Oleh: Kumpulan Ulama Besar Arab
Saudi
________________________________________
Sumber: Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil
kitabi wa sunnah
Edisi Indonesia (eBook) : Koreksi
Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an &
As-Sunnah, Terbitan Darul Haq,
________________________________________
Penerjemah
Al Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Maktabah Abu Salma al-Atsari
_________________________
DIALOG PERTAMA : BERSAMA
SAMAHATUSY SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ
Pertanyaan 1 :
Diantara permasalahan
yang sedang ramai
dibicarakan ialah masalah hubungan
antara rakyat dengan
penguasa serta batasan-batasan
syar'i, berkenaan dengan hubungan ini.
Syaikh yang mulia, ada
sekelompok orang yang
berpendapat bahwa perbuatan maksiat
dan dosa besar
yang dilakukan oleh
para penguasa merupakan alasan
dibolehkannya melakukan
pemberontakan terhadap mereka.
Dan merupakan alasan wajibnya mengubah keadaan meskipun
menimbulkan mudharat atas kaum muslimin
di negeri itu.
Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
beberapa negeri Islam
sangat banyak, bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini
?
Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim. Segala
puji hanyalah bagi
Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada keluarga
dan sahabat-sahabat beliau
serta orang-orang yang
mengikuti petunjuk beliau. Amma
ba'du.
Sesungguhnya
Allah telah berfirman dalam kitabNya. "Artinya :
Hai orang-orang yang
beriman, ta'atilah Allah
dan ta'atilah RasulNya, dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari
Kemudian. Yang demikian itu
adalah lebih utama
(bagimu) dan lebih
baik akibatnya" [An-Nisa : 59]
Ayat diatas
menegaskan wajibnya mentaati
waliyul amri, yaitu umara'
dan ulama. Dalam
hadits-hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa mentaati waliyul amri dalam
perkara ma'ruf merupakan kewajiban.
Nash-nash hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam tersebut menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan mentaati
waliyul amri adalah ketaatan dalam
perkara ma'ruf bukan
dalam perkara maksiat. Mereka
tidak boleh mentaati
penguasa jika mereka diperintahkan
berbuat maksiat. Akan
tetapi mereka tidak boleh
memberontak penguasa karenanya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya :
Barangsiapa melihat sebuah
perkara maksiat pada diri-diri pemimpinnya,
maka hendaknya ia
membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang
pemimpinnnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama'ah lalu mati, maka ia
mati secara jahiliyah"
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara') dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat".
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan bahwa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara ma'ruf dan kemungkaran: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami ?" Beliau menjawab : "Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu".
Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu menuturkan : "Kami memba'iat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya" Beliau melanjutkan : "Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah)"
Hal itu
menunjukkan larangan merampas
kekuasaan waliyul amri dan
larangan memberontak mereka
kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata
dan terdapat hujjah atas kekufurannya
dari Allah (Al-Qur'an
dan As-Sunnah). Karena pemberontakan terhadap
penguasa akan menimbulkan kerusakan yang
lebih parah dan
kejahatan yang lebih
besar.
Sehingga stabilitas
keamanan akan terguncang,
hak-hak akan tersia-siakan, pelaku
kejahatan tidak dapat
ditindak, orang-orang terzhalimi
tidak dapat tertolong
dan jalur-jalur transportasi akan
kacau. Jelaslah bahwa
memberontak penguasa akan menimbulkan
kerusakan yang lebih
besar.
Kecuali jika
kaum muslimin melihat
kekafiran yang nyata
pada diri penguasa tersebut
dan terdapat hujjah
atas kekufurannya dari Allah
(Al-Qur'an dan As-Sunnah),
mereka dibolehkan memberontak penguasa
tersebut dan menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi,
jika mereka tidak memiki kemampuan, mereka
tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau
jika pemberontakan akan
menimbulkan kerusakan yang
lebih besar, mereka tidak boleh melakukannya demi menjaga
kemaslahatan umum. Kaidah
syar'i yang disepakati bersama
menyebutkan : Tidak
boleh menghilangkan kejahatan
dengan kejahatan yang lebih
besar dari sebelumnya, akan tetapi
wajib menolak kejahatan
dengan cara yang
dapat menghilangkannya atau meminimalkannya. Adapun
menolak kejahatan dengan mendatangkan
kejahatan yang lebih
parah lagi tentu saja
dilarang berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin.
Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran
itu memiliki kemampuan
dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang shalih dan
baik tanpa menimbulkan kerusakan yang
lebih besar terhadap
kaum muslimin akibat kemarahan
penguasa itu, maka mereka
boleh melakukannya.
Adapun jika
pemberontakan tersebut malah
menimbulkan kerusakan yang lebih
besar, keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak
teraniaya, terbunuhnya orang-orang
yang tidak berhak dibunuh dan
kerusakan-kerusakan lainnya, sudah barang tentu pemberontakan terhadap penguasa
hukumnya dilarang.
Dalam kondisi
demikian rakyat dituntun
banyak bersabar, patuh dan
taat dalam perkara
ma'ruf serta senantiasa menasihati penguasa
dan mendo'akan kebaikan
bagi mereka. Serta sungguh-sungguh menekan
tingkat kejahatan dan menyebar
nilai-nilai kebaikan. Itulah
sikap yang benar
yang wajib ditempuh. Karena
cara seperti itulah
yang dapat mendatangkan maslahat
bagi segenap kaum muslimin. Dan cara seperti
itu juga dapat
menekan tingkat kejahatan
dan meningkatkan kuantitas kebaikan.
Dan dengan cara
seperti itu jugalah keamanan
dapat terpelihara, keselamatan
kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi. Kita
memohon taufiq dan
hidayah kepada Allah
bagi segenap kaum muslimin
Pertanyaan 2 :
Syaikh yang
mulia, kita sama-sama
mengetahui bahwa penjelasan
seperti itu merupakan pedoman dasar Ahlus
Sunnah wal Jama'ah. Akan
tetapi, sangat disayangkan
sekali ada beberapa oknum
Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang menganggap
bahwa pemikiran semacam
itu adalah suatu
kekalahan dan kelemahan. Begitulah
komentar mereka. Bertolak
dari situ mereka pun
mengajak para pemuda
melakukan kekerasan dalam
mengubah kemungkaran.
Jawaban :
Perkataan mereka itu
jelas keliru dan
menunjukkan dangkalnya pemahaman
mereka. Mereka sebenarnya
belum memahami sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan tidak mengetahuinya sebagaimana
mestinya. Mereka hanya
terbakar oleh semangat dan
gairah mengubah kemungkaran
sehingga mereka terjatuh ke
dalam pelanggaran syari'at
sebagaimana halnya Khawarij dan
Mu'tazilah. Kecintaan mereka
dalam kebenaran menyeret mereka
jatuh dalam kebatilan
hingga mereka mengkafirkan kaum
muslimin hanya karena melakukan perbuatan maksiat
atau mengatakan pelaku
maksiat kekal dalam Neraka
sebagaimana yang diyakini kaum Mu'tazilah.
Kaum Khawarij
mengkafirkan orang hanya
karena perbuatan maksiat dan
meyakini pelakunya kekal
dalam Neraka. Sementara kaum
Mu'tazilah sepakat (dengan
Khawarij) bahwa orang yang
bermaksiat kekal dalam Neraka. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa
pelaku dosa besar itu berada
di antara dua kedudukan (tidak kafir dan tidak pula mukmin). Semua itu
jelas sesat.
Keyakinan
yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah itulah yang benar.
Yaitu pelaku dosa
besar tidaklah divonis
kafir karena dosa besar
yang dilakukannya selama
ia tidak menghalalkan dosa
tersebut. Apabila ia
berzina, mencuri, meminum khamar
tidaklah menjadi kafir
akibat dosa besar tersebut.
Dia hanya disebut sebagai orang durhaka yang lemah imannya, fasik, ditegakkan
atasnya sanksi hukum.
Ia tidak
dihukum kafir kecuali
jika menghalalkan kemaksiatan tersebut. Pendapat
kaum Khawarij dalam
masalah ini adalah batil.
Tindakan mereka mengkafirkan
kaum muslimin jelas kebatilannya. Oleh
karena itu dalam
sabdanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai 'Orang-orang
yang telah keluar
dari Islam dan
tidak dapat kembali kepadanya, mereka
memerangi kaum muslimin
dan membiarkan
penyembah-penyembah berhala'. Itulah
kelompok Khawarij disebut demikian
karena sikap melampui
batas dan kejahilan serta
kesesatan yang ada pada mereka.
