Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara
Ikhwah Salafiyyin : TATA CARA MENASEHATI
Oleh
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]
[4]. Pertanyaan
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Mudah-mudahan Allah memberikan
kebaikan pada Anda, sudilah kiranya Anda menjelaskan tentang tata-cara
menasehati serta marotibnya (tingkatan) terhadap orang yang menyelisihi
kita dalam suatu masalah..!?
Jawaban :
Kewajiban Terhadap Orang Yang Menyelisihi Kita Dalam Suatu Masalah:
[a]. Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan dengan dzon (persangkaaan)
[b].
Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang
salah, maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.
[c].
Kembali kepada nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman salaf,
dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama.
[d]. Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya dengan mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini
Adapun
langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa
yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya,
jika tak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka
ubahlah dengan hatinya..
Jadi Kewajiban Kita Adalah :
[a]. Mengingkari kesalahan dalam hati.
Setiap yang kita lihat bersalah harus kita ingkari dengan hati kita,
serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim
[b].
Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu
dalam mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan
hanya satu derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya
oleh manusia, apabila para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya
sehingga hilanglah perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula
yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia,
maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila
terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah melihat pada ahli
ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian diminta
untuk menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung,
tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima
perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan
begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq),
mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.
[c]. Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan,
bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan
kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang
ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap
orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan
batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan pengingkaran itu.
Adapun
jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti
kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak
mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan kekuatan
karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang,
tapi kita melaporkannya pada mereka yang bertanggung jawab atau para
ulama, atau hakim yang melaksanakan kewajiban ini, adapun kewajiban
kita adalah mengingkari sesuai dengan batas kekuasaan kita, kamu di
rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga keluarga kamu,
demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan tidak
menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan
tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar,
jika menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita
mengingkarinya, karena syariat bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan
menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah
keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan maslahat yang lebih
besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi)
[5]. Pertanyaan.
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh mudah-mudahan
Allah memberikan kebaikan kepada Anda, seandainya kita pulang ke tanah
air, kemudian ditanya tentang permasalahan ini, maka apakah jawaban
yang benar dan tepat sehingga tidak menambah perpecahan ..?!
Jawaban:
Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah disebutkan tadi, yaitu kalian berusaha untuk mewujudkan ishlah (perdamaian)
berdasarkan al-haq dan memperdekat sudut pandang mereka serta tidak
menambah perpecahan, wajib bagi kita untuk menasehati dan mendamaikan,
jika tidak mampu maka setidaknya tidak menambah perpecahan, dan kita
katakan pada masyarakat umum :
[*] Janganlah kalian disibukkan oleh hal ini, karena ini bukan urusan kalian, perselisihan ini adalah urusan para penuntut ilmu, tentunya mereka lebih tahu, adapun kalian jangan disibukkan dengan hal ini.
[*] Jagalah agama kalian, juga shalat dan ibadah kalian
[*] Ambillah faidah dari para penuntut ilmu
[*] Dan jangan kalian mengadu antara perkataan mereka satu sama lainnya. Adapun para penuntut ilmu kita katakan pada mereka: Kewajiban kita semua adalah berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah serta mempersatukan hati mereka diatas al-haq, kalau toh tidak mampu, paling tidak kita jauhi permusuhan dan tidak menambah perpecahan, entah kita menghindar dengan baik, atau berusaha mendamaikan.
[*] Jagalah agama kalian, juga shalat dan ibadah kalian
[*] Ambillah faidah dari para penuntut ilmu
[*] Dan jangan kalian mengadu antara perkataan mereka satu sama lainnya. Adapun para penuntut ilmu kita katakan pada mereka: Kewajiban kita semua adalah berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah serta mempersatukan hati mereka diatas al-haq, kalau toh tidak mampu, paling tidak kita jauhi permusuhan dan tidak menambah perpecahan, entah kita menghindar dengan baik, atau berusaha mendamaikan.
[6]. Pertanyaan.
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh.. kitab apakah
yang Anda nasehatkan untuk dibaca dalam masalah ini..?
Jawaban.
