Islam Pedoman Hidup: Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran (3)

Selasa, 25 Oktober 2016

Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran (3)



Oleh: Kumpulan Ulama Besar Arab Saudi
________________________________________
Sumber: Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah
Edisi Indonesia (eBook) : Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, Terbitan Darul Haq,
________________________________________
Penerjemah
Al Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Maktabah Abu Salma al-Atsari
_________________________

DIALOG KEDUA : BERSAMA SYAIKH SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN

Pertanyaan 1 :
Ada beberapa orang yang memandang remeh perkara aqidah, mereka beranggapan bahwa nilai  keimanan yang dimiliki sudah mencukupi  bagi  seseorang. Sudikah  Anda  menjelaskan  urgensi aqidah  bagi  setiap  pribadi  muslim  serta  pengaruh  yang  timbul dari  aqidah  tersebut  dalam  kehidupannya  dan  dalam hubungannya terhadap diri sendiri, masyarakat muslim dan non muslim ?

Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim,  segala  puji  hanyalah  bagi  Allah semata  Rabb  sekalian  alam.  Shalawat  dan  salam  semoga tercurah  kepada  rasul  junjungan  kita  Muhammad  Shallallahu 'alaihi wa sallam, bagi keluarga serta sahabat beliau, wa ba'du.
 
Pembenahan  aqidah  merupakan  asas  dasar  Dienul  Islam. Tidaklah  berlebihan  sebab  syahadat  Laa  Ilaaha  Illallah Muhammadur Rasulullah merupakan rukun Islam yang pertama.
Dan  para  rasul  pertama  kali  menyeru  kaumnya  untuk membenahi  aqidah  mereka.  Sebab  aqidah  merupakan  dasar pondasi  seluruh  amal  ibadah  dan perbuatan  yang  dilakukan. Tanpa  pembenahan  aqidah  amal  menjadi  tiada  berguna.

Allah Subhnahahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya :  Seandainya mereka mempersekutukan  Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan" [Al-An'am : 88]   Yaitu  akan  hapuslah  seluruh  amalan  mereka.  Dalam  ayat  lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Sesungguhnya  orang  yang  mempersekutukan (sesuatu  dengan)  Allah,  maka  pasti  Allah  mengharamkan kepadanya  Surga,  dan  tempatnya  ialah  Neraka,  tidaklah  ada bagi orang-orang zhalim  itu seorang penolongpun" [Al-Maidah : 72] Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Dan  sesungguhnya  telah  diwahyukan  kepadamu  dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah),  niscaya  akan  hapus  amalmu  dan  tentulah  kamu termasuk orang-orang yang merugi" [Az-Zumar : 65]
 
Dari ayat-ayat diatas dan beberapa ayat lainnya jelaslah bahwa urgensi  aqidah  merupakan  prioritas  yang  utama  dan  pertama dalam  dakwah.  Seruan  dakwah  pertama  kali  adalah  kepada pembenahan  aqidah.  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam bermukim di kota Mekkah setelah diangkat menjadi rasul selama tiga  belas  tahun  menyeru  umat  manusia  kepada  pembenahan aqidah,  yakni  kepada  tauhid.  Tidaklah  diturunkan  kewajiban-kewajiban  ibadah  kecuali  setelah  beliau  hijrah  ke  Madinah.

Memang benar, ibadah shalat diwajibkan ketika beliau berada di Makkah  sebelum  hijrah,  akan  tetapi   bukankah  syariat-syariat lainnya  diwajibkan  atas  beliau  setelah  hijrah  ke  Madinah  ?  Hal itu  menunjukkan  bahwa  amal  ibadah  itu  baru  dituntut  setelah pembenahan  aqidah.  Orang  yang  mengatakan  "cukuplah  nilai keimanan  tanpa  memperhatikan  perlu  ambil  peduli  masalah aqidah"  justru  bertentangan  dengan  nilai  keimanan  itu  sendiri. Sebab  keimanan  itu  akan  sempurna  dengan  memiliki  aqidah yang  benar  dan  lurus.  Adapun  jika  aqidah  belum  benar,  maka tidak akan ada tersisa iman dan nilai agama sedikitpun !
 
Pertanyaan 2 :
Bagaimana  pengaruh  aqidah  terhadap  kehidupan  seorang muslim dan prilakunya ?

Jawaban :
Sebagaimana  yang  telah  disinggung  diatas  bahwa  jika  seorang muslim  memiliki  aqidah  yang  benar  maka  amal  ibadahnya-pun menjadi  benar.  Sebab  aqidah yang  benar  akan  mendorongnya melakukan  amal  shalih  dan  mengarahkannya  kepada  nilai-nilai kebaikan dan perbuatan terpuji. Apabila seseorang telah berikrar tiada  Ilah  yang  berhak  disembah  dengan  benar  kecuali  Allah didasari  ilmu  dan  keyakinan  serta  ma'rifah,  maka  akan  mendorongnya  melakukan  amal shalih. Sebab  syahadat  Laa Ilaaha Illallah bukanlah sekedar  kata-kata yang diucapkan  lisan begitu  saja.  Ia  merupakan  ikrar  bagi  i'tiqad  dan  amalan.  Ikrar dan syahadat  tersebut  tidak  akan  lurus  dan  berguna  kecuali dengan  melaksanakan  segala  konsekwensinya  berupa  amal shalih,  si  pengingkar  akan  tergerak menegakkan  rukun  Islam dan  Iman.  Ditambah  beberapa  perintah-perintah  agama  dan disempurnakan dengan melaksanakan sunnah-sunnah dan nilai-nilai keutamaan lainnya.
 
Pertanyaan 3 :
Fadhilatusy Syaikh di samping kondisi buruk yang melanda umat Islam  di  tengah-tengah  badai  pemikiran  yang  tidak  menentu khususnya  yang  berkaitan dengan  agama.  Fenomena  tersebut melahirkan  banyak  sekali  gerakan-gerakan  dan  kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dan mengklaim bahwa manhaj  mereka  adalah  manhaj  Islami  yang  benar  dan  wajib diikuti.  Sehingga  seorang  muslim  seringkali  bingung menentukan  siapakah  yang  diikuti dan siapakah  yang  berada diatas kebenaran ?

