Ilmu laduni sudah begitu lekat dengan komunitas sufi, bahkan menjadi keyakinan puncak mereka. Karena hanya merekalah yang mengklaim demikian. DR. Yunasril AB, dosen UIN Jakarta ketika ditanya: “Jika demikian, apakah ilmu laduni ini hanya otoritas kaum sufi/wali?
Jawabnya:
“Kalau kita baca uraian-uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu”, kemudian menukil pendapat lbnu Arabi yang mengatakan bahwa yang mampu menerima ilmu laduni hanyalah orang yang hatinya sudah sangat suci. Mereka itu adalah para nabi, para wali dan para sufi. (Majalah Sufi edisi 25 September 2003).
Bahkan bisa dipastikan bahwa ilmu ini hanya monopoli mereka atau persisnya bualan mereka. Ada beberapa alasan yang mereka ajukan untuk memunculkan dan membela adanya ilmu ini, yaitu;
1. Surat al-Kahfi ayat 65;
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. Al-Kahfi: 65).
Dalam ayat ini Alloh mengkhabarkan bahwa Khidhir menerima ilmu langsung dan Alloh. Dengan demikian ada ilmu yang langsung diperoleh dari Alloh dengan tanpa perantara dan ada yang dengan perantara seperti ilmu syari’at ini.
Al-Ghazali berkata: “Jika anda bertanya: “Jelaskan kepadaku interprestasi ‘ilmu menuju jalan akherat, walaupun tidak terperinci!”
Ketahuilah jalan menuju akherat ada dua, ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Jenis yang pertama yaitu ilmu mukasyafah adalah ilmu batin, dia merupakan puncak ilmu…ilmu ini dimiliki para shiddiqiin yang dekat dengan Alloh.
Ilmu mukasyafah adalah suatu ungkapan tentang cahaya yang menampak di hati karena kesucian dan bersihnya dari sifat tercela. Dengan cahaya tersebut banyak sekali perkara akan tersingkap. Yang kami maksud dengan ilmu ini adalah tersingkapnya tabir sehingga nampak jelas baginya kebenaran pada perkara-perkara ini laksana terlihat dengan mata. Kitab ini tidak termaktub dalam kitab-kitab dan tidak dibicarakan oleh orang yang diberikan nikmat ilmu ini kecuali kepada orang yang berhak. . .“. (lhya’ Ulumuddin 11-20, lihat al-Jama’at al-lslamiyah Syaikh Salim Al-Hilali hal. 110).
2. Adanya’ Ilmu Syari’at dan Makrifat atau Ilmu Dhahir dan Batin.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepada umatnya dua macam ilmu; ilmu dhahir yaitu syari’at ini yang harus diperoleh dengan dipelajari atau dalam istilah al Ghazali disebut ilmu muktasab. llmu kedua adalah ilmu yang langsung diterima dari Alloh yang dinamakan al-Ghozali ilmu mauhub. (Majalah Sufi 25 Rajab ‘1242 H).
Contohnya ucapan Abu Yazid al-Busthami:
“Kalian mengambil ilmu dari orang mati, sedang kami mengambilnya dari Dzat Yang Maha Hidup Yang Tidak Mati.
Orang terbaik kami berkata:
“Hatiku memberitahukanku dari Robbku, sedang kalian berkata: “Fulan memberitahukan kepadaku, dimana fulan? Mereka menjawab: “Fulan telah mati”, Fulan mengambil ilmu dari mana? Dan fulan yang lain, dimana fulan? Mereka menjawab: “Fulan telah mati”. (Al-Futuhat al-Makiyah 1/37, lihat aI-Jama’at al-lslamiyah Syaikh Salim Al-Hilali hal. 111).
3. llham, berdasarkan hadits riwayat Bukhari
“Sesungguhnya pada umat sebelum kalian tendapat muhaddatsun (mendapat llham), jika didapati pada umatku maka dia adalah Umar bin Khathab. (HR. Bukhari 3282 dan Muslim 2398).
Itulah beberapa alasan yang dipakai kalangan sufi untuk mengklaim adanya ilmu laduni. Berbekal ilmu tersebut mereka mengklaim pula berbagai macam khayalan yang tentunya tidak selaras dengan syari’at dan akal sehat. Semisal, bisa melihat Alloh, mengetahui segala hal termasuk bahasa batu, melihat kejadian masa depan, menyatu dengan Alloh sehingga tidak perlu shalat dan semacamnya. Lantas benarkah klaim mereka itu.