Kitab
para ulama ahlus sunnah yang menerangkan manhaj yang haq dalam masalah
ini, ada kitab-kitab yang besar dengan pembahasan yang luas, yang
mungkin tidak mudah untuk difahami oleh setiap penuntut ilmu, yaitu
kitab tentang pokok-pokok aqidah dan nukilan perkataan ulama salaf
seperti kitab As-Sunnah karangan Abdullah bin Imam Ahmad, Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah karangan Imam Al-Laalikai, Kitab As-Sunnah karangan Imam Al-Khollal, Kitab As-Sunnah karangan Imam Ibu Abi Ashim, Kitab Al-Ibanah
karangan Imam Ibnu Batthoh dan kitab-kitab yang lainnya. Ini adalah
kitab-kitab yang menerangkan manhaj yang haq tapi mungkin sulit untuk
dipahami oleh penuntut ilmu, sehingga perlu membaca kitab-kitab yang
menerangkan manhaj ini, seperti kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qoyyim dan ulama setelahnya seperti Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, demikian pula para ulama zaman sekarang yang telah
menjelaskannya pada umat serta menjelaskan batasan-batasan yang benar
dalam masalah ini yang dibutuhkan oleh umat sekarang ini
[7]. Pertanyaan:
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah menjaga Anda sering
sekali kita mendengar tentang Sururiyah, harap Anda jelaskan hakikatnya
..! jazakumullahu khairan..
Jawaban:
Sururiyah
termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian ulama telah
berbicara tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang
telah banyak meneliti pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun
globalnya, Sururiyah adalah: mereka
yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal Abidin, yang di
dalam manhajnya ada penyelewengan dari manhaj ahlus sunnah dalam
masalah dawah dan muamalah terhadap pemerintah, yang diambil dari
manhaj-manhaj lain seperti manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya.
Dan
orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya sebagian mereka- terkadang
berpemikiran sesuai dengan pemikirannya pada sebagian dasar-dasar
manhaj mereka dengan sengaja atau tidak. Akan tetapi tidak benar untuk
menisbatkan setiap orang yang menyeleweng dalam masalah ini kepada
Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya sesuai dengan
aqidah ahlus sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan
mereka, tapi dia telah menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik
dalam pikiran mereka sebagaimana penyimpangan itu terbetik dalam
pikiran sururiyyin, maka tidak boleh kita memecah belah manusia.
Adapun orang yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur serta ridho dengan pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi urusannya,
karena ada sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian
pendapat mereka. Maka kita tidak boleh memecah belah, sebab jika kita
golong-golongkan manusia dan menisbatkan mereka, sangat susah mereka
itu untuk kembali kepada al-haq setelah itu, lain halnya jika kita
katakan: Anda mempunyai kesalahan dalam hal ini, kembalilah pada
al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali.
Kemudian,
pengetahuan tantang jamaah-jamaah yang ada pada zaman sekarang dan
pendalaman pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang
penuntut ilmu dan tidak wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui
keburukan itu secara global, sebagaimana kata Hudzaifah
radhiallaahuanhu: Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang
keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya, dalam hal ini dengan
mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun
menyibukkan diri dengan perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan
Fulan, apa yang ditulis Fulan tentang mereka dan apa bantahannya serta
menghabiskan umur dengan hal ini akan memalingkan kita dari menuntut
ilmu, padahal umur itu pendek
Maka
kewajiban kita adalah untuk mengetahui pokok-pokok aqidah ahlus sunnah,
dasar-dasar ilmu dan mengetahui masalah-masalah syari yang dengannya kita dapat membedakan ahlul haq dan ahlul batil.
Jika kita telah menguasainya maka tak akan terpengaruh dengan perkataan
Fulan, apakah kita mengetahui perkataaannya atau tidak, karena kita
mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita telah tahu aqidah ahlus
sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran),
terkadang kita tidak butuh untuk mengetahui hukum seseorang karena kita
mempunyai kaidah benar yang dengannya kita dapat menghukumi setelah
itu, jika kita telah tahu manhaj ahlus sunnah dalam masalah ( hajrpengucilan),
kita tidak butuh lagi untuk bertanya apakah si Fulan pantas untuk
dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah mengetahui kaidahnya,
kita dapat menerapkannya pada orang lain. Oleh karena itu, manusia
butuh pada ilmu syari dan dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang
keadaan manusia, menukil perselisihan dan perkataan mereka, mungkin
sulit dan melalaikan kita dari menuntut ilmu. Pendapat manusia dan apa
yang ada mereka ada-adakan berupa bid’ah dan perselisihan tak akan ada
habisnya, maka kita sibukkan diri dengan ilmu dan tashil, kemudian
setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam bermuamalah dengan yang
menyimpang.
[8]. Pertanyaan:
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh Semoga Allah
memberikan kebaikan pada Anda. Apakah penyimpangan sebagian orang dalam
manhaj dawah, mengeluarkan mereka dari lingkup Ahlus sunnah wal jamaah
..? jazaakumullahu kahoiron..
Jawaban:
Tidak
diragukan lagi bahwa ahlus sunnah mempunyai manhaj yang jelas dalam
dakwah dan pokok-pokok dawah, manhaj yang jelas dan tetap. Maka siapa
saja yang menyalahi ahlus sunnah dalam manhaj ini, atau sebagian
pokok-pokok yang umum, tidak diragukan lagi bahwa dia telah menyelisihi ahlus sunnah, tapi apakah setiap penyimpangan mengeluarkan orang dari aqidah ahlus sunnah? telah disebutkan tadi (lihat jawaban Syaikh pada soal no.2 peny)
Terkadang
kesalahan itu jelas bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, tapi kita
tidak bisa menghukumi dia keluar dari aqidah ahlus sunnah, karena kita
harus bedakan antara ucapan dan orang yang mengucapkannya
sebagaimana yang kalian ketahui. Adapun ucapan, kita bisa hukumi bahwa
itu bukan pendapat ahlus sunnah, seperti orang yang mencela pemerintah
serta menyebarkan aib-aib pemerintah, menghasut manusia untuk
memberontak atau bahkan mengkafirkan pemerintah walaupun kenyataan
tidak kafir.
Pemimpin-pemimpin
umat Islam pada umumnya alhamdulillah menonjolkan hukum Islam, maka
tidak boleh kita menghukumi mereka (para pemimpin) dengan kekufuran,
walaupun kita dapati mereka berbuat maksiat. Adapun pemimpin yang
jelas-jelas membela agama dan mendakwahkannya, sebagaimana di negara
Saudi ini, juga di negara lainnya, maka tidaklah mencela mereka kecuali
ahlul bidah, tidak ada yang memalingkan manusia dari mereka kecuali
pengikut hawa nafsu, karena tak ada seorangpun yang mashum, baik itu pemerintah atau ulama atau para penuntut ilmu.
Barangsiapa
yang menyalahi pokok-pokok manhaj ahlus sunnah dalam dawah, kita sifati
perkataan mereka bahwa itu bukan pendapat dan manhaj ahlus sunnah. Kita
harus melihat keadaan orang yang menyimpang itu, apabila sunnah lebih
dominan pada dirinya dan dia berusaha keras untuk mewujudkannya, kita
katakan pada dia: Anda salah, kemudian kita bersabar dan menasehatinya.
Adapun
jika dia menyalahi seluruh aqidah dan manhaj ahlus sunnah, tidak mau
peduli dengannya tapi justru cenderung dekat dengan ahlul bidah, bahkan
berusaha keras untuk memalingkan manusia dari aqidah ahlus sunnah
kepada manhaj lain yang menyimpang, seperti manhaj Khawarij dan manhaj
bid’ah lainnya, maka tidak ragu lagi bahwa itu adalah penyimpangan dari
sunnah, bahkan penyimpangan dari pokok-pokok manhaj ahlus sunnah.
Karena manhaj dalam dakwah bercabang-bercabang dan itu melihat kepada
mashlahat dan mafsadah, jadi tidak ragu lagi orang yang menyalahinya
telah meruntuhkan sebagian pokok-pokok aqidah ahlus sunnah, seperti
berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, bersabar terhadap penguasa
walaupun mereka berbuat dzolim dan lemah lembut dalam berdakwah. Tapi
seseorang yang banyak kebaikannya kemudian dia salah dalam beberapa
masalah, kita harus sabar terhadap dia dan menasehatinya.
Beda dengan orang yang berada pada garis ahlul bid’ah yang menyimpang
dari manhaj ahlus sunnah dan bersikeras atas kesalahannya, maka jelas
dia bukan ahlus sunnah.
[9]. Pertanyaan:
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah memberikan kebaikan
pada Anda. Dengan apakah hujjah itu bisa ditegakkan?
