Oleh
Ustadz
DR. Arifin Badri MA
PENDAHULUAN
Segala
puji hanya milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala , shalawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarga dan sahabatnya.
Allâh Azza wa Jalla telah menggariskan bahwa kehidupan
umat manusia bukan hanya sekali, namun dua kali. Kehidupan dunia yang fana
sebagai awal dari kehidupan dan akan dilanjutkan dengan kehidupan akhirat yang
kekal abadi. Sukses Anda di dunia belum tentu berkelanjutan hingga di akhirat.
Namun sebaliknya, sukses di akhirat menjadikan Anda lupa akan kegagalan selama
hidup di dunia, bagaimanapun beratnya. Apalagi bila Anda ternyata hidup di
dunia sukses dan akhirat surga menjadi milik Anda.
ANTARA SIAL DUNIA DAN BERKAH AKHIRAT
Di
dunia ini banyak ditemukan pasar, tempat orang mengais kesuksesan di dunia. Dan
tentunya ada pula pasar-pasar akhirat, tempat menaburkan benih-benih pahala.
Karenanya tidak layak bila kesibukan mewujudkan sukses di dunia, melalaikan
Anda dari akhirat. Terlalai dari akhirat karena sibuk menumpuk dunia berarti
sengsara selamanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
تَعِسَ عبد الدِّينَارِ
وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لم يُعْطَ
سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ
Semoga
kesengsaraan menimpa para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (harta
kekayaan), bila diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi
benci. Semoga ia menjadi sengsara dan terus menerus menderita. Dan bila ia
tertusuk duri, semoga tiada yang sudi mencabut duri itu darinya [HR. Bukhâri].
Sebaliknya,
lalai dari dunia karena sibuk membangun akhirat berarti sukses di dunia
akhirat.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ
… Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allâh,
niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah yang tiada
disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan
mencukupinya. Sesungguhnya Allâh (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang
dikehendakai-Nya. Sesungguhnya Allâh telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan.” [at Thalâq/65:2-3]
Selanjutnya terserah
kepada Anda, ingin sukses dunia akhirat atau sengsara selamanya, walau
hidup di lumbung harta benda. Sahabat Ali Radhiyallahu anhu berkata :
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا
مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا
بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ
الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ
عَمَلَ
Kehidupan
dunia bergegas menjauh, sedang akhirat kian mendekat, dan masing-masing
memiliki pengikut, maka jadilah pengikut akhirat, serta janganlah engkau
menjadi pengikut dunia. Karena sejatinya sekarang ini adalah waktu untuk
beramal tanpa ada hisab, sedangkan esok (di akhirat) adalah waktu hisab dan
bukan beramal. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 8/155].
DENGAN KETULUSAN NIAT, ANDA PASTI BERUNTUNG
Suatu
yang wajar bila dalam suatu perniagaan ada yang beruntung dan ada pula yang
merugi. Namun keuntungan adalah cita-cita setiap insan, termasuk Anda. Bukankah
demikian saudaraku ? Karenanya, sudikah Anda saya tunjukkan kepada kiat-kiat
meraih keuntungan dan tidak pernah buntung ? Sukses di dunia dengan
untung segunung dan di akhirat keuntungan Anda tiada berujung ?
Tahukah
Anda kiat apakah itu? Ketahuilah, kiat itu adalah dengan menjaga hati
Anda sehingga selalu tulus karena Allâh atas apapun yang Anda kerjakan, baik
ibadah ataupun amal kebiasaan Anda. Dengan niat yang baik, apalagi tulus karena
Allâh, amal kebiasaan Anda bernilai ibadah, tanpa mengurangi sedikitpun dari
fungsi amal kebiasaan Anda. Demikianlah dahulu para ulama’ menjalani
kehidupan mereka. Sahabat Mu’âz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata :
أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ
وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِى نَوْمَتِى مَا أَرْجُو فِى قَوْمَتِى
Adapun
aku, maka aku tidur dan juga shalat malam, namun dari tidurku aku mengharapkan
(bisa meraih) apa yang aku harapkan (bisa diraih) dari shalat malamku.
