Riya' Dan Bahayanya
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ
اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ
اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ:
فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ
قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ
قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ
النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ
فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا
عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ
فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ
لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ،
فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى
اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ
اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ
فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ
سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ,
قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ
قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي
النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati
syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau
dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani.
Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).'
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya
(tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang
(yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya
serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah
menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau
dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang
berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai)
seorang qari' (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang
dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat)
agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki
dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan
kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya
(mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku
tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau
cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau
dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang
dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang
dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh :
1. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya' was Sum'ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905).
2.
An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari', Sunan
Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).
Hadits
ini dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi
(I/418-419), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam
Ahmad, no. 8260 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih
at Targhib wat Tarhib (I/114 no. 22) serta dalam Shahih An Nasa-i
(II/658 no. 2940).
Hadits
yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dalam
Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja'a fir Riya' was Sum'ah, no. 2382;
Tuhfatul Ahwadzi (VII/54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya,
no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham'an- dan al Hakim
(I/418-419).
Para
perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), kecuali Al Walid bin Abil Walid
Abu Utsman. Dikatakan oleh al Hafizh, bahwa dia layyinul hadits (lemah
haditsnya) dalam Taqribut Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa Abdul Qadir
'Atha'. Perkataan ini keliru, karena Al Walid bin Abdil Walid termasuk
perawi Imam Muslim dan dikatakan tsiqah oleh Abu Zur'ah Ar Razi. (Lihat
Al Jarhu wat Ta'dil oleh Abu Hatim Ar Razi, juz IX hlm. 19-20).
At
Tirmidzi berkata mengenai hadits ini : “Hasan gharib”.
Sedangkan Imam al Hakim berkata : “Shahihul isnad” dan
disetujui oleh Imam adz Dzahabi dalam Mustadrak al Hakim (I/419). Lihat
ta'liq Shahih Ibnu Khuzaimah (IV/115).
____________________________
Tatkala Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu mendengar hadits ini, beliau berkata: “Hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?” Kemudian beliau menangis terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, beliau mengusap mukanya seraya berkata : Benarlah Allah dan RasulNya, Allah berfirman : "Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat kecuali neraka. Lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan". [Hud : 15-16]. [HR Tirmidzi no. 2382 dan Ibnu Khuzaimah no. 2482].
PENJELASAN HADITS
Nilai
amal di sisi Allah diukur dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan
yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam, bukan dengan
banyak dan besarnya. Allah berfirman : "Katakanlah
: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Allah yang
Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan Rabbnya, maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan mempersekutukan seorang pun
dalam beribadah kepada Rabb-nya". [al Kahfi : 110].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[1]
Hadits
di atas menjelaskan tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke
dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah Azza wa Jalla.
Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukannya karena
riya', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya', pada hari
yang dibuka dan disibak semua hati, wajahnya diseret secara
tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal
‘Afiyah. Tiga golongan tersebut ialah:
Golongan Pertama : Yaitu
kaum yang dianugerahi Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka
seharusnya adalah mencurahkan semuanya untuk Allah dan di jalan Allah
dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya. Tetapi sayang, setan telah
menjadikan mereka mencurahkannya di luar jalan ini. Mereka memang pergi
ke medan jihad dan berperang, tetapi tujuan mereka supaya disebut pemberani.
Kepada merekalah Allah mengawali pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu
Allah memperlihatkan nikmat-nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada
mereka, seraya bertanya : “Apa yang kamu kerjakan dengan
nikat-nikmat itu?” Pada saat itulah Allah membuka rahasia hati
mereka seraya berfirman : “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu
berperang (berjihad) hanya supaya dikatakan pemberani
(pahlawan).” Mereka tidak mampu membantah, karena memang
demikianlah kenyataannya. Malaikat pun diperintahkan menarik wajahnya
dan melemparkan ke dalam api neraka.
Golongan Kedua : Yaitu
kaum yang dimuliakan Allah dengan diberi kesempatan untuk menuntut ilmu
dan mengajarkannya kepada manusia. Mereka mampu membaca al Qur`an dan
mempelajarinya. Seharusnya, dengan ilmu tersebut mereka berniat karena
Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur kepadaNya atas limpahan
rahmatNya. Tetapi sayang, tujuan yang semestinya karena Allah, telah
dipalingkan dan dihiasi oleh setan, sehingga mereka berbuat riya' (pamer) dengan ilmu itu di hadapan manusia,
agar mendapat pujian, kedudukan, harta dan jabatan. Mereka tidak
menyadari, bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui apa yang mereka
lakukan. Allah mengetahui rahasia yang tersembunyi di hati mereka.
Ternyata, mereka belajar, mengajar dan membaca al Qur`an supaya
dikatakan sebagai seorang alim, pintar atau yang semisal itu. Sedangkan
yang membaca al Qur`an supaya dikatakan qari' atau qari’ah, orang
yang bagus dan indah bacaannya. Maka pada hari Kiamat nanti, tidak ada
yang mereka peroleh kecuali dikatakan “pendusta”. Mereka
hanya terdiam disertai kehinaan, kerugian dan penuh penyesalan.
Kemudian Allah menyuruh malaikat agar menyeret dan mencampakkan mereka
ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.
Golongan Ketiga : Yaitu
kaum yang diberi kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda.
Mereka adalah golongan yang mampu, kaya dan berduit. Kewajiban mereka
semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata.
Tetapi sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan mendermakan
harta supaya menjadi terkenal dan dikatakan dermawan, karim (yang mulia hatinya), supaya dikatakan orang yang khair (baik).
Padahal apa yang mereka katakan di hadapan Allah, bahwa mereka
berinfaq, bershadaqah karena Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah
dikatakan yang demikian itu, dan mereka tidak bisa membantah. Allah
mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian mereka diperintahkan untuk
diseret atas mukanya dan dicampakkan ke dalam neraka, dan mereka tidak
mendapatkan seorang penolong pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. [2]
Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang orang yang berperang, orang alim dan dermawan serta
siksa Allah atas mereka, ialah karena mereka mengerjakan demikian untuk
selain Allah. Dan dimasukkan mereka ke dalam neraka menunjukkan betapa
haramnya riya' dan keras siksaannya, serta diwajibkannya ikhlas dalam
seluruh amal. Allah berfirman : "Tidaklah
mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [al Bayyinah
: 5]
Keumuman
hadits-hadits tentang keutamaan jihad, sesungguhnya diperuntukkan bagi
orang yang melaksanakannya karena Allah dengan ikhlas. Demikian pula
pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di segala sektor
kebaikan, semua itu terjadi dengan syarat apabila mereka melakukan yang
demikian itu semata-mata karena Allah Ta'ala.[3]
Demikian
mengerikan siksa dan ancaman bagi orang yang berbuat riya' dalam
melakukan kebaikan. Mereka berbuat dengan tujuan mengharap pujian dan
sanjungan dari manusia. Islam lebih banyak memperhatikan faktor niat
(pendorong) suatu amal daripada amal itu sendiri, meskipun kedua-duanya
mendapat perhatian.
