ومَا أُمِرُوْا إِلاَّلِيَعْبُدُاللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…[Al-Bayyinah: 5]
Segala
Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam. Shalawat dam
salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam
Pembawa risalah yang haq ini sebagai rahmat bagi semesta alam kepada
keluarganya para shahabatnya dan orang-orang yang setia mengikuti
jejaknya hingga akhir zaman.
Berikut ini adalah pembahasan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan pentingnya “keikhlasan” dalam seluruh `amal `ibadah. Sesungguhnya perkara paling mendasar dan terpenting dalam dien ini adalah mengikhlaskan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan, hal itu
sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah. Ikhlas adalah termasuk amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian “istimewa” (secara mendalam) dan dilakukan dengan cara “istimrar” (terus menerus) di setiap kita hendak melakukan `amal `ibadah, agar amalan kita menjadi bernilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
PENTINGNYA AMALAN HATI.
Telah kita ketahui bahwa pengertian Iman menurut Ahlus Sunah adalah : Keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan seluruh anggota badan, bertambah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Perlu
diketahui bahwa ikhlas adalah perkara terpenting dalam amalan hati,
yang hal tersebut sangat erat hubungannya dengan pengertian iman
tersebut di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Amalan-amalan hati adalah termasuk pokok-pokok dari keimanan dan tonggak-tonggak agama Islam ini, seperti: mencintai Allah dan Rasul-Nya, bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengikhlaskan seluruh macam `ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat-Nya dan berlaku sabar di atas hukum-hukum-Nya, khauf (perasaan takut kepada-Nya akan siksa atau adzab-Nya), raja` (berharap) kepada-Nya… Semua amalan ini wajib atas seluruh makhluk berdasarkan kesepakatan para imam agama. [Majmu’ Al-Fatawa 10/5 dan 20/70]
Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan amalan-amalan hati : Amalan–amalan hati ialah pokok, adapun amalan–amalan anggota badan adalah pengikut
dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan dengan ruh, adapun
amalan sekedudukan dengan jasad, sehingga apabila ruh telah terpisah
dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu mengetahui hukum–hukum hati lebih penting dari pada mengetahui hukum-hukum jasad. [Badai`ul Fawaaid 3/224].
Hal
inilah di antaranya yang mendorong kami untuk mengulas hal ini agar
seluruh aktifitas kita sehari-hari tidak menemui kesia-siaan, yakni
hampa, jauh dari berkah Allah atau Ramat-Nya, seolah-olah tiada
nilainya aktifitas yang kita laksanakan setiap hari.
Niat berasal dari bahasa Arab, yang berarti tujuan. Sedangkan menurut istilah syara’ memiliki dua arti:
1.
Ikhlash dalam beramal, yaitu semata-mata karena Allah, dan inilah yang
sering dibicarakan oleh para Ulama ahli tauhid, suluk (perilaku) dan
akhlak.
2.
Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, atau ibadah
dengan kebiasaan. Istilah ini sering dipakai oleh ulama-ulama Fiqh.
Niat
dipakai untuk membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan yang
dilakukan oleh manusia), misalnya : Mandi, apabila dimaksudkan
(niatkan) karena Allah semata untuk menghilangkan hadats besar (mandi
junub misalnya) maka hal yang semacam itu akan menjadi ibadah, lain
halnya apabila mandi semata-mata dimaksudkan untuk membersihkan badan
atau mendapatkan kesegaran, maka hal itu menjadi adat (kebiasaan) saja.
Kemudian bahwa niat itu tempatnya di hati dan apabila di lafadzkan menjadi bid`ah.
KEDUDUKAN IKHLAS.