[Muttafaqun ‘alaih]
Akan
tetapi, sebaliknya, karena lalai dari niat, maka bisa menyebabkan amal
ibadah Anda hanya bernilai kebiasaan dan rutinitas semata. Dahulu
dinyatakan:
عِبَادَاتُ أَهْلِ
الْغَفْلَةِ عَادَاتٌ، وَعَادَاتُ أَهْلِ الْيَقْظَةِ عِبَادَاتٌ
Amal
ibadah orang yang lalai hanyalah rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada
semuanya bernilai ibadah (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhamad
Ibnu Utsaimin, hlm. 9)
Subhanallah,
walaupun Anda tidur pulas hingga mendengkur, namun itu tidak menghalangi pahala
mengalir ke lembaran-lembaran amal Anda. Dengan demikian, indahnya dunia dapat
Anda nikmati dan pahala akhirat pun terus mengalir tiada henti. Enak bukan ?
STATUS AMALAN ANDA SELARAS DENGAN NIAT ANDA
Setelah
mengetahui bahwa dengan niat, rutinitas Anda dapat bernilai ibadah, mungkin
Anda berkata, “Apabila benar demikian,
betapa mudahnya jalan menuju surga ?” Betul
saudaraku, namun walau demikian, ternyata selama ini Anda berjalan di tempat
dan sehingga tetap saja jauh dari pintu surga. Untuk membuktikannya,
perkenankan saya bertanya, “Berapa
amalankah yang Anda kerjakan ketika Anda membaca tulisan saya ini ?”
Tahukah
anda, bahwa sejatinya saat ini Anda sedang mengerjakan beratus-ratus amalan dan
mungkin beribu-ribu amalan? Anda terkejut keheranan dan bahkan tidak percaya ?
Untuk
membuktikanya, izinkan saya kembali bertanya, “Apakah saat ini Anda sedang berzina ? Apakah saat ini
Anda sedang memakan daging babi ? Apakah saat ini Anda sedang menyembah patung
? Apakah saat ini Anda sedang mencari sanjungan (riya’ dan sum’ah) ?
Apakah saat ini Anda sedang memakan riba? Apakah saat ini Anda sedang minum
khamer? Dan masih banyak lagi pertanyan serupa yang sudah pasti jawabannya
adalah, “Tidak”. Walau demikian, selama ini Anda tidak menyadari
bahwa Anda sedang mengerjakan semua amalan tersebut ketika Anda membaca tulisan
ini atau beraktifitas lainnya. Bila demikian adanya, tentu Anda tidak
mendapatkan pahala darinya, padahal Anda telah melakukannya.
Ibnu
Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Yang benar, meninggalkan suatu amalan tanpa
disertai niat tidak mendapatkan pahala. Anda hanya mendapat
pahala bila Anda dengan sadar meninggalkan suatu hal. Sehingga barang
siapa di hatinya tidak terbetik sama-sekali tentang suatu amal maksiat, tentu
tidak sama dengan orang yang mengingatnya, lalu ia menahan diri darinya karena
takut kepada Allâh Azza wa Jalla.” [Fathul Bari 1/15]
Penjelasan
Ibnu Hajar ini menggambarkan betapa pentingnya menghadirkan niat baik dalam
setiap aktifitas Anda. Tanpa perlu waktu, tenaga atau bekal apapun, lautan
pahala menjadi milik Anda. Semua itu dengan mudah Anda gapai hanya berbekal
niat baik dalam hati anda.
