Islam Pedoman Hidup: Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran (2)

Selasa, 25 Oktober 2016

Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran (2)




Oleh: Kumpulan Ulama Besar Arab Saudi
________________________________________
Sumber: Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah
Edisi Indonesia (eBook) : Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, Terbitan Darul Haq,
________________________________________
Penerjemah
Al Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Maktabah Abu Salma al-Atsari

_________________________


DIALOG PERTAMA : BERSAMA SAMAHATUSY SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ

Pertanyaan 1 :
Diantara  permasalahan  yang  sedang  ramai   dibicarakan  ialah masalah  hubungan  antara  rakyat  dengan  penguasa  serta batasan-batasan syar'i, berkenaan dengan hubungan ini.  Syaikh yang  mulia,  ada  sekelompok  orang  yang  berpendapat  bahwa perbuatan  maksiat  dan  dosa  besar  yang  dilakukan  oleh  para penguasa  merupakan  alasan  dibolehkannya  melakukan pemberontakan  terhadap  mereka.  Dan  merupakan  alasan wajibnya mengubah keadaan meskipun menimbulkan mudharat atas  kaum  muslimin  di  negeri  itu.  Peristiwa-peristiwa  yang dialami  oleh  beberapa  negeri  Islam  sangat  banyak,  bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini ?

Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim.  Segala  puji  hanyalah  bagi  Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  kepada  keluarga  dan  sahabat-sahabat  beliau  serta  orang-orang  yang  mengikuti  petunjuk beliau. Amma ba'du.
Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabNya. "Artinya  :  Hai  orang-orang  yang  beriman,  ta'atilah  Allah  dan ta'atilah  RasulNya, dan ulil amri di antara kamu.  Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia  kepada  Allah  (Al-Qur'an)  dan  Rasul  (sunnahnya),  jika  kamu benar-benar  beriman  kepada  Allah  dan  hari  Kemudian.  Yang demikian  itu  adalah  lebih  utama  (bagimu)  dan  lebih  baik akibatnya" [An-Nisa : 59]
 
Ayat  diatas  menegaskan  wajibnya  mentaati  waliyul  amri,  yaitu umara'  dan  ulama.  Dalam  hadits-hadits  Nabi  Shallallahu  'alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa mentaati waliyul amri dalam perkara ma'ruf merupakan kewajiban.
 
Nash-nash  hadits  Nabi  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  tersebut menjelaskan  bahwa  yang dimaksud  dengan  mentaati  waliyul amri  adalah  ketaatan  dalam  perkara  ma'ruf  bukan  dalam perkara  maksiat.  Mereka  tidak  boleh  mentaati  penguasa  jika mereka  diperintahkan  berbuat  maksiat.  Akan  tetapi  mereka tidak  boleh  memberontak  penguasa  karenanya.  Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.  "Artinya  :  Barangsiapa  melihat  sebuah  perkara  maksiat  pada diri-diri  pemimpinnya,  maka  hendaknya  ia  membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama'ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah"

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya  :  Seorang  muslim  wajib  patuh  dan  taat  (kepada umara') dalam saat  lapang maupun sempit, pada  perkara yang disukainya  ataupun  dibencinya  selama  tidak  diperintah  berbuat maksiat,  jika  diperintah  berbuat  maksiat,  maka  tidak  boleh patuh dan taat".

Seorang  sahabat  pernah  bertanya  kepada  Rasulullah  Shallallahu 'alaihi  wa  sallam  ketika  beliau  menyebutkan  bahwa  akan  ada penguasa  yang  didapati  padanya  perkara  ma'ruf  dan kemungkaran: "Wahai  Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada  kami  ?"  Beliau  menjawab  :  "Tunaikanlah  hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu".

Ubadah  bin  Shamit  Radhiyallahu  'anhu  menuturkan  :  "Kami memba'iat  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  agar  kami tidak  merampas kekuasaan dari pemiliknya"  Beliau  melanjutkan :  "Kecuali  kalian  lihat  pada  diri  penguasa  itu  kekufuran  yang nyata  dan  kamu  memiliki  hujjah  atas  kekufurannya  dari  Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah)"
 
Hal  itu  menunjukkan  larangan  merampas  kekuasaan  waliyul amri  dan  larangan  memberontak  mereka  kecuali  terlihat  pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan terdapat hujjah atas kekufurannya  dari  Allah  (Al-Qur'an  dan  As-Sunnah).  Karena pemberontakan  terhadap  penguasa  akan  menimbulkan kerusakan  yang  lebih  parah  dan  kejahatan  yang  lebih  besar.
 
