Oleh :
Asy-Syaikh 'Abdurrahman bin Naashir As-Sa'diy rahimahullah
Dari Abu
Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam, beliau bersabda
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ،
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan
untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena
banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para
nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian,
tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan
sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian” [Muttafaqun
’alaihi].[1]
Pertanyaan yang dilarang oleh Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam darinya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah ta’ala :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ
تَسُؤْكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS.
Al-Maaidah : 101].
Ia merupakan pertanyaan terhadap sesuatu
yang ghaib, dimaafkan oleh Allah, atau tidak diharamkan dan tidak pula
diwajibkan oleh Allah. Orang yang bertanya tentang hal itu pada waktu turunnya
wahyu dan syari’at, boleh jadi akan menjadi wajib karena pertanyaan tersebut.
Maka, masuklah orang yang bertanya sebagai orang yang dicela dalam sabda
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
إِنَّ
أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْماً مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ
فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.
”Sesungguhnya orang Islam yang paling
besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak
diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu”.[2]
Seseorang dilarang bertanya untuk
menentang dan mencari-cari kesalahan, serta menanyakan suatu perkara yang tidak
penting yang di sisi lain meninggalkan pertanyaan tentang perkara yang lebih
penting.Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti ini dan sejenisnya yang dilarang
oleh syari’at.
Adapun pertanyaan untuk mencari
bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya
atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu
’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena merupakan sarana
untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat syari’at ini. Allah ta’ala telah
berfirman :
فَاسْأَلُواْ
أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
”Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS.
Al-Anbiyaa’ : 7].
وَاسْأَلْ
مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً
يُعْبَدُونَ
”Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami
yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan
untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?" [QS.
Az-Zukhruf : 45].
Dan ayat-ayat yang lainnya.
Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wa sallam telah bersabda :
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراًَ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
”Barangsiapa yang Allah kehendaki
dengannya kebaikan, niscaya Allah akan pahamkan ia dalam ilmu agama”.[3]
Semua itu diperoleh melalui jalan at-tafaqquh
fid-diin (memahami ilmu agama), baik melalui penelitian, belajar,
maupun bertanya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah
bersabda :
أَلَا
سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السَّؤَالُ.
”Mengapa mereka tidak bertanya jika
tidak mengerti ? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya”.[4]
Allah ta’ala telah
memerintahkan kita untuk bersikap lemah-lembut kepada orang yang bertanya dan
memberikan apa yang dimintanya dengan tidak menghardiknya; sebagaimana
firman-Nya ta’ala :
وَأَمَّا
السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ
”Dan terhadap orang yang meminta-minta,
maka janganlah kamu menghardiknya” [QS.
Adl-Dluha : 10].
Yang dimaksud ”orang yang
meminta-minta” dalam ayat ini meliputi orang yang meminta[5] ilmu
yang bermanfaat dan kebutuhkan duniawi, harta atau yang lainnya.
Termasuk dalam cakupan (larangan) dalam
hadits di awal adalah : Bertanya tentang kaifiyah shifat
Al-Baariy (yaitu Allah). Karena masalah shifat ini seluruhnya adalah
sebagaimana dikatakan Al-Imam Malik kepada orang yang bertanya kepadanya
tentang kaifiyah istiwaa’-nya Allah ta’ala di atas
’Arsy :
"الاستواء معلوم. والكيف مجهول. والإيمان به واجب. والسؤال
عنه بدعة"
”Istiwaa’-nya
Allah itu telah diketahui (maknanya), kaifiyah (bagaimana/hakekat)-nya
tidak diketahui, mengimaninya (istiwaa’) adalah wajib, dan
mempertanyakannya adalah bid’ah”.[6]
Barangsiapa
yang bertanya tentang kaifiyah shifat Allah atau bagaimana
penciptaan dan pengaturan-Nya, maka katakanlah kepadanya : “Sebagaimana Dzat
Allah ta’ala tidak serupa dengan dzat makhluk-makhluk-Nya,
maka shifat-Nya juga tidak serupa dengan shifat makhluk-makhluk-Nya”.
Semua
makhluk mengenal Allah melalui pengenalan terhadap shifat-shifat dan
perbuatan-perbuatan-Nya. Adapun kaifiyah tentang itu semua,
maka tidak ada yang mengetahui melainkan Allah ta’ala.
Kemudian,
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits
dua kaidah yang sangat besar :
Pertama, perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : { فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ } “Maka
apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah”. Segala sesuatu
yang dilarang oleh Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan dan
perbuatan yang lahir maupun batin, maka wajib untuk ditinggalkan dan menahan
diri darinya; sebagai wujud pelaksanaan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan tidaklah dikatakan dalam hal
larangan : ”semampu kalian”. Hal itu dikarenakan suatu larangan
mengandung tuntutan untuk menahan diri yang mana setiap orang mampu untuk
melakukannya. Setiap orang pada hakekatnya mampu untuk meninggalkan seluruh apa
yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia sama sekali tidak terdesak
untuk membutuhkan hal-hal yang diharamkan secara mutlak, karena hal-hal yang
dihalalkan itu sangat luas meliputi seluruh makhluk; baik dalam hal ibadah,
mu’amalah, maupun pengaturan mereka.
Adapun kebolehan memakan bangkai, darah,
dan daging babi hanyalah bagi mereka yang terpaksa untuk melakukannya; karena
dalam kondisi terpaksa, maka hal itu menjadi halal bagi mereka. Hal-hal yang
sifatnya dlarurat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang (الضرورات تبيح
المحظورات).[7] Maka,
hal-hal yang dilarang menjadi diperbolehkan karena keadaan dlarurat.
Allah ta’ala hanyalah melarang sesuatu yang haram sebagai satu
penjagaan dan pemeliharaan bagi hamba-Nya dari kejelakan dan kerusakan,
sekaligus menetapkan kemaslahatan bagi mereka. Apabila hal-hal yang diharamkan
itu berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar – yaitu untuk
mempertahankan hidup manusia – maka didahulukanlah kemaslahatan tersebut
(sehingga membolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan) sebagai satu rahmat
dan kebaikan dari Allah ta’ala.
Adapun pengobatan, maka tidak termasuk
cakupan dalam bab ini. Sebab, obat bukan termasuk bagian dari dlarurat.
Allah ta’ala menyembuhkan orang sakit dengan sebab yang
bermacam-macam, bukan hanya disebabkan satu obat tertentu saja – meskipun obat
itu diduga kuat dapat menyembuhkan sakit tersebut. Tidak diperbolehkan bagi
seseorang untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan, seperti khamr (minuman
keras), susu keledai jinak, dan yang semisalnya dari hal-hal yang diharamkan.
Berbeda halnya dengan kasus diperbolehkannya memakan bangkai (dalam keadaan
terpaksa); karena orang yang melakukan mempunyai keyakinan jika ia tidak
memakannya, maka ia akan mati.
Kedua,
perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam : { وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ }”Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian,
kerjakanlah semampu kalian”. Ini adalah satu kaidah yang sangat besar, yang
ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
”Maka bertaqwalah kamu kepada Alah
menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16].
Semua perkara syari’at ditentukan
menurut kesanggupan dan kemampuan seorang hamba. Apabila ia tidak mampu
melaksanakan satu kewajiban secara keseluruhan dari kewajiban-kewajiban (yang
dibebankan kepadanya), maka gugurlah kewajiban itu darinya. Jika ia mampu
melaksanakan sebagian dari kewajiban tersebut – dari sebagian perkara ibadah –
maka ia wajib melaksanakan dari apa yang ia mampu, dan gugur apa-apa yang ia
tidak mampu melaksanakannya.
Masuk dalam hal ini berbagai perkara
fiqh dan hukum yang tidak terhitung. Seorang yang sakit wajib shalat dengan
berdiri (jika sanggup). Apabila tidak sanggup, maka boleh dengan duduk. Apabila
tidak sanggup duduk, maka boleh dengan berbaring. Dan apabila hal itu tidak
sanggup dilakukan juga, maka boleh dengan isyarat kepala atau dengan gerakan
mata.
Seseorang wajib untuk berpuasa selama ia
mampu. Apabila ia tidak mampu karena sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya,
maka ia dapat menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap
harinya. Namun bila sakitnya masih bisa diharapkan untuk sembuh, maka ia dapat
berbuka dan mengganti puasanya (sejumlah hari yang ditinggalkan) pada waktu yang
lain.
Termasuk juga, orang yang tidak
mendapatkan pakaian penutup untuk shalat wajib, tidak mengetahui arah kiblat,
atau sulit melepaskan najis; maka gugurlah apa yang tidak ia sanggupi itu.
Begitu pula dengan hal-hal yang terkait dengan syarat-syarat dan rukun-rukun
shalat atau syarat-syarat thaharah (bersuci). Barangsiapa yang
mempunyai ’udzur bersuci dengan air karena tidak
mendapatkannya atau karena bahaya yang ditimbulkan dalam bersuci baik sebagian
atau seluruhnya, maka diperbolehkan baginya untuk bertayamum.
Orang lumpuh yang tidak mampu berhaji,
maka boleh mencari orang yang menggantikannya untuk melaksanakan ibadah haji,
jika dari segi harta mampu untuk melakukannya.
Memerintahkan yang ma’ruf dan
mencegah kemunkaran, wajib dilakukan dengan tangan bagi orang yang mempunyai
kemampuan, kemudian (jika tidak mampu) dengan lisan, dan kemudian (jika tidak
mampu) dengan hati.
Tidak mengapa bagi orang buta, pincang,
dan sakit untuk meninggalkan ibadah-ibadah yang mereka tidak mampu atau berat
melaksanakannya karena beban/kesulitan yang tidak mampu mereka pikul.
Siapa saja yang dibebankan padanya untuk
memberi nafkah wajib, namun tidak mampu memberikannya secara keseluruhan;
hendaklah ia mulai (memberi nafkah) kepada istrinya, kemudian anaknya, kemudian
kedua orang tuanya, kemudian orang-orang yang terdekat dengannya setelahnya.
Begitu juga dalam masalah zakat fithrah.
Demikianlah, semua perintah yang
diterima oleh seorang hamba - baik yang wajib ataupun yang sunnah - jika ia
mampu pada sebagiannya namun tidak mampu pada sebagian yang lain, maka wajib
baginya untuk mengerjakan apa yang ia disanggupi dan gugur baginya apa yang
tidak ia sanggupi. Semua itu masuk dalam hadits ini.
Adapun masalah undian, maka masuk dalam
kaidah ini juga. Karena pemasalahannya rancu untuk menentukan siapa yang lebih
berhak atasnya; maka kita kembalikan pada faktor-faktor yang menguatkannya.
Jika hal itu belum juga memungkinkan (sama sekali tidak ada faktor penguat),
maka kewajiban ini gugur karena ketidakmampuan, dan kemudian beralih pada cara
undian dimana itu merupakan hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan.
Permasalahan seperti ini banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh.
Kekuasaan semuanya – baik yang besar
maupun yang kecil – masuk dalam kaidah ini juga. Karena semua kekuasaan
mewajibkan adanya penugasan kepada orang yang mempunyai sifat tertentu yang
dengan itu akan tercapai tujuan kekuasaan atau jabatan tersebut. Apabila tidak
ada orang yang mempunyai sifat tersebut secara keseluruhan, maka wajib dipilih
yang menyerupainya atau yang mendekatinya.
Sebagaimana kaidah ini ditetapkan
berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits, maka dalam masalah ini diambil pula
dalil dari ayat-ayat dan hadits-hadits dimana Allah dan Rasul-Nya (pada
asalnya) meniadakan kesulitan kepada umat manusia. Hal itu sebagaimana firman
Allah ta’ala :
لاَ
يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
”Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS.
Al-Baqarah : 286].
لِيُنفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا
آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا
”Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” [QS. Ath-Thalaq : 7].
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
”Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [QS.
Al-Hajj : 78].
مَا
يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
”Allah tidak hendak menyulitkan kamu” [QS. Al-Maaidah : 6].
يُرِيدُ
اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS.
Al-Baqarah : 185].
يُرِيدُ
اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ
”Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu” [QS. An-Nisaa’ : 28].
Sesungguhnya berbagai keringanan
syari’at dalam ibadah dan yang lainnya dengan semua jenisnya masuk ke dalam
kaidah pokok ini. Dan apa-apa yang dijadikan dalil atas hal ini adalah berupa
nama-nama dan shifat-shifat Allah ta’ala yang mengharuskan
demikian; seperti Al-Hamdu (Yang Terpuji), Al-Hikmah,
Rahmat yang Luas, Lembut, Pemurah, dan (Pemberi) Anugerah. Maka pancaran dari
nama-nama yang mulia lagi indah ini melimpah dan merata secara luas kepada
seluruh makhluk dan aturan-Nya. Hal itu sebagaimana terjadi dalam
perkara-perkara syari’at. Bahkan lebih besar lagi. Karena hal itu merupakan
tujuan penciptaan dan sarana yang agung untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Maka Allah ta’ala menciptakan mukallifin untuk
melakukan ibadah kepada-Nya, dan menjadikan ibadah dan pelaksanaan syari’at-Nya
sebagai satu jalan untuk menggapai keridlaan dan kemuliaan-Nya. Sebagaimana hal
itu difirmankan Allah ta’ala – setelah Ia mensyari’atkan thaharah dengan
segala macamnya - :
مَا
يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ
لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya
kamu bersyukur” [QS. Al-Maaidah : 6].
Tampaklah pancaran rahmat dan nikmat-Nya
dalam segala syari’at dan apa-apa yang diperbolehkan oleh-Nya (dari
perkara-perkara mubah), sebagaimana hal ini sangat terasa pada
semua yang ada di alam ini. Hingga, hanya Allah lah Yang Maha Tinggi yang
berhak untuk menerima pujian, rasa syukur, sanjungan, rasa cinta, dan
pengagungan yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Wabillahit-Taufiq.
[Ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Bahjatul-Quluubil-Abraar
wa Qurratu ’Uyunil-Akhyaar fii Syarhi Jawaami’il-Akhbaar karya
Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah, hal.
183-187, tahqiq : ’Abdul-Kariim bin Rasmiy Aalu Ad-Daariiniy; Maktabah
Ar-Rusyd, Cet. 2, Thn. 1422/2002].
[4] Hasan;
dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 336, Ad-Daaruquthni no. 69 – cet. Hindiyyah, dan
Al-Baihaqi 1/228 dari Jabir radliyallaahu ’anhu. Ia mempunyai syaahid dari
hadits Ibnu ’Abbasradliyallaahu ’anhuma yang dikeluarkan oleh Abu
Dawud no. 333, Ibnu Majah no. 572, Ibnu Hibban no. 201 – Al-Mawaarid,
Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/317-318, dan Al-Haakim 1/188 atau
no. 649 – cet. Al-Ma’rifah. Lihat Irwaaul-Ghaliil no. 105.
[6] Dikeluarkan
oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 104,
Ash-Shaabuuniy dalamAqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits no. 24-26,
Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/325-326, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat no. 866-867 – cet. Al-Haasyidiy, Al-Laalikaaiy
dalam As-Sunnahno. 664, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/151
dari beberapa jalan. Sanad riwayat ini adalah jayyid sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 3/406-407. Lihat Al-I’tishaam 1/226
oleh Asy-Syaathibiy dengan ta’liq Asy-Syaikh Masyhur hafidhahullah.
[7] Kaidah
ini diimbangi dengan kaidah : “Kedlaruratan itu ditentukan sesuai dengan
kadarnya” (الضرورة تقدّر بقدرها). Sehingga wajib
bagi mereka yang terdesak untuk mengambil yang haram sekedarnya saja untuk
mempertahankan hidupnya tanpa berlebihan. Dan ketika pembatasan ini
tidak baku, maka Allah ta’ala sebutkan pembolehan bangkai
dan darah hanya untuk orang yang terpaksa saja. Allah ta’ala telah
berfirman :
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Maaidah : 3].
Yaitu
dimaafkan baginya apa-apa yang lebih dari kebutuhan (karena terpaksa). Wallaahul-Muwaffiq.
from=
http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/02/larangan-banyak-bertanya-prinsip-dalam.html