Ibnul
Qayyim rahimahullah lebih jauh menjelaskan, “Sungguh tujuan dan keyakinan
hati diperhitungkan pada setiap perbuatan, dan ucapan, sebagaimana
diperhitungkan pula pada amal kebaikan dan ibadah. Tujuan, niat dan keyakinan
dapat menjadikan satu amalan halal atau haram, benar atau salah, ketaatan atau
maksiat. Sebagaimana niat dalam amal ibadah menjadikannya dihukumi wajib atau
sunnah, haram atau halal, dan benar atau salah. Dalil-dalil yang mendasari
kaedah ini terlalu banyak untuk disebutkan di sini.” [I’lâmul Muwaqî’in, 3/118]
Hadits
berikut adalah salah satu dalil yang melandasi penjelasan ulama’ di atas :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sesungguhnya
setiap amalan pastilah disertai dengan niat. Dan setiap pelaku amalan hanyalah
mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka orang yang berhijrah karena menaati
perintah Allâh dan rasul-Nya, maka ia mendapatkan pahala dari Allâh karenanya,
dan orang yang berhijrah karena urusan dunia, atau wanita yang hendak ia
nikahi, maka hanya itulah yang akan ia dapatkan (tidak mendapatkan pahala di
akhirat [Muttafaqun alaih].
MENGENAL DUA MACAM AMALAN
Untuk
dapat menjadikan setiap aktifitas Anda bernilai ibadah, maka terlebih dahulu
Anda harus mengenali berbagai aktifitas Anda dan niat-niat Anda pada setiap
amalan. Para Ulama’ menjelaskan bahwa
secara global amalan terbagi menjadi dua :
1. Amalan Yang Tidak Sah Bila Tanpa Niat.
Contoh
amalan jenis ini ialah berbagai amal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji,
wudhu dan lain sebagainya. Andai Anda melakukan amal ini tanpa disertai dengan
niat, niscaya amalan Anda tertolak dan tidak mendapatkan pahala. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
لَا صِيَامَ لِمَنْ
لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ
Tiada
(ada) puasa bagi orang yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum
terbit fajar. [HR. Abu Dâwud,
at-Tirmizi dan lainnya]
2. Amalan Yang Sah Walau Tanpa Niat.
Berbagai
amal ibadah yang mendatangkan manfaaat bagi pelakunya atau orang lain adalah
contoh nyata dari amalan jenis ini. Misalnya menolong orang kesusahan,
menyambung tali silaturahmi, sedekah, dan yang serupa. Dan diantara contoh
amalan ini ialah amalan dalam bentuk meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam
syari’at. Misalnya, bersuci
najis, mengembalikan barang rampasan, membayar hutang, dan yang semisal
dengannya. Bila Anda mengamalkan amalan jenis ini tanpa niat, maka amalan Anda
sah alias menggugurkan kewajiban, namun Anda tidak mendapatkan pahala
darinya.
BEDA ANTARA SAH DAN DITERIMA.
Mungkin
Anda bertanya, sebenarnya apa sih perbedaan antara sah dengan diterima?
Ketahuilah saudaraku, bahwa setiap amalan yang diterima pastilah sah, namun
belum tentu amalan yang sah diterima Allâh Azza wa Jalla. Karenanya, walaupun ibadah
orang-orang munafiq sah di dunia, namun di akhirat tidak diterima. Sebagaimana
shalat orang yang mendatangi dukun sah di dunia, namun di akhirat tidak
mendapatkan pahala, alias tidak diterima.
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa
mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya sesuatu kepadanya, maka tidak akan
diterima satu shalatpun darinya selama empat puluh hari [HR. Muslim].
Imam
Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksud hadits ini, shalatnya tidak
mendapat pahala, walaupun sah dan bisa menggugurkan kewajiban si pelaku dan
tidak perlu diulang.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi
rahimahullah, 14/227]
DUA MACAM NIAT
Para
ulama’ juga menjelaskan
bahwa Anda dituntut untuk menghadirkan dua jenis niat, pada setiap kali beramal
:
1. Niat menjalankan amalan alias mengamalkan amalan dengan sadar
Niat
macam ini merupakan syarat sah suatu amalan. Niat dengan kategori inilah yang
biasanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Bila Anda berenang di kolam renang,
namun Anda lupa bila Anda sedang junub, maka walaupun sekujur tubuh Anda telah
basah kuyup sebagaimana orang mandi junub, namun tetap saja janabah Anda belum
sirna. Karena Anda melupakan niat yang merupakan syarat sah mandi junub.
2. Niat menjalankan amalan karena Allâh Azza wa Jalla (ikhlas).
Dengan
niat macam ini Anda mendapatkan pahala dari amalan ibadah Anda.