Jawaban:
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya.
Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa kesalahan itu
dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui kesalahannya maka
telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang meninggalkan
shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya,
maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada
dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.
Tapi
terkadang orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia
tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu
maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira
bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan pelakunya
kafir misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu bahwa dia itu
salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan dijelaskan
kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui.
Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa
orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan kesalahan
dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia, adapun
jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya
hujjah pada dia, maka tidak bisa kita katakan bahwa hujjah telah
ditegakkan pada dia.
Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama besar,
dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang
yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah
kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang
yang menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi
kapan saja kita tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada
dia dalilnya, maka bisa kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia.
Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap orang,
tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan
perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur,
jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak
dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat
dia serta menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan
serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang
menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya karena
menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat
menghukuminya.
Sebagian
orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang
jahil atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik,
misalnya; tidak bisa menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah
lembut dalam dakwahnya, karena orang yang keras dalam dakwahnya tidak
bisa tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada Nabi Musa dan
Harun: Pergilah
kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia melampaui batas. Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang yang bersalah.
Juga
seorang alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya
oleh orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah
tidak dipercaya olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak
ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah
tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang
bersalah itu tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur
padanya, ketika dia datang kepada Rabbnya di hari kiamat dan
mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan Allah tahu kejujuran
perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya. Walaupun sebagian
ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang)
tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang
seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong
atau keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini
adalah masalah darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata
si Fulan jahil terhadap hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan
kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu,
firman Allah taala: Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)
Dan
ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak
satu tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh.
Hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama
berbeda dengan hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh bagi para
penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda antara penuntut ilmu dan orang
awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah dan ilmu berbeda dengan
negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah
dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta
penjelasan. Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa Muadz? Padahal Nabi shallallahu
alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk mengajarkan ilmu dan agama dan
beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi ternyata hukum masalah ini
tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat ahli kitab
bersujud pada rahib mereka, beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin
lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya).
Demikian
pula Hatib radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu,
padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah
menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat
memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui
seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya,
kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan beliau (lihat
Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394 –pent)
Kerena
syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang
ulama, maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu
alaihi wa sallam melakukannya, kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.??
Jika ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada
dia ilmu dan menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia
hanya karena kesalahan.
[10]. Pertanyaan:
Syaikh
Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah membalas Anda dengan
kebaikan. Apakah dhowabit (batasan-batasan) tahdzir dan hajr..?
Jawaban:
Adapun tahdzir, kita lihat kesalahannya, tersebar atau tidak,
jika kesalahan itu tersebar di masyarakat, wajib atas kita untuk
menasehati orang yang bersalah tadi, kita katakan padanya: Anda salah,
kesalahan Anda telah tersebar, maka kembalilah kepada yang haq !!. Kita
terangkan pada dia yang haq, sehingga hilang kesalahan itu, karena rujuknya orang yang bersalah dari kesalahannya lebih baik daripada tahdziran kita terhadapnya.
Contohnya:
kesalahan seorang pengajar di salah satu kelas, kita katakan pada dia :
Syaikh ..mungkin Anda lupa atau keliru dan yang benar adalah begini,
karena murid-murid akan membawa kesalahan itu dari Anda, tidak
diragukan lagi jika guru tersebut merujuk kepada yang haq, maka dia
akan bersumpah mengakui kesalahannya. Maka hal ini akan menghilangkan
kesalahan dan lebih mengena dalam menasehati. Beda jika kita katakan:
Pengajar itu salah dan mengatakan begini dan begitu, terkadang bisa
hilang kesalahan itu (dengan cara tersebut), tapi hilangnya kesalahan
itu tidak sama dengan rujuknya guru tersebut kepada al-haq, maka jika
kita mampu untuk menasehati dahulu, itulah yang harus dilakukan.
Jika
ternyata orang yang bersalah ini tidak mau kembali pada yang haq, dan
kesalahannya tersebar di khalayak ramai (masyarakat luas), maka kita
wajib mentahdzir dia dan kesalahannya tadi, tapi hanya sebatas tersebarnya kesalahan itu.
