Dari ‘Abdurrahman bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah berkata kepadaku Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wasallam : “Wahai
‘Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan kepemimpinan. Karena
sesungguhnya jika engkau diberikan karena memintanya, maka jabatan tersebut
akan sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika jabatan tersebut diberikan
bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya. Jika
engkau bersumpah dengan satu sumpah dimana saat itu engkau melihat hal lain
yang lebih baik (dari sumpahmu itu), maka ambilah yang lebih baik itu dan
tebuslah sumpahmu” [Muttafaqun ’alaihi].[1]
Pertama, bahwasannya jabatan
kepemimpinan dan yang sejenisnya termasuk perwalian/kekuasaan atas manusia
(yang lainnya) yang tidak sepantasnya seorang hamba mengharapkan menuntut atau
menawarkan dirinya untuk itu. Bahkan hendaknya dirinya meminta kepada
Allah keselamatan, karena pada hakekatnya ia tidak tahu apakah kekuasaan itu
nantinya berakibat baik atau buruk baginya. Ia juga tidak tahu apakah ia
mampu menjalankan amanah kepemimpinan itu atau tidak. Apabila ia (memperoleh
kepemimpinan) itu karena meminta dan berambisi terhadapnya, maka ia akan
dibiarkan dengan beban tanggung jawab jabatan itu. Jika ada seorang hamba yang
dibiarkan dengan tanggung jawab jabatan kepada dirinya, maka artinya ia tidak
mendapat bimbingan (dari Allah), tidak diluruskan dan ditolong dalam segala
urusannya.
Permintaan di sini menunjukkan dua hal yang harus dihindari :
1) Ambisi terhadap dunia dan kepemimpinan yang
hal ini akan menyebabkan orang lain berburuk sangka (bahwa ia) telah
menggunakan harta Allah (secara tidak benar) dan bersikap sombong terhadap
manusia.
2) Adanya tawakkal kepada dirinya sendiri
sehingga lepas dari dari sikap isti’anah kepada Allah. Oleh karena itu
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan : {وكلت إليها} “maka jabatan tersebut akan sepenuhnya akan dibebankan
kepadamu”.
Adapun bagi orang yang tidak berambisi dan tidak mengincar jabatan
kepemimpinan, sementara jabatan itu datang kepadanya tanpa diminta, dan di sisi
lain ia senantiasa memandang ketidakmampuan dirinya; maka Allah akan
membantunya dan tidak membiarkannya sendiri dengan tanggung jawab jabatan itu.
Hal itu dikarenakan ia tidaklah mengejar ujian dan cobaan (kekuasaan).
Barangsiapa yang didatangi ujian dan cobaan tanpa ia ada kesengajaan ikhtiyar menujunya,
maka ia akan dilepaskan darinya dan diberikan taufiq untuk menjalankan
tugas-tugasnya. Dalam keadaan seperti ini justru semakin kuatlah rasa tawakal-nya
kepada Allah; sehingga jika ia menjalankan semua tanggung jawab jabatan dengan
sebab rasa tawakal-nya kepada Allah, tentu akan berhasil.
Pada sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :
{أُعِنت عليها} “engkau akan dibantu dalam
melaksanakannya”; adalah dalil bahwasannya jabatan atau kekuasaan duniawi
itu meliputi dua perkara : yaitu perkara agama dan perkara dunia. Sesungguhnya,
tujuan dari kekuasaan itu adalah terciptanya kemaslahatan agama manusia dan
dunia mereka.
Karena itulah, kekuasaan itu berkaitan dengan adanya perintah dan larangan,
keharusan melaksanakan setiap kewajiban, peringatan dari perkara yang
diharamkan, serta keharusan menunaikan hak-hak yang ada. Begitu pula masalah
kepemerintahan (politik) dan jihad. Semua itu – bagi siapa saja yang
mengikhlaskannya karena Allah dan benar-benar menjalankan segala tugas
kewajibannya (dalam tanggung jawab jabatan kepemimpinan yang ia pikul) –
merupakan ibadah yang paling utama. Namun bagi siapa saja yang keadaannya tidak
seperti itu, maka (jabatan itu justru menjadi) ancaman yang sangat besar
(baginya).
Dan karena itu pula, kekuasaan itu termasuk
perkara fardlu kifayah, karena banyak kewajiban yang ditegakkan melalui
perantaraannya.
Bila dikatakan : Bagaimana keadaan Nabi Yusuf ‘alaihis-alaam yang
meminta jabatan bendaharawan negara, sebagaimana firman-Nya :
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)” [QS.
Yusuf : 55] ?
Maka jawaban atas pertanyaan itu adalah firman
Allah ta’ala :
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
”Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,
lagi berpengetahuan” [QS. Yusuf : 55].