Imam
as Suyuthi rahimahullah berkata: “Sebagian ulama’ terkini menegaskan
bahwa ikhlas adalah suatu yang lebih sebatas niat. Keikhlasan tidaklah mungkin
terwujud tanpa niat, namun sebaliknya niat bisa saja terwujud walaupun tanpa
ikhlas. Sedangkan para Ulama’ ahli fikih biasanya hanya membicarakan
sebatas niat, dan berbagai hukum yang mereka sebutkan hanya berkisar padanya.
Adapun keikhlasan, maka itu hanya Allâh yang
mengetahuinya.” [al-Asybâh wan Nazhâir, hlm.
20]
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para Ulama’ telah
sepakat bahwa suatu amalan yang tidak mungkin diamalkan melainkan sebagai
ibadah, tidak sah kecuali dengan niat. Berbeda dengan amalan yang kadang
dilakukan sebagai amal ibadah dan di lain kesempatan sebagai suatu rutinitas,
semisal menunaikan amanat dan membayar piutang. [Majmû’ Fatâwâ, 18/259]
Niat
jenis ini merupakan syarat diterimanya setiap amalan. Sehingga amal apapun
tidak mungkin diterima dan mendapatkan pahala bila dilakukan dengan tidak
ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla.
AMALAN YANG DAPAT BERNILAI IBADAH DENGAN NIAT
Amalan
yang dapat memiliki nilai ibadah karena Anda melakukannya dengan niat yang baik
ialah amalan rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan
niat yang baik, maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda
melakukannya karena sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih
pahala, maka Anda tidak mendapatkan pahala darinya.
Dan
yang dimaksud bernilai ibadah ialah Anda mendapatkan pahala dari rutinitas
tersebut, tanpa mengurangi fungsi dan manfaat dari rutinitas Anda itu. Sebagai
contoh; berhubungan badan dengan istri, adalah cara Anda untuk melampiaskan
kebutuhan biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan niat demi menjaga diri
Anda dan istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini mendatangkan pahala bagi
Anda, tanpa mengurangi kepuasan Anda dari hubungan badan tersebut. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
)وَفِى بُضْعِ
أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ(. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَأْتِى
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: (أَرَأَيْتُمْ لَوْ
وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا
وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ).
“Dan dengan melampiaskan
syahwat birahimu engkau bisa mendapatkan pahala”. Spontan para sahabat bertanya keheranan, “Wahai Rasûlullâh, mungkinkah dengan melampiaskan syahwat birahi,
kita mendapatkan pahala karenanya ?” Rasûlullâh balik
bertanya, “Apa pendapat kalian bila
ia melampiaskannya pada perbuatan haram, bukankah ia berdosa ? Demikian pula
sebaliknya bila ia melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia
mendapatkan pahala.” [HR. Muslim]
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Pada
hadits ini terdapat dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat bernilai
ibadah. Hubungan badan –misalnya-
bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat memenuhi hak istri, atau
memperlakukannya dengan cara yang baik sebagaimana yang Allâh peritahkan. Demikian juga dengan tujuan
mendapatkan keturunan yang shaleh, atau menjaga dirinya atau istrinya dari perbuatan
haram. Dan bisa juga dengan maksud melindungi keduanya dari memandang hal
haram, membayangkan, atau menginginkannya atau niat-niat baik yang lain.” [Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 7/92]
Kalau
ini baru Anda ketahui, berarti selama ini, Anda rugi besar, karena
begitu banyak amal rutinitas Anda yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu
Anda sia-siakan. Setiap pagi Anda makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti
selera perut semata. Andai Anda membubuhkan niat agar dapat kembali kuat
sehingga bisa menjalankan ibadah, tentu segunung pahala dapat menjadi milik
Anda.
Dengan
demikian, niat-niat yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas
Anda, seakan-akan sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan
lainnya pastilah tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau
tidak. Namun tidak demikian dengan pahala dan keridhaan Allâh Azza wa Jalla. Tanpa niat yang baik nan tulus,
Anda tidak mungkin meraihnya.