Contohnya jika seseorang berbicara pada suatu masyarakat atau kelompok
tertentu dan salah dalam ucapannya, maka kita tahdzir dia sebatas
masyarakat atau kelompok dimana orang itu berbicara dan tidak boleh
kita masyhurkan orang tadi di seluruh kota dan kita katakan: Fulan telah salah dan mengatakan begini dan begitu, karena hal ini tidak akan mewujudkan mashlahat.
Dan
maksud dari tahdzir itu adalah untuk menghilangkan kesalahan yang ada
pada masyarakat sesuai sesuai dengan kadar tersebarnya kesalahan itu.
Jika kesalahan itu tersebar di suatu negara, maka tidak boleh kita
tahdzir pula di negara lain, jika kesalahan itu tersebar di sebuah
kota, maka tidak boleh kita tahdzir di kota lain. Contohnya juga
kesalahan yang terjadi pada penuntut ilmu, bukan suatu maslahat kita
mengumpulkan orang awwam untuk mentahdzir dia, karena mereka tidak
mengetahuinya. Maka tahdzir itu harus sesuai dengan kadar tersebarnya
kesalahan.
Demikian
juga jika kesalahan itu di antara salafiyyin saja, kita tahdzir dia
sebatas salafiyyin, tidak boleh kita bawa ahli bidah serta
memasyhurkannya, jika kesalahan itu sampai pada kelompok tertentu,
wajib kita tahdzir sebatas tersebarnya kesalahan itu, dan jika kita
tidak sampai pada kelompok tertentu, maka tidak boleh membawa kesalahan
itu pada mereka, karena mereka tidak tahu tentangnya.
Kemudian ketika mentahdzir, kita harus membedakan antara kesalahan dengan orang yang berbuat kesalahan.
Adapun kesalahan kita katakan bahwa ini salah, dan adakalanya tanpa
menyebutkan pelakunya dengan mengatakan Fulan bersalah. Misalnya
seseorang bersalah dalam suatu masalah, maka terkadang tahdzir itu
tidak perlu untuk menyebutkan pelakunya, dengan kita katakan: Yang
benar dalam masalah ini adalah begini dan begitu tanpa menyebutkan:
Fulan salah atau kita katakan: Sebagian orang atau sebagian penuntut
ilmu telah mengatakan begini, sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mengatakan: Kenapa ada
kaum yang melakukan begini dan begitu. Semuanya ini adalah tahdzir dari
kesalahan, tidak boleh kita mencela jika orang yang salah itu adalah
mujtahid dari ahlul-haq, apalagi mengecam dan menganggap sebagai ahlul
bid’ah.
Adapun
jika kesalahan itu berasal dari ahlul bid’ah atau orang yang bahayanya
telah menyebar dan kita takut masyarakat terpengaruh dengannya, maka
kita tahdzir dia, karena kesalahannya tidak hanya sebatas dalam satu
masalah saja, bahkan kesalahannya telah begitu masyhur dan tersebar di
antara manusia, kita katakan pada orang-orang: Berhati-hatilah dari Fulan karena dia telah menyimpang dari manhaj dan aqidah
Jika
pelaku kesalahan itu sudah sedemikian parahnya, sehingga mencapai
tingkatan yang keterlaluan, kita boleh menyinggung pribadi dia dengan
mengatakan: Fulan ahlul bid’ah dan penyebar fitnah ini adalah termasuk
nasehat, tapi semuanya ini tidak dilakukan kecuali jika telah pasti
bahwa orang tersebut salah, bukan semata-mata dengan sangkaan, bukan
pula nukilan isu yang kemudian lantas kita sampaikan pada manusia, inilah batasan-batasan tahdzir.
Adapun
masalah hajr, berbeda sesuai dengan perbedaan maksudnya, ada hajr untuk
mashlahat dakwah, seperti menghajr ahlul bid’ah, pelaku kejahatan dan
lainnya, ada pula hajr untuk mashlahat haajir (yang menghajr), seperti
orang yang takut akan keselamatan diri dan agamanya jika bergaul dengan
pelaku bidah dan kejahatan, maka dia dalam hal ini menghajr untuk
kemashlahatan dirinya sendiri, ada pula hajr untuk kemashlahatan al
mahjur (orang yang dihajr), artinya hajr itu terkadang berpengaruh
padanya sehingga diapun kembali kepada al-haq, maka hajr itu berbeda
sesuai dengan perbedaan keadaan (situasi dan kondisi).
