Banyak orang yang salah dalam memahami hadits:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“(yang artinya:) Sampaikanlah DARIKU (yakni dari Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi
wa sallam) walau hanya satu ayat 1”
[HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274]
Demikian pula dengan hadits:
لِيَبْلُغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir…”
(Muttafaqun ‘alaih)
Karena kita TIDAK ASAL MENYAMPAIKAN, karena sebelum menyampaikan kita
harus memperhatikan :
1. Ilmu yang disampaikan haruslah SHAHIH, yang berasal dari al-qur’an dan
as-sunnah yang SHAHIH, bukan hadits-hadits DHAIF atau MAUDHU’.
2. Ilmu yang disampaikan harus disampaikan DENGAN PEMAHAMAN YANG BENAR.
Karena bisa jadi ilmu tersebut walaupun shahih, tapi ternyata kita tidak
memahaminya seperti yang diinginkan Allåh dan RåsulNya.
3. Ilmu yang disampaikan hendaknya disertai penguasaan yang baik; yang
kita harus benar-benar memahami Ilmu tersebut. Yang dengan penguasaan yang baik
ini, kita bebas dari segala kerancuan/kesalahpahaman/kekeliruan terhadapnya.
Penguasaan yang baik juga akan menjadikan kita berdiri diatas BAYAN
(penjelasan) yang TERANG, JELAS dan KEYAKINAN (tanpa keragu-raguan dan
kerancuan). Kita pun mengetahui jawaban-jawaban syubuhat yang berkaitan dengan
hal tersebut, sehingga jika ada yang mendebat dengan syubuhat tersebut, maka
kita dapat menjawabnya. Sehingga semoga kita dapat menjadi sebab hidayah kepada
orang yang kita sampaikan…
4. Tidak lupa dan yang tidak kalah pentingnya, kita pun mengetahui
MASLAHAT dan MUDHARAT dari penyampaian ilmu ini. Karena tidak setiap ilmu
yang kita miliki harus kita sampaikan.
Dari Mu’adz radliallahu ‘anhu berkata: “Aku pernah membonceng di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diatas
seekor keledai yang diberi nama ‘Uqoir. Lalu Beliau bertanya:
يَا
مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى
اللَّهِ
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa
hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?”
Aku jawab: “Allah dan Rosul-Nya
yang lebih tahu”. Beliau bersabda:
فَإِنَّ
حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا
يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab:
لَا
تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Jangan kamu beritahukan mereka
sebab nanti mereka akan berpasrah saja”. (HR. Bukhariy)
‘Ali bin abi thalib radhiallahu ‘anhu, berkata : “Berbicaralah kepada manusia dengan ucapan yang mereka fahami. Apakah kalian ingin Allah dan RasulNya di dustakan?!!” [diriwayatkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al Fatawi Al Kubra; juga Imam Adz Dzahabi dalam Syi'ar A'lam An Nubala]
Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah engkau menyampaikan
(suatu ilmu) kepada suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang tidak bisa
dicapai oleh akal mereka melainkan pasti akan menimbulkan fitnah/kesalahpahaman
pada sebagian mereka.” (HR. Muslim dalam mukadimah shahihnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “…Sangat dianjurkan untuk tidak
menyampaikan hadits kepada orang yang ditakutkan (baca: dicurigai) akan membawa
hadits tersebut ke arah kesesatan…”(Fathul Bari: 1/45)
Maka jika ada -SATU saja- ILMU yang kita miliki dan memenuhi kriteria diatas. MAKA
SAMPAIKANLAH.. Maka jika kita tidak memenuhi salah satu syarat diatas (atau bahkan tidak
memenuhi syarat diatas), MAKA BELAJARLAH terlebih dahulu. Janganlah
semangatmu mendahului ilmumu!
Al-Qosim bin Muhammad berkata, “Termasuk bentuk pemuliaan
seseorang terhadap dirinya yaitu ia tidak berkata kecuali sesuatu yang ia
telah kuasai ilmunya” [Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam
Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805]
Wallåhu a’lam
Semoga bermanfa’at
_________
Catatan Kaki
- Para ulama berbeda pendapat tentang makna “ayat” dalam
hadits ini 1. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an.
Berkata Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami dengan mafhum awlawi”
(Umdatul Qori 16/45)
- Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan
yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, atsar
salafush shålih, dll. )
- Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum
yang diwahyukan kepada Nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam. Maka lebih luas
daripada hanya sekedar ayat yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360)
from=http://tarbiyahdztiyah.blogspot.com/2012/12/salah-kaprah-dengan-hadits-sampaikanlah.html