Sekali
lagi renungkan! Anda memberi uang belanja kepada istri, tentu membuat mereka
senang dan akhirnya setia kepada anda. Namun bila Anda membubuhkan niat
menjalankan kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allâh kepada Anda sebagai
suami, tentu ini akan menjadi amal ketaatan yang bernilai tinggi. Disamping
istri Anda tetap senang dan dengan izin Allâh semakin setia kepada Anda.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ
نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا
تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sesungguhnya
tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi mendapatkan keridhaan Allâh, melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai
pun sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu [Muttafaqun ‘alaih].
Bila
demikian, manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai
rutinitas belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allâh Azza wa Jalla
padanya? Jawabannya, tentu yang kedua.
MENGGABUNGKAN NIAT DUNIA DAN AKHIRAT
Setelah
membaca keterangan di atas, mungkin Anda menduga bahwa Anda tidak dibenarkan
untuk menggabungkan niat menikmati rutinitas dengan mencari keridhaan Allâh
Azza wa Jalla ?
Tidak
demikian saudaraku! Menggabungkan antara keduanya adalah sah-sah saja, namun
tentu nilai ibadah Anda pun berbeda. Semakin Anda berhasil memurnikan niat pada
rutinitas Anda hanya karena Allâh,
semakin besar pula pahala Anda. Namun sebaliknya semakin besar keinginan Anda
untuk mewujudkan kepentingan pribadi Anda, maka semakin kecil pula nilai ibadah
amalan Anda. Renungkan kisah berikut dari Nabi Shallallahu ‘alaii wa salam:
)أَنَّ رَجُلاً زَارَ
أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ
مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَال:َ أُرِيدُ
أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ
نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ
اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ(
Ada
seorang lelaki hendak menjenguk saudaranya yang berdomisili di kampung lain.
Maka Allâh memerintahkan seorang
malaikat untuk mencegatnya di tengah jalan. Tatkala lelaki itu melintasi
malaikat tersebut, malaikat bertanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?” Ia menjawab, “Aku hendak menjenguk
saudaraku di kampung ini.” Kembali malaikat bertanya, “Apakah engkau
memiliki sesuatu kepentingan yang hendak engkau selesaikan darinya?” Kembali
ia menjawab, “Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allâh Subhanahu wa
Ta’ala.” Mendengar jawaban itu, malaikat itupun berkata, “Sesungguhnya
aku adalah utusan Allâh untuk mengkabarkan kepadamu bahwa Allâh telah
mencintaimu, sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu karena-Nya” [HR.
Muslim].
Berkunjung
ke sahabat atau saudara, pasti mendatangkan banyak manfaat di dunia. Namun
tatkala lelaki di atas tidak memiliki niat lain dari kunjungannya terhadap
saudaranya itu selain karena upaya melanggengkan hubungannya yang tulus karena
Allâh Azza wa Jalla, maka Allâh-pun mencintainya. Suatu pahala yang sangat
besar yang sangat didamba oleh setiap insan yang beriman kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, termasuk Anda.
Dan
dari alur kisah hadits di atas, dapat dipahami bahwa andai lelaki itu memiliki
kepentingan lain yang tidak bertentangan dengan ketulusan cintanya, tentu ia
tidak mendapatkan keutamaan tersebut.
PENUTUP
Apa
yang telah saya paparkan pada tulisan sederhana ini tentunya hanya sekelumit
dari pembahasan tentang niat. Terlalu banyak pembahasan tentang niat yang
seyogyanya kita ketahui, terlebih-lebih kiat-kiat mewujudkan niat yang tulus
dan benar dalam hidup nyata. Hati Anda walau terletak dalam dada anda, namun
tidak mudah untuk menundukkannya. Sufyan ats-Tsauri berkata :
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا
أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نَفْسِي مَرَّةً لِي وَمَرَّةً عَلَيَّ
Aku
tidak pernah membenahi suatu hal yang lebih berat dibanding jiwaku sendiri.
Kadang kala patuh dengan keinginanku dan sering pula tidak.”
Ya
Allâh, Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah niat kami di atas ketaatan
kepada-Mu. Amiin.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]