Sehingga  stabilitas  keamanan  akan  terguncang,  hak-hak  akan tersia-siakan,  pelaku  kejahatan  tidak  dapat  ditindak,  orang-orang  terzhalimi  tidak  dapat  tertolong  dan  jalur-jalur transportasi  akan  kacau.  Jelaslah  bahwa  memberontak penguasa  akan  menimbulkan  kerusakan  yang  lebih  besar.
 
Kecuali  jika  kaum  muslimin  melihat  kekafiran  yang  nyata  pada diri  penguasa  tersebut  dan  terdapat  hujjah  atas  kekufurannya dari  Allah  (Al-Qur'an  dan  As-Sunnah),  mereka  dibolehkan memberontak  penguasa  tersebut  dan  menggantikannya  jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiki  kemampuan,  mereka  tidak  boleh  mengadakan pemberontakan.  Atau  jika  pemberontakan  akan  menimbulkan kerusakan yang  lebih  besar,  mereka tidak boleh  melakukannya demi  menjaga  kemaslahatan  umum.  Kaidah  syar'i  yang disepakati  bersama  menyebutkan  :  Tidak  boleh  menghilangkan kejahatan dengan  kejahatan yang  lebih  besar  dari sebelumnya, akan  tetapi  wajib  menolak  kejahatan  dengan  cara  yang  dapat menghilangkannya  atau  meminimalkannya.  Adapun  menolak kejahatan  dengan  mendatangkan  kejahatan  yang  lebih  parah lagi  tentu  saja  dilarang  berdasarkan  kesepakatan  kaum muslimin.
 
Apabila  kelompok yang ingin  menurunkan penguasa yang telah melakukan  kekufuran  itu  memiliki  kemampuan  dan  mampu  menggantikannya dengan pemimpin yang shalih dan baik tanpa menimbulkan  kerusakan  yang  lebih  besar  terhadap  kaum muslimin  akibat  kemarahan  penguasa  itu,  maka  mereka  boleh melakukannya.
 
Adapun  jika  pemberontakan  tersebut  malah  menimbulkan kerusakan yang  lebih besar,  keamanan  menjadi tidak menentu, rakyat  banyak  teraniaya,  terbunuhnya  orang-orang  yang  tidak berhak dibunuh dan kerusakan-kerusakan lainnya, sudah barang tentu pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang.
 
Dalam  kondisi  demikian  rakyat  dituntun  banyak  bersabar, patuh  dan  taat  dalam  perkara  ma'ruf  serta  senantiasa menasihati  penguasa  dan  mendo'akan  kebaikan  bagi  mereka. Serta  sungguh-sungguh  menekan  tingkat  kejahatan  dan menyebar  nilai-nilai  kebaikan.  Itulah  sikap  yang  benar  yang wajib  ditempuh.  Karena  cara  seperti  itulah  yang  dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Dan cara seperti  itu  juga  dapat  menekan  tingkat  kejahatan  dan meningkatkan  kuantitas  kebaikan.  Dan  dengan  cara  seperti  itu jugalah  keamanan  dapat  terpelihara,  keselamatan  kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi. Kita memohon  taufiq  dan  hidayah  kepada  Allah  bagi  segenap  kaum muslimin

Pertanyaan 2 :
Syaikh  yang  mulia,  kita  sama-sama  mengetahui  bahwa penjelasan seperti itu merupakan pedoman dasar Ahlus  Sunnah wal  Jama'ah.  Akan  tetapi,  sangat  disayangkan  sekali  ada beberapa oknum Ahlus  Sunnah wal Jama'ah yang menganggap bahwa  pemikiran  semacam  itu  adalah  suatu  kekalahan  dan kelemahan.  Begitulah  komentar  mereka.  Bertolak  dari  situ mereka  pun  mengajak  para  pemuda  melakukan  kekerasan dalam mengubah kemungkaran.