Jawaban :
Berpecah  belah  bukanlah  ajaran  Dienul  Islam.  Sebab  Islam memerintahkan  kita  supaya  bersatu  padu  dan  berada  di  atas satu  jama'ah  yang  memiliki  aqidah  yang  satu,  yakni  aqidah tauhid.  Di  atas  satu  asas,  yakni  mengikuti  Sunnah  Rasulullah Shallallahu  'alaihi  wa  sallam.  Allah  Subhanahu  wa  Ta'ala berfirman.
"Artinya  :  Sesungguhnya  (agama  tauhid)  ini  adalah  agama kamu semua ; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku" [Al-Anbiya : 92].   Dan ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Dan  berpeganglah  kamu  semuanya  kepada  tali (agama) Allah, dan  janganlah  kamu bercerai berai" [Ali-Imran : 103] Dalam ayat lain Allah berfirman. "Artinya  :  Sesungguhnya  orang-orang  yang  memecah  belah agamanya dan mereka (berpecah) menjadi beberapa golongan, tidak  ada  sedikitpun  tanggung  jawabmu  terhadap  mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat" [Al-An'am : 159] Ayat  ini  merupakan  ancaman  yang  berat  atas  setiap  tindakan berpecah belah  dan saling berselisih. Allah Subhnahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Dan  janganlah  kamu  menyerupai  orang-orang  yang bercerai  berai  dan  berselisih  sesudah  datang  keterangan  yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" [Ali-Imran : 105]
 
Dienul  Islam  mengedepankan  persatuan  dan  kesatuan. Berpecah  belah  bukanlah  termasuk  ajaran  agama,  berbilang-bilang  kelompok  juga  bukan  merupakan  ajaran  agama.  Sebab Dienul  Islam  memerintahkan  kita  supaya  bersatu  di  dalam jama'ah  yang  satu.  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam bersabda. "Artinya  :  Sesama  kaum  mulimin  ibarat  satu  bangunan  yang saling menguatkan satu sama lainnya" Dalam  hadits  lain  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam bersabda. "Artinya : Perumpamaan kaum mukminin dalam rasa cinta kasih dan sayang mereka seperti satu jasad"

Sebagaimana dimaklumi bahwa bangunan ataupun jasad adalah satu  kesatuan  yang  tidak  dapat  dicerai  beraikan.  Sebuah bangunan  yang  telah  tercerai  berai  pasti  roboh.  Demikian  pula jasad  kita  tercerai  berai  pasti  mati.  Maka  tiada  lain  harus bersatu  padu,  harus  berada  dalam  satu  kesatuan  satu  jama'ah yang  berasaskan  tauhid  dan  mengikuti  metodologi  dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta menapaki nilai-nilai Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya  :  Dan  bahwa  (yang  Kami  perintahkan)  ini  adalah jalanKu  yang  lurus,  maka  ikutillah  dia;  dan  janganlah  kamu mengikuti  jalan-jalan  (yang  lain),  karena  jalan-jalan  itu mencerai  beraikan  kamu  dari  jalanNya.  Yang  demikian  itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa" [Al-An'am : 153]
 
Kelompok yang berbilang-bilang  jumlahnya  dan saling  bercerai-berai  seperti  yang  dapat  disaksikan  pada  hari  ini  sama  sekali tidak  direstui  Dienul  Islam, bahkan  Islam  sangat  melarang  hal itu. Dienul Islam  memerintahkan supaya bersatu di atas aqidah tauhid  dan  pedoman  Islam  dalam  satu  jama'ah.  Sebagaimana hal  itu  telah  diperintahkan  oleh  Allah  Subhanahu  wa  Ta'ala. Berbilang-bilang  jama'ah  merupakan  tipu  daya  setan  dari  jenis manusia  dan  jin  terhadap  umat  ini.  Orang-orang  kafir  dan munafik  dari  dahulu  senantiasa  menebar  jaring-jaring  makar dan tipu  muslihat untuk  memecah belah persatuan umat. Sejak dahulu  orang-orang  Yahudi  telah  mengatakan  seperti  yang diperintahkan dalam Al-Qur'an. "Artinya  :  Segolongan  (lain)  dari  Ahli  Kitab  berkata  (kepada sesamanya)  :  "Perlihatkanlah  (seolah-olah)  kamu  beriman kepada  apa-apa  yang  diturunkan  kepada  orang-orang  beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada  akhirnya,  supaya  mereka  (orang-orang  mu'min)kembali (kepada kekafiran)" [Ali Imran : 72] Yaitu  supaya  kaum  muslimin  murtad  dari  agama  mereka  jika melihat  kamu  murtad  dari  agama  mereka. 

Berkaitan  dengan kaum munafikin Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.  
"Artinya  :  Mereka  orang-orang  yang  mengatakan  (kepada orang-orang  Anshar)  :  "Janganlah  kamu  memberikan perbelanjaan  kepada  orang-orang  (Muhajirin)  yang  ada  di  sisi Rasulullah  supaya  mereka  bubar  (meninggalkan  Rasulullah)". Padahal  kepunyaan  Allah-lah  perbendaharaan  langit  dan  bumi, tetapi orang-orang munafik  itu tidak memahami" [Al-Munafiqun : 7] Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Dan  (di  antara  orang-orang  munafik  itu)  ada  orang-orang  yang  mendirikan  masjid  untuk  menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk  memecah  belah  antara  orang-orang  mu'min  serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu" [At-Taubah : 107]

Pertanyaan 4 :
Fadhilatusy  Syaikh  !  Termasuk  perkara  yang  dianggap  remeh manusia  sekarang  ini  adalah  masalah  ba'iat.  Ada  beberapa orang yang  berpendapat boleh memberikan  bai'at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai'at-bai'at lain  bagi  kelompok  lain pula.  Kadangkala pemimpin yang  dibai'at  ini  tidak  dikenal  dengan  alasan  masih 'dirahasiakan'.  Bagaimanakah  hukumnya  bai'at  seperti  itu  ? Apakah  hukumnya  berbeda  di  dalam  negeri-negeri  kafir  atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah ?

Jawaban :
Bai'at  hanya  boleh  diberikan  kepada  penguasa  kaum  muslimin. Bai'at-bait  yang  berbilang-bilang  dan  bid'ah  itu  merupakan akibat  perpecahan.  Setiap  kaum  muslimin  yang  berada  dalam satu pemerintahan  dan satu  kekuasaan wajib  memberikan satu bai'at  kepada  satu  orang  pemimpin.  Tidaklah  dibenarkan memunculkan  bai'at-bai'at  yang  lain.  Bai'at-bai'at  tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan tentang agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang itu, beliau bersabda. "Artinya  :  Siapa  saja  yang  ingin  memecah  belah  persatuan kalian  setelah  kalian  sepakat  mengangkat  seorang  pemimpin maka tebaslah lehernya"

Atau  sebagaimana  sabda  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa sallam.  Jika  didapati  orang  yang  ingin  membangkang pemerintah  yang  berdaulat  dan  berusaha  memecah  belah persatuan kaum muslimin maka Rasulullah telah memerintahkan waliyul amri berserta segenap kaum  muslimin untuk memerangi pembangkang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya :  Dan  jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka  damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan  itu  kembali,  kepada  perintah  Allah,  jika  golongan  itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya  dengan  adil  dan  dan  berlaku  adillah.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" [Al-Hujurat : 9]
 
Amirul  Mukminin  Ali  bin  Abi  Thalib  Radhiyallahu  'anhu  serta beberapa  sahabat  yang  senoir  memerangi  kelompok  Khawarij dan  kaum  pembangkang  hingga berhasil  ditumpas  dan memadamkan kekuatan mereka sehingga kaum musilimin aman dari  kejahatan  mereka.  Ini  merupakan  sunnah  Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam, beliau telah  memerintahkan  kaum muslimin  agar  memerangi  kaum  pemberontak  dan  kelompok Khawarij  yang  berusaha memecah belah persatuan kaum muslimin  dan  membangkang  pemerintah.  Semua  itu  demi menjaga  persatuan  dan  kesatuan  jama'ah  kaum  muslimin  dari rongrongan perpecahan dan perselisihan.
 
Pertanyaan 5 :
Apa  hukumnya  orang  yang  menisbatkan  dirinya  kepada  salah satu  jama'ah  tersebut  ?  Khususnya  kepada   jama'ah  yang menerapkan sistem sirriyah dan ba'iah terhadap pengikutnya ?

Jawaban :
Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  telah  mengabarkan bahwa  perpecahan  bakal  terjadi.  Pada  kondisi  demikian  beliau memerintahkan  kita  untuk  berpegang  teguh  persatuan  dan istiqamah  di  atas  petunjuk  Rasulllah  Shallallahu  'alaihi  wa sallam dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda. "Artinya  :  Umat  Yahudi  telah  berpecah  belah  menjadi  tujuh puluh  satu  golongan.  Umat  Nashrani  telah  terpecah  belah menjadi  tujuh  puluh  dua  golongan  dan  umat  ini  akan  terpecah belah  menjadi  tujuh  puluh  tiga  golongan  seluruhnya  masuk Neraka  kecuali  satu.  Para  sahabat  bertanya:  "Siapakah golongan  yang  satu  itu,  wahai  Rasulullah  !"  Beliau  menjawab  : "Siapa saja yang berada diatas pertunjukku dan di atas petunjuk sahabat-sahabatku"

Ketika  para  sahabat  meminta  wasiat  kepada  beliau,  beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Aku wasiatkan  kamu agar selalu bertakwa, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah seorang  budak.  Sebab  siapa  saja  yang  hidup  sepeninggalku  ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah  kepada  sunnahku  dan  sunnah  Khulafa  Rasyidin setelahku.  Peganglah  ia  erat-erat  dan  gigitlah  dengan  gigi gerahammu (sungguh-sungguhlah)"

Itulah  pedoman  yang  harus  ditempuh  oleh  kaum  muslimin sekarang  ini  sampai  hari  Kiamat.  Yaitu  dalam  menghadapi perselisihan  hendaklah  merujuk  kepada  pedoman  Salafush Shalih dalam  masalah apapun, terutama  masalah dien,  manhaj, bai'at dan lain-lain.
 
Pertanyaan 6 :
Sebagian orang memandang wajib mendirikan jama'ah-jama'ah atau  kelompok-kelompok  ini  khususnya  dalam  rangka  dakwah kepada  agama  Allah  ke  tengah  masyarakat  yang  tidak tampak kekuasaan Dienul Islam di dalamnya.

Jawaban :
Dakwah  kepada  agama  Allah  merupakan  tuntutan  kewajiban. Allah Subhanahu wa Ta'ala berirman. "Artinya  :  Serulah  (manusia)  kepada  jalan  Rabbmu  dengan hikmah dan pelajaran yang baik" [An-Nahl : 125]

Akan  tetapi  memecah  belah  kaum  muslimin  menjadi berkelompok-kelompok  sehingga  masing-masing  orang mengklaim  kelompoknyalah  yang  benar  sementara  yang  lain sesat  sebagaimana  realita  yang  ada  sekarang,  jelas  bukan merupakan  manhaj  dakwah  yang  benar.  Setiap  muslim  yang memiliki ilmu dan kemampuan wajib berdakwah kepada agama Allah  di  atas  petunjuk ilmu.  Hendaklah  ia  bekerjasama  dengan yang lainnya tanpa harus menjadikan manhaj khusus bagi setiap golongan  yang  menyelisihi  manhaj  golongan  lainnya.  Bahkan seharusnya  kaum  muslimin  memiliki  manhaj  yang  satu.  Dan hendaknya  mereka saling  bekerja sama dan bermusyawarah di antara mereka.
 
Tidak perlu  mendirikan  jama'ah dan  manhaj-manhaj baru yang saling  berbeda  dan  berpecah  belah. Karena  kondisi  seperti  itu akan mengancam keutuhan persatuan kaum muslimin dan akan memunculkan  persengketaan dan percekcokkan diantara  kaum muslimin  sebagaimana  yang  dapat  disaksikan  pada  hari ini diantara  jama'ah-jama'ah  yang  ada  di  negeri-negeri  Islam  dan lainnya.
 
Mendirikan  jama'ah  bukanlah  perkara  yang  sangat  esensial dalam  berdakwah,  Namun  yang  esensial  ialah  siapa  saja  yang memiliki  ilmu,  kebijaksanaan  dan  marifat  hendaklah  bangkit berdakwah  kepada  jalan  Allah  meskipun  seorang  diri. Berdakwah  kepada  jalan  Allah  harus  dilakukan  di  atas  manhaj yang satu, manhaj yang tegak di atas al-haq sekalipun berbeda-beda dalam disiplin ilmu dan terpencar di berbagai negeri.
 
Pertanyaan 7 :
Fadhilatusy  Syaikh,  beberapa  catatan  yang  perlu  diperhatikan sekarang  ini  adalah  munculnya  gejala  sikap  ghuluw  (ekstrim) serta  reaksi  masyarakat  umum  terhadap  fenomena ini. Bagaimana caranya meredam fenomena tersebut dan siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?