Untuk menimbang apakah klaim mereka benar atau salah maka harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah, karena kita diwajibkan untuk mentaati beliau Shallallahu alaihi wa sallam pada setiap keadaan, dalam beribadah, menuntut ilmu dan lainnya. Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“ Hai orang-orang yang beriman, ta ‘atilah Alloh dan ta ‘atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (‘Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu,) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59).
Rasulullàh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku (syari’atku) dan sunnah khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. (HR. Tirmidzi 2676, berkata hasan shahih).
Sabdanya Shallallahu alaihi wa sallam pula;
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang kalian tidak akan sesat selama berpegang dengan keduanya yaitu kitab Alloh dan Sunnah Nabi Nya. (HR. Malik 1594, secara mursal, namun dikuatkan hadits riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak 323).
Dan masih banyak nash-nash semisal.
1. SURAT AL-KAHFI: 65
Untuk masalah pertama kita tidak mendapati penafsiran ayat tersebut kecuali penafsiran mereka. Untuk menyingkap kepalsuan mereka kita lihat perkataan ulama seputar ayat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun hujjah mereka dengan kisah Khidhir dan Musa maka dari dua sisi.
Pertama, mereka berkata bahwa Khidhir menyaksikan irodah Robbaniyah (kehendak Allah) yang sempurna dan kehendak Alloh yang menyeluruh. lnilah yang dinamakan hakekat Kauniyah. Oleh karena itu jika mereka menyelisihi perintah dan larangan syar’i mereka tidak dicela. Ucapan ini termasuk kejahilan dan kesesatan yang parah, bahkan termasuk kenifakan dan kekufuran yang besar. Sebab ucapan ini berkonsekuensi bahwa siapa yang beriman kepada takdir dan bersaksi bahwa Alloh adalah Robb segala sesuatu maka dia tidak terbebani perintah dan larangan. ini adalah kekufuran terhadap semua kitab Alloh, para rasul Nya dan perintah dan larangan yang dibawa oleh para rasul tersebut. ini juga serupa dengan ucapan orang-orang musyrik yang berkata:
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah:
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. (QS. AlAn’am: 148).
Selain itu Musa juga beriman kepada takdir dan mengetahuinya, bahkan para pengikut beliau dari kalangan Bani Israil, juga beriman kepada takdir. Apakah orang yang berilmu rendah akan mengatakan bahwa Musa meminta kepada Khidhir untuk belajar keimanan kepada takdir dan hal itu mampu menolak celaan, padahal Musa lebih tahu tentang takdir ketimbang Khidhir bahkan mayoritas pengikut Musa mengetahuinya. Tambahan lagi, andaikan hal ini merupakan rahasia kisah ini tentunya Khidhir akan memberitahukan kepada Musa dengan berkata: “Aku menyaksikan kehendak dan takdir Allah”. Tetapi perkaranya tidak demikian, Khidhir hanya menjelaskan kepada Musa sebab sebab syar’iyyah yang menghalalkan perbuatannya.
Kedua, sebagian mereka menyangka bahwa sebagian wali dibolehkan keluar dan syari’at Islam (tidak mentaatinya), seperti keluarnya Khidhir dari syari’at Musa. Sebab para wali itu telah mukasyafah dan mukhothobah sehingga tidak wajib lagi mengikuti Rasulullah pada semua atau sebagian keadaan. Bahkan sebagian mereka menyangka bahwa wali lebih mulia daripada nabi secara mutlak atau dalam beberapa hal. Méreka menyangka bahwa dalam kisah ini terdapat hujjah bagi mereka.
Semua ucapan mereka itu merupakan kejahilan dan kesesatan yang sangat parah, bahkan termasuk jenis kenifakan, kemurtadan dan kekufuran yang besar. Sebab termasuk perkara pokok dan qoth’i dalam agama ini, bahwa risalah Muhammad bin Abdillah mencakup semua manusia, bangsa Arab atau selainnya, para penguasa, orang orang yang zuhud, para ulama dan semua manusia.
Risalah ini tetap berlaku sampai hari kiamat. Maka diharamkan bagi siapapun untuk keluar dari pengikutan, ketaatan dan komitmen kepada apa-apa yang disyari’atkan beliau dan apa-apa yang disunnahkan beliau kepada umatnya berupa “perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan. Bahkan andaikan para nabi sebelum beliau hidup kembali maka diwajibkan untuk mengikuti dan mentaati beliau. Alloh berfirman:
Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”.
قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
Alloh berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Alloh berfirman:
“Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (OS. Ali lmron:81).
lbnu Abbas rodhiAllahu anhu berkata: “Alloh tidak mengutus seorang nabipun melainkan diambil perjanjian darinya yaitu apabila Muhammad diutus sedangkan nabi tersebut hidup maka harus mengimani dan menolongnya. Dan Alloh juga memerintahkan agar nabi tersebut mengambil perjanjian dari umatnya seperti itu pula”.
Disebutkan dalam sunan Nasa’i dari sahabat Jabir bahwa Nabi melihat selembar Taurat di tangan Umar bin Khathab, maka beliau bersabda: “Apakah engkau ragu Wahai lbnul Khathab, sungguh aku telah datang membawa agama yang putih bersih, andaikan Musa hidup maka dia harus mengikutiku”. Hadits serupa diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad dengan redaksi: “Andaikan Musa hidup lantas kalian mengikutinnya dan meninggalkan aku niscaya kalian akan tersesat”.
Dalam Marasil Abu Dawud Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Cukuplah suatu kaum itu sesat jika mereka mencari kitab selain kitab kalian, yang diturunkan kepada salah seorang nabi yang bukan nabi mereka”.
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Alloh menurunkan: Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? (QS. Al-Ankabut: 51).
Telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Isa bin Maryam jika turun dari langit, beliau mengikuti syari’at Muhammad bin Abdillah . Jika nabi saja wajib mengikuti beliau lantas bagaimana dengan selain mereka?!
(Majmu’ Fatawa 11/420- 424).
Lanjutnya: “Termasuk dalil yang menjelaskan kesalahan orang yang berhujah dengan kisah Khidhir dan Musa untuk menyelisihi syari’at ini yaitu Musa tidak diutus kepada Khidhir dan Alloh tidak mewajibkan Khidhir untuk mengikuti dan mentaati Musa. Bahkan telah disebutkan dalam dua kitab shahih (Bukhari 4448 ) bahwa Khidhir berkata kepada Musa:
‘Wahai Musa, aku telah diberi ilmu oleh Alloh yang Dia ajarkan kepadaku sedangkan engkau tidak mengetahuinya, dan engkau diberi ilmu oleh Alloh yang diajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinnya”.
Hal ini karena dakwah Musa itu khusus untuk kaumnya. Dan telah tetap dalam kitab kitab shahih (Bukhari 328, Muslim 810, Nasa’i 429, Abu Dawud 3875 ) dan berbagai jalan bahwa Nabi bersabda: “Setiap Nabi diutus khusus kepada kaumnya sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia”.
Dakwah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mencakup seluruh manusia, tidak boleh bagi siapapun untuk tidak mengikuti, mentaati beliau dan tidak membutuhkan syari’atnya. Sebagaimana keluarnya Khidhir dan ketaatan dari pengikutan kepada Musa dan beliau mencukupkan diri dengan syari’at yang diterimanya langsung dari Alloh ta'ala.
Haram bagi siapapun yang menjumpai Islam untuk mengatakan: “Aku telah diberi ilmu oleh Alloh yang Dia ajarkan kepadaku sedangkan engkau (Muhammad) tidak mengetahuinya”.
Siapa saja membolehkan ucapan ini atau meyakini bolehnya keluar dari dakwah Muhammad dan tidak wajib mengikutinya, baik dari, orang-orang yang zuhud, ahli ibadah, atau selain mereka maka dia kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Dan indikasi masalah ini di dalam al-Qur’an dan Sunnah terlalu banyak untuk disebutkan disini.
(Majmu’ Fatawa :11/425-526).