Jawaban :
Perkataan  mereka itu  jelas  keliru  dan  menunjukkan dangkalnya pemahaman  mereka.  Mereka  sebenarnya  belum  memahami sunnah  Nabi  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  dan  tidak mengetahuinya  sebagaimana  mestinya.  Mereka  hanya  terbakar oleh  semangat  dan  gairah  mengubah  kemungkaran  sehingga mereka  terjatuh  ke  dalam  pelanggaran  syari'at  sebagaimana halnya  Khawarij  dan  Mu'tazilah.  Kecintaan  mereka  dalam kebenaran  menyeret  mereka  jatuh  dalam  kebatilan  hingga mereka mengkafirkan kaum  muslimin hanya karena melakukan perbuatan  maksiat  atau  mengatakan  pelaku  maksiat  kekal dalam Neraka sebagaimana yang diyakini kaum Mu'tazilah.
 
Kaum  Khawarij  mengkafirkan  orang  hanya  karena  perbuatan maksiat  dan  meyakini  pelakunya  kekal  dalam  Neraka. Sementara  kaum  Mu'tazilah  sepakat  (dengan  Khawarij)  bahwa orang yang bermaksiat kekal dalam Neraka. Akan tetapi mereka mengatakan  bahwa  pelaku dosa  besar  itu berada  di antara dua kedudukan (tidak kafir dan tidak pula mukmin). Semua itu jelas sesat.
 
Keyakinan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah itulah yang  benar.  Yaitu  pelaku  dosa  besar  tidaklah  divonis  kafir karena  dosa  besar  yang  dilakukannya  selama  ia  tidak menghalalkan  dosa  tersebut.  Apabila  ia  berzina,  mencuri, meminum  khamar  tidaklah  menjadi  kafir  akibat  dosa  besar  tersebut. Dia hanya disebut sebagai orang durhaka yang lemah imannya, fasik, ditegakkan atasnya sanksi hukum. 
Ia  tidak  dihukum  kafir  kecuali  jika  menghalalkan  kemaksiatan tersebut.  Pendapat  kaum  Khawarij  dalam  masalah  ini  adalah batil.  Tindakan  mereka  mengkafirkan  kaum  muslimin  jelas kebatilannya.  Oleh  karena  itu  dalam  sabdanya  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  menyebut  mereka sebagai  'Orang-orang  yang  telah  keluar  dari  Islam  dan  tidak  dapat  kembali kepadanya,  mereka  memerangi  kaum  muslimin  dan membiarkan  penyembah-penyembah  berhala'.  Itulah  kelompok Khawarij  disebut  demikian  karena  sikap  melampui  batas  dan kejahilan serta kesesatan yang ada pada mereka.
 
Para  pemuda  ataupun  yang  lainnya  tidak  layak  meniru  gaya Khawarij  dan  Mu'tazilah.  Mereka  wajib  berjalan  diatas  manhaj Ahlus  Sunnah  wal  Jama'ah  yang  sesuai  dengan  tuntunan  dalil syar'i.  Mereka  harus  berjalan  seiring  dalil  dengan  pemahaman yang benar,  mereka tidak boleh  memberontak penguasa hanya karena  perbuatan  maksiat  yang  dilakukannya.  Yang  wajib mereka  tempuh  adalah  menasihati  penguasa,  baik  secara tertulis  maupun  dialog  langsung  dengan  cara  yang  baik  dan penuh  hikmah,  dengan  kritik  yang  terbaik  hingga  mereka berhasil,  sehingga  kejahatan  dapat  berkurang  atau  dapat ditekan  dan  nilai-nilai  kebaikan  dapat  disebar.  Demikianlah anjuran  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  dalam  hadits-hadits beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.  "Artinya : Maka disebabkan rahmat dari  Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi  berhati  kasar,  tentulah  mereka  menjauhkan  diri  dari sekelilingmu" [An-Nisa : 159]
 
Setiap orang yang punya semangat  membela agama Allah dan para  da'i  agar  mematuhi  batasan-batasan  syari'at  dan  agar mereka  senantiasa  menasihati  penguasa  dengan  ucapan  yang baik dan penuh hikmah, dengan  metode yang baik hingga nilai-nilai  kebaikan  semakin  banyak  dan  kejahatan  dapat  ditekan.
 
