Islam Pedoman Hidup: Mari Menuntut Ilmu Syar'i (Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu)

Minggu, 14 Agustus 2016

Mari Menuntut Ilmu Syar'i (Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu)



Aku Takkan Lupakan Ilmu

Merupakan nikmat dan anugerah yang besar bagi seorang muslim dapat berjalan di atas kebenaran, mencari ridha Allah dan menggapai surga-Nya kelak. Dalam perjalanan seorang muslim, tak jarang dirinya lupa sehingga perlu diingatkan, kadang juga ia lalai sehingga membutuhkan teguran, belum lagi apabila ia keliru sehingga ia mencari pelita yang dapat meluruskan langkah dan arahnya.

Berikut ini penulis mengajak dirinya dan ikhwah sekalian untuk merenungi lagi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan pemahaman Salafush Shalih. Menyegarkan kembali ingatan kita bersama tentang kemuliaan ibadah melalui tholabul ilmi (menuntut ilmu syar’i), agar semangat tak menjadi surut, terlebih di hadapan berbagai ujian dan cobaan kehidupan duniawi. Semoga dapat bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan bagi seluruh pembaca, amin…

Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang keutamaan ilmu. Banyak ayat dan hadits serta perkataan serta kisah teladan para ulama salaf yang menunjukkan hal ini. Di antaranya adalah:

Menggapai Kemuliaan Dengan Ilmu Syar’i
Allah Ta’ala berrfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Ath Thabari rahimahullah berkata,“Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka (jika mereka mengamalkan ilmu tersebut, pent).” (Tafsir Ath-Thabari, QS Al-Mujadilah: 11)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata,“Yaitu derajat yang tinggi dengan kemuliaan di dunia dan pahala di akherat.” (Tafsir Asy-Syaukani; QS Al-Mujadilah: 11)

Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Al Khattab) di daerah ‘Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’).

Umar bertanya, “Siapa yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi penduduk Mekah?”
Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.”
Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”
Nafi’ menjawab, “Seorang budak.”
Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang budak [?]“
Nafi’ mengatakan, “Sesungguhnya budak tersebut adalah seorang hafizh Al-Qur’an dan sangat mengilmui faraidh (yakni hukum-hukum islam)”
Kemudian Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian telah berkata: “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur’an dan merendahkan sebagian yang lain karenanya.” (Shahih Muslim: 817)

Ibrahim Al-Harbi berkata: Seseorang bernama ‘Atha’ bin Abi Rabah adalah budak berkulit hitam, milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung ‘Atha’ pesek seperti kacang (sangat kecil). Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik sang Amirul Mukminin bersama kedua anaknya mendatangi ‘Atha’ yang sedang shalat. Setelah selesai dari shalatnya ia menyambut mereka. Masih saja mereka asyik bertanya kepada ‘Atha tentang manasik haji kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya “Wahai anak-anakku, jangan kalian lalai dari menuntut ilmu. Sungguh aku tidak akan lupa telah berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu ini)”

Dalam kisah yang lain Ibrahim Al-Harbi berkata, “Muhammad bin Abdurrahman Al-Auqash adalah seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke badannya sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan kasih sayang ibunya berpesan, “Wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau berada di sebuah majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka hendaklah engkau menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu.” Ternyata (ia mematuhi pesan ibunya, pent) sehingga suatu saat dipercaya menjadi Hakim Agung di Mekah selama dua puluh tahun.” (Lihat Tarikh Baghdad 2: 309, Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 1: 501-502)

Al-Muzani berkata,“Aku pernah mendengar Imam Syafi’i berkata: ‘Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an maka akan mulia kehormatannya. Barangsiapa mendalami ilmu fikih maka akan agung kedudukannya, barangsiapa mempelajari bahasa (arab) maka akan lembut tabiatnya. Barangsiapa mempelajari ilmu berhitung maka akan tajam nalarnya dan banyak idenya. Barangsiapa banyak menulis hadits maka akan kuat hujjahnya. Barangsiapa yang tidak menjaga dirinya, maka tidak akan bermanfaat ilmunya.’ (Diriwayatkan dari Imam Syafi’i dari beberapa jalan, lihat Miftah Daris Sa’adah 1: 503)

