Islam Pedoman Hidup: Celaan terhadap Ambisi Memperoleh Kepemimpinan/Jabatan

Rabu, 10 Februari 2016

Celaan terhadap Ambisi Memperoleh Kepemimpinan/Jabatan


Dari ‘Abdurrahman bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah berkata kepadaku Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam “Wahai ‘Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan kepemimpinan. Karena sesungguhnya jika engkau diberikan karena memintanya, maka jabatan tersebut akan sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya. Jika engkau bersumpah dengan satu sumpah dimana saat itu engkau melihat hal lain yang lebih baik (dari sumpahmu itu), maka ambilah yang lebih baik itu dan tebuslah sumpahmu” [Muttafaqun ’alaihi].[1]

Hadits ini menghimpun dua kalimat yang sangat agung, yaitu :

Pertama, bahwasannya jabatan kepemimpinan dan yang sejenisnya termasuk perwalian/kekuasaan atas manusia (yang lainnya) yang tidak sepantasnya seorang hamba mengharapkan menuntut atau menawarkan dirinya untuk itu.  Bahkan hendaknya dirinya meminta kepada Allah keselamatan, karena pada hakekatnya ia tidak tahu apakah kekuasaan itu nantinya berakibat baik atau buruk baginya. Ia juga tidak tahu apakah ia mampu menjalankan amanah kepemimpinan itu atau tidak. Apabila ia (memperoleh kepemimpinan) itu karena meminta dan berambisi terhadapnya, maka ia akan dibiarkan dengan beban tanggung jawab jabatan itu. Jika ada seorang hamba yang dibiarkan dengan tanggung jawab jabatan kepada dirinya, maka artinya ia tidak mendapat bimbingan (dari Allah), tidak diluruskan dan ditolong dalam segala urusannya.

Permintaan di sini menunjukkan dua hal yang harus dihindari :
1)     Ambisi terhadap dunia dan kepemimpinan yang hal ini akan menyebabkan orang lain berburuk sangka (bahwa ia) telah menggunakan harta Allah (secara tidak benar) dan bersikap sombong terhadap manusia.
2)     Adanya tawakkal kepada dirinya sendiri sehingga lepas dari dari sikap isti’anah kepada Allah. Oleh karena itu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan : {وكلت إليها} “maka jabatan tersebut akan sepenuhnya akan dibebankan kepadamu”.

Adapun bagi orang yang tidak berambisi dan tidak mengincar jabatan kepemimpinan, sementara jabatan itu datang kepadanya tanpa diminta, dan di sisi lain ia senantiasa memandang ketidakmampuan dirinya; maka Allah akan membantunya dan tidak membiarkannya sendiri dengan tanggung jawab jabatan itu. Hal itu dikarenakan ia tidaklah mengejar ujian dan cobaan (kekuasaan). Barangsiapa yang didatangi ujian dan cobaan tanpa ia ada kesengajaan ikhtiyar menujunya, maka ia akan dilepaskan darinya dan diberikan taufiq untuk menjalankan tugas-tugasnya. Dalam keadaan seperti ini justru semakin kuatlah rasa tawakal-nya kepada Allah; sehingga jika ia menjalankan semua tanggung jawab jabatan dengan sebab rasa tawakal-nya kepada Allah, tentu akan berhasil.

Pada sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : {أُعِنت عليها} “engkau akan dibantu dalam melaksanakannya”; adalah dalil bahwasannya jabatan atau kekuasaan duniawi itu meliputi dua perkara : yaitu perkara agama dan perkara dunia. Sesungguhnya, tujuan dari kekuasaan itu adalah terciptanya kemaslahatan agama manusia dan dunia mereka.

Karena itulah, kekuasaan itu berkaitan dengan adanya perintah dan larangan, keharusan melaksanakan setiap kewajiban, peringatan dari perkara yang diharamkan, serta keharusan menunaikan hak-hak yang ada. Begitu pula masalah kepemerintahan (politik) dan jihad. Semua itu – bagi siapa saja yang mengikhlaskannya karena Allah dan benar-benar menjalankan segala tugas kewajibannya (dalam tanggung jawab jabatan kepemimpinan yang ia pikul) – merupakan ibadah yang paling utama. Namun bagi siapa saja yang keadaannya tidak seperti itu, maka (jabatan itu justru menjadi) ancaman yang sangat besar (baginya).

Dan karena itu pula, kekuasaan itu termasuk perkara fardlu kifayah, karena banyak kewajiban yang ditegakkan melalui perantaraannya.

Bila dikatakan : Bagaimana keadaan Nabi Yusuf ‘alaihis-alaam yang meminta jabatan bendaharawan negara, sebagaimana firman-Nya :
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)” [QS. Yusuf : 55] ?

Maka jawaban atas pertanyaan itu adalah firman Allah ta’ala :
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” [QS. Yusuf : 55].