Imam al-Qurthubi dalam Jami’ Li Ahkamil Qur’an 11/28-29 berkata: “Guru kami Imam Abul Abbas berkata: “Kaum Zindiq dan Batiniyah memilih menjalani suatu tarekat yang dibutuhkan oleh hukum-hukum syari’at. Mereka berkata: “Hukum-hukum syari’at umum ini hanya diperuntukkan bagi para nabi dan orang awam, adapun para wali dan orang-orang khosh (khusus) tidak membutuhkan syari’at tersebut. Mereka membutuhkan lebih dari itu yaitu apa-apa yang terlintas dalam hati mereka dan mereka dihukumi dengan apa-apa yang terlintas dalam hati mereka itu. Hal ini disebabkan hati mereka bersih dari kotoran dan hal-hal tercela. Oleh karena itu ilmu-ilmu ilahiyah dan hakekat-hakekat robbaniyah menampak kepada mereka. Mereka berpijak pada keadaan keadaan rahasia dan mengetahui hukum-hukum yang terperinci. Dengan demikian mereka tidak membutuhkan hukum-hukum syari’at yang umum sebagaimana dialami oleh Khidhir. Dia mencukupkan diri dengan ilmu yang menampak padanya, tidak membutuhkan kepahaman yang dimiliki Musa. Mereka mengatakan: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun ahli-ahli fatwa memberi fatwa kepadamu”.
Guru kami (Abul Abbas) berkata:‘Ucapan ini merupakan ucapan zindiq dan kufur, pengucapnya dibunuh tanpa diminta bertaubat terlebih dahulu, karena dia mengingkari syari’at.
Sesungguhnya Alloh telah memberlakukan ketetapan dan hukum-Nya yaitu bahwa hukum hukum-Nya tidak dapat diketahui kecuali melalui para utusannya yang bolak-balik antara-Nya dengan makhluk-Nya. Mereka menyampai kan risalah dan kalamNya, menjelaskan syari’at-syari’at dan hukum-hukum-Nya. Alloh memilih mereka dan mengkhususkan mereka untuk memikul tugas ini, seperti firmanNya;
Alloh memilih utusan-utusan-(Nya) dan malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Hajj: 75).
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (QS. Al-An’am: 124).
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Alloh mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan. (OS. Al-Baqoroh: 213).
Dan ayat lainnya yang semakna. Kesimpulannya, ilmu yang qoth’i, keyakinan yang pasti dan ijma’ salaf dan kholaf menetapkan bahwa tidak ada jalan mengetahui hukum-hukum Alloh yang berpulang kepada perintah dan laranganNya, tidak dapat diketahui sedikitpun kecuali harus melalui para rasul.
Siapa mengatakan ada jalan lain untuk mengetahul perintah dan larangan Nya dan tidak membutuhkan para rasul tersebut maka dia kafir, dibunuh tanpa diminta bertaubat dahulu dan tidak diperlukan dialog lagi. Selain itu ucapan tadi berkonskuensi penetapan adanya nabi setelah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam padahal Alloh telah mejadikan beliau sebagai penutup para nabi dan rasul, tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Penjelasannya, barangsiapa yang mengatakan bahwa dia mengambil ilmu dari hatinya, dan dianggap sebagai hukum Alloh, dia beramal dengannya, tidak membutuhkan al-Qur’an dan Sunnah berarti dia telah menetapkan bagi dirinya sifat khusus kenabian. Sesungguhnya ucapannya itu seperti sabda Nabi: “Ruh Qudus meniupkan di hatiku”, al-hadits.
Sedangkan Syaikh Abu Usamah Salim bin led al-Hilali dalam kitab al-Jama’at al-lslamiyah hal. 115 berkata: “Adapun hujjah mereka dengan surat al-Kahfi tersebut adalah batil dari beberapa sisi;
a. Sudah dipastikan bahwa Khidhir adalah nabi, seperti dikuatkan oleh lbnul Jauzi dan lbnu Hajar. (Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 322 dan lbnu Ha jar dalam al-Zahru an-Nadhru fi Nab’il Khidhir 2/197-199, beliau menukil ucapan pendapat ini dari jumhur ulama.
b. Syari’at ini bukan termasuk syari’at kita. Sebab dalam syari’at kita tidak dibolehkan bagi siapapun untuk memilih syari’at selain Islam, mempelajarinya atau mengklaim bahwa kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam seperti Khidhir dengan Musa. lni jelas kafir bawwah (nyata) dan syirik yang gamblang”
2. ILMU DHAHIR DAN BATIN .
Hujjah mereka adalah hadits hadits berikut :
Dari Abu Hurairah RadhiaLlahu anhu , berkata: “Saya menghafal dari Rasulullah dua jenis ilmu, salah satunya telah kusebarkan, adapun yang kedua jika aku sebarkan putuslah leher ini” (HR. Bukhari 120).
lbnu Hajar rohimahullah berkata: “lbnul Munir berkata: “Bathiniyah menjadikan hadits ini sebagai sarana untuk membenarkan kebatilan mereka dimana mereka berkeyakinan bahwa syari’at itu ada yang dhahir dan batin, dan batin ini hanya diperoleh jika berlepas dari agama. Tetapi maksud ucapan Abu Hurairah “putuslah” adalah putuslah kepala orang yang curang jika orang orang mengetahui aibnya disebabkan perlakuan dan vonis sesat dari mereka.