Para pemuda
ataupun yang lainnya
tidak layak meniru
gaya Khawarij dan Mu'tazilah.
Mereka wajib berjalan
diatas manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama'ah yang
sesuai dengan tuntunan
dalil syar'i. Mereka harus
berjalan seiring dalil
dengan pemahaman yang benar, mereka tidak boleh memberontak penguasa hanya karena perbuatan
maksiat yang dilakukannya.
Yang wajib mereka tempuh
adalah menasihati penguasa,
baik secara tertulis maupun
dialog langsung dengan
cara yang baik
dan penuh hikmah, dengan
kritik yang terbaik
hingga mereka berhasil, sehingga
kejahatan dapat berkurang
atau dapat ditekan dan
nilai-nilai kebaikan dapat
disebar. Demikianlah anjuran Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadits-hadits beliau. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman. "Artinya
: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu"
[An-Nisa : 159]
Setiap
orang yang punya semangat membela agama
Allah dan para da'i agar
mematuhi batasan-batasan syari'at
dan agar mereka senantiasa
menasihati penguasa dengan
ucapan yang baik dan penuh
hikmah, dengan metode yang baik hingga
nilai-nilai kebaikan semakin
banyak dan kejahatan
dapat ditekan.
Dengan begitu
kuantitas para da'i
yang mengajak kepada agama
Allah bisa bertambah,
sekaligus gairah dakwah
mereka semakin meningkat, dengan
cara yang baik
bukan dengan kekerasan dan
paksaan. Dan hendaknya
mereka terus menasihati penguasa
dengan berbagai metode yang
baik dan benar disertai
dengan do'a untuk
penguasa agar Allah memberikan petunjuk dan
taufikNya, agar Allah Subhanahu wa Ta'ala membantu
mereka untuk berbuat
baik, dan agar
Allah menolong mereka untuk
meninggalkan maksiat yang
mereka lakukan serta memberikan
kemampuan kepada mereka
untuk menegakkan kebenaran. Demikianlah,
ia berdo'a kepada
Allah dengan penuh ketundukan agar Allah memberi petunjuk kepada
para penguasa dan
membantu mereka dalam
menegakkan kebenaran.
Disamping itu,
hendaknya ia juga
membantu penguasa dalam meninggalkan kebatilan
dan menegakkan kebenaran
dengan cara yang terbaik.
Dan agar terus
menasihati
saudara-saudaranya yang punya
semangat membela kebenaran, megingatkan mereka
agar tetap gigih
menempuh jalur dakwah dengan cara
yang baik, bukan dengan kekerasan dan
paksaan. Dengan begitu kebaikan
akan bertambah dan
kejahatan akan berkurang. Dan
juga dengan hidayah
dan petunjuk Allah
bagi para penguasa kepada
kebaikan dan istiqomah di atasnya. Jika demikian, maka
kesudahan yang baik
dan pasti terwujud
bagi semua pihak.
Pertanyaan 3 :
Sekiranya kita
tetapkan bahwa syarat-syarat
diadakannya pemberontakan
terhadap penguasa telah
terpenuhi menurut sekelompok orang,
apakah hal ini
berarti pembantu-pembantu
penguasa tersebut dan
setiap orang yang
bekerja dalam pemerintahannya boleh
dibunuh? Seperti: Tentara,
polisi dan aparat-aparat
pemerintah lainnya.
Jawaban :
Telah saya
sebutkan tadi bahwa tidak
dibolehkan memberontak penguasa
kecuali dengan dua syarat:
1. Telah
tampak kekafiran yang
nyata pada penguasa tersebut dan terdapat keterangan dan
dalil dari Allah.
2. Adanya kemampuan menggeser penguasa tersebut
tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Sama sekali tidak diperbolehkan tanpa dua
syarat tersebut.
Pertanyaan 4 :
Sebagian pemuda
berasumsi bahwa bersikap
keras terhadap orang-orang kafir
yang tinggal di
negeri-negeri Islam atau orang-orang yang
berkunjung ke negeri
tersebut termasuk perbuatan yang
dibenarkan syariat. Oleh
sebab itu, sebagian pemuda tadi
menghalalkan darah dan
harta orang-orang kafir tersebut apabila didapati perkara
mungkar pada mereka.