Artinya, Nabi Yusuf meminta jabatan itu demi kemaslahatan yang tidak ada yang dapat menjalankannya selain beliau, dari sisi kesempurnaan penjagaannya (terhadap harta negara) dan pengetahuannya terhadap semua hal yang berkaitan dengan jabatan bendahara. Seperti misal : baik/tepat dalam mengeluarkan serta baik dan adil dalam pengaturan. Itu semua dilakukan dengan sempurna. Maka ketika Nabi Yusuf melihat sang Raja memilih dirinya, mendahulukannya, dan menempatkannya di tempat/kedudukan yang tinggi; maka beliau pun berkewajiban untuk memberikan nasihat secara sempurna bagi Raja dan rakyatnya. Inilah kewajibannya (yang harus beliau jalankan) dalam jabatan itu.

Oleh sebab itu, pada saat memegang jabatan sebagai bendaharawan negara, beliau ’alaihis-salaam berusaha memperkuat bidang pertanian. Sehingga, tidak ada satu bidang tanah pun di seluruh pelosok negeri Mesir yang layak ditanami melainkan beliau ubah menjadi lahan pertanian dalam tujuh tahun. Kemudian beliau menjaga dan memelihara pertanian itu dengan penjagaan yang menakjubkan. Ketika datang tahun-tahun kemarau/paceklik yang memaksa manusia untuk mencari rizki, beliau upayakan timbangan yang adil untuk mereka. Beliau larang para pedagang menjual makanan karena khawatir mempersulit keadaan mereka yang membutuhkan. Akhirnya, tindakan itu membuahkan kemaslahatan dan manfaat yang tidak terhingga, sebagaimana diketahui.

Kedua, sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam :

وإذا حلفت على يمين فرأيت غيرها خيراً منها، فائْتِ الذي هو خير، وكفِّر عن يمينك
Jika engkau bersumpah dengan satu sumpah dimana saat itu engkau melihat hal lain yang lebih baik (dari sumpahmu itu), maka ambilah yang lebih baik itu dan tebuslah sumpahmu”.

Kalimat ini mencakup semua orang yang bersumpah untuk meninggalkan suatu kewajiban atau suatu yang disunnahkan. Maka, hendaklah ia menebus sumpahnya dan mengerjakan kewajiban atau amalan sunnah yang ia tinggalkan. Termasuk orang yang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu hal yang haram atau makruh, maka ia diperintahkan untuk meninggalkan hal yang haram atau makruh tersebut, dan kemudian menebus sumpahnya.

Jadi, sumpah itu ada empat macam yang masuk dalam sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
فائت الذي هو خير
Maka ambilah yang lebih baik itu”.

Karena mengerjakan semua perintah dan meninggalkan semua larangan secara mutlak adalah kebaikan.

Dan inilah makna dari firman Allah ta’ala :
وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ
Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia” [QS. Al-Baqarah : 224].

Yaitu : Janganlah kalian menjadikan sumpah kalian itu sebagai alasan dan penghalang bagi kalian untuk mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, serta perdamaian di antara manusia apabila kalian bersumpah untuk meninggalkan perkara-perkara ini. Namun, tebuslah sumpah-sumpah kalian, dan kerjakanlah kebaikan dan ketaqwaan, serta perdamaian di antara manusia.

Dari hadits di atas dapat diambil satu ketentuan bahwa menjaga sumpah selain perkara-perkara tersebut (mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, serta pedamaian di antara manusia) adalah lebih utama. Jika ia bersumpah untuk mengerjakan satu perintah dan meninggalkan satu larangan, maka tidak sepantasnya untuk membatalkannya. Adapun dalam masalah mubah, maka ia boleh memilih – dan menjaga sumpah itu tetap lebih utama.

Ketahuilah, bahwasannya kaffarat (tebusan) tidaklah diwajibakan selain pada pelanggaran sumpah-sumpah yang ditekadkan untuk dikerjakan pada waktu yang akan datang. Kaffarat tersebut merupakan pilihan dari beberapa hal sebagai berikut, yaitu : membebaskan budak, atau memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada (sepuluh orang dari) mereka. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya (yaitu tiga yang boleh dipilih tersebut), maka harus berpuasa selama tiga hari.

Adapun sumpah yang dilakukan pada perkara-perkara yang telah lalu, atau sumpah main-main seperti ucapan seseorang : ’Tidak demi Allah’ atau ’Bahkan, demi Allah’ di sela-sela pembicaraan; maka tidak ada kaffarat-nya. Wallaahu a’lam.

[Ditulis kembali oleh Abul-Jauzaa’, dari buku : بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار karya Asy-Syaikh ’Abdurahman bin Naashir As-Sa’dy rahimahullah (1307-1376 H), tahqiq : ’Abdul-Karim bin Rasmiy Alu Ad-Dariniy; Maktabah Ar-Rusyd; Cet. 1/1422, hal 124-126].

[1]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 6622) dan Muslim dalam Shahih-nya (no. 1652).

from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/12/celaan-terhadap-ambisi-memperoleh.html