Hal ini dikuatkan oleh hadits-hadits yang telah tertulis, jika hadits-hadits tersebut termasuk hukum syari’at maka tidak boleh disembunyikan karena dalam hadits tersebut Abu Hurairah menukil ayat yang menunjukkan celaan kepada orang yang menyembunyikan ilmu.
Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud ucapan Abu Hurairah adalah apa-apa yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, berubahnya keadaan dan munculnya fitnah di akhir zaman. Siapa yang tidak mampu mensikapinnya maka diingkari dan siapa yang tidak bisa merasakannya diingatkan”. (Fathul Bari 1/216-217).
# Ilmu itu ada dua, ilmu dhahir yaitu hujjah Alloh terhadap makhlukNya dan ilmu batin yaitu ilmu yang bermanfaat. Hadits dha’if, riwayat Dailami dalam sunannya 1/102, sanadnya sampai Al-Hasan Al-Bashri shahih tetapi tidak bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mursal (Lihat Miskat Mashabih tahqiq al-Albani 270 dan ad-Dh’aifah 3945).
# Ilmu Batin merupakan rahasia dari rahasia-rahasia A!loh Azza wa Jalla dan hukum dari hukum hukum Alloh, Alloh memasukkannya ke dalam hati para walinya yang dikehendaki”
Hadits palsu, diriwayatkan lbnul Jauzi dalam al-’IIal alMutanahiyah 1/83 lantas berkata: “Hadits ini tidak shahih, mayoritas perawinya tidak dikenal”.
lbnu Iraq menukil ucapan adz-Dzahabi: “Hadits ini batil”. (Tanzih asSyari’ah 1/280). Al-Albani menilai palsu dalam Silsilah Ahadits ad Dha’ifah 1227.
Hadits lain yang menjadi hujjah adalah;
Sesungguhnya diantara ilmu itu ada yang tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya selain ulama billah, jika mereka mengucapkan ilmu itu tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang orang yang lalai kepada Alloh Azza wa Jalla maka kalian jangan menghina seorang ulama yang diberikan ilmu oleh AlIoh sebab Alloh Azza wa Jalla tidak menghina orang yang Dia beri ilmu. Hadits ini dipakai hujjah oleh Al-Ghozali dalam lhya’ nya 1/20.
Ternyata hadits ini sangat dha’if, didha’ifkan oleh Al-Hafizh al-Iraqi dalam kitab al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fil Asfar 1/20, dan tercantum dalam catatan kaki kitab lhya’ Ulumuddin, didha’ifkan pula oleh al-Mundziri dalam at-Targhib wa Tarhib 1/62, al-Albani dalam adDha’ifah 870 dan ulama lainnya. (Lihat al-Jama’at al-Islamiyah, Salim al-Hilali hal. 115-116).
Orang-orang sufi mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan ilmu dhahir dan ilmu batin. Ilmu dhahir ini adalah syari’at yang beliau ajárkan kepada umat adapun ilmu batin maka diajarkan kepada orang orang tertentu”. (Lihat majalah Sufi)..
Ucapan ini tidak muncul kecuali dari orang yang jahil karena hanya khayalan tanpa dalil. Ucapan ini mengandung implikasi bahwa beliau -Rasulullah- menyembunyikan syari’at ini dan tidak menyampaikannya. Suatu tuduhan yang sangat keji.
Alloh Azza wa Jalla berfirman;
Pada hari ini telah Kusempumakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (OS. Al Maidah: 3).
lbnu Katsir rohimahullah berkata: Dan aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang selama kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan sesat yaitu kitab Alloh. Kalian akan ditanya tentangku maka apa jawab kalian? Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan risalah dan memberi nasehat”. Beliau lantas mengangkat jari telunjuk ke arah langit lalu mengarahkan kepada manusia sambil berkata: “Wahai Alloh saksikan, sebanyak tiga kaIi’ (Riwayat Bukhari 6667, Muslim 1218, Abu Dawud 1905, lbnu Majah 3074, lbnu Hibban 3944).