Artinya, Nabi Yusuf meminta jabatan itu demi
kemaslahatan yang tidak ada yang dapat menjalankannya selain beliau, dari sisi
kesempurnaan penjagaannya (terhadap harta negara) dan pengetahuannya terhadap
semua hal yang berkaitan dengan jabatan bendahara. Seperti misal : baik/tepat
dalam mengeluarkan serta baik dan adil dalam pengaturan. Itu
semua dilakukan dengan sempurna. Maka ketika Nabi Yusuf melihat sang Raja
memilih dirinya, mendahulukannya, dan menempatkannya di tempat/kedudukan yang
tinggi; maka beliau pun berkewajiban untuk memberikan nasihat secara sempurna
bagi Raja dan rakyatnya. Inilah kewajibannya (yang harus beliau jalankan) dalam
jabatan itu.
Oleh sebab itu, pada saat memegang jabatan sebagai
bendaharawan negara, beliau ’alaihis-salaam berusaha memperkuat bidang
pertanian. Sehingga, tidak ada satu bidang tanah pun di seluruh pelosok negeri
Mesir yang layak ditanami melainkan beliau ubah menjadi lahan pertanian dalam
tujuh tahun. Kemudian beliau menjaga dan memelihara pertanian itu dengan
penjagaan yang menakjubkan. Ketika datang tahun-tahun kemarau/paceklik yang
memaksa manusia untuk mencari rizki, beliau upayakan timbangan yang adil untuk
mereka. Beliau larang para pedagang menjual makanan karena khawatir mempersulit
keadaan mereka yang membutuhkan. Akhirnya, tindakan itu membuahkan kemaslahatan
dan manfaat yang tidak terhingga, sebagaimana diketahui.
Kedua, sabda beliau shallallaahu
’alaihi wasallam :
وإذا حلفت على يمين فرأيت غيرها خيراً منها، فائْتِ الذي هو خير، وكفِّر عن
يمينك
”Jika engkau bersumpah dengan satu sumpah dimana
saat itu engkau melihat hal lain yang lebih baik (dari sumpahmu itu), maka
ambilah yang lebih baik itu dan tebuslah sumpahmu”.
Kalimat ini mencakup semua orang yang bersumpah
untuk meninggalkan suatu kewajiban atau suatu yang disunnahkan. Maka, hendaklah
ia menebus sumpahnya dan mengerjakan kewajiban atau amalan sunnah yang ia
tinggalkan. Termasuk orang yang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu hal yang
haram atau makruh, maka ia diperintahkan untuk meninggalkan hal yang haram atau
makruh tersebut, dan kemudian menebus sumpahnya.
Jadi, sumpah itu ada empat macam yang masuk dalam
sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
فائت الذي هو خير
”Maka ambilah yang lebih baik itu”.
Karena mengerjakan semua perintah dan meninggalkan
semua larangan secara mutlak adalah kebaikan.
Dan inilah makna dari firman Allah ta’ala :
وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ
وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ
”Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu
sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di
antara manusia” [QS. Al-Baqarah : 224].
Yaitu : Janganlah kalian menjadikan sumpah kalian
itu sebagai alasan dan penghalang bagi kalian untuk mengerjakan kebaikan dan
ketaqwaan, serta perdamaian di antara manusia apabila kalian bersumpah untuk
meninggalkan perkara-perkara ini. Namun, tebuslah sumpah-sumpah kalian, dan
kerjakanlah kebaikan dan ketaqwaan, serta perdamaian di antara manusia.
Dari hadits di atas dapat diambil satu ketentuan
bahwa menjaga sumpah selain perkara-perkara tersebut (mengerjakan kebaikan dan
ketaqwaan, serta pedamaian di antara manusia) adalah lebih utama. Jika ia
bersumpah untuk mengerjakan satu perintah dan meninggalkan satu larangan, maka
tidak sepantasnya untuk membatalkannya. Adapun dalam masalah mubah, maka ia
boleh memilih – dan menjaga sumpah itu tetap lebih utama.
Ketahuilah, bahwasannya kaffarat (tebusan)
tidaklah diwajibakan selain pada pelanggaran sumpah-sumpah yang ditekadkan
untuk dikerjakan pada waktu yang akan datang. Kaffarat tersebut
merupakan pilihan dari beberapa hal sebagai berikut, yaitu : membebaskan budak,
atau memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada
(sepuluh orang dari) mereka. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya (yaitu tiga
yang boleh dipilih tersebut), maka harus berpuasa selama tiga hari.
Adapun sumpah yang dilakukan pada perkara-perkara
yang telah lalu, atau sumpah main-main seperti ucapan seseorang : ’Tidak
demi Allah’ atau ’Bahkan, demi Allah’ di sela-sela pembicaraan;
maka tidak ada kaffarat-nya. Wallaahu a’lam.
[Ditulis kembali oleh
Abul-Jauzaa’, dari buku : بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون
الأخيار في شرح جوامع الأخبار karya Asy-Syaikh ’Abdurahman bin
Naashir As-Sa’dy rahimahullah (1307-1376 H), tahqiq : ’Abdul-Karim bin Rasmiy
Alu Ad-Dariniy; Maktabah Ar-Rusyd; Cet. 1/1422, hal 124-126].
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/12/celaan-terhadap-ambisi-memperoleh.html