Menuntut Ilmu Adalah Jalan Menuju Surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu (syar’i), maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga.” (HR. Muslim no: 2699 dari Abi Hurairah)

Beliau juga bersabda,“Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR Tirmidzi no: 2323, Ibnu Majah no: 4112  dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no: 186 dari Anas)

Dengan Menuntut Ilmu Segala Pintu Kebaikan, Maghfirah, dan Pahala Akan Dilimpahkan 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberikan kepahaman tentang agama.” (HR Bukhari 1: 150-151, 6: 152, dan Muslim 1037 dari Mu’awiyah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,“Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputus semua amalannya kecuali dari tiga hal: [1] shadaqah jariyah, [2] ilmu yang bermanfaat, dan [3] anak shalih yang mendoakannnya.” (HR Muslim 1631 dari Abi Hurairah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “…dan sesungguhnya para Malaikat akan merendahkan sayap-sayap mereka bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha terhadap apa yang mereka lakukan. Sungguh seorang yang berilmu akan dimintakan ampun baginya oleh semua yang ada di langit dan bumi sampai pun ikan di lautan. Keutamaan seorang yang berilmu atas seorang ahli ibadah bagaikan keistimewaan bulan di hadapan bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang dapat mengambilnya, sungguh ia telah meraih bagian yang banyak.” (HR Abu Daud no: 3641-2, At-Tirmidzi no: 2683, Ibnu Majah no: 223, dishahihkan Ibnu Hibban no: 80)

Ilmu ini adalah anugerah. Oleh karena itu, mari kita bersama menjaganya dengan baik. Mengikhlaskan hati mensucikan niat agar Allah menambahnya serta melimpahkan berkah di dalamnya,
وقل رب زدني علما 
“Dan katakan, Wahai Rabb tambakanlah bagiku ilmu.” (QS Thoha: 114)

Jangan sampai kemurniannya terkotori dengan bisikan ambisi materi atau buaian kemewahan duniawi. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kita dengan dalam sebuah hadits, “Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dicari untuk mengharapkan wajah Allah, namun ternyata ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan satu tujuan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud no: 3664 dengan sanad yang shahih, Ibnu Majah no: 252, Ibnu Hibban no: 89, dll)

Kiat Menjaga Ilmu 
Para ulama salaf menjelaskan bahwa di antara kiat menjaga kenikmatan mulia ini adalah dengan:

1. Selalu bersemangat dalam menuntut ilmu dan tidak merasa bosan
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,“Seseorang tidaklah berhasil menuntut ilmu (dengan baik) apabila dia selalu merasa bosan, seakan tidak membutuhkannya. Akan tetapi, seseorang akan berhasil menuntut ilmu jika melakukannya dengan perjuangan dan susah payah, penuh semangat dan hidup prihatin.” (Hilayatul Auliya karya Abu Nu’aim; 9: 119, Al-Madkhal karya Al-Baihaqi; no: 513, Tadribur Rawi karya As-Suyuthi; 2: 584)

Dalam Diwannya beliau juga membawakan syair
أخي لن تنال العلم إلا بستـتة # سأنبيك عن تفصيلها ببيان # ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة # وصحبة أستاذ وطول زمان 
Wahai saudaraku…, engkau takan mendapatkan ilmu melainkan dengan (memperhatikan) enam hal… Aku akan menyebutkannya secara rinci: [1] harus memiliki kecerdasan, [2] memiliki semangat, [3] bersungguh-sungguh, [4] membutuhkan biaya/materi, [5] mendapat bimbingan guru (ustadz), dan [6] membutuhkan waktu yang panjang. (Diwan Asy-Syafi’i)

2. Mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan
Amr bin Qays berkata,“Jika sampai kepadamu suatu ilmu, maka amalkanlah meskipun hanya sekali.” (Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim 5: 102)

Imam Waki’ berkata,“Jika engkau hendak menghafal satu ilmu (hadits), maka amalkanlah!” (Tadribur Rawi karya As-Suyuthi 2: 588)

Imam Ahmad berkata,“Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya. Sehingga suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijamah (bekam) dan memberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu dinar pula.” (Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad, hal: 232)

3. Senantiasa mengingat dan mengulang-ulang ilmu
Ali bin Abi Thalib berkata,“Ingat-ingatlah (ilmu) hadits. Sungguh jika kalian tidak melakukannya maka ilmu akan hilang.” (Al-Muhadditsul Fashil karya Ar-Ramahurmuzi hal: 545)

Ibnu ‘Abbas berkata,“Mengulang-ulang ilmu di sebagian malam lebih aku cintai daripada menghidupkan malam (dengan shalat malam) (Sunan Ad-Darimi; 1: 82 dan 149)

Az-Zuhri berkata,“Gangguan ilmu adalah lupa dan sedikitnya muraja’ah (mengulang-ulang).” (Sunan Ad-Darimi, 1: 150)

Saudaraku… Kita perlu mengingat kembali sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menggambarkan bagaimana Allah akan mencabut ilmu dari kehidupan dunia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan merenggutnya dari para manusia, namun ilmu itu dicabut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ‘alim, maka manusia akan menjadikan para pembesar mereka dari kalangan orang-orang bodoh yang ditanya (tentang agama) lantas orang-orang bodoh itu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Al-Bukhari: 1: 174-175, Muslim no: 2673, At-Tirmidzi 2652)

Dalam hadits yang lain, beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan semakin merajalela, zina nampak di mana-mana, khamr diminum, kaum pria menjadi sedikit dan kaum wanita menjadi lebih banyak….” (Shahih dengan beberapa jalannya, Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Sahih: kitab “nikah” dari hadits Hafsh bin Umar dan kitab “ilmu”, demikian pula halnya Muslim dalam Shahih-nya: 4: 256, dan selain mereka)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata,“Sungguh keberadaan agama Islam dan keberlangsungan dunia ini adalah dengan keberadaan ilmu agama, dengan hilangnya ilmu akan rusaklah dunia dan agama. Maka kokohnya agama dan dunia hanyalah dengan kekokohan ilmu.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 500)

Al-Auza’i berkata bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan,“Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan. Sementara ilmu diangkat dengan cepat. Kekokohan ilmu adalah keteguhan bagi agama dan dunia. Hilangnya ilmu adalah kehancuran bagi itu semua.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud 817, dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam Al-Jami’ 1018)

Saudaraku…
Yakinlah bahwa di antara kunci kebahagiaan dunia dan akherat adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Itulah yang akan menumbuhkan khasyyah dan sikap takut kepada Allah, merasa diawasi sehingga waspada terhadap semua ancaman Allah. Semua itu tidaklah didapatkan kecuali dengan ilmu syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya hanyalah para ulama yang memiliki khasyyah kepada Allah.” (QS. Fathir: 28)

Ath-Thabari berkata,“Sesungguhnya yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah…” (Lihat Tafsir Ath-Thabari QS Fathir; ayat: 28)

‘Abdullah bin Mas’ud dan Masruq berkata,“Cukuplah ilmu membuat seseorang takut kepada Allah, dan sebaliknya kebodohan menyebabkan seseorang lalai dari mengenal Allah.