Jawaban :
Nabi  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  telah  memperingatkan  umat dari bahaya sikap ekstrim, beliau bersabda. "Artinya  :  Waspadalah  terhadap  sikap  ghuluw  (ekstrim)  karena perkara yang membinasakan umat sebelum kamu adalah sikap ghuluw"
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda. "Artinya : Binasalah mutanaththi'un, binasalah muthanaththi'un, binasalah muthanaththi'un" Muthanaththi'un  ialah  orang  yang  berlebih-lebihan  dan melampui  batas  dalam  perkara  agama.  Allah  Subhanahu  wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Wahai  Ahli  Kitab,  janganlah  kamu  melampui  batas dalam  agamamu,  dan  janganlah  kamu  mengatakan  terhadap Allah kecuali yang benar" [An-Nisaa : 171]
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Katakanlah : "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan  (melampui  batas)  dengan  cara  yang tidak  benar  dalam agamamu" [Al-Maidah : 77]
Yang  wajib  adalah  beristiqomah  di  atas  al-haq  tanpa  perlu diiringi  sikap  ekstrim  dan  tidak  pula  sikap  apatis.  Allah  telah berkata kepada NabiNya dan para pengikutnya. "Artinya  :  Maka  tetaplah  kamu  pada  jalan  yang  benar, sebagaimana  diperintahkan  kepadamu  dan  (juga)  orang  yang telah  taubat berserta  kamu  dan  janganlah  kamu  melampui batas" [Hud : 112]
Yakni  janganlah  menambah-menambahi  dan  jangan  bersikap ekstrim,  karena  yang  dituntut  adalah  keistiqomahan,  yaitu bersikap  tengah  di  antara  sikap  ekstrim  dan  apatis.  Itulah pedoman  Dienul  Islam  dan  merupakan  metode  para  nabi seluruhnya,  yakni  istiqomah  di  atas  Dienullah  tanpa  disertai sikap ekstrim dan berlebih-lebihan dan tidak pula sikap apatis.

Pertanyaan 8 :
Termasuk  perkara  yang  perlu  dibahas  dalam  wawasan  ke-Islaman pada hari ini adalah merasuknya benih-benih pemikiran kelompok  sesat  seperti  Khawarij  dan  Mu'tazilah  ke  dalamnya. Pada  sebagian  kelompok  tersebut  didapati  pemikiran  tafkir (pengkafiran  kaum  muslimin)  dan  tindak  kekerasan  melawan pelaku  maksiat  dan  orang  fasik  di  kalangan  kaum  muslimin. Adakah pengarahan Anda dalam masalah ini ?

Jawaban :
Hal  itu  merupakan  sikap  yang  keliru.  Sebab  Dienul  Islam melarang tindak  kekerasan dalam  berdakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya :  Serulah  (manusia)  kepada  jalan  Rabbmu  dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka  dengan cara yang lebih baik" [An-Nahl : 125] Allah  memerintahkan  kepada  kedua  nabiNya,  yakni  Musa  dan Harun dalam menghadapi Fir'aun. "Artinya  :  Maka  berbicaralah  kamu  berdua kepadanya dengan kata-kata  yang  lemah  lembut  mudah-mudahan  ia  ingat  atau takut" [Thaha : 44]

Kekerasan  yang  dilawan  dengan  kekerasan  justru  akan menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang  dengan harapan. Dan  juga  dampaknya  kepada  kaum  muslimin  sangat  buruk. Dienul  Islam  mengajurkan  agar  mempergunakan  hikmah  dan cara  yang  terbaik  dalam  berdakwah  serta  bersikap  lembut terhadap  mad'u  (orang  yang  didakwahi).  Adapun  sikap  keras dan  arogan  terhadap  mad'u  bukanlah  termasuk  ajaran  Dienul Islam.  Kaum  muslimin  wajib  berjalan  diatas  manhaj  Rasulullah Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  dan  sejalan  dengan  bimbingan qur'ani dalam berdakwah.
 
Hendaklah diketahui bahwa vonis kafir memiliki batasan-batasan syar'i yang harus diperhatikan. Siapa saja yang melakukan salah satu  dari  pembatal  ke-Islaman  yang  disebutkan  oleh  ulama Ahlus  Sunnah  wal  Jama'ah  maka  ia  dihukumi  kafir  setelah menegakkan  hujjah atas yang  bersangkutan.  Barangsiapa yang tidak  melakukan salah satu dari pembatal ke-Islaman  itu,  maka tidak  boleh  dihukumi  kafir  meskipun  ia  melakukan  dosa  besar selain dosa syirik.
 
Pertanyaan 9 :
Ada  sebagian  orang  yang  menggunakan  istilah  jahiliyah  bagi masyarakat  Islam  yang  terdapat  kerusakan  di  dalamnya.  Dan penggunaan  istilah  ini  memberi  konsekuensi  negatif sebagaimana  yang  Anda  ketahui.  Bagaimanakah  bimbingan yang benar dalam masalah ini ?

Jawaban :
Jahiliyah  secara  umum  telah  berakhir  dengan  diutusnya Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam,  walillahil  hamd.  Beliau datang dengan membawa cahaya Islam, pelita ilmu dan hidayah yang  akan  terus  ada  dan  bertahan  hingga  akhir  zaman.  Tidak ada  lagi  masalah  jahiliyah  secara  umum  setelah  diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi akan  masih tetap ada sisa-sisa jahiliyah dalam hal-hal tertentu dan jahiliyah yang  dilakukan  oleh  sebagian  oknum.  Adapun  jahiliyah  secara umum telah berakhir seiring dengan diutusnya  Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam dan tidak akan  kembali  hingga  datangnya hari Kiamat.

Adapun sifat-sifat jahiliyah yang dilakukan  oleh sebagian orang atau jama'ah atau sebagian anggota masyarakat memang masih ada,  namun  hal  itu  termasuk  jahiliyah  dalam  ruang  lingkup khusus bagi yang melakukannya. Dengan  demikian  tidak  boleh  menggunakan  istilah  jahiliyah secara  umum  sebagaimana  yang  telah  diperingatkan  oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  Rahimahullah dalam  buku  Iqtidha Shiratul Mustaqim.

Pertanyaan 10 :
Setelah  diselidiki  ternyata  orang  yang  menggunakan  istilah jahiliyah  terhadap  masyarakat  Islam  ialah  untuk  mengkafirkan masyarakat  Islam  tersebut  kemudian  dilanjutkan  dengan pemberontakan, bagaimanakah komentar Anda ?