Dengan  begitu  kuantitas  para  da'i  yang  mengajak  kepada agama  Allah  bisa  bertambah,  sekaligus  gairah  dakwah  mereka semakin  meningkat,  dengan  cara  yang  baik  bukan  dengan kekerasan  dan  paksaan.  Dan  hendaknya  mereka  terus menasihati  penguasa  dengan  berbagai  metode  yang  baik  dan benar  disertai  dengan  do'a  untuk  penguasa  agar  Allah memberikan  petunjuk dan taufikNya, agar  Allah Subhanahu wa Ta'ala  membantu  mereka  untuk  berbuat  baik,  dan  agar  Allah menolong  mereka  untuk  meninggalkan  maksiat  yang  mereka lakukan  serta  memberikan  kemampuan  kepada  mereka  untuk menegakkan  kebenaran.  Demikianlah,  ia  berdo'a  kepada  Allah dengan penuh ketundukan agar Allah memberi petunjuk kepada para  penguasa  dan  membantu  mereka  dalam  menegakkan kebenaran.
 
Disamping  itu,  hendaknya  ia  juga  membantu  penguasa  dalam meninggalkan  kebatilan  dan  menegakkan  kebenaran  dengan cara  yang  terbaik.  Dan  agar  terus  menasihati  saudara-saudaranya  yang  punya  semangat  membela  kebenaran, megingatkan  mereka  agar  tetap  gigih  menempuh  jalur dakwah dengan cara yang baik, bukan  dengan  kekerasan dan  paksaan. Dengan  begitu  kebaikan  akan  bertambah  dan  kejahatan  akan berkurang.  Dan  juga  dengan  hidayah  dan  petunjuk  Allah  bagi para  penguasa  kepada  kebaikan  dan  istiqomah di atasnya. Jika demikian,  maka  kesudahan  yang  baik  dan  pasti  terwujud  bagi semua pihak.

Pertanyaan 3 :
Sekiranya  kita  tetapkan  bahwa  syarat-syarat  diadakannya pemberontakan  terhadap  penguasa  telah  terpenuhi  menurut sekelompok  orang,  apakah  hal  ini  berarti  pembantu-pembantu penguasa  tersebut  dan  setiap  orang  yang  bekerja  dalam pemerintahannya  boleh  dibunuh?  Seperti:  Tentara,  polisi  dan aparat-aparat pemerintah lainnya.

Jawaban :
Telah saya sebutkan tadi bahwa tidak  dibolehkan  memberontak penguasa kecuali dengan dua syarat:
1.  Telah  tampak  kekafiran  yang  nyata  pada  penguasa tersebut dan terdapat keterangan dan dalil dari Allah.
2.  Adanya kemampuan menggeser penguasa tersebut tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Sama sekali tidak diperbolehkan tanpa dua syarat tersebut.

Pertanyaan 4 :
Sebagian  pemuda  berasumsi  bahwa  bersikap  keras  terhadap orang-orang  kafir  yang  tinggal  di  negeri-negeri  Islam  atau orang-orang  yang  berkunjung  ke  negeri  tersebut  termasuk perbuatan  yang  dibenarkan  syariat.  Oleh  sebab  itu,  sebagian pemuda  tadi  menghalalkan  darah  dan  harta  orang-orang  kafir tersebut apabila didapati perkara mungkar pada mereka.

Jawaban :
Tidak  dibolehkan  membunuh orang-orang  kafir musta'min yang diterima  oleh  negara  yang  berdaulat  secara  damai.  Dan  tidak pula  boleh  membunuh  dan  berbuat  aniaya  terhadap  pelaku maksiat. Akan tetapi perkara mereka dirujuk kepada mahkamah syariat.  Karena permasalahan  ini termasuk  perkara yang hanya boleh diputuskan oleh mahkamah syariat.
 
Pertanyaan 5 :
Bagaimana jika mahkamah syariat tidak ada ?