Al-Baghawi menyebutkan bahwa seseorang memanggil dan berkata kepada Sya’bi, “Wahai ‘aalim  berfatwalah.” Sya’bi menjawab, “Sesungguhnya seorang ‘alim adalah yang memiliki khasyyah (rasa takut) kepada Allah.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud hal: 15, dan Ahmad dalam Az-Zuhud hal: 858 dan Lihat Tafsir Al-Baghawi QS Fathir; ayat: 28)

Syaikh As-Sa’di berkata dalam tafsir dari Surat Al-Faaathir ayat 28, “Ayat ini adalah dalil keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan sikap khasyyah (takut) kepada Allah. Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang akan mendapatkan kemuliaan Allah sebagaimana firman-Nya (yang artinya),  “Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Itu hanya bagi orang-orang yang memiliki khasyyah kepadaNya.” (Lihat Tafsir As-Sa’di QS Fathir, ayat: 28)

Dengan ilmu kita dapat menumbuhkan sikap khasyyah kepada Allah dan itulah muraqabah yang akan membimbing langkah-langkah kita menuju ridha Allah.

Sufyan berkata,“Barangsiapa yang berharap (kebahagiaan) dunia dan akherat, hendaklah ia menuntut ilmu syar’i.”

An-Nadhr bin Syumail berkata,“Barangsiapa yang ingin dimuliakan di dunia dan akherat, hendaklah ia menuntut ilmu syar’i. Cukuplah menjadi kebahagiaan bagi dirinya jika ia dipercaya dalam perkara agama Allah, serta menjadi perantara antara seorang hamba dengan Allah.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 503-504)

Mu’adz bin Jabal berkata,“Pelajarilah ilmu syar’i karena mempelajarinya di jalan Allah adalah khasyyah, memperdalamnya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih (memuji Allah), membahas (permasalahan-permasalahannya) adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya adalah shadaqah, dengan ilmulah Allah diketahui dan disembah, dengannya Allah diesakan dalam tauhid, dan dengannya pula diketahui yang halal dan yang haram…” (Hilayatul Auliya karya Abu Nu’aim 1: 239, Al-Ajmi’ oleh Ibnu ‘Abdil Bar 1: 65)

Seorang penyair berkata: 
Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis…  
Sebaik-baik teman yang bersahabat adalah ilmu…
Terkadang seseorang mengumpulkan harta kemudian kehilangannya… 
Tidak seberapa namun meninggalkan kehinaan dan perseteruan… 
Adapun penuntut ilmu, ia selalu membuat iri (ghibthah) banyak orang…   
Namun dirinya tidak pernah merasa takut akan kehilangannya… 
Wahai para penuntut ilmu, betapa berharga hartamu itu… 
yang tak dapat dibandingkan dengan emas ataupun mutiara….. 
(Diterjemahkan dari Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 507)

Karenanya, Luqman berwasiat kepada putranya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan pelita “hikmah” sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang gersang dengan air hujan.” (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2: 1002).

Hikmah yang beliau maksud adalah yang Allah sebutkan dalam firmanNya (QS Al-Baqarah: 269) yang artinya,“Allah menganugerahkan “hikmah” kepada yang Allah kehendaki, barangsiapa telah diberikan hikmah maka ia telah diberikan banyak kebaikan…”
Qutaibah dan Jumhur ulama berkata “hikmah adalah mengetahui yang haq dengan sebenarnya serta mengamalkannya. Itulah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 227)

Imam Ahmad berkata,“Manusia lebih membutuhkan ilmu dibandingkan makan dan minum, karena makanan dan minuman dibutuhkan manusia satu atau dua kali dalam satu hari. Akan tetapi, ilmu senantiasa dibutuhkan seorang manusia setiap saat (selama nafasnya berhembus)”…(Thabaqat Al-Hanabilah; 1: 146)

Saudaraku, Belum Terlambat dan Tidak Ada Kata Malu
‘Aisyah berkata,“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk mempelajari semua perkara agama ini.”