Jawaban :
Tidak  semua  orang  boleh  menjatuhkan  vonis  kafir  atau berkomentar  tentang  vonis  kafir  terhadap  individu  ataupun kelompok  tertentu.  Pengkafiran  memiliki  batasan-batasan  yang perlu  diperhatikan.  Barangsiapa  melakukan  salah  satu  dari pembatal-pembatal  ke-Islaman  maka  ia dihukumi  kafir. Pembatal-pembatal  ke-Islaman  itu  sudah  diketahui  secara  luas dan  yang  paling  besar  adalah  syirik,  mengaku  tahu  perkara ghaib,  berhukum  dengan  selain  hukum  Allah,  Allah  Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Barangsiapa  yang  tidak  memutuskan  menurut  apa yang  diturunkan  Allah,  maka  mereka  itu  adalah  orang-orang yang kafir" [Al-Maidah : 44]

Masalah  pengkafiran  ini  sangat  berbahaya.  Tidak  semua  orang boleh  mengucapkannya  terhadap  orang  lain.  Masalah  ini merupakan  wewenang  hakim  syar'i  dan  ahli  ilmu  yang  mapan ilmunya,  yang  mengetahui  Dienul   Islam  dan  pembatal-pembatalnya,  mengetahui  situasi-situasi  dan  kondisi  serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berwenang  menjatuhkan  vonis  kafir.  Adapun  orang  jahil,  orang  awam, pemula  dalam  menuntut  ilmu  tidaklah  berhak menjatuhkan vonis  kafir terhadap siapapun  baik pribadi,  masyarakat ataupun negara. Karena mereka tidak ahli dalam masalah ini.
 
Pertanyaan 11 :
Fadhilatusy  Syaikh,  sangat  disayangkan  di  sana  ada  beberapa oknum  yang  membolehkan  memberontak  pemerintah  tanpa memperhatikan  kaidah-kaidah  syar'i.  Bagaimanakah  pedoman Ahlus  Sunnah  wal  Jama'ah  dalam  menghadapi  pemerintah muslim maupun non muslim.?

Jawaban :
Manhaj  Ahlus  Sunnah  wal  Jama'ah  dalam  menghadapi pemerintah  muslim adalah  patuh dan taat, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Hai  orang-orang  yang  beriman,  ta'atilah  Allah  dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia  kepada  Allah  (Al-Qur'an)  dan  Rasul  (Sunnahnya),  jika  kamu benar-benar  beriman  kepada  Allah  dan  hari  Kemudian.  Yang demikian  itu  adalah  lebih  utama  (bagimu)  dan  lebih  baik akibatnya" [An-Nisa : 59]
Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Aku wasiatkan  kamu agar selalu bertakwa, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah seorang  budak.  Sebab  siapa  saja  yang  hidup  sepeninggalku  ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah  kepada  sunnahku  dan  sunnah  Khulafa'  Rasyidin setelahku".

Hadits ini sangat sejalan dengan ayat di atas, dan dengan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya  :  Barangsiapa  mentaati  pemimpin,  sungguh  ia  telah mentaatiku,  barangsiapa  membangkang  kepada  pemimpin berarti ia telah membangkang kepadaku"
Dan  masih  banyak  lagi  hadits-hadits  lain  yang  menganjurkan kita supaya patuh dan taat. Di antaranya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya  :  Patuh  dan  taat  meskipun  hartamu  diambil  dan punggungmu dipukul"
 
Pemerintah  muslim  yang  berdaulat  wajib  ditaati  dalam  bingkai ketaatan  kepada  Allah.  Jika  pemerintah  menyuruh  berbuat maksiat janganlah ditaati. Yaitu janganlah lakukan maksiat yang diperintahkannya itu. Namun dalam perkara yang bukan maksiat hendaklah ditaati.

Sementara  berkaitan  dengan  masalah  menghadapi  penguasa yang  kafir,  maka  hal  ini  tergantung  kepada  situasi  dan  kondisi yang  ada.  Jika  kaum  muslimin  memiliki  kekuatan  dan kemampuan untuk  memerangi serta  mengganti penguasa  kafir itu  dengan  penguasa  muslim  maka  hal  itu  wajib  bagi  mereka dan  termasuk  jihad   fi  sabilillah.  Adapun  jika  kaum  muslimin tidak  mampu  melakukannya  maka  mereka  tidak  dibenarkan melawan  orang  zhalim  dan  kafir  itu.  Karena  tindakan  tersebut dapat  menimbulkan  bencana  dan  kehancuran  atas  kaum muslimin.  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  hidup di  kota Mekah  selama  tiga  belas  tahun  setelah  diutus  menjadi  rasul, dalam  rentang  waktu  begitu  lama  tersebut  beliau  berada  di bawah kekuasaan kafir Quraisy. Namun beliau dan para sahabat tidak  berusaha  merongrong  kekuasaan  kafir  Quraisy  ketika  itu. Bahkan  mereka  dilarang  memerangi  kaum  kafir  pada  masa tersebut. Hingga beliau hijrah  ke kota Madinah,  memiliki daulah dan  jama'ah  yang  mampu  memerangi  kaum  kafir.  Inilah pedoman Dienul Islam.
 
Adapun  jika  ternyata  kaum  muslimin  yang  berada  di  bawah kekuasaan kaum  kafir tidak  mampu  melengserkan (mengganti,-peny)  penguasa  kafir  itu  maka  hendaknya  mereka  tetap berpegang  teguh  dengan ajaran  Islam  dan  aqidah  yang  benar. Jangan  sampai  mereka  menjerumuskan  diri  ke  dalam  bahaya dengan  melibatkan  diri  melawan  kaum  kafir.  Karena  tindakan tersebut  menimbulkan  kehancuran  dan  terganggunya  aktifitas dakwah.  Adapun  jika  mereka  memiliki  kekuatan  dan  mampu menegakkan  jihad,  maka  hendaklah  mereka  melakukannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syar'i.
 
Pertanyaan 12 :
Kekuatan yang dimaksud di sini apakah  kekuatan yang pasti dan riil  atau  cukuplah  hanya  sekedar  kekuatan  nisbi  dan  sebatas perkiraan belaka ?

Jawaban :
Kekuatan  yang  dimaksud  adalah  kekuatan  yang  sama-sama dimaklumi,  yakni  apabila  kekuatan  itu  benar-benar  riil  dimiliki kaum  muslimin  mampu  menegakkan  panji-panji  jihad  fi sabilillah, maka dalam kondisi begitu disyariatkan jihad melawan kaum  kafir.  Adapun  jika  ternyata  kekuatan  tersebut  bersifat nisbi  atau  hanya  sebatas  perkiraan  belaka  maka  tidak dibenarkan  menggiring  kaum  muslimin  ke dalam  mara bahaya yang  dapat  menimbulkan  kesudahan  yang  tidak  terpuji.  Sepak terjang  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  di  kota  Mekkah merupakan sebaik-baik bukti yang nyata dalam masalah ini.