Jawaban :
Jika  mahkamah syariat tidak ada  maka cukup dengan  memberi nasihat saja. Nasihat bagi pemerintah dan mengarahkan mereka kepada  kebaikan  serta  bekerja  sama  dengan  mereka  hingga mereka  menegakkan  hukum  Allah.  Dalam  kondisi  demikian penegak  amar  ma'ruf  nahi  mungkar  tidak  boleh  bertindak dengan  tangannya,  seperti  membunuh,  memukul  dan semacamnya. Namun  hendaknya mereka bekerja sama dengan pemerintah dengan cara yang terbaik hingga hukum Allah dapat ditegakkan  terhadap  masyarakat.  Selain  itu  ia  hanya berkewajiban  menasihati  dan  mengarahkan  penguasa  kepada kebaikan.  Kewajibannya  ialah  mencegah  kemungkaran  dengan cara yang terbaik. Itulah kewajibannya, Allah berfirman : "Artinya  :  Maka  bertaqwalah  kamu  kepada  Allah  menurut kesanggupanmu" [At-Thaghabun : 16]
Sebab  mencegah  kemungkaran  dengan  tangan,  dengan membunuh  atau  memukul  akan  menimbulkan  kerusakan  dan kejahatan  yang  lebih  besar  lagi.  Hal  itu  tidak  perlu  diragukan lagi,  khususnya  bagi  orang  yang  mencermati  perkara  tersebut dengan seksama.
 
Pertanyaan 6 :
Apakah  amar  ma'ruf  nahi  mungkar,  khususnya  mengubah kemungkaran  dengan tangan merupakan hak bagi setiap orang atau-kah  hak  pemerintah  atau  orang-orang  yang  ditunjuk  oleh pemerintah? 

Jawaban :
Itu  merupakan  hak  semua  orang.  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi wa sallam telah bersabda. "Artinya : Barangsiapa melihat sebuah kemungkaran, hendaklah mengubah  dengan  tangannya.  Jika  tidak  mampu  hendaklah mengubahnya  dengan  lisannya.  Jika  tidak  juga  mampu  maka hendaklah  ia benci  kemungkaran  itu dalam  hatinya.  Dan  hal  itu merupakan selemah-lemahnya iman".

Akan  tetapi  mengubah  kemungkaran  dengan  tangan  harus memiliki  kemampuan  dan  tidak  menimbulkan  kerusakan  yang lebih  besar  dan  lebih  banyak  lagi.  Hendaklah  setiap  muslim mengubah  kemungkaran  dengan  tangannya  di  rumahnya terhadap  anak-anak,  istri,  pembantu  atau  pegawainya  di instansi yang mana ia berwenang di situ.

Jika  syarat  tersebut  tidak  terpenuhi,  ia  tidak  boleh  mengubah sesuatu dengan tangan yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya.  Sebab  jika  ia  mengubahnya  dengan  tangan  akan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak,  musibah yang lebih luas dan  keburukan yang  lebih parah lagi antara dirinya dengan orang  banyak  dan  antara  dirinya  dengan  pemerintah. Cukup  ia cegah dengan lisan, yaitu dengan mengatakan kepada mereka : "Hai  Fulan  takutlah  kepada  Allah,  perbuatan  seperti  itu  tidak boleh, perbuatan  itu haram atasmu,  hal ini wajib bagimu!" dan semacamnya. Sambil menjelaskan kapadanya dalil-dalil syar'i.
 
Adapun  mengubah  dengan  tangan  hanya  boleh  dilakukan menurut kesanggupan di rumahnya terhadap orang-orang yang berada  dalam  tanggung  jawabnya  atau  terhadap  orang-orang yang telah  diizinkan  oleh  pemerintah  baginya  seperti  instansi yang diperintahkan oleh pemerintah dan diberi wewenang untuk melakukannya  sesuai  dengan  kewenangan  yang  diberikan  dan dengan cara yang syar'i tanpa menambah-nambahi.

Pertanyaan 7 :
Ada  beberapa  orang  yang  berpandangan  bahwa  dirinya  punya hak  untuk  melanggar  peraturan-peraturan  umum  yang ditetapkan  pemerintah,  seperti  peraturan  lalu  lintas,  bea  cukai, imigrasi  dan  lain-lain.  Dengan  asumsi  peraturan-peraturan  itu tidak syar'i. Apa komentar Anda tentang ucapan tersebut ?

Jawaban :
Itu jelas sebuah kebatilan dan kemungkaran !. Telah disebutkan sebelumnya  bahwa  rakyat  diperkenankan  membangkanng penguasa  dan  mengubah  dengan  tangan,  akan  tetapi  mereka harus  patuh  dan  taat  kepada  peraturan-peraturan  yang  bukan merupakan  kemungkaran,  yang  ditetapkan  oleh  pemerintah untuk  kemaslahatan  umum.  Seperti  rambu-rambu  lalintas. Wajib  mematuhi  peraturan  tersebut  karena  hal  itu  termasuk perkara ma'ruf yang berguna bagi segenap kaum muslimin.
 