Secara
fitrah sudah diketahui, bahwa penipuan yang dilakukan seseorang
terhadap orang lain merupakan perbuatan hina dan dosa yang jelek. Jika
penipuan itu dilakukan seorang makhluk terhadap khaliq (pencipta)nya,
maka perbuatan itu lebih sangat hina, buruk dan tercela. Perbuatan itu
merupakan perbuatan orang yang suka berpura-pura dan berbuat untuk
menarik perhatian manusia. Ia memperlihatkan di hadapan mereka
seakan-akan dia hanya menghendaki Allah semata. Padahal ia adalah
seorang penipu dan pendusta, maka tidak heran jika Allah menghinakannya
dengan dimasukkan ke dalam api neraka.
Dalam
tulisan ini akan dibahas tentang definisi riya', sebab-sebabnya,
macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk riya' serta
obat penyakit riya'. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis
dan para pembaca sekalian.
DEFINISI RIYA'
Secara
lughah (bahasa), riya' الرِّيَاءُ adalah mashdar dari kata : رَاءَى
– يُرَاءِى – رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ ) مُرَاءَاةً
Perkataan :
أَرَاهُ أَنَّهُ مُتَّصِفٌ بِالْخَيْرِ وَ الصَّلاَحِ عَلَى خِلاَفِ مَا هُوَ عَلَيْهِ
Berarti : “Ia
memperlihatkan bahwasanya ia orang baik, padahal hatinya tidak
demikian. Artinya, apa yang nampak berbeda dengan apa yang sebenarnya
ada padanya”.[4]
Sedangkan secara istilah syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi riya'. Tetapi intinya sama, yaitu
أَنْ
يَقُوْمَ الْعَبْدُ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ يَتَقَرَّبُ بِهَا لِلَّهِ
لاَ يُرِيْدُ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ بَلْ يُرِيْدُ عَرْضاً دُنْيَوِياًّ
"Seorang
melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia
melakukan bukan karena Allah melainkan karena tujuan dunia".[5]
Al Qurthubi mengatakan :
حَقِيْقَةُ الرِّيَاءِ طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِيْ قُلُوْبِ النَّاسِ
(Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya adalah mencari posisi tempat di hati manusia).[6]
Jadi
riya' adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga
mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta
penghormatan dari orang yang melihatnya.[7]
PERBEDAAN RIYA' DAN SUM'AH
Imam Bukhari di dalam Shahih-nya membuat bab Ar Riya' was Sum'ah dengan membawakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ . وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ
"Barangsiapa
memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan
aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya', maka Allah akan membuka
niatnya (di hadapan orang banyak pada hari Kiamat)". [HR Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2987 dari sahabat Jundub bin Abdillah].
Perbedaan riya' dan sum'ah ialah,
- riya' berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain.
- Sedangkan sum'ah ialah, beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain. Riya' berkaitan dengan indera mata, sedangkan sum'ah berkaitan dengan indera telinga.[8]
PERBEDAAN ANTARA RIYA' DAN 'UJUB
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan : “Seringkali
orang menghubungkan antara riya' dan 'ujub. Padahal riya' merupakan
perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan 'ujub adalah
syirik kepada Allah karena nafsu”.[9]
Imam Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) berkata : “Ketahuilah,
bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit 'ujub.
Barangsiapa berlaku 'ujub (mengagumi) amalnya sendiri, maka akan
terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong”.[10]
'Ujub,
menurut bahasa berarti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu
seorang bangga dengan dirinya atau pendapatnya. Orang yang berlaku
'ujub adalah orang yang tertipu dengan dirinya, ibadahnya dan
ketaatannya. Ia tidak mewujudkan makna إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (hanya
kepadaMu ya Allah, kami mohon pertolongan). Sedangkan orang yang
berlaku riya' tidak mewujudkan makna إِيَّاكَ نَعْبُدُ (hanya kepada
Engkau ya Allah, kami beribadah).
Apabila
seseorang sudah mewujudkan makna ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ , maka akan hilang darinya penyakit riya' dan 'ujub.[11]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : هَوًى مُتَّبَعٌ ، وَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
SEBAB-SEBAB RIYA'
Sebab-sebab
yang menjerumuskan manusia ke lembah riya' ada beberapa hal. Pokok
pangkal riya' adalah kecintaan kepada pangkat dan kedudukan. Jika hal
ini dirinci, maka dapat dikembalikan kepada tiga sebab pokok, yaitu:
Pertama. Senang menikmati pujian dan sanjungan.
Kedua. Menghindari atau takut celaan manusia.
Ketiga. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orang lain.
Hal
ini dipertegas dengan riwayat di dalam ash Shahihain, dari hadits Abu
Musa al-'Asyari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, bahwa ada seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya
berkata :
الرَّجُلُ
يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، وَ
الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ؟
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى
، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Ada
seseorang berperang karena rasa fanatisme, berperang dengan gagah
berani dan berperang dengan riya'; manakah dari yang demikian itu
berada di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang
berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka
itulah fi sabilillah”. [HR Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904 dan selainnya].
Makna
perkataan orang itu “berperang dengan gagah berani”, yaitu
agar namanya disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan “berperang
dengan fanatisme (golongan)”, yaitu ia tidak mau dikalahkan atau
dihina. Makna perkataan “berperang dengan riya'”, yaitu
agar kedudukannya diketahui orang lain, dan hal ini merupakan
kenikmatan pangkat dan kedudukan di hati manusia.
Boleh
jadi seseorang tidak tertarik terhadap pujian, tetapi ia takut terhadap
hinaan. Seperti seorang yang penakut di antara para pemberani. Dia
berusaha menguatkan hati untuk tidak melarikan diri agar tidak dihina
dan dicela. Ada kalanya seseorang memberi fatwa tanpa ilmu karena
menghindari celaan supaya tidak dikatakan sebagai orang bodoh.Tiga hal inilah yang menggerakkan riya' dan sebagai penyebabnya.[12]
MACAM-MACAM RIYA'
1. Riya' yang berasal dari badan,
seperti memperlihatkan bentuk tubuh yang kurus dan pucat agar tampak
telah berusaha sedemikian rupa dalam beribadah dan takut pada akhirat.
Atau memperlihatkan rambut yang acak-acakkan (kusut) agar dianggap
terlalu sibuk dalam urusan agama sehingga merapikan rambutnya pun tidak
sempat., atau dengan memperlihatkan suara yang parau, mata cekung
(sayu) dan bibir kering agar dianggap terus-menerus berpuasa. Riya'
semacam ini sering dilakukan oleh para ahli ibadah. Adapun orang-orang
yang sibuk dengan urusan dunia, maka riya' mereka dengan memperlihatkan
badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah yang ganteng dan rambut
yang kelimis.
