Oleh: Kumpulan Ulama Besar Arab
Saudi
________________________________________
Sumber: Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil
kitabi wa sunnah
Edisi Indonesia (eBook) : Koreksi
Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an &
As-Sunnah, Terbitan Darul Haq,
________________________________________
Penerjemah
Al Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Maktabah Abu Salma al-Atsari
_________________________
DIALOG KETIGA : BERSAMA
SYAIKH SHALIH BIN GHANIM AS SADLAN
Pertanyaan
1 :
Diantara persoalan
yang menimbulkan kesamaran
sekarang ini bagi sebagian pemuda
adalah munculnya berbagai kemaksiatan
dan kemungkaