Oleh : Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman hafidhahullah [1]
عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
Ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ saat singgah di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (25 Juni 2008).
عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
Dari Hushain
(bin ’Abdirrahman) dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata
bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas minbar dengan
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka
‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelakkan kedua
tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam ketika berada di atas minbar tidak menambahkan
sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan
dengan jari telunjuknya” [HR. Muslim no. 874].
An-Nawawi berkata :
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ
”Bahwasannya
yang sesuai dengan sunnah adalah hendaknya tidak mengangkat tangan
ketika berkhutbah. Ini adalah pendapat Malik, para shahabat kami (para
ulama madzhab Syafi’iyyah), dan yang lainnya”. [2]
Perkataan ’Umaarah : ”Semoga Allah menjelakkan kedua ini” ;
maksudnya adalah kedua tangan Bisyr yang diangkat ketika berkhutbah,
dan beliau mendoakannya dengan kejelekan. Hal itu dikarenakan
mengangkat tangan ketika berkhutbah menyalahi sunnah. Dan segala
sesuatu yang menyalahi sunnah tertolak dan tercela.[3]
Yang dimaksud
dengan mengangkat kedua tangan adalah mengangkat tangan ketika berdoa
dan berkhutbah kepada jama’ah untuk memberikan peringatan,
sebagaimana kebiasaan para khathib dan pemberi nasihat, bukan
mengangkat tangan sebagai bentuk penghormatan. [4]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
ويكره للإمام رفع يديه حال الدّعاء في الخطبة ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما كان يشير بأصبعه إذا دعا
”Makruh
bagi seorang khathib untuk mengangat kedua tangannya ketika berdoa
dalam khutbah, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam hanya
berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya ketika berdoa”. [5]
Abu Syaammah
berkata, dan kemudian diikuti oleh As-Suyuthi terkait dengan para imam
yang mengangkat tangan mereka ketika berkhutbah :
وأما رفع أيديهم عند الدّعاء ، فبدعة قديمة
”Adapun mengangkat tangan ketika berdoa adalah bid’ah yang telah lama ada”. [6]
Begitu juga yang dikatakan oleh Al-Majd. Lihat kitab Al-Inshaaf karya Al-Mawardi (2/398).
Az-Zarqani
berkata : “Ibnu Habiib berkata : ‘Bukan termasuk sunnah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan ketika
berdoa dalam khutbah, kecuali karena takut terhadap musuh atau musim
paceklik atau ada perkara penting lainnya. Dalam kondisi tersebut tidak
masalah jika seorang imam memerintahkan para jama’ah untuk
mengangkat tangan”.[7]
Sedangkan Ibnu ’Abidin menyatakan bahwa hal itu makruh, yaitu makruh yang mendekati keharaman (Al-Karaahatut-Tahriim).[8]
Al-Laknawy menyerupakan hal tersebut dengan bid’ah sesat yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan, dengan mengatakan :
وكذلك : رفع اليدين للدعاء في خطبة الجمعة ، فعله بشر بن مروان ، وأنكره عليه عمارة
”Begitu
juga mengangkat kedua tangan ketika berdoa dalam khutbah Jum’at,
sebagaimana yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan dan ditentang oleh
’Umaarah”. [9]
As-Safaariiny Al-Hanbaly berkata :
قال
علماؤنا وغيرهم : يكزه للإِمام رفع يديه حال الدّعاء في الخطبة . قال
المجد : هو بدعة . وفاقاً للمالكية ، والشافعية ، وغيرهم ، ولا بأس أن
يشير بأصبعه فيها
“Ulama
kami (yaitu ulama madzhab Hanabilah) dan yang lainnya berkata :
‘Makruh bagi seorang imam untuk mengangkat kedua tangannya ketika
berdoa dalam khutbah. Telah berkata Al-Majd : Hal tersebut adalah
bid’ah, sesuai dengan pendapat ulama Malikiyyah,
Syafi’iyyah, dan yang lainnya. Dan tidak mengapa untuk berisyarat
dengan jarinya ketika berkhutbah”.[10]
Oleh karena itu,
mayoritas ulama dan ahli hadits menolak orang yang memerintahkan untuk
mengangkat kedua tangan dalam khutbah Jum’at. Abu Zur’ah
Ad-Dimasyqi dalam kitabnya At-Taariikh (1/603-604 nomor 1712) dengan sanad shahih meriwayatkan kepada Habiib bin ‘Ubaid, ia berkata :
إن عبد الملك سأل غضيف بن الحارث الثمالي أن يرفع يديه على المنبر ، فقال : أما أنا فلا أُجيبك إليها
“Sesungguhnya
‘Abdul-Malik meminta Ghudlaif bin Al-Haarits Ats-Tsamaaliy untuk
mengangkat kedua tangannya di atas minbar. Maka ia (Ghudlaif) berkata :
“Aku tidak mematuhi perintahmu untuk mengangkat tangan”.
[selesai]
Abu Zur’ah dalam kitab Taariikh-nya (nomor 1713) dan Ibnu ’Asaakir dalam Taarikh Dimasyq(5/244/a-b) meriwayatkan dari Ibnu Jaabir bahwasannya ia berkata :
أمر عبد الملك أبا إدريس الخولاني أن يرفع يديه ، فأبى
”Abdul-Malik
bin Marwan memerintahkan Abu Idris Al-Khaulaniy untuk mengangkat kedua
tangannya, namun ia menolaknya”. [selesai]
Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu disebutkan di sini :
Pertama :
Sesungguhnya orang yang pertama kali mengangkat kedua tangannya dalam
khutbah Jum’at adalah ’Ubaidillah bin Ma’mar
sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta’jiilul-Manfa’ah (274).
Kedua :
Sesungguhnya larangan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa
adalah khusus ketika khutbah Jum’at. Dalam hal ini tidaklah
bermakna tidak diperbolehkan mengangkat tangan ketika berdoa secara
umum, karena terdapat beberapa hadits yang mensyari’atkannya.[11]
Ketiga : Sesungguhnya hadits riwayat ’Umaarah di atas tidak berlaku mutlak, tetapi bisa dikecualikan dengan khutbah shalat Istisqaa’ (meminta hujan) pada hari Jum’at.
Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (2/413 nomor 933) dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata :
أصابت
النّاسَ سنةٌ على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، فبينا النبيُّ صلى الله
عليه وسلم يخطبُ في يوم الجمعة ، قام أعرابي فقال : يا رسول الله ! هلك
المال ، وجاع العيال ، فادعُ الله لنا . فرفع يديه ـ وما نرى في السماء
قَزَعةً ـ ، فوالذي نفسي بيده ما وضعها حتى ثار السّحابُ أمثال الجبال ،
ثم لم ينزل عن منبره حتى رأيت المطر يتحادرُ على لحيته صلى الله عليه وسلم
، ...
”Pada masa
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah terjadi kemarau yang
panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah
pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata
: ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah
kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan
hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya –
ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya,
hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak turun dari mimbar hingga aku
melihat hujan menetes deras di jenggotnya” . [selesai]
Al-Baghawi berkata : ”Mengangkat kedua tangan dalam khutbah tidak disyari’atkan, sedangkan dalam khutbah Istisqaa’ disunnahkan. Ketika Istisqaa’ dilakukan
pada saat khutbah Jum’at, hendaknya mengangkat kedua tangannya
mengikuti apa yang dilakukan Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam”.[12]
Ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ saat singgah di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (25 Juni 2008).
=============
Catatan kaki :
[1] Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 392-393 dengan sedikit perubahan.
[2] Syarhun-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim (6/162).
[3] Lihat kitab Badzlul-Majhuud fii Hill Abi Dawud (6/106).
[4] Ibid.
[5] Al-Ikhtiyaaraat Al-‘Ilmiyyah halaman 48.
[6] Al-Baa’its halaman 84 dan Al-Amru bil-Ittibaa’ halaman 247.
[7] Syarh Az-Zarqani ‘alaa Mukhtashar Sayyidi Khaliil (1/60).
[8] Haasyiyah Ibni ‘Abidin (1/769).
[9] Iqaamatul-Hujjah halaman 27.
[10] Syarh Tsulaatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (3/679).
[11] Lihat Fathul-Baari (10/143).
[12] Syarhus-Sunnah (4/257).