2. Riya' yang berasal dari pakaian dan gaya,
seperti menundukkan kepala ketika berjalan, sengaja membiarkan bekas
sujud di wajah, memakai pakaian tebal, mengenakan kain wol, menggulung
lengan baju dan memendekkannya serta sengaja berpakaian lusuh (agar
dianggap ahli ibadah). Atau dengan mengenakan pakaian tambalan,
berwarna biru, meniru orang-orang thariqat shufiyyah padahal batinnya
kosong (dari keikhlasan). Atau mengenakan tutup kepala di atas sorban
supaya orang melihat adanya perbedaan dengan kebiasaan yang ada.
Orang-orang
yang melakukan riya' dalam hal ini, ada beberapa tingkatan. Di antara
mereka ada yang yang mengharap kedudukan di kalangan orang yang baik
dengan menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. Jika dia
berpakaian sederhana, namun bersih seperti kebiasaan Salafush Shalih,
maka ia merasa seperti hewan korban yang siap disembelih karena dia
takut akan dikomentari sebagai “biasanya ia menampakkan
kezuhudan, tapi rupanya sudah berbalik dari jalan itu”. Sedangkan
riya' para pemuja dunia ialah dengan pakaian yang mahal, kendaraan yang
bagus dan perabot rumah yang mewah.
3. Riya' dengan perkataan,
seperti dalam hal memberi nasihat, peringatan, menghapal kisah-kisah
terdahulu dan atsar dengan maksud untuk berdebat atau memperlihatkan
kedalaman ilmunya dan perhatiannya terhadap keadaan para salaf. Atau
dengan menggerakkan bibir dengan dzikir di hadapan orang banyak,
memperlihatkan amarah saat kemungkaran di hadapan orang banyak, membaca
al Qur`an dengan suara perlahan dan memperindahnya untuk menunjukkan
rasa takut dan kesedihan, atau yang seperti itu. Wallahu a'lam.
Sedangkan riya' para pemuja dunia adalah dengan menghapalkan
syair-syair atau pepatah dan berpura-pura fasih dalam perkataan.
4. Riya' dengan perbuatan,
seperti riya' yang dilakukan orang yang shalat dengan memanjangkan
bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku' dan sujud atau menampakkan
kekhusyuan atau yang lainnya. Begitu pula dalam hal puasa, haji,
shadaqah dan lain-lain. Sedangkan riya' para pemuja dunia ialah dengan
berjalan penuh lagak dan gaya, angkuh, congkak, menggerak-gerakkan
tangan, melangkah perlahan-lahan, menjulurkan ujung pakaian; semuanya
dimaksudkan untuk menunjukkan penampilan dirinya.
5. Riya' dengan teman atau orang-orang yang berkunjung kepadanya,
seperti seseorang memaksakan dirinya supaya dikunjungi oleh ulama atau
ahli ibadah ke rumahnya, agar dikatakan “si fulan telah
dikunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke
rumahnya”. Ada juga orang yang berlaku riya' dengan banyak syaikh
atau gurunya, agar orang berkomentar tentang dirinya “dia sudah
bertemu dengan sekian banyak syaikh dan menimba ilmu dari
mereka”. Dia berbuat seperti itu untuk membanggakan diri.
Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang berlaku riya' untuk
mencari ketenaran, kehormatan dan kedudukan di hati manusia.[13]
Kita
memohon keselamatan kepada Allah dari semua macam riya' ini. Ya, Allah.
Janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk
kepada kami, dan jauhkanlah diri kami dan amal kami dari riya'. Amin.
CIRI-CIRI DAN TANDA-TANDA RIYA'
Riya'
mempunyai ciri dan tanda-tanda sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu , bahwa orang yang berlaku riya' memiliki tiga ciri,
yaitu : dia
menjadi pemalas apabila sendirian, dia menjadi giat jika berada di
tengah-tengah orang banyak, dia menambah kegiatan kerjanya jika dipuji
dan berkurang jika diejek.[14]
Tanda
yang paling jelas ialah merasa senang jika ada orang yang melihat
ketaatannya. Andaikan orang tidak melihatnya, dia tidak merasa senang.
Dari sini diketahui, bahwa riya' itu tersembunyi di dalam hati, seperti
api yang tersembunyi di dalam batu. Jika orang melihatnya, maka
menimbulkan kesenangan. Dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang
sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya. Bahkan
ia berusaha agar amalnya itu diketahui, baik secara sindirian atau
terang-terangan.[15]
Diriwayatkan
bahwa Abu Umamah al Bahili pernah mendatangi seseorang yang sedang
bersujud di masjid sambil menangis ketika berdoa. Kemudian Abu Umamah
mengatakan kepadanya : “Apakah
engkau lakukan seperti ini jika engkau shalat di rumahmu?”
(Teguran dimaksudkan untuk menghilangkan sikap riya').[16]
JEBAKAN DAN PERINGATAN
Terkadang,
seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya',
namun ia terjebak dan tergelincir di dalamnya, sehingga ia meninggalkan
amal karena takut riya'.
Jika seorang hamba meninggalkan amal yang baik dengan maksud supaya terhindar dari riya', maka tidak ragu lagi,bahwa sikap ini adalah sikap yang salah dalam menghadapi riya'.
Fudhail
bin Iyadh menjelaskan, meninggalkan amal karena manusia adalah riya',
sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas itu adalah Allah
menyelamatkan kita dari keduanya.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Perkataan Fudhail bahwa orang yang meninggalkan amal karena manusia adalah riya',
sebab ia melakukannya karena manusia. Adapun kalau meninggalkan amal
karena ingin melakukannya disaat sepi atau sendirian, maka
diperbolehkan dan ini sunnah, kecuali dalam perkara yang wajib, seperti
shalat wajib lima waktu atau zakat, atau ia seorang alim yang menjadi
panutan dalam ibadah, maka menampakkannya adalah afdhal (utama).[17]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa
melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat Dhuha, qiyamul
lail (shalat tahajud), maka hendaklah dia tetap melakukannya dan tidak
seyogyanya ia meninggalkan kebiasaan itu hanya karena berada di
tengah-tengah manusia. Hanya Allah-lah yang mengetahui rahasia hatinya,
bahwa ia melaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh
berusaha agar selamat dari riya' dan dari hal-hal yang merusak
keikhlasan,” kemudian beliau membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.
Selanjutnya
beliau mengatakan, barangsiapa melarang sesuatu yang disyariatkan hanya
berdasarkan anggapan bahwa hal itu adalah riya', maka larangannya itu
tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Amal yang disyariatkan tidak boleh dilarang hanya karena takut riya'. Bahkan
diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan ikhlas. Bila kita melihat
seseorang yang mengerjakan suatu amal yang disyariatkan, kita harus
menetapkan bahwa dia melakukannya (atau membiarkannya), kendatipun kita
dapat memastikan ia berbuat dengan riya'. Seperti halnya orang-orang
munafik yang Allah berfirman tentang mereka : "Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan
mereka. Apabila mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas.
Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah
mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali". [an Nisaa` : 142].
Mereka
(orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya
membiarkan amal yang mereka tampakkan, meskipun mereka berbuat itu
dengan riya' dan tidak melarang perbuatan zhahir mereka. (Artinya, para
sahabat tidak melarang mereka shalat bersama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, Pen). Hal itu, karena kerusakan meninggalkan syariat
yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya daripada menampakkan amal
tersebut dengan riya'. Sebagaimana meninggalkan iman dan shalat lima
waktu lebih besar bahayanya, dibanding dengan meninggalkan amal itu
dengan riya'.
2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
…إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنْ أُنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…
"Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyelidiki (memeriksa) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka". [HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III/4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu 'anhu].
Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan : “Barangsiapa
menampakkan kebaikan, kami akan mencintainya meskipun hatinya berbeda
dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan
membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya baik”.
3. Sesungguhnya
membolehkan pengingkaran terhadap hal seperti itu, justru akan membuka
peluang kepada ahlus syirk wal fasad (orang yang berbuat syirik dan
kerusakan) untuk mengingkari ahlul khair wad diin (orang yang berbuat
baik). Apabila mereka melihat orang yang melakukan perkara yang
disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah
berbuat riya”. Lalu karena tuduhan ini, orang yang jujur dan
ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang disyariatkan karena takut
ejekan, celaan dan tuduhan mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan
(amal-amal khair) dan tidak terlaksana. Kemudian, hal itu akan menjadi
senjata bagi orang-orang yang berbuat syirik untuk tetap dan terus
melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari.
Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.
4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi'ar (semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan amal yang disyariatkan. Allah berfirman : "(Orang-orang
munafik) yaitu orang -orang yang mencela orang-orang mukmin yang
memberi shadaqah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak
memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu menghina Allah. Allah akan membalas penghinaan
mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih". [at Taubah : 79]
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Daarus Salaam.
[2]. Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, karya Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Darul Wafa'.
[3]. Syarah Muslim (XIII/50-51).
[4]. Mu’jamul Wasith (I/320).
[5] Al Ikhlas, oleh Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, hlm. 94, Cet. Daarun Nafa-is, Th. 1415 H.
[6]. Tafsir al Qurthubi (XX/144), Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H.
[7]. Fathul Bari (XI/336).
[8]. Ibid (XI/336) dan Al Ikhlas, hlm. 95, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[9]. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/227).
[10]. Syarah Arbain, hlm. 5.
[11]. Al Ikhlas, hlm. 97, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[12]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 284, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
[13].
Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 275-278, Ibnu Qudamah al Maqdisi,
tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid; Ar Riya' wa Atsaruhu As Sayi' fil
Ummah, hlm. 17-20.
[14]. Cet. Darul Fikr.
[15]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al Maqdisi, hlm. 280.
[16]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi, hlm. 211.
[17]. Syarah Arbain, Imam Nawawi, hlm. 6.
[18]. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (23/174-175).
BAHAYA RIYA [1]
Di
dalam al Qur`an dan as Sunah banyak sekali ancaman tentang bahaya
riya'. Riya' termasuk kedurhakaan hati yang sangat berbahaya terhadap
diri, amal, masyarakat dan umat. Dan ia juga termasuk dosa besar yang
merusak. Di antara bahaya riya' adalah sebagai berikut :
1. Riya' Lebih Berbahaya Bagi Kaum Muslimin Daripada Fitnah Masiih Ad Dajjal.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
أَلاَ
أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ
الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ
يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ
نَظَرِ رَجُلٍ
"Maukah
aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku
atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,”Kami
mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu
seseorang shalat, lalu menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada
orang yang memperhatikan shalatnya". [HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa'id al Khudri. Hadits ini hasan-Shahih at Targhib wat Tarhib, no. 30]
2. Riya' Lebih Sangat Merusak Daripada Serigala Menyergap Domba
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda : “Tidaklah
dua ekor serigala yang lapar dan dilepaskan di tengah sekumpulan domba
lebih merusak daripada ketamakan seorang kepada harta dan kedudukan
bagi agamanya". [HSR Ahmad, III/456; Tirmidzi, no. 2376; Darimi, II/304, dan yang lainnya dari Ka'ab bin Malik].
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan rusaknya agama
seorang muslim karena tamaknya kepada harta, kemuliaan, pangkat dan
kedudukan. Semua ini menggerakkan riya' di dalam diri seseorang.
3. Amal Shalih Akan Hilang Pengaruh Baiknya Dan Tujuannya Yang Besar Bila Disertai Riya'.
Allah berfirman : "Maka
celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat riya' dan mencegah (menolong
dengan) barang yang berguna". [al Ma’uun : 4-7]
Orang
yang berbuat riya' dan tidak mau menolong orang lain, karena shalat
mereka tidak mempunyai pengaruh dalam hati mereka, sehingga mencegah
kebaikan dari hamba-hamba Allah. Mereka hanyalah menunaikan
gerakan-gerakan shalat dan memperindahnya, karena semua mata
memandangnya, padahal hati mereka tidak memahami, tidak tahu hakikatnya
dan tidak mengagungkan Allah. Karena itu, shalat mereka tidak
berpengaruh terhadap hati dan amal. Riya' menjadikan amal itu kosong
tidak ada nilainya.
4. Riya' Akan Menghapus Dan Membatalkan Amal Shalih.
Allah berfirman : "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada
manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka
usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir". [al Baqarah : 264].
Hati
yang tertutup riya' ibarat batu licin yang tertutup tanah. Orang yang
berbuat riya' tidak akan membuahkan kebaikan, bahkan ia telah berbuat
dosa yang akan dia peroleh akibatnya pada hari Kiamat. Riya'
menghapuskan amal shalih, dan seseorang tidak mendapatkan apa-apa
karenanya di akhirat nanti dari amal-amal yang pernah ia lakukan di
dunia. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ الرِّيَاءُ ،
يَقُوْلُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ
: اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِيْ الدُّنْيَا ،
فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزاَءً ؟!
"Sesungguhnya
yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya'.
Allah akan mengatakan kepada mereka pada hari Kiamat tatkala memberikan
balasan atas amal-amal manusia “Pergilah kepada orang-orang yang
kalian berbuat riya' kepada mereka di dunia. Apakah kalian akan
mendapat balasan dari sisi mereka?" [HR Ahmad, V/428-429 dan
al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, XIV/324, no. 4135 dari Mahmud bin
Labid. Lihat Silsilah Ahaadits Shahiihah, no. 951]
Pelaku
riya' akan memamerkan amalnya agar dipuji, disanjung dan mendapatkan
kedudukan di hati manusia. Dia tidak akan mendapat ganjaran kebaikan
dari Allah, dan tidak pula dari orang-orang yang memujinya, karena yang
berhak memberi balasan hanya Allah saja. Allah berfirman dalam hadits
Qudsi :
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
"Aku
adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik.
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan
syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal
kesyirikannya" [HR Muslim, no. 2985 dan Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah)]
5. Riya' Adalah Syirik Khafi (Tersembunyi).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أَلاَ
أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ
الدَّجَّالِ ، قَالَ قُلْنَا بَلَى ، فَقَالَ : الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ
يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ
نَظَرِ رَجُلٍ
"Maukah
aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku
atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,“Kami
mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu
seseorang shalat, lalu ia menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada
orang yang memperhatikan shalatnya".[HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa'id al Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389]
6. Riya' Mewariskan Kehinaan Dan Kerendahan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ ، سَمَّعَ اللهُ بِهِ مَسَامِعَ خَلْقِهِ ، وَصَغَّرَهُ وَحَقَّرَهُ
"Barangsiapa
memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya),
maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hambaNya, Allah
rendahkan dia dan menghinakannya". [HR Thabrani dalam al
Mu’jamul Kabiir; al Baihaqi dan Ahmad, no. 6509. Dishahihkan oleh
Ahmad Muhammad Syakir. Lihat Shahiih at Targhiib wat Tarhiib, I/117,
no. 25].
7. Pelaku Riya' Tidak Akan Mendapatkan Ganjaran Di Akhirat.
Dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَشِّرْ
هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ ، وَالدِّيْنِ ، وَ
النَّصْرِ ، وَ التَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ
عَمَلَ الأَخِرَةِ لِلدُّنْيَا ، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الأَخِرَةِ نَصِيْبٌ
"Sampaikan
kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, kedudukan yang tinggi
(keunggulan), agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi.
Barangsiapa di antara mereka melakukan amal akhirat untuk dunia, maka
dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat". [HR Ahmad, V/134; dan Hakim, IV/318. Shahih, lihat Shahih Jami’ush Shaghiir, no. 2825]
8. Riya' Akan Menambah Kesesatan Seseorang.
Allah Ta'ala berfirman : "Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya
menipu diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sadar. Dalam hati
mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta". [al Baqarah : 9-10].
9. Riya' Merupakan Sebab Kekalahan Ummat Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَ صَلاَتِهِمْ , وَ إِخْلاَصِهِمْ
"Sesungguhnya Allah akan menolong umat ini dengan orang-orang yang lemah, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka" [HSR an Nasa-i, VI/45, dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash][2]
Ikhlas
karena Allah menjadi sebab ditolongnya umat ini dari musuh-musuh
mereka. Allah melarang kita keluar berperang dengan sombong dan riya',
karena hal ini akan membawa kepada kekalahan. Allah berfirman : "Dan
janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya
dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta
menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa
yang mereka kerjakan". [al Anfaal : 47].
BEBERAPA PERKARA YANG TIDAK TERMASUK RIYA' [3]
Ada
beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang sebagai perbuatan
riya', padahal sesungguhnya tidak demikian. Perkara-perkara tersebut
adalah.
1. Pujian Manusia Atas Seorang Hamba Atas Amal Baik Yang Ia Lakukan Tetapi Bukan Tujuannya Ingin Dipuji.
Apabila
seseorang mengamalkan sesuatu perbuatan dengan ikhlas dan sampai
selesai amal itu pun dilakukan dengan ikhlas, kemudian ada yang
mengetahui amal tersebut lalu memujinya, namun ia tidak menghendaki
yang demikian itu, maka hal itu tidak termasuk riya'. Seperti dalam
hadits Abu Dzar:
عَنْ
أَبِيْ ذَرٍّ ، قَالَ : قِيْلَ لِرَسُولِ اللهِ : أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ
يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ ، وَ يَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ ؟
قَالَ: تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Ya
Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang seseorang yang
mengerjakan satu amal kebaikan, lalu orang memujinya?” Beliau
menjawab,”Itu merupakan kabar gembira bagi orang mukmin yang
diberikan lebih dahulu di dunia." [HSR Muslim, 2642; Ibnu Majah, no. 4225 dan Ahmad, V/156, 157; dari sahabat Abu Dzar].
Namun ia tidak berlaku 'ujub, dan tidak pula sengaja agar orang mengetahui kebaikannya.
2. Giatnya Seorang
Hamba Dalam Berbuat Kebaikan Ketika Ada Orang Yang Melihatnya Dan
Ketika Menemani Orang-Orang Yang Ikhlas Dan Orang Shalih.
Ibnu
Qudamah al Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 689 H) menjelaskan dalam
kitabnya, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 288: "Adakalanya seseorang
berada di tengah orang-orang yang tekun beribadah. Ia melakukan shalat
hampir sebagian besar malam karena kebiasaan mereka adalah bangun
malam. Dia pun mengikuti mereka melaksanakan shalat dan puasa.
Andaikata mereka tidak melaksanakan shalat malam, maka iapun tidak
tergugah untuk melakukan kegiatan itu. Mungkin ada yang menganggap
bahwa kegiatan orang itu termasuk riya', padahal tidak demikian
sebenarnya, bahkan hal itu perlu dirinci. Setiap orang mukmin tentunya
ingin banyak beribadah kepada Allah, tetapi kadang-kadang ada satu dua
hal yang menghambat atau yang melalaikannya.
Maka
boleh jadi dengan melihat orang lain yang aktif dalam melakukan
kegiatan ibadah, membuatnya mampu menyingkirkan hambatan dan kelalaian
itu. Bila seseorang berada di rumahnya, lebih mudah baginya untuk tidur
di atas kasur yang empuk dan bercumbu dengan istrinya. Tetapi bila dia
berada di tempat yang jauh, ia tidak disibukkan oleh hal-hal itu.
Kemudian ada beberapa faktor pendorong yang membangkitkannya untuk
berbuat kebajikan, di antaranya keberadaannya di tengah orang yang
beribadah atau disaksikan oleh mereka. Boleh jadi dia merasa berat
berpuasa ketika berada di rumah, karena di dalamnya ada banyak makanan.
Dalam keadaaan seperti itu, setan terus menggoda untuk menghalanginya
dari ketaatan sambil berkata ‘jika engkau berbuat di luar kebiasannmu, berarti engkau adalah orang yang berbuat riya',’
maka dia tidak boleh memperdulikan bisikan setan ini. Dia harus melihat
pada tujuan batinnya dan jangan sekali-sekali ia menoleh kepada bisikan
setan”.
3. Menyembunyikan Dosa
Wajib
bagi seorang mukmin atas mukmin lainnya, apabila berbuat suatu
kesalahan, hendaklah ia tutupi dan jangan ia tampakkan dosanya.
Kemudian ia wajib segera bertobat kepada Allah. Karena, menceritakan
maksiat yang telah terlanjur dilakukan, berarti menyiarkan kekejian di
antara kaum mukminin dan akan membuat dia meremehkan batas-batas Allah.