Pertanyaan 13 :
Fadhilatus  Syaikh,  dien adalah nasihat.  Dan  nasihat merupakan salah  satu  dasar  Dienul  Islam.  Namun  kendati  begitu  kami masih  menemukan  kendala  khususnya  yang  berkaitan  dengan hakikat  nasihat  kepada  penguasa  dan  batasan-batasannya. Bagaimanakah caranya memberi nasihat kepada penguasa dan fase-fasenya.  Problematika  yang  sangat  serius  adalah  tentang merubah kemungkaran dengan tangan (tindakan). Sudikah anda mejelaskan persoalan ini ?

Jawaban :
Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  telah  menerangkan  hal ini, beliau bersabda. "Artinya :  Dien adalah nasihat,. "Kami bertanya : "Bagi siapa ?" Beliau  bersabda:  "Bagi  Allah,  KitabNya,  RasulNya,  penguasa kaum dan segenap kaum muslimin"
 
Nasihat bagi  penguasa  kaum  muslimin adalah  dengan  mentaati mereka  dalam  perkara  ma'ruf,  mendoakan  mereka  dan menunjuki  mereka  jalan  yang  benar  serta  menjelaskan kekeliruan  yang  mereka  lakukan  supaya  dapat  dihindari.  Dan hendaknya  nasihat  itu  diberikan  secara  rahasia,  empat  mata antara  si  pemberi  nasihat  dan  penguasa  tersebut.  Nasihat kepada  penguasa  itu  juga  dapat  diberikan  dalam  bentuk melakukan  isntruksi-instruksi  yang  diserahkan  melalui  aparat yang  diangkat  penguasa  dan  orang-orang  yang  diberi kewenangan olehnya. Yaitu melakukannya dengan amanah dan ikhlas. Ini juga termasuk bentuk nasihat kepada penguasa kaum muslimin. Demikian pula  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Artinya :  Barangsiapa melihat sebuah kemungkaran hendaklah ia  ubah  dengan  tangannya,  jika  tidak  mampu  maka  ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka bencilah kemungkaran itu dalam hatinya".
Maksudnya, kaum muslimin terbagi menjadi tiga kelompok :
1.  Yang  memiliki  ilmu  dan  kekuasaan,  maka  mereka  berhak merubah  kemungkaran  dengan  tangan  (tindakan),  seperti pemerintah  dan  aparat-aparat  yang  ditunjuk  oleh pemerintah untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar. Merekalah  yang  berwenang  merubah  kemungkaran  dengan tangan melalui proses hukum syar'i.
2.  Yang  memiliki ilmu tapi tidak  memiliki kekuasaan.  Kelompok ini  hendaknya  merubah  kemungkaran  dengan  lisan.  Yaitu dengan menjelaskan kepada umat manusia hukum halal dan haram,  ma'ruf  dan  mungkar.  Ia  berhak  menganjurkan kepada  yang  ma'ruf,  melarang,  memberi  bimbingan  dan menasihati,  semua  itu  termasuk  mengingkari  kemungkaran dengan lisan.
3.  Seorang  muslim  yang  tidak  memiliki  ilmu  dan  tidak  pula memiliki kekuasaan. Kelompok ketiga ini cukuplah membenci kemungkaran  dan  pelakunya  dalam  hatinya.  Menjauhkan dirinya dari kemungkaran dan pelakunya.
 
Itulah tingkatan amar ma'ruf nahi mungkar.
 
Pertanyaan 14 :
Apakah metode dakwah dibatasi dengan kaidah-kaidah tertentu?

Jawaban :
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya  :  Serulah  (manusia)  kepada  jalan  Rabbmu  dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka  dengan cara yang lebih baik.  Sesungguhnya  Rabbmu  Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan  Dia-lah  yang  lebih  mengetahui  orang-orang  yang  mendapat petunjuk" [An-Nahl : 125]
 
Orang  yang  terjerumus  dalam  kemungkaran  boleh  jadi  karena kejahilannya.  Maka  untuk  orang  jenis  ini  cukup  didakwahi dengan  cara  yang  bijaksana.  Misalnya  dengan  menjelaskan kekeliruannya, apabila telah jelas kekeliruan tersebut baginya ia segera  kembali  kepada  kebenaran.
Di antara  manusia ada  juga yang walaupun  kekeliruannya telah jelas namun  ia  masih  keras kepala  tidak  mau  kembali  kepada  kebenaran.  Barangkali  ia memiliki  sifat  malas,  hawa  nafsunya  merintangi  dirinya  untuk menerima  kebenaran.  Maka  untuk  orang  jenis  ini  dibutuhkan pelajaran  yang  baik,  yaitu  dengan  memperingatkan  kepadanya kerasnya  siksa  Allah  dan  hukuman  yang  bakal  diterima  oleh orang  yang  terus  menerus  berbuat  maksiat  setelah mengetahuinya.
Ada  pula  jenis  ketiga
,  yaitu  orang  yang membantah  apabila  mengetahui  kebenaran  demi mempertahankan  kebatilan  dan  kemungkaran.  Ia  hanya  ingin mencari pembenaran  bagi  kesalahan yang dilakukannya. Orang jenis  ini  perlu  dibantah.  Namun  hendaknya  perbantahan  itu dilakukan dengan cara yang terbaik bukan dengan sikap arogan, tidak  pula  dengan  pelecehan  dan  penghinaan,  namun  dengan cara yang terbaik, yaitu membantah kebatilan dengan argumen-argumen  yang  jelas  sehingga  kebenaran  menjadi  nyata  dan kebatilan  menjadi  sirna. 
Inilah  tingkatan-tingkatan  yang dijelaskan Allah dalam ayat tersebut.
  • Tingkatan pertama dengan hikmah, 
  • Tingkatan  kedua  dengan  pelajaran  yang  baik  dan
  • Tingkatan  ketiga  dengan  perbantahan  yang  baik. 
skala tingkatan-tingkatan  itu  berbeda-beda  sesuai  dengan  kondisi mad'u.

Pertanyaan 15 :
Bagaimana pedoman Salafus Shalih dalam masalah amar ma'ruf nahi mungkar ?