Jawaban :
Tidak dibolehkan
membunuh orang-orang kafir
musta'min yang diterima oleh negara
yang berdaulat secara
damai. Dan tidak pula
boleh membunuh dan
berbuat aniaya terhadap
pelaku maksiat.
Akan tetapi perkara mereka dirujuk kepada mahkamah syariat. Karena permasalahan ini termasuk
perkara yang hanya boleh diputuskan oleh mahkamah syariat.
Pertanyaan
5 :
Bagaimana
jika mahkamah syariat tidak ada ?
Jawaban :
Jika mahkamah syariat tidak ada maka cukup dengan memberi nasihat saja. Nasihat bagi pemerintah
dan mengarahkan mereka kepada
kebaikan serta bekerja
sama dengan mereka
hingga mereka menegakkan hukum
Allah. Dalam kondisi
demikian penegak amar ma'ruf
nahi mungkar tidak
boleh bertindak dengan tangannya,
seperti membunuh, memukul
dan semacamnya. Namun hendaknya mereka
bekerja sama dengan pemerintah dengan cara yang terbaik hingga hukum Allah
dapat ditegakkan terhadap masyarakat.
Selain itu ia
hanya berkewajiban
menasihati dan mengarahkan
penguasa kepada kebaikan. Kewajibannya
ialah mencegah kemungkaran
dengan cara yang terbaik. Itulah kewajibannya, Allah berfirman : "Artinya :
Maka bertaqwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At-Thaghabun :
16]
Sebab mencegah
kemungkaran dengan tangan,
dengan membunuh atau memukul
akan menimbulkan kerusakan
dan kejahatan yang lebih
besar lagi. Hal
itu tidak perlu
diragukan lagi, khususnya bagi
orang yang mencermati
perkara tersebut dengan seksama.
Pertanyaan
6 :
Apakah amar
ma'ruf nahi mungkar,
khususnya mengubah
kemungkaran dengan tangan merupakan hak
bagi setiap orang atau-kah hak pemerintah
atau orang-orang yang
ditunjuk oleh pemerintah?
Jawaban :
Itu merupakan
hak semua orang.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Artinya
: Barangsiapa melihat sebuah kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya.
Jika tidak mampu
hendaklah mengubahnya dengan lisannya.
Jika tidak juga
mampu maka hendaklah ia benci
kemungkaran itu dalam hatinya.
Dan hal itu merupakan selemah-lemahnya iman".
Akan tetapi mengubah kemungkaran dengan tangan harus memiliki kemampuan dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan lebih banyak lagi. Hendaklah setiap muslim mengubah kemungkaran dengan tangannya di rumahnya terhadap anak-anak, istri, pembantu atau pegawainya di instansi yang mana ia berwenang di situ.
Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, ia tidak boleh mengubah sesuatu dengan tangan yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Sebab jika ia mengubahnya dengan tangan akan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak, musibah yang lebih luas dan keburukan yang lebih parah lagi antara dirinya dengan orang banyak dan antara dirinya dengan pemerintah. Cukup ia cegah dengan lisan, yaitu dengan mengatakan kepada mereka : "Hai Fulan takutlah kepada Allah, perbuatan seperti itu tidak boleh, perbuatan itu haram atasmu, hal ini wajib bagimu!" dan semacamnya. Sambil menjelaskan kapadanya dalil-dalil syar'i.
Adapun mengubah
dengan tangan hanya
boleh dilakukan menurut
kesanggupan di rumahnya terhadap orang-orang yang berada dalam
tanggung jawabnya atau
terhadap orang-orang yang
telah diizinkan oleh
pemerintah baginya seperti
instansi yang diperintahkan oleh pemerintah dan diberi wewenang untuk
melakukannya sesuai dengan
kewenangan yang diberikan
dan dengan cara yang syar'i tanpa menambah-nambahi.
Pertanyaan 7 :
Ada beberapa
orang yang berpandangan
bahwa dirinya punya hak
untuk melanggar peraturan-peraturan umum
yang ditetapkan pemerintah, seperti
peraturan lalu lintas,
bea cukai, imigrasi dan
lain-lain. Dengan asumsi
peraturan-peraturan itu tidak syar'i.
Apa komentar Anda tentang ucapan tersebut ?