Adapun  perkara-perkara  yang  mungkar  atau  pajak  yang  dinilai tidak  sesuai  dengan  syariat,  maka  dalam  hal  ini  rakyat  harus memberi  nasihat  kepada  pemerintah,  mengajak  pemerintah kepada  hukum  Allah,  dengan  bimbingan  yang  baik  bukan dengan  kekerasan  !  Bukan  dengan  pukul  sana,  bunuh  sini, membalas tanpa alasan dan lainnya. Hal itu jelas tidak boleh ! Ia harus  punya  kekuasaan,  punya  wilayah  yang  bebas  diaturnya, jika  tidak  maka  cukup  dengan  nasihat,  cukup  dengan pengarahan.  Kecuali  terhadap  orang  yang  berada  dalam tanggung jawabnya seperti ; istri, anak-anak dan orang-orang di bawah kewenangannya.
 
Pertanyaan 8 :
Apakah  mendo'akan  kebaikan  bagi  penguasa  termasuk konsekuensi bai'at?

Jawaban :
Benar,  hal  itu  termasuk  konsekuensi  ba'iat.  Termasuk  nasihat bagi  penguasa  adalah  mendo'akan  bagi  mereka  taufik  dan hidayah  keikhlasan  niat  dan  amal,  mendoakan  mereka supaya mendapat  aparat-aparat  pemerintahan  yang  shalih.  Perlu diketahui  bahwa  termasuk  sebab  lurus  dan  baiknya  seorang penguasa  adalah  mendapat  menteri  yang  jujur  yang membantunya dalam melaksanakan kebaikan, mengingatkannya jika terlupa,  dan  menolongnya  jika ingat. Ini  merupakan sebab datangnya  taufiq  Allah  kepadanya.  Setiap  individu  masyarakat wajib  bekerja  sama  dengan  pemerintah  dalam  mengadakan perbaikan,  menumpas  kejahatan  dan  menegakkan  kebaikan dengan ucapan yang terpuji dan dengan cara yang baik, disertai dengan  pengarahan  yang  benar  yang  diharapkan  akan mendatangkan  kebaikan  tanpa  menimbulkan  kerusakan  yang lebih  besar  daripada  maslahat  yang  diraih,  tidak  boleh dilakukan.  Sebab  tujuan  diselenggarakannya  pemerintahan adalah  mewujudkan  maslahat  dan  menolak  mudharat.  Oleh karena  itu,  setiap  tindakan  yang  diharapkan  mendatangkan kebaikan akan tetapi  dapat  menimbulkan  kerusakan yang lebih besar dan lebih parah, maka tidak boleh dilakukan.

Pertanyaan 9 :
Bagaimana dengan orang yang menolak mendo'akan kebaikan bagi penguasa ?

Jawaban :
Itu  karena  kejahilannya,  mendo'akan  penguasa  merupakan ibadah yang sangat agung dan utama. Dan termasuk keikhlasan kepada  Allah  dan  ketulusan  terhadap  sesama.  Ketika  disebut dihadapan  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  tentang kedurhakaan suku Daus, beliau berdo'a. "Artinya  :  Ya,  Allah  berilah  hidayah  kepada  suku  Daus  dan datangkanlah mereka kepadaku. Ya Allah,  berilah hidayah suku Daus dan datangkanlah mereka kepadaku"

Hendaklah  mendo'akan  kebaikan  bagi orang  lain, dan penguasa adalah  orang  yang  paling  berhak  mendapatkannya.  Karena kebaikan  penguasa  adalah  kebaikan  umat,  mendo'akan  mereka merupakan  do'a  yang  paling  penting  dan  nasihat  yang  paling berguna.  Yaitu  mendoakan  semoga  para  penguasa  tersebut mendapat taufiq kepada kebenaran, semoga mereka mendapat pertolongan,  semoga  Allah  memberi  mereka  pembantu-pembantu yang shalih dan semoga Allah membebaskannya dari kejahatan  dirinya  dan  dari  kejahatan  teman-teman  yang  jahat.
 
Mendoakan  penguasa  agar  mendapat  taufiq  dan  hidayah  serta mendapat  hati  yang  ikhlas  dan  amal  yang  benar  merupakan kewajiban terpenting dan merupakan ibadah yang paling utama