapakmu berada di Neraka”.[5]
Imam
Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang
mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya
kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah)
dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak
menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka
dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]
Semua
hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka
semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada
satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti
Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr,
Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin
Nas.[7]
Adapun
anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang
benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini
menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]
Kesalahan
Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
مَرْحَبًا
يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا
Selamat
datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain
selamat datang.
Bukankah
ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara
fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad
nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja.
Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari
dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya.
Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang
tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak
mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada
bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah
ruhnya.
يَا
نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Wahai
Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Para
pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan
membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah
dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah
menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati
benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin,
setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah
putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara
diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah
putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja
harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada
orang lain?[9]
Ini
adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara,
sedangkan kedudukan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mulia dan
derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin
beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah
yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena
termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu
Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan
dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya,
menjauhi larangannya, dan mencintainya.
Melakukan
amalan bid'ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan
terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara
perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut
termasuk bid'ah yang tercela.
Manusia
yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah para sahabat Radhiyallahu 'anhum -semoga Allah meridhai mereka-
sebagaimana perkataan Urwah bin Mas'ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi
Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan
kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah
aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya
sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengagungkan
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka,
melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia
memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air
wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak
berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]
Bentuk
pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas
sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian
berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang hadir
di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka
tidak akan meninggalkannya.
Jika
para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara
kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.
Memang
benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat
anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai
keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun
terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar,
hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu 'anhum agar berdiri dalam rangka
membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu 'anhu turun dari keledainya, karena dia
sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi
mengagungkannya secara berlebihan[13].
Kesalahan
Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
فِيْكَ
قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
Padamu
sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi
peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Sikap
berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi
derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam
perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sikap yang
sangat dibenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan termasuk
perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi
petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan
menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam
mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu
Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan
utusan-Nya”.[14]
Telah
dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu
bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada
Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah
tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak
menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana
dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan
kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu
sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya
tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu
'alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan
anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang
terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan
biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]
Termasuk
perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali
kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa
Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]
Cukuplah
dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan
pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan
menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi
petunjuk.
Kesalahan
Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Para
pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla :
"Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah
kamu untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya". [al-Ahzâb/ 33:56]
Ayat
ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap
peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas
merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di
manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidak
dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terutama
ketika mendengar nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sangat
dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa
mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:
1).
Terkena doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di
sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman" [Al-Ahzâb/ 33:43]
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman" [Al-Ahzâb/ 33:43]
Bahkan,
membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk
bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra'du/ 13:28). Tetapi dengan syarat
membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata,
bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat
ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat
murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena
membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi,
dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap
Syariat.
Kesalahan
Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
وَماَ
زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ
أَرْدَانٍ
Nur
Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang
sulbi suci nan murni.
Bandingkanlah
dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu
keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di
ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.
Demikian
juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ'i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam
Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[2]
Perlu
kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut
yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum
Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan
menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak
ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada
Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini
prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah
kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka
menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu
mampu memberi syafaat dan menolong mereka.
Demikian
uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga
bermanfaat.[23]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam'i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ' : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ' : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam'i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ' : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ' : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.