Sesungguhnya ikhlas adalah hakekat dien dan kunci dakwah para rasul, yakni menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan menjauhi thagut :
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…[Al-Bayyinah: 5]
Yang dimaksud dengan ” (حُنَفَاءَ ) agama yang lurus” pada ayat di atas adalah terjauhkan dari perkara-perkara syirik dan menuju kepada tauhid. Di sinilah pentingnya
ikhlash dalam selurus amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia,
dan tidak mendapat adzab dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Kemudian bahwa pengaruh ikhlas terhadap amalan itu sangatlah besar, amal yang kecil dan sedikit jika dilakukan dengan ikhlas dapat memperoleh pahala yang besar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam perkara ini mengatakan: “Suatu jenis amalan yang dikerjakan oleh manusia dengan menyempurnakan keikhlasannya dan ketundukkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
terkadang Allah Subahnahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa besar
dengan sebab amalan itu, sebagaimana hadits al-bithaqah (seorang yang
memiliki satu kartu Laa ilaaha illa Allah, lalu diampuni dosa-dosanya
sebanyak 99 lembaran catatan amal keburukan-red)…ini karena dia
mengucapkan Laa ilaaha illa Allah dengan ikhlas dan jujur/benar, karena
kalau tidak, maka para pelaku dosa besar yang masuk ke dalam neraka
semuanya juga mengucapkan tauhid, tetapi perkataan mereka tidaklah
lebih berat terhadap dosa-dosa mereka sebagaimana pemilik kartu (Laa
ilaaha illa Allah) itu.”
Hadits pemilik kartu Laa ilaaha illa Allah itu, adalah sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَعَافِرِيِّ ثُمَّ الْحُبُلِيِّ قَال
سَمِعْتُ عَبْدَ الهِb بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ
الهَِ n إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ
الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً
وَتِسْعِينَ سِجِلاَّ كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ
أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ
فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لاَ يَا
رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا
ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ الهُب وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ
مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ
السِّجِلاَّتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ
السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ الهِق
شَيْءٌ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu , dia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah akan mengadili salah seorang laki-laki dari ummatku di hadapan
seluruh makhluk pada hari kiamat. Lalu ditunjukan kepada laki-laki
tersebut 99 catatan (amal keburukan), setiap satu catatan panjangnya
sejauh mata memandang. Kemudian dikatakan kepada laki-laki tersebut:
”Apakah kau ingkari dari semua ini (kedzaliman yang telah kau perbuat)?
Apakah para malaikat-Ku pencatat dan penjaga amalan menzhalimimu?
Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak Ya Tuhanku!”. Lalu Allah berkata
kepada laki-laki tersebut: “Apakah engkau punya alasan (berbuat
kezhaliman itu)? Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak Ya Tuhanku!”.
Kemudian Allah berkata kepada laki-laki tersebut: “Ya benar, tetapi
sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami, dan
sesungguhnya tidak ada kedzaliman atasmu pada hari ini. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan sebuah kartu kecil yang di dalamnya
terdapat : Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhamadan
‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq
kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya). Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada orang
tersebut: “Datangkan timbanganmu”, maka orang tersebut berkata: “Ya Tuhan untuk apa kartu kecil ini dibandingkan dengan catatan (amal keburukan) ini ?”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada orang tersebut: “Sesungguhnya pada hari ini tiada kedzaliman”.
Maka diletakkanlah catatan itu pada salah satu daun timbangan, dan
kartu kecil itu diletakan pada satu daun timbangan yang lain. Maka jadi
ringanlah catatan-catatan `amal keburukan itu dan beratlah kartu kecil
tersebut, maka tiadalah sesuatupun yang menjadi berat dibandingkan
dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. [HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i].
PENGERTIAN IKHLAS DAN BATASNNYA.
Ada beberapa pengertian tentang ikhlas yang disebutkan oleh ulama, antara lain :
1. Diantaranya ada yang mengatakan : Ikhlas ialah “Menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya tujuan di dalam menjalankan ketaatan”.
2. Ada juga yang mengatakan : “Ikhlas ialah membersihkan perbuatan dari mencari pandangan manusia”.
3. Al-Harawi berkata: “Ikhlas ialah membersihkan amalan dari setiap noda”.
4.
Dan sebagian yang lain ada yang mengatakan: “Orang yang mukhlis ialah
orang yang tidak perduli, seandainya hilang seluruh penghormatan
kepadanya di dalam hati manusia, untuk kebaikan hatinya bersama Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan dia tidak suka manusia mengetahui amalannya
walaupun seberat debu. Allah{?=dass}
Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan membutuhkan kesungguhan yang tinggi hingga seorang hamba meraihnya dengan sempurna.
PENGERTIAN RIYA’, SUM’AH, UJUB.
Telah kita ketahui bahwa keikhlasan dapat dihilangkan oleh beberapa perkara, seperti: mencintai dunia, kemasyhuran, kemuliaan, riya’, sum’ah dan ujub.
