Terdapat 3 buah artikel yang sedikit berbeda pendapat
Artikel ke-1
Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll)
Februari 22, 2008 oleh Wira Mandiri Bachrun
Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Pertanyaan:
Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?
Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?
Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).
Apabila
kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai
dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan
apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya
sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Dalam setiap kondisi, waktu
seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk
menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.
(Fatwa
Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah –
Pages 644-645, al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)
Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/miscellaneous/0070823.htm
untuk https://ulamasunnah.wordpress.com
untuk https://ulamasunnah.wordpress.com
from=https://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/22/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/
_______________________________________________________
Artikel ke-2
Haramkah Cerita Fiksi?
Pandangan syariat tentang menulis dan membaca cerita fiksi.
السؤال
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟
Pertanyaan, “Apakah di dalam Islam diperbolehkan menulis buku cerita fiksi atau cerita fiksi dinilai sebagai bagian dari dusta?”
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فقد
ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج”
رواه أحمد وأبو داود وغيرهما، وزاد ابن أبي شيبة في مصنفه: “فإنه كانت
فيهم أعاجيب”.
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
Jawaban, “Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa”
(HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat
tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil
terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini
dinilai sahih oleh Al Albani.
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.
Para
ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan
cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
وبهذا
الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا
يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال
والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا
كان لا يخفى ذلك على من يطالعها.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
Hadits
di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya
mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan
dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti
kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara
pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari
membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat
dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia
ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa
cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah
pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.
وذهب
آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له
أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
Di
sisi lain para ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang
isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang
kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah
nyata dengan tujuan memperindah kisah.
ولكن
لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد
حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال
ونحوها؟ يُحَرَّر).
Akan
tetapi ulama muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab hanafi dari generasi
belakangan semisal Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut
jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik. Ibnu Abidin
mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika
maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan
tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang
untuk memastikan hal ini”.
والذي يظهر جواز تأليف الكتب التي تحتوي قصصاً خيالياً إذا كان القارئ يعلم ذلك، وكان المقصد منها حسناً كغرس بعض الفضائل،
Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.
أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.
أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
Atau
dengan tujuan sekedar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar
sebagaimana al maqamat karya al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami
tidak ada satupun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat
tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan
mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi
yang tidak ada di alam nyata”.
Artikel www.ustadzaris.com
Artikel ke-3
والسؤال الثاني : عن حكم كتابة القصص الخيالية الإسلامية ؟
Pertanyaan, “Apa hukum cerita fiksi islami?”
أما بالنسبة للسؤال الثاني : فالظاهر أن القصة إذا كانت متخيلة لأشخاص متخيلين بأحداث متخيلة فهي جائزة، مادام أن الشخص يقصد تقريب المعاني الشرعية، وتقريرها.
Jawaban Syaikh Dr Muhammad Bazmul,
“Yang tepat kisah fiksi itu diperankan oleh tokoh-tokoh fiktif dalam rangkaian peristiwa yang juga fiktif hukumnya boleh jika penulis cerita fiksi bermaksud untuk menyampaikan dan memahamkan kepada pembaca pesan-pesan yang sejalan dengan syariat.
والأفضل لهذا الذي رزقه الله موهبة الكتابة القصصية أن يقتصر على ما ورد في القرآن العظيم والسنة النبوية، فهذه أحسن القصص، ومعاني الشرع فيها متقررة على أتم وجه، بلا محظور.
Namun yang terbaik bagi orang yang Allah beri bakat untuk menulis kisah adalah mencukupkan diri dengan kisah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah Nabi. Itulah sebaik-baik kisah dan nilai-nilai yang yang ada di dalamnya juga disampaikan dengan demikian sempurna tanpa ada hal terlarang di dalamnya”.
Sumber:
http://uqu.edu.sa/page/ar/119883
from=http://pemuda-salafi.blogspot.co.id/2011/10/fatwa-fatwa-tentang-cerita-fiksi.html