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mensabdakan:
Tidak selayaknya bagi Nabi menyembunyikan sesuatu. (Abu Dawud 3194 dishahihkan al Albani).
Hadits ini merupakan tamparan keras bagi orang-orang yang menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dan orang-orang yang mengklaim bahwa dalam agama terdapat hal-hal yang rahasia yang tidak diketahui oleh manusia. Hadits ini semakna dengan hadits;
Tidak selayaknya Nabi itu memiliki pandangan mata khianat. (Abu Dawud 2683 dishahihkan al Albani).
lbnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 324-325 berkata: “Banyak orang sufi yang membedakan antara syari’at dan hakekat. Ini merupakan kejahilan pengucapnya sebab syari’at itu semuanya adalah hakekat. Jika yang dikehendaki mereka adalah rukhshah (dispensasi dalam syari’at) dan ‘azimat maka keduanya juga termasuk syari’at. Para pendahulu mereka mengingkari berpalingnya orang orang tersebut dari dhahir syari’at.
Sahl bin Abdullah berkata: Jagalah hitam diatas putih, tidak ada seorangpun yang mencampakkan dhahir kecuali dia telah zindiq (kafir)”.
Abu Bakr ad Daqqoq berkata: “Saya mendengar Abu Said al-Khozzar berkata: “Setiap batin yang menyelisihi dhahir maka batil’.
Abu Hamid al-Ghazali dalam al lhya’pun telah memperingatkan hal ini’ dengan berkata: “Siapa yang mengatakan bahwa hakekat menyelisihi syari’at atau batin menyelisihi dhahir maka dia lebih dekat kepada kekufuran daripada keimanan”.
lbnu Aqil berkata: “Orang orang sufi memberi nama pada syari’at, namun yang dimaksud adalah hakekat”. lbnu qil mengomentari: “ini suatu yang jelek, sebab syari’at di tetapkan oleh Alloh untuk kemaslahatan hamba dan peribadatan mereka. Kalau masih ada hakekat dibalik ini yang tersimpan di hati, tiada lain hanyalah bisikan setan”. Siapa yang menghendaki bahwa hekekat bukan syari’at maka dia tertipu dan terperdaya”. (Lihat pula al-Jama’at al-lslamiyah, Salim al-Hilali hal. 129-130).
DR. Abul ‘Ala al-’Afifi berkata:
“Dikotomi antara syari’at dan hakekat pada awal kemunculannya berpulang kepada dikotomi syari’at menjadi dhahir dan batin. Kaum muslimin generasi awal tidak menetapkan pembedaan ini dan tidak pula terpikir oleh mereka. Syi’ahlah yang memunculkan’pembagian ini dengan mengatakan: “Setiap sesuatu itu ada yang dhahir dan batin, al-Qur’an ada yang dhahir dan batin bahkan setiap ayat dan kata ada yang dhahihr dan batin. Batin ini hanya tersingkap bagi khowwash (orang-orang khusus) yang dipilih Alloh. Alloh membukakan bagi mereka rahasia al-Qur’an”. Oleh karena itu mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan al-Qur’an. Ditulislah sekumpulan tafsir batil dan ayat ayat al-Qur’an dan syari’at dien. Makna-makna ghaib yang tersingkap bagi pelaku tarekat melalui jalan lain (bukan jalan Nabi), oleh Syi’ah dinamakan ilmu batin, menurut sangka mereka diwarisi Ali bin Abi Thalib dari Nabi lalu diwarisi pula oleh ahli ilmu batin dan mereka menamakan diri al-Warasah (pewaris).
Kaum sufi mengikuti metode mereka ini dalam menafsirkan nash. Oleh karena itu mereka mengadopsi banyak sekali metode dan istilah-istilah Syiah. Pada uraian yang lalu diketahui eratnya hubungan antara tashowwuf dan Syi’ah Bathini”. (al-Jama’at allslamiyah, Salim al-Hilali, hal. 101- 102).