1. Riya ialah
melakukan `ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia, sehingga orang
yang riya’ itu mencari pengagungan, pujian, harapan atau rasa takut
terhadap orang yang dia berbuat riya’ karenanya.
2. Sum’ah
adalah amalan yang dilakukan dalam rangka agar didengar orang lain,
misalnya memperdengarkan bacaan Al-Qur’an atau yang lainnya.
3. Ujub adalah teman riya, yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri atas kemampuan yang dimiliki secara berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan antara keduanya (antara riya dan ujub ).
a. Riya adalah salah satu bentuk dari syirik kepada makhluk.
b. Adapun ujub adalah bentuk dari pada syirik kepada diri sendiri. [Al-Fatawa:10/277]
DIANTARA BENTUK-BENTUK RIYA, UJUB DAN SUM’AH.
1. Riya dalam ibadah
sholat, misalnya: Memperbaiki posisi atau gerakan shalat karena
mengetahui bahwa dia sedang diperhatikan oleh orang yang dianggap lebih
‘alim atau lainya.
2. Riya atau sum’ah dalam kepribadian
misalnya : Karena di karuniai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala suara yang
merdu misalnya, maka timbulah penyakit riya` atau ujub ini pada ni`mat
tersebut; Mengeraskan/menbaguskan bacaan dalam membaca Al-Qur`an atau
ketika mengumandangkan adzan dengan harapan ingin mendapatkan pujian
atau agar diakui bahwa dia memiliki suara yang bagus atau merdu. Pada
hakekatnya membaguskan suara dalam membaca Al-Qur’an, dengan tidak
dibuat-buat atau berlebih-lebihan merupakan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabadanya:
زَيِّنُوْا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ.
Baguskanlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian [HR. Abu Dawud dan Ahmad]
3. Ujub atau Riya dalam berdakwah misalnya
: Berceramah, menasehati orang, atau mentahdzir (memberi peringatan
terhadap seseorang) dengan niat agar dikenal sebagai seorang penasehat,
ahli pidato dengan harapan agar semua orang memujinya atau
menyanjungnya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
semua perkara ini. Hendaklah kita ikhlash dalam berda`wah agar orang
yang mendengarnya pun menerima dengan ikhlash (yakni : mendapatkan
hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala)
4. Riya atau Ujub dalam menuntut ilmu
: Yaitu berbangga dengan ilmu yang dikaruniakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepadanya atau menuntut ilmu hanya dalam rangka ingin menjadi
seorang yang ahli dalam berdebat, bukan mengharapkan wajah Allah atau
mencari berkah dari Allah atas ilmu yang dimilikinya. Sehingga ilmu
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan tidak mampu membawa dia ke
dalam kebahagian di dunia ataupun di akhirat. Padahal rasulullah telah
memperingatkan dengan keras bagi para penuntut ilmu dengan ancaman
tidak akan mendapatkan bau surga, apabila mempelajari suatu ilmu dalam
rangka untuk mencari dunia semata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabada:
مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ
يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ
عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Barang
siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu
wa Ta’ala; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk
mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau
surga pada hari kiamat kelak. [HR. Abu Dawud]
5. Riya atau Ujub ketika bershadaqah,
misalnya : Memperlihatkan harta yang telah dishadaqahkan, atau
mengungkit-ungkit kembali pemberian yang telah lalu dengan harapan agar
disebut sebagai seorang dermawan.
PENAWAR RIYA.
Adapun di antara cara-cara mengobati riya adalah sebagi berikut:
1. Mengetahui seluk beluk riya itu sendiri dan takut terhadapnya.
Sebagaimana hal tersebut adalah perkara yang paling ditakutkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
” إِنَّ أَخْوَفُ مَا أَخَا فُ عَلَيكْمُ الشِّرْكُ اْلأَ صْغَر. قَا لوُا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَ صْغَرُ يَا رَسُوْلُ الله ؟ قال : ” الرِّيَاءُ “.يقول الله تعالىيوم القيامة, إذا جازى الناس بأعمالهم : اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون جزاء؟”
Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari perkara yang aku takutkan atas kalian ialah syirik kecil. Para shahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu wahai rasulullah? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Riya’, Pada hari kiamat, ketika membalas amalan-amalan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berfirman: “Pergilah
kepada orang yang kamu dahulu sewaktu di dunia berbuat riya’ kepadanya,
dan lihatlah apakah kamu dapakan balasan (pahala) darinya? [HR. Ahmad, At-Thabrani dan Al-Baihaqi]
2. Memberikan sanjungan atau pujian hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sumber dari segala kebaikan; maka hanya Allahlah yang berhaq mendapatkan pujian:
الحمد لله رب العالمين
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. [Al-Fatihah:2]
3. Mengingat mati dan
sekaratnya, hari akhir dan kedahsyatan adzabnya, kubur dan kerasnya
siksa yang diberikan karena dosa-dosa yang diperbuat selama di dunia.