Allah berfirman : "Sesungguhnya
orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu disiarkan
di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di
dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui". [an Nuur : 19].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ
أُمَّتِيْ مُعَافىً إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ ، وَ إِنَّ مِنَ
الْمُجَاهِرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ
يُصْبِحَ وَ قَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُوْلَ : يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ
الْبَارِحَةَ كذَا وَ كَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَ
يُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
"Setiap
umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan.
Sesungguhnya termasuk terang-terangan ialah, jika seseorang melakukan
suatu amal (dosa) pada malam hari, kemudian pagi harinya ia bercerita.
Padahal pada malamnya Allah sudah menutupi dosanya. Ia katakana, hai
Fulan, tadi malam aku berbuat begini dan begitu, padahal malam itu
Allah sudah menutupi dosanya, namun pagi harinya ia justru menyingkap
tutupan Allah pada dirinya". [HSR Bukhari, no. 6069 dan Muslim, no. 2990 dari Abu Hurairah].
4. Mengenakan Pakaian Indah Dan Bagus
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ ،قَالَ رَجُلٌ : إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ
حَسَناً وَ نَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ : إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ
الْجَمَالَ ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ
"Tidak
akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat
dzarrah (biji atom)”. Seseorang berkata: “Sesungguhnya ada
seorang laki-laki yang menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya
bagus,” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata,”Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan; sombong
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". [HR Muslim, no.
91; Abu Dawud, no. 4091; at Tirmidzi, no. 1999 dan al Baghawi, no. 3587
dari hadits Abdullah bin Mas’ud].
5. Menampakkan Syiar-Syiar Agama Islam
Di
dalam Islam ada beberapa ibadah yang tidak mungkin disembunyikan dalam
pelaksanaannya, seperti haji, umrah, shalat Jum’at, shalat
berjama'ah yang lima waktu dan lainnya.
Seorang
muslim tidak dikatakan berbuat riya', bila ia menampakkan amal-amal
ini. Karena termasuk amal-amal yang wajib ditampakkan dan dimasyhurkan
serta melaksanakannya adalah termasuk syiar-syiar Islam. Orang yang
meninggalkannya akan terkena celaan dan kutukan. Akan tetapi, jika
amal-amal ibadah sunnah, hendaknya disembunyikan, karena tidak tercela
bagi orang yang meninggalkannya. Tetapi jika ia menampakkan amal itu
dengan tujuan supaya orang lain mengikuti sunnah itu, maka hal itu
adalah baik. Sesungguhnya yang dikatakan riya', yaitu apabila tujuannya
menampakkan amal tersebut supaya dilihat, dipuji dan disanjung manusia.
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Ar Riya' , hlm. 39-52.
[2].
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2896 dan lainnya tanpa
menyebutkan lafazh ikhlas. Lihat Shahih at Targhib wat Tarhiib (I/105
no. 6). Hadits ini terdapat syahidnya dari Abu Darda’,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an Nasa-i (VI/45), Fathul Bari (VI/89).
[3]. Ar Riya', hlm. 53-59.
Obat Penyakit Riya
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bila
diketahui bahwa riya' itu dapat menggugurkan pahala amal sekaligus
merusaknya dan mendatangkan kemurkaan Allah, maka harus ada usaha yang
serius untuk mengenyahkannya. Mengobati penyakit riya' terdiri dari
ilmu dan amal. Rasanya memang pahit, tetapi hasilnya lebih manis
daripada madu. Obat tersebut adalah :
a. Mengetahui Macam-Macam Tauhid Yang Mengandung Kebesaran Allah Ta'ala (Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah Dan Asma' Wa Shifat).[2]
Mempelajari Tauhid Asma` wa Shifat akan membersihkan hati yang lemah. Apabila
seorang hamba mengetahui bahwa Allah saja yang dapat memberikan manfaat
dan mudharat, maka ia akan menghilangkan rasa takut kepada manusia.
Setan memang selalu menghiasi ibadahnya di hadapan mereka dan
menjadikannya takut dicela dan ingin disanjung. Demikian pula apabila
ia mengetahui bahwa Allah as Sami' (Maha Mendengar) dan al Bashir (Maha
Melihat), Dia mengetahui mata yang khianat yang tersembunyi di dalam
dada, maka ia akan mencampakkan semua pandangan manusia. Dia akan taat
kepada Allah seolah-olah ia melihatNya, Allah pasti akan melihatnya.
Dengan demikian riya' ini akan lenyap dari dirinya.
b. Mengetahui Apa Yang Allah Sediakan Di Akhirat Berupa Kenikmatan Yang Abadi Dan Adzab Yang Pedih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Katakanlah
: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb Yang
Maha Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka
hendaklah ia megerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya". [al Kahfi : 110].
Apabila
seorang hamba memahami apa yang Allah sediakan bagi orang yang bertakwa
dari surga, maka dia akan meremehkan kelezatan dunia yang sementara
ini. Termasuk di dalamnya pujian dan sanjungan manusia. Dan apabila
seorang hamba mengetahui apa yang Allah sediakan bagi orang yang
berlaku riya’ di neraka, maka ia akan berlindung kepada Allah dan
tidak takut celaan manusia. Orang yang ia perlihatkan amalnya, tidak
akan mampu menolong sesuatu yang datang dari Allah pada hari Kiamat.
c. Hendaklah Takut Terhadap Perbuatan Riya’
Bila
seseorang merasa takut dengan perbuatan ini, ia akan selalu
berhati-hati. Bila bergejolak penyakit ingin dipuji dan disanjung, ia
akan mengingatkan dirinya tentang bahaya riya' dan kemurkaan Allah yang
akan ia peroleh. Hendaklah ia senantiasa mempelajari pintu masuk serta
halusnya riya', sehingga ia benar-benar selamat darinya.
d. Menjauhkan Diri Dari Celaan Dan Murka Allah.
Di antara sebab-sebab riya' adalah takut terhadap celaan manusia. Tetapi orang yang berakal akan mengetahui, bahwa takut terhadap celaan atau murka Allah adalah lebih utama.
Hendaklah ia mengetahui, bahwa takut terhadap celaan Allah adalah
dengan mendekatkan diri kepadaNya. Allah akan melindunginya dari
manusia yang tidak dapat memberikan manfaat kepadanya.
e. Memahami Kedudukan Sebagai Hamba Allah.
Hendaklah
seseorang mengetahui secara yakin, bahwa dirinya seorang hamba yang
tidak berhak menuntut upah dalam beribadah kepada Allah. Dia
mentauhidkan Allah karena merupakan tuntutan ibadah, sehingga ia tidak
berhak menuntut hak. Adapun pahala yang ia peroleh dari Allah adalah
merupakan perbuatan ihsan (baik) kepadaNya. Maka, ia hanya berharap pahala dari Allah, bukan dari manusia. Yang berhak memberikan pahala hanya Allah. Karena itu, seorang hamba wajib beribadah semata-mata karena Allah.
f. Mengetahui Hal-Hal Yang Dapat Membuat Setan Lari.