Jawaban :
Itu jelas
sebuah kebatilan dan kemungkaran !. Telah disebutkan sebelumnya bahwa
rakyat diperkenankan membangkanng penguasa dan
mengubah dengan tangan,
akan tetapi mereka harus
patuh dan taat
kepada peraturan-peraturan yang
bukan merupakan kemungkaran, yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk kemaslahatan
umum. Seperti rambu-rambu
lalintas. Wajib mematuhi peraturan
tersebut karena hal
itu termasuk perkara ma'ruf yang
berguna bagi segenap kaum muslimin.
Adapun perkara-perkara yang
mungkar atau pajak
yang dinilai tidak sesuai
dengan syariat, maka dalam hal
ini rakyat harus memberi
nasihat kepada pemerintah,
mengajak pemerintah kepada hukum
Allah, dengan bimbingan
yang baik bukan dengan
kekerasan ! Bukan
dengan pukul sana,
bunuh sini, membalas tanpa alasan
dan lainnya. Hal itu jelas tidak boleh ! Ia harus punya
kekuasaan, punya wilayah
yang bebas diaturnya, jika tidak
maka cukup dengan
nasihat, cukup dengan pengarahan. Kecuali
terhadap orang yang
berada dalam tanggung jawabnya
seperti ; istri, anak-anak dan orang-orang di bawah kewenangannya.
Pertanyaan
8 :
Apakah mendo'akan
kebaikan bagi penguasa
termasuk konsekuensi bai'at?
Jawaban :
Benar, hal
itu termasuk konsekuensi
ba'iat. Termasuk nasihat bagi
penguasa adalah mendo'akan
bagi mereka taufik
dan hidayah keikhlasan niat
dan amal, mendoakan
mereka supaya mendapat
aparat-aparat pemerintahan yang
shalih. Perlu diketahui bahwa
termasuk sebab lurus
dan baiknya seorang penguasa adalah
mendapat menteri yang
jujur yang membantunya dalam
melaksanakan kebaikan, mengingatkannya jika terlupa, dan
menolongnya jika ingat. Ini merupakan sebab datangnya taufiq
Allah kepadanya. Setiap
individu masyarakat wajib bekerja
sama dengan pemerintah
dalam mengadakan perbaikan, menumpas
kejahatan dan menegakkan
kebaikan dengan ucapan yang terpuji dan dengan cara yang baik, disertai
dengan pengarahan yang
benar yang diharapkan
akan mendatangkan kebaikan tanpa
menimbulkan kerusakan yang lebih
besar daripada maslahat
yang diraih, tidak
boleh dilakukan. Sebab tujuan
diselenggarakannya pemerintahan
adalah mewujudkan maslahat
dan menolak mudharat.
Oleh karena itu, setiap
tindakan yang diharapkan
mendatangkan kebaikan akan tetapi
dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan lebih parah,
maka tidak boleh dilakukan.
Pertanyaan
9 :
Bagaimana
dengan orang yang menolak mendo'akan kebaikan bagi penguasa ?
Jawaban :
Itu karena
kejahilannya, mendo'akan penguasa
merupakan ibadah yang sangat agung dan utama. Dan termasuk keikhlasan
kepada Allah dan
ketulusan terhadap sesama.
Ketika disebut dihadapan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang kedurhakaan suku
Daus, beliau berdo'a. "Artinya :
Ya, Allah berilah
hidayah kepada suku
Daus dan datangkanlah mereka
kepadaku. Ya Allah, berilah hidayah suku
Daus dan datangkanlah mereka kepadaku"
Hendaklah mendo'akan kebaikan bagi orang lain, dan penguasa adalah orang yang paling berhak mendapatkannya. Karena kebaikan penguasa adalah kebaikan umat, mendo'akan mereka merupakan do'a yang paling penting dan nasihat yang paling berguna. Yaitu mendoakan semoga para penguasa tersebut mendapat taufiq kepada kebenaran, semoga mereka mendapat pertolongan, semoga Allah memberi mereka pembantu-pembantu yang shalih dan semoga Allah membebaskannya dari kejahatan dirinya dan dari kejahatan teman-teman yang jahat.
Mendoakan
penguasa agar mendapat
taufiq dan hidayah
serta mendapat hati yang
ikhlas dan amal
yang benar merupakan kewajiban terpenting dan merupakan
ibadah yang paling utama.