Keadaan di kubur yang sunyi, gelap gulita dan sempit, tidak ada ibu dan
bapak atau orang-orang yang dicinta di dekatnya.
4. Melihat akibat riya’, baik di dunia maupun diakhirat.
Maka
perlu diketahui oleh setiap orang bahwa seandainya seluruh manusia
berkumpul dalam rangka memberikan manfaat kepada siapapun, maka
tiadalah mereka mampu memberikannya kecuali sesuatu itu telah
ditentukan oleh Allah Subhanhau wa Ta’ala baginya; Oleh sebab itu
sebagian orang-orang salaf mengatakan: “Bersungguh-sungguhlah dalam mencegah timbulnya riya` darimu,
anggaplah orang lain bagimu seperti binatang dan anak-anak, janganlah
kau bedakan adanya mereka atau tidak adanya, mereka tahu atau tidak
tahu, cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang mengetahuinya.
Kemudian
singkirkan perasaan ingin dipuji ketika (syetan menggoda), dengan
do’a-do’a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
seperti:
أعوذ الله من الشيطان الرجيم
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.
Adapun akibat riya di akhirat antara lain; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ الهُh بِهِ وَمَنْ رَاءَى رَاءَى الهُu بِهِ
Barang siapa (yang beramal) ingin didengar maka Allah akan memperdengarkannya dan barang siapa (beramal) ingin dilihat maka Allah pun akan memperlihatkannya. [HR. Bukhari & Muslim]
Artinya
: Bila seseorang beramal hanya ingin didengar atau dilihat orang lain
maka itulah yang akan dia dapatkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha
Sempurna tidak butuh sekutu-sekutu tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku
adalah Yang paling tidak butuh sekutu, barangsiapa yang mengamalkan
suatu perbuatan, yang di dalamnya dia menyekutukanKu dengan selain Aku,
maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR. Muslim dari Abu Hurairah]
5. Memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar senantiasa berlaku ikhlas dalam segala amal ibadah dan berlindung
dari-Nya dari riya`. Seorang mu`min atau mu`minah hendaklah tunduk,
berserah diri kepada-Nya, berusaha semaksimal mungkin menghindarkan
diri dari riya, sum’ah dan ujub; dan memperbanyak dzikir (mengingat
Allah kapan saja di manapun berada) dan berdo`a kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, sebagaimana do’a-do’a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam antara lain :
الشرك
فيكم أخفى من دبيب النمل. وسأدلك على شيءٍ إذا فعلته أذهب عنك صغار الشرك
وكبيره . تقول: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْ ذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ
وَأَناَ أَعْلَمُ, وَاسْتَغْفِرُكَ لمِاَ لاَ أَعْلَمُ (صحيح الجامع
الصغير :3/332)
Kesyirikan
yang ada pada kalian lebih tersembunyi merayapnya seekor semut, dan aku
akan memberitahukan sesuatu kepadamu apabila hal itu kau kerjakan, maka
akan menghilangkan kesyirikan kecil dan besar darimu. Yaitu engkau
mengatakan (berdo’a): “Ya
Allah aku berlindung kepada-Mu dari mensekutukan-Mu sedangkan saya
mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari apa-apa yang aku tidak
aku tahu.”
Wallahu A’lam.
(Disadur
oleh Abdul Wahid dari kitab Al-Ikhlash Wasy Syirkul Ashghar, karya
Syeikh Abdul Aziz Ali Abdul Lathif dan tambahan dari sumber lain)
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Sumber: https://almanhaj.or.id/2940-pentingnya-keikhlasan-dalam-seluruh-amal-ibadah.html