Setan
adalah musuh manusia. Dia merupakan sumber riya’, bibit dari
setiap bencana. Setan selalu ada pada setiap waktu, dalam semua
kehidupan manusia, dan senantiasa mengirimkan pasukannya untuk
menghancurkan benteng pertahanan manusia. Dia menghasung pasukannya
yang terdiri dari pasukan berkuda dan berjalan kaki. Dia selalu
memberikan angan-angan, menjanjikan segala sesuatu. Namun sebenarnya
apa yang dijanjikan setan, semuanya hanyalah tipuan belaka. Dia
menghiasi perbuatan yang mungkar sehingga menjadi seolah-olah perbuatan
baik. Hakikat ini harus diketahui oleh setiap muslim, agar ia selamat
dari riya'. Dia juga harus menjaga beberapa hal yang dapat mengalahkan
setan.
Ada
beberapa amalan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
apabila diamalkan, maka setan akan lari. Di antaranya adalah dzikir
kepada Allah dengan dzikir yang disyariatkan, membaca al Qur`an,
membaca isti‘adzah (berlindung dari godaan setan yang terkutuk),
membaca bismillah ketika masuk dan keluar rumah, membaca doa ketika
masuk dan keluar WC, membaca doa ketika bersetubuh. Setan juga lari
ketika mendengar seruan adzan, dibacakan surat al Baqarah, ayat Kursi,
sujud tilawah, dibacakan surat al Falaq, an Naas dan lain-lain.
g. Menyembunyikan amal
Orang
yang berbuat ikhlas akan senantiasa takut pada riya'. Oleh karena itu
ia akan bersungguh-sungguh melawan tipu daya manusia dan memalingkan
padangan mereka agar tidak memperhatikan amal-amal shalihnya. Dia akan
berupaya keras meyembunyikan amalnya, dengan harapan, supaya ikhlas
amalnya, dan agar Allah membalas pada hari Kiamat dengan keikhlasannya.
Memang pada awalnya berat, tetapi jika sabar, Allah pasti akan
menolongnya.
Rasulullah bersabda :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
"Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang takwa, yang selalu merasa cukup dan yang merahasiakan (ibadahnya)". [HSR Muslim, no. 2965 dan al Baghawi, XV/21-22 no. 4228 dari Sa'ad bin Abi Waqash]
h. Tidak Peduli Dengan Celaan Dan Pujian Manusia.
Banyak
orang binasa karena takut celaan manusia, senang dipuji, hingga tindak-
tanduknya menuruti keridhaan manusia, mengharapkan pujian dan takut
terhadap celaan mereka. Padahal yang seharusnya diperhatikan adalah,
hendaknya kita bergembira dengan keutamaan dan rahmat dari Allah, bukan
dengan pujian manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Katakanlah:
“Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan". [Yunus : 58].
Demikian
pula kita harus melihat orang yang mencela dan memfitnah kita. Apabila
ia benar dan memang untuk menasihati kita, maka kita tidak perlu marah.
Karena dia telah menunjuki aib kita dan mengingatkan kita dari
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Seandainya ia berbohong kepada
kita dan mengada-ada terhadap kesalahan tersebut dan mencelanya, maka
kita harus memikirkan tiga perkara:
1.
Jika kita bersih dari kesalahan itu, maka kita tidak lepas dari aib
atau kesalahan yang lain. Karena sesungguhnya manusia banyak berbuat
salah dan banyak sekali aib kita yang Allah tutupi. Ingatlah nikmat
Allah, karena si pencela tidak mengetahui aib yang lain dan tolaklah
dengan cara yang baik.
2.
Sesungguhnya membuat-buat berita untuk mencela kita dan memfitnah,
semua ini adalah penghapus dosa kita, jika kita sabar dan mengharapkan
pahala dari Allah.
3. Orang yang mencela dan memfitnah kita akan mendapat kemurkaan dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan
barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, Kemudian
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia
telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata" [an Nisaa` : 112].
Kita
harus berusaha untuk memaafkannya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
cinta kepada orang-orang yang suka memaafkan. Seorang muslim harus
ingat, bahwa tidak ada artinya pujian manusia, bila hal itu menimbulkan
kemurkaan Allah. Pujian mereka tidak pula membuat kaya dan berumur
panjang. Begitu pula celaan mereka ketika kita meninggalkan sesuatu.
Celaan mereka tidak membuat kita berada dalam bahaya dan tidak pula
memendekkan umur kita, serta tidak menangguhkan rezeki. Semua manusia
adalah lemah, tidak berkuasa terhadap manfaat dan mudharat dirinya,
tidak berkuasa terhadap hidup dan matinya serta tempat kembalinya. Jika
ia menyadari hal itu, tentu dia akan melepaskan kesenangannya pada
riya'. Lalu menghadap kepada Allah dengan hatinya. Sesungguhnya
orang-orang yang berakal tidak menyukai apa-apa yang berbahaya bagi
dirinya dan yang sedikit manfaatnya.
i. Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Mengajarkan Kepada Kita Do’a Yang
Dapat Menghilangkan Syirik Besar Dan Kecil (Riya’).
Dari
Abu Ali, seorang yang berasal dari Bani Kahil, berkata: Abu Musa al
Asy'ari berkhutbah di hadapan kami seraya berkata: “Wahai
sekalian manusia. Takutlah kalian kepada syirik ini, karena ia lebih
halus daripada rayapan semut”. Kemudian Abdullah bin Hazan dan
Qais bin al Mudlarib mendatangi Abu Musa seraya berkata: “Demi
Allah, engkau harus menguraikan apa yang engkau katakan atau kami akan
mendatangi Umar, baik kami diizinkan atau tidak,” lalu Abu Musa
berkata: “Kalau begitu, aku akan menguraikan apa yang aku
katakan. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: ‘Wahai
sekalian manusia, takutlah pada syirik ini, karena ia lebih halus
daripada rayapan semut’. Kemudian orang yang dikehendaki Allah
bertanya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‘Bagaimana
kami bisa menghindarinya, sedangkan ia lebih halus dari rayapan semut,
ya Rasulullah?’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,’Ucapkanlah
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ.
"Ya
Allah! Sesungguhnya aku ber-lindung kepadaMu, agar tidak menyekutukan
kepadaMu, sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang
tidak aku ketahui.” [HSR
Ahmad IV/403 dan ath Thabrani, isnad dan perawi-perawinya tsiqah
(terpercaya) selain Abi Ali, karena sesungguhnya ia tidak dianggap
tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban. Hadits ini hasan, lihat Shahih
Targhib wat Tarhib, no. 36]
j. Berteman Dengan Orang Ikhlas, Shalih Dan Bertakwa.
Di
antara faktor yang dapat mendorong berbuat ikhlas ialah berteman dengan
orang-orang yang ikhlas, agar kita dapat mengikuti jejak dan tingkah
laku mereka yang baik. Dan kita harus waspada kepada orang-orang yang
riya', yang akan membawa kepada kebinasaan.