Jawaban :
Tadi  telah  kita  jelaskan  bahwa  jika  amar  ma'ruf  nahi  mungkar itu  ditegakkan  di  negeri  Islam  seperti  negeri  kita  ini,  maka cukup  dengan  nasihat  dan  peringatan  yang  baik,  sebab pemerintah  negeri  tersebut  telah  mengatur  seluruh proseduralnya.  Jika  si  pelaku  maksiat  harus  di  cekal,  maka keputusannya  diserahkan  kepada  pemerintah  yang  berwenang. Jika  tidak  perlu  dilaporkan  kepada  pemerintah  maka  yang dituntut  adalah  menutupi  kesalahan  pelaku  maksiat  apabila tampak  pada  dirinya  tekad  untuk  meninggalkan  maksiat  dan menerima  dakwah  serta  meninggalkan  kesalahan  yang dilakukannya. Kesalahan  mereka  ini  tidak  perlu  diekspos.  Cukuplah  mereka merubah diri sendiri semampu  mereka  dari  jahat  menjadi baik.
Jika kelihatannya si pelaku  maksiat ini tidak  mengindahkan dan tidak  menerima  nasihat  maka  sebaiknya  mengangkat  urusan mereka kepada pihak yang berwajib. Jika telah diangkat kepada pihak  yang  berwajib  maka  selesailah  kewajiban  si  pemberi nasihat,  sebab  ia  telah  mengembalikan  urusan  kepada  pihak yang  berwenang. 
Namun  apabila  hal  itu  terjadi  di  negeri  non muslim, maka cukuplah bagi mereka dakwah kepada jalan Allah
 dengan  cara  yang  hikmah  dan  pelajaran  yang  baik  serta mencegah  terjadinya  fitnah  yang  lebih  besar  yang  dapat merugikan dan membahayakan kaum muslimin. Jangan sampai muncul  sikap  arogan  dan  anarki  yang  menimbulkan  mudharat lebih besar. Cukuplah dengan menyebarkan Dienul Islam secara hikmah  dan  penuh  dengan  pelajaran  yang  baik  serta  memberi nasihat bagi yang  menerima serta  menyerahkan  urusan  kepada Allah bagi orang yang tidak menerimanya.

Pertanyaan 16 :
Sebagian orang menyangka bahwa pedoman Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak layak diterapkan pada masa sekarang ini. Mereka beralasan  bahwa  kaidah-kaidah  yang  ditetapkan  Ahlus  Sunnah wal Jama'ah tidak mungkin di lakukan hari ini ?

Jawaban :
Yang  menganggap  pedoman  Salafus  Shalih  tidak  layak diterapkan  pada  zaman  sekarang  adalah  orang  yang  sesat  lagi menyesatkan.  Bukanlah  pedoman  Salafus  Shalih  yang  telah diperintahkan  Allah  supaya  diikuti  hingga  akhir  zaman  ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Sesungguhnya siapa saja yang hidup sepeninggalku ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah  kepada  sunnahku  dan  sunnah  Khulafa'  Rasyidin setelahku. Peganglah  ia  erat-erat  dan  gigitlah  dengan  gigi gerahammu (sungguh-sungguhlah)"

Inilah  merupakan  pernyataan  yang  ditujukan  kepada  segenap umat  hingga  hari  Kemudian  kelak. Dan  sekaligus  menunjukkan bahwa  kaum  muslimin  wajib  menempuh  pedoman  Salafush Shalih. Dan  penegasan  bahwa  pedoman  Salafush  Shalih  layak diterapkan  kapan  dan  dimana  saja.  Allah  Subhanahu  wa  Ta'ala berfirman. "Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk  Islam) di antara orang-orang Muhajirin  dan  Anshar dan orang-orang  yang  mengikuti  mereka  dengan  baik,  Allah  ridla kepada mereka dan merekapun ridha  kepada  Allah" [At-Taubah : 100]
 
Termasuk  didalamnya  segenap  umat  hingga  hari  Kiamat  nanti. Kaum  muslimin  wajib  mengikuti  pedoman  generasi  awal  umat ini  dari  kalangan  Muhajarin  dan  Anshar.  Imam  Malik  pernah berkata, "Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan baik generasi awalnya".

Siapa  saja  yang  berusaha  memisahkan  umat  ini  dari  generasi awalnya,  memisahkan  mereka  dari  generasi  Salafush  Shalih berarti  menghendaki  keburukan  terhadap  kaum  Muslimin. Sebenarnya  ia  menginginkan  perubahan  Dienul  Islam  dan mengada-adakan bid'ah dan  penyimpangan. Usahanya  itu wajib ditolak  dan  dipatahkan  argumentasinya  serta  memperingatkan
 umat  dari  bahayanya.  Sebab  kaum  muslimin  wajib  mengikuti pedoman Salafush Shalih dan berjalan di atasnya. Sebagaimana disebutkan  dalam  Kitabullah  dan  Sunnah  RasulNya.  Siapa  saja yang  berusaha  memutus  hubungan  antara  generasi  akhir  umat ini  dan  generasi  awalnya  maka  usaha  dan  propagandanya  itu harus ditolak  mentah-mentah dan harus di waspadai bahayanya tanpa pandang bulu siapapun yang mempropagandakannya.
 
Pertanyaan 17 :
Termasuk  persoalan  yang  memprihatinkan  sekarang  ini  adalah kami dapati sebagian orang berusaha mengkotak-kotakan kaum muslimin  dan  mereka  merasa  senang  dengan  perbuatan tersebut ?

Jawaban :
Seorang  muslim  tidak  dibolehkan  menyibukkan  dirinya mengomentari orang lain serta  memecah belah persatuan kaum muslimin.  Memvonis  atau  menghakimi  orang  lain  tanpa  ilmu termasuk  tindak  pengrusakan  yang  dilarang.  Allah  Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya :  Dan  janganlah  kamu mengikuti apa yang  kamu tidak mempunyai  pengetahuan  tentangnya.  Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya  itu akan  diminta pertanggungjawabannya" [Al-Isra : 36]

Seorang muslim seyogyanya melakukan perbaikan dan menjaga persatuan  kaum  muslimin  serta  berusaha  merapatkan  barisan mereka  di  atas  panji-panji  kebenaran.  Bukan  justru  memecah belah  Ahlus  Sunnah dan  memilah-milah  mereka  menjadi beberapa  golongan  dan  kelompok.  Yang  dituntut  darinya  jika melihat  kesalahan  di  tengah  kaum  muslimin  adalah  berusaha memperbaikinya. Jika dilihatnya ada celah untuk berpecah maka ia  wajib  berusaha  menyatukannya.  Inilah  yang  dituntut  dari seorang  muslim.  Yaitu  menyeru  kepada  persatuan  dan menambal celah-celah perpecahan. Usaha itu merupakan bentuk nasihat  yang  sangat  agung  bagi  penguasa  dan  segenap  kaum muslimin.
 