Adapun
batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan haajir (yang menghajr) adalah
setiap orang yang takut akan keselamatan diri dan agamanya jika dia
bergaul dengan fulan atau kelompok tertentu, maka wajib bagi dia untuk
menjauhinya. Adapun batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan al mahjur
(yang dihajr), dilihat keadaannya, apakah hajr itu akan bermanfaat bagi
dia atau tidak. Karena hajr itu bukan sesuatu yang harus sehingga
setiap yang menyimpang harus dihajr, tapi kita lihat apa yang lebih
bermanfaat bagi dia, apakah yang lebih bermanfaat bagi dia itu adalah
hajr sehingga dia kembali pada sunnah ataukah yang lebih manfaat itu
adalah talif (pendekatan), tapi kita harus melihat beberapa hal-hal
yang lain:
[a].
Pengaruh al haajir (orang yang menghajr), sebagian orang ada yang
berpengaruh hajrnya, seperti para ulama, pemerintah atau orang yang
mempunyai kedudukan, adapun yang hajrnya tidak berpengaruh, seperti
teman kepada teman yang lain, terkadang hajrnya tidak berpengaruh
terhadap temannya itu, bahkan terkadang hajrnya itu dipahami dengan
yang tidak-tidak. Maka haruslah al haajir (orang yang menghajr) itu
mempunyai pengaruh terhadap yang dihajr.
[b].
Melihat keadaan yang dihajr, apakah hajr itu berpengaruh pada dia atau
tidak, jika hajr itu malah membuat dia semakin sombong dan keras
kepala, maka dia tidak layak untuk dihajr. Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rohimahulloh: Nabi shallallahu alaihi wasallam terkadang menghajr dan terkadang talif (melakukan pendekatan).
[c]. Melihat masa hajr, hajr itu harus bermanfaat dan sesuai dengan kesalahan. Berkata Ibnu Qoyyim rohimahulloh: Hajr
itu bagaikan obat, jika kelebihan dosis bisa membunuh atau
membahayakan, dan jika kurang tak akan bermanfaat. Maka masa hajr itu
harus sesuai dengan jenis penyimpangannya, jika kita melihat orang yang
dihajr itu kembali pada al-haq, maka tidak boleh kita menambah masa
hajr, karena akan membahayakan dia.
[d].
Melihat keadaan masyarakat, jika masyarakatnya adalah masyarakat sunny
dimana mengakibatkan dia kembali pada al-haq, maka kita boleh melakukan
hajr dalam masyarakat itu, adapun jika masyarakatnya adalah masyarakat
bid’ah yang mungkin jika kita hajr orang itu akan diseret oleh ahlul
bidah dan dibawa kepada kesesatan yang lebih besar sehingga bertambah
penyimpangan dia, maka tidak boleh kita hajr. Jadi
kita harus melihat keadaan masyarakat yang dilakukan hajr di dalamnya,
inilah batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika hendak menghajr.
[e]. Sebelum
dan sesudahnya kita harus ikhlas semata karena Allah dalam menghajr,
bukan untuk keuntungan pribadi tapi untuk kemaslahatan syari,
karena hajr itu terkadang dilakukan untuk kemaslahatan dirinya, atau
kemaslahatan yang didakwahi, atau kemaslahatan dakwah secara umum dan
kemaslahatan kaum muslimin. Seperti ada seorang alim dan ahlul bid’ah,
jika orang alim itu berhubungan dengan dia, mungkin bisa bermanfaat
bagi ahlul bid’ah itu, tapi di sisi lain bisa jadi malah menjadi fitnah
bagi masyarakat, sehingga mereka berkata: Orang
alim ini tidak akan berkunjung dan duduk dengan dia kecuali karena
orang itu di atas jalan yang benar. Maka orang (ahlul bid’ah tadi)
harus dihajr untuk kemaslahatan dakwah. Adapun orang yang lebih rendah
kedudukannya dari alim tadi, yang tidak berpengaruh terhadap
masyarakat, maka boleh baginya untuk mengajari dan berhubungan dengan
ahli bidah tadi.
[Risalah
ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam
Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam
Madinah)]
Sumber: https://almanhaj.or.id/136-nasehat-dalam-menghadapi-ikhtilaf-di-antara-ikhwah-salafiyyin-tata-cara-menasehati.html