FAIDAH DAN PELAJARAN DARI HADITS INI
1. Sangat keras haramnya riya'.
2. Syirik dibagi dua, yakni syirik akbar dan syirik ashgar.
3. Riya' termasuk syirik kecil.
4. Dosa syirik kecil lebih besar daripada dosa besar lainnya.
5. Riya' lebih halus daripada rayapan semut.
6. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat khawatir bila umatnya melakukan riya'.
7. Rasulullah sangat sayang kepada umatnya. (Lihat at Taubah : 128).
8. Beramal dengan riya' adalah ciri-ciri orang munafiq (an Nisaa` : 142).
9. Allah sangat murka kepada orang-orang yang berbuat riya'.
10. Allah Maha Kaya dan tidak butuh kepada hambaNya
11. Allah tidak ridha jika dalam ibadah yang semestinya ditujukan hanya kepadaNya, lalu Dia dipersekutukan dengan makhlukNya.
12. Amal yang dilakukan dengan riya’ akan dibatalkan oleh Allah dan tidak diberi pahala.
13. Neraka dipanaskan pertama kali untuk orang-orang yang berbuat riya’.
14. Orang yang berbuat riya' akan dihinakan dengan diseret wajahnya dan dilemparkan ke neraka.
15. Orang yang beramal dengan riya' mengambil pahala di dunia dari manusia, yaitu berupa pujian dan sanjungan.
16. Orang yang berbuat riya', pada hari Kiamat tidak mendapatkan pahala, melainkan siksa yang sesuai dengan amal mereka.
17. Riya' ada bermacam-macam, ada yang jelas dan ada yang tersembunyi.
18. Wajib bagi setiap muslim berhati-hati dari riya', sum'ah dan 'ujub.
19.
Manusia senantiasa digoda oleh setan hingga merusak keikhlasannya. Dan
setan berjalan di dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah.
20. Wajib ikhlas karena Allah dalam mengerjakan seluruh amal.
21. Seseorang tidak boleh meninggalkan amal yang wajib atau sunah yang rutin karena takut riya'.
22. Amal yang dilakukan dengan ikhlas, lalu mendapatkan pujian tidak termasuk riya'.
23. Penetapan bahwa Allah berkata atau bercakap-cakap menurut kehendakNya.
24. Selalu berdoa agar dijauhkan dari riya'.
Wallahu a'lam.
Maraji':
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Maktabah Daarus Salaam, Th. 1413 H.
2. Tafsir Qurthubi, Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H
3. Kutubus Sittah
4. Musnad Imam Ahmad
5. Sunan ad Darimi
6. Shahih Ibnu Khuzaimah
7. Mawariduz Zham’an
8. Mustadrak Hakim.
9. Syarah Muslim oleh Imam an Nawawi dan Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar al Asqalani.
10. Syarah Sunnah Imam al Baghawi
11. Riyadhush Shalihin, oleh Imam an Nawawi.
12. Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhush Shalihin, Juz III, oleh Salim bin Id al Hilali, Cet. I, Daar Ibnu Jauzy, Th. 1415 H.
13. Syarah Arbain oleh Imam an Nawawi.
14. Shahih at Targhib wat Tarhib, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
15. Shahih Jami'ush Shaghir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
16. Shahih Sunan an Nasa-i, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
17.
Mukhtashar Minhajil Qashidin, oleh Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq
Syaikh Ali Hasan bin Ali bin Abdul Hamid, Cet II, Daar Ammar, Th. 1415H.
18. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
19. Maqashidul Mukallafiin, 2 –al Ikhlas-, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, Cet. III, Daarun Nafais, Th. 1415 H.
20. Ar Riya', Dzammuhu wa Atsaruhu as Sayi’ fil Ummah, Salim bin 'Id al Hilali, Cet II, Dar Ibnu Jauzi, Th. 1413 H.
21. Al Ikhlas, Husain al 'Awayisyah, Cet. VII, Maktabah al Islamiyah, Th. 1413 H.
22 .Al Ikhlas wa Syirkul Ashghar, Abdul Aziz Abdul Lathif, Cet. I, 1412 H.
23. Al Kaba-ir, Imam adz Dzahabi, hlm. 212, Tahqiq Abu Khalid al Husein bin Muhammad as Sa'idi, Cet. Darul Fikr.
24. Kitabut Tauhid, Muhammad bin Abdul Wahhab.
25. Al Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin, Darul Ashimah.
26. Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, oleh Penulis, hlm. 84-96, Cet II Pustaka at Takwa, April 2005.
27. Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Cet. Darul Wafa'.
28. Mu’jamul Wasith
29. Dan lain-lainnya
Ditulis tanggal 4 Ramadhan 1426H / 8 Oktober 2005M
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1].
Diringkas dari ar Riya', hlm. 61-72; al Ikhlas, hlm. 67-102 oleh Syaikh
Husain al ‘Awayisyah; al Ikhlas wa Syirkul Ashghar, hlm. 13-17
oleh Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif.
[2].
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah
Subhanahu wa Ta'ala, baik mencipta, memberi rizki menghidupkan dan
mematikan serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa dan Yang mengatur
segala sesuatu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ
أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ
يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ
بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ
"Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam". [al A’raaf : 54]
Tauhid
Uluhiyah, artinya, mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba,
yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala apabila hal itu disyari’atkan olehNya,
seperti berdoa, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta),
dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan),
isthighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah
(meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tidak menyekutukanNya
dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan
hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Dan tidak boleh ibadah
tersebut dipalingkan kepada selain Allah. [al Jiin : 18].
Sungguh
Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila
ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh
kepada syirkun akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya.
[Lihat an Nisaa` : 48, 116].
Tauhid
Asma ‘ Wa Shifat, maksudnya adalah menetapkan apa-apa yang Allah
Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan
atas diriNya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan,
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat
Allah sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah dan
tidak boleh dita’wil. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya. Dan Dia-lah Yang Maha mendengar lagi Maha melihat". [asy Syuura’: 11].
Lihat
keterangan selengkapnya di dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah oleh penulis, hlm. 84-96, Cet. II, Pustaka at Taqwa,
April 2005.
[3].
Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhush Shalihin, Iqadhul Himam min Jami'il
'Ulum wal Hikam, al Kabair, Fiqhul Islam dan Taudhihul Ahkam Syarah
Bulughul Maram, al Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid.
[4]. Perbedaan 'syirik akbar dan syirik ashgar (kecil):
• Syirik akbar menghapuskan seluruh amal. Sedangkan syirik ashghar hanya menghapuskan amal yang disertai riya'
• Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan syirik ashghar tidak sampai demikian.
• Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedangkan syirik ashghar tidak menyebabkan keluar dari Islam.
(Aqidatut Tauhid, oleh Dr. Shalih Fauzan, hlm. 80).
_________________
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/