3. ILHAM
Hujjah yang mereka pakai adalah hadits Bukhari dimuka, tetapi apakah maksud hadits tensebut mendukung mereka, ternyata tidak.
lbnu Hajar dalam Fathul Bari 7/65 cet. Dari as-Salam berkata:
“Ada yang berpendapat bahwa hikmah adanya orang yang mendapat ilham pada Bani Israel itu dikarenakan mereka membutuhkan orang-orang tersebut karena tiadanya nabi di tengah mereka. Menurut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini tidak begitu dibutuhkan pada umat ini karena mereka sudah cukup dengan al-Our’ an. Bila ada dari umat ini yang mendapat ilham maka tidak boleh dipakai sebagai hukum tetapi harus diselaraskan dengan al-Qur’an. Jika cocok dengannya atau dengan sunnah maka diamalkan, jika tidak sesuai maka ditinggalkan. Ini jika memang didapati ada yang mendapatkannya, karena hal itu sangat jarang tenjadi”.
lbnul Jauzi berkata: “. . .ini disebabkan dangkalnya ilmu mereka. Seandainya mereka berilmu niscaya akan mengetahui bahwa diperoleh nya ilham tidak menafikan ilmu dan tidak lebih luas darinya. Tidak dipungkiri bila Alloh azza wa Jalla memberi ilham kepada seseorang seperti disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .: “Pada setiap umat terdapat muhadatsun dan jika didapati pada umatku maka dia adalah Umar bin Khathab” Maksud dari tahdits pada hadits tersebut adalah ilham menuju kebaikan.
Hanya saja jika dia mendapatkan ilham yang menyelisih ilmu maka tidak boleh diamalkan. Ilham bukanlah bagian dari ilmu tetapi buah dari ilmu dan takwa. Oleh karena itu pemiliknya akan tertunjukki menuju kebaikan dan terilhami petunjuk. Adapun jika dia tidak menuntut ilmu dan mengatakan bahwa dia bersandar kepada ilham dan kata hati maka ini tidak berguna sama sekali. Karena jika bukan karena ilmu yang diperoleh dengan meriwayatkan niscaya kita tidak akan mengetahui apa yang terlintas di hati, apakah termasuk ilham kebaikan ataukah bisikan setan.
Ketahuilah bahwa liham yang masuk ke dalam hati harus membutuhkan ilmu, sama halnya ilmu aqli (hasil pemikiran) membutuhkan ilmu syar’ i, sebab akal itu bagaikan makanan dan syari’at bagaikan obat. Yang pertama tidak dapat mengganti yang kedua”. (Talbis Iblis, hal. 322).
lbnul Qoyyim berkata rohimahullah :
“Beliau lantas memastikan adanya orang-orang yang mendapat ilham pada umat terdahulu dan menetapkan pada umat ini (Islam) dengan persyaratan. Persyaratan ini bukan merupakan kekurangan umat ini dibanding umat sebelumnya, tetapi justru merupakan tanda kesempurnaannya. Hal ini dikarenakan umat ini, nabiNya dan syari’atNya telah sempurna, maka tidak membutuhkan orang-orang yang mendapat ilham ini. Jika ada itupun hanya sebagai pendukung dan penguat bukan menjadi sandaran. Karena umat ini sudah cukup dengan syari’at yang dibawa Nabi mereka, tidak membutuhkan mimpi, mukasyafah, ilham atau hikayat. Adapun umat terdahulu mereka membutuhkan itu sehingga Alloh menjadikan ditengah mereka orang yang mendapat ilham”. (Tanqihul Ifadah al-Muntaqo mm Miftah dan Sa’adah hal. 413).
lnilah yang diisyaratkan oleh Ali bin Abi Thalib ketika ditanya oleh Abu Juhaifah: “Apakah engkau memiliki kitab? Jawab Ali: “Tidak, kecuali kitab Alloh atau kepahaman yang diberikan kepada seorang muslim”. (Bukhari 111).
Lihatlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh. Mereka meriwayatkan ilmu tersebut. Oleh karena itu Alloh menganugerahkan kepada mereka kepahaman yang menjadi hujjah bagi generasi penerusnya dan menjadikan mereka imam bagi orang-orang yang bertakawa, dengan firman Nya;Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (OS. Al-Furqon: 74). (al-Jama’at al-lslamiyah, hal. 114-115).
[Majalah Al Furqon Gresik Edisi 1 Th IV/1425H]
Artikel Abu Fahmi Abdullah
Sumber: Abangdani.wordpress.com