Pertanyaan 18 :
Seringkali  kami  memperhatikan  segelintir  penuntut  ilmu  terlalu mudah  memvonis  kafir  terhadap  kaum  muslimin.  Bahkan segelintir  orang  ini  menuntut  kaum  muslimin  supaya melaksanakan hukuman mati atas orang yang telah divonis kafir -menurut  mereka-  apabila  penguasa  (pemerintah)  tidak melaksanakannya. Bagaimana pendapat Anda dalam maslah ini?

Jawaban:
Pelaksanaan hukuman pidana  merupakan wewenang  penguasa semata.  Tidak  setiap  orang  berhak  menegakkan  hukum pidana ini.  Sebab  bila  demikian  prakteknya  jelas  akan  terjadi kekacauan,  kerusakan  dan  keresahan  di  kalangan  masyarakat. Dan  juga  akan  menyalakan  api  pemberontakan  dan  fitnah. Pelaksanaan hukuman merupakan wewenang penguasa muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya  :  Saling  memaafkanlah  di  antara  kalian,  namun  jika urusannya telah diangkat kepada sultan (penguasa), maka Allah melaknat  pemberi  rekomendasi  dan  terpidana  yang direkomendasi"

Salah satu kewajiban dan wewenang sulthan dalam Dienul Islam adalah  melaksanakan  hukuman  setelah  di  proses  secara  syar'i oleh  mahkamah  syariat  atas  terdakwa  pelaku  kejahatan  yang berhak  mendapati  hukuman,  seperti  hukuman  atas  orang murtad, pencuri dan lain sebagainya.

Walhasil,  pelaksanaan  hukuman  merupakan  wewenang  sultan. Jika seandainya kaum muslimin tidak memiliki sultan (pernguasa) maka  cukuplah  dengan  melaksanakan  amar  ma'ruf  nahi mungkar  serta  dakwah  kepada  jalan  Allah  dengan  hikmah, pengajaran  yang  baik  serta  perdebatan  dengan  cara  yang terbaik.  Individu-individu  masyarakat  tidak  berhak melaksanakan  hudud  (hukuman).  Sebab  sebagaimana  yang kami  sebutkan,  dapat  menimbulkan  kekacauan,  peberontakan dan  fitnah.  Dan  juga  dapat  menimbulkan  mafsadat  yang  lebih besar  daripada  maslahatnya.  Salah  satu  kaidah  syar'i  yang disepakati  bersama  menyatakan  :  "Menolak  mafsadat  lebih diutamakan daripada meraih maslahat"

Pertanyaan 19 :
Fadhilatus Syaikh, siapakah yang layak dikatakan murtad ? Kami ingin  Anda  menguraikannya  dengan  jelas.  Karena  beberapa orang telah divonis kafir dengan alasan yang masih samar !

Jawaban :
Menetapkan  hukum  murtad  dan  keluar  dari  agama  atas seseorang  merupakan  kewajiban  ahli  ilmu  yang  matang ilmunya.  Mereka  adalah  para  qadhi  di mahkamah-mahkamah syar'i  dan  para  mufti  yang  diakui  kepiawaiannya.  Masalah  ini tidak  jauh  berbeda  dengan  masalah-masalah  agama  lainnya. Tidak semua orang berhak berkomentar  di  dalamnya, termasuk juga  para  penuntut  ilmu  yang  masih  dalam  taraf  pemula  atau orang-orang  yang  mengaku  ulama  namun pengetahuan agamanya masih dangkal.
 
Mereka  tidak  punya  wewenang  membicarakan  masalah  ini. Sebab  jika  mereka  berkomentar  juga,  maka  bisa  menimbulkan kerusakan  dan  akhirnya  beberapa kaum  muslimin  divonis murtad  padahal  sebenarnya  tidak  begitu  !  Pengkafiran  seorang muslim  yang  tidak  melakukan  salah  satu  dari  pembatal  ke-Islaman merupakan bahaya yang sangat besar.
 
Barangsiapa  mengatakan  kepada  saudaranya  :  Yaa  kafir,  yaa fasik ternyata tidak demikian  maka perkataan  itu akan  kembali kepadanya.  Orang  yang  berhak  menjatuhkan  vonis  murtad adalah  para  qadhi  dan  mufti  yang  diakui  kepiawaiannya  dan pelaksana  hukuman  tersebut  adalah  para  penguasa (pemerintah). Selain prosedur di atas, pasti hanya menimbulkan kekacauan belaka.
 
Pertanyaan 20 :
Point terakhir yang sangat  kami harapkan penjelasannya adalah tentang  masalah  orang  yang  merampas  dan  melangkahi wewenang  penguasa.  Yaitu  tentang  orang yang  telah melaksanakan  had  (hukum  pidana)  tanpa  seizin Sultan, ada yang berpendapat bahwa hukuman maksimal yang  berhak dijatuhkan  oleh  Sultan  atas  orang  itu  hanyalah  hukuman kurungan (penjara) !

Jawaban :
Tidak  dibenarkan  merampas  dan  melangkahi  wewenang penguasa.  Barangsiapa  membunuh  seseorang  tanpa  prosedur hukum  syar'i  dan  hanya  berdasarkan  pendapat  pribadinya  saja maka berhak dijatuhkan hukuman qishah atasnya jika ahli waris si  korban  menuntutnya.  Kecuali  jika  dapat  dibuktikan  secara syar'i  bahwa   si  korban  benar-benar  murtad  dari  Islam  maka tidak  ada  qishash  atasnya.  Akan  tetapi  Sultan  berhak memberikan  hukuman  peringatan  atas  perbuatannya  yang melangkahi wewenang Sultan.

Pertanyaan 21 :
Bagaimana halnya dengan keadaan hukuman ta'zir ?

Jawaban :
Kadangkala  hukuman  ta'zir  itu  sampai  kepada  tingkatan hukuman mati sesuai dengan kebijaksanaan penguasa. Misalnya penguasa  melihat  tidak  ada  jalan  lain  untuk  mencegah kejahatannya  kecuali  dengan  hukuman  mati  maka  penguasa berhak melakukannya.