Mujahid juga berkata,“Seorang pemalu atau sombong tidaklah dapat menuntut ilmu. Yang satu terhalangi dari menuntut ilmu oleh rasa malunya. Sementara yang satu lagi terhalangi oleh kesombongannya.” (Al-Bukhari menyebutkannya secar mu’allaq dalam Shahih-nya 1: 229)

Mari bersama-sama kita membangkitkan semangat menuntut ilmu syar’i agar dengannya kita mendapatkan pelita nan bercahaya, menerangi setiap amalan hidup kita, membimbing setiap pola pikir dan langkah kita, memperbaiki setiap niat hati kita, membuat kita senantiasa takut karena merasa diawasi oleh Allah. Jika ilmu itu telah sampai maka jangan kita melupakannya dan mari kita berlomba untuk mengamalkannya.

Ali bin Abi Thalib berkata,“Ilmu membisikkan pemiliknya untuk diamalkan. Jika ia menjawab panggilan bisikan itu, maka ilmu akan tetap ada. Namun jika ia tidak menjawab panggilan itu, maka ilmu akan pergi.” (Iqtidhaul ‘Ilmil amal karya Al-Khathib: hal 41)

Semoga Allah melimpahkan taufiqNya kepada kita untuk ikhlas dalam menuntut ilmu, beramal dan berdakwah di jalan-Nya. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia serta akherat dengan ilmu, amin…
_____________
Penulis: Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc.


Keutamaan Ilmu

Pertama : Ilmu Meningkatkan derajat
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Mujadilah [58] : 11).

Al Hafizh menjelaskan,“Ada yang mengatakan tentang tafsirannya adalah : Allah akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan orang beriman yang tidak berilmu. Dan pengangkatan derajat ini menunjukkan adanya sebuah keutamaan…” (Fathul Bari, 1/172).

Beliau juga meriwayatkan sebuah ucapan Zaid bin Aslam mengenai ayat yang artinya,“Kami akan mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf [12] : 76).
Zaid mengatakan, “Yaitu dengan sebab ilmu.” (Fathul Bari, 1/172).

Kedua : Nabi diperintahkan untuk berdoa untuk mendapatkan tambahan ilmu
Di dalam Kitabul Ilmi Bukhari membawakan sebuah ayat yang artinya,“Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha [20] : 114).

Kemudian Al Hafizh menjelaskan,“Ucapan beliau : Firman-Nya ‘azza wa jalla, ‘Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu’. Memiliki penunjukan yang sangat jelas terhadap keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan untuk apapun kecuali tambahan ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i; yang dengan ilmu itu akan diketahui kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf untuk menjalankan ajaran agamanya dalam hal ibadah ataupun muamalahnya, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, dan hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, menyucikan-Nya dari segenap sifat tercela dan kekurangan. Dan poros semua ilmu tersebut ada pada ilmu tafsir, hadits dan fiqih…” (Fathul Bari, 1/172).

Ketiga : Perintah bertanya kepada ahli ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan,“Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci memerintahkan untuk bertanya kepada mereka (ahli ilmu) dan merujuk kepada pendapat-pendapat mereka. Allah juga menjadikannya sebagaimana layaknya persaksian dari mereka. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu kecuali para lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka : bertanyalah kepada ahli dzikir apabila kalian tidak mempunyai ilmu.’ (QS. An Nahl [16] : 43). Sehingga makna ahli dzikir adalah ahli ilmu yang memahami wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24).

Keempat : Kebenaran akan tampak bagi ahli ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan,“Allah Yang Maha Suci memberitakan mengenai keadaan orang-orang yang berilmu; bahwa merekalah orang-orang yang bisa memandang bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi dari Rabbnya adalah sebuah kebenaran. Allah menjadikan hal ini sebagai pujian atas mereka dan permintaan persaksian untuk mereka. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa wahyu yang diturunkan dari Rabbmu itulah yang benar.” (QS. Saba’ [34] : 6).” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24).

Kelima : Segala sifat terpuji bersumber dari ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan,“Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam Al Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 128).

Beliau juga menegaskan,“Dan tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Dan semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 101).

Kebahagiaan ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Adapun kebahagiaan ilmu, maka hal itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar, dan niat yang benar. Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal itu, 

Katakanlah kepada orang yang mendambakan
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia
Tanpa mengerahkan kesungguhan
Berarti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada

Penyair yang lain mengatakan, 
Kalau bukan karena faktor kesulitan
Tentunya semua orang bisa menjadi pimpinan
Sifat dermawan membawa resiko kemiskinan
Sebagaimana sifat berani membawa resiko kematian
(Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 111).

Beliau juga mengatakan,“Berbagai kemuliaan berkaitan erat dengan hal-hal yang tidak disenangi (oleh hawa nafsu, pen). Sedangkan kebahagiaan tidak akan bisa dilalui kecuali dengan meniti jembatan kesulitan. Dan tidak akan terputus jauhnya jarak perjalanan kecuali dengan menaiki bahtera keseriusan dan kesungguh-sungguhan. Muslim mengatakan di dalam Sahihnya, ‘Yahya bin Abi Katsir berkata : Ilmu tidak akan diraih dengan tubuh yang banyak bersantai-santai.’ Dahulu ada yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang menginginkan hidup santai (di masa depan, pen) maka dia akan meninggalkan banyak bersantai-santai.’.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 112).

Inilah sekelumit pelajaran dan motivasi bagi para penuntut ilmu. Semoga yang sedikit ini bisa menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agama-Nya dari serangan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya pada masa yang penuh dengan fitnah semacam ini kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangat dinanti-nanti. Para penuntut ilmu yang berhias diri dengan adab-adab islami, yang tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana. Para penuntut ilmu yang bisa merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al Qur’an sebagaimana seorang yang lapar menyantap makanan. Para penuntut ilmu yang senantiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya. Para penuntut ilmu yang bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas. Para penuntut ilmu yang mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas kecintaannya kepada segala sesuatu.
____________
Disusun oleh Ari Wahyudi


Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.

Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:
  • Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
  • Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
  • Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
  • Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
  • Senantiasa didengar doanya.
  • Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
  • Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
  • Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
  • Selalu mengharapkan akhirat.
  • Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
  • Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
  • Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
  • Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
  • Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:
  • Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
  • Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
  • Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
  • Tidak dikabulkan doanya.
  • Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
  • Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
  • Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
  • Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
  • Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
  • Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
  • Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
  • Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار
Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu: 
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

_____________
اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji’:
  • Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
  • Shahih Muslim, Dar As-Salam
  • Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif
***
Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)


Keutamaan Menyebarkan Ilmu Agama

Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ »
Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama[2] yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat manusia[3].

Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata,“Aku tidak mengetahui setelah (tingkatan) kenabian, kedudukan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu (agama)”[4].

Dalam hadist lain yang semakna dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:Sesungguhnya orang yang memahami ilmu (agama dan mengajarkannya kepada manusia) akan selalu dimohonkan (kepada Allah Ta’ala) pengampunan (dosa-dosanya) oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan[5].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
  • Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemuliaan dan keberkahan dari-Nya[6]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya),  sebagaimana dalam firman-Nya: “Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43)[7].
  • Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena itu semua makhluk di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya[8].
  •  Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk untuknya[9].
  • Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah AllahTa’ala, bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi[10].
  • Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[11], karena merekalah yang menggantikan tugas para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi AllahTa’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam[12].
  • Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh (berperang melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan menyampaikan sunnah (petunjuk) RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya”[13].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 13 Ramadhan 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
___________
[1] HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 7912), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan oleh hadits lain yang semakna. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albanirahimahullah dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (4/467).
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/525).
[3] Lihat keterangan  imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).
[4] Dinukil oleh imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Bagdad” (10/160).
[5] HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albanirahimahkumullah, serta dinyatakan hasan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).
[6] Lihat kitab “Zaadul masiir” (6/398).
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (6/169).
[8] Lihat keterangan  Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64) dan al-Muanawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).
[9] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).
[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/525).
[11] Sebagaimana dalam HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albanirahimahkumullah.
[12] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64).
[13] Kitab “Jala-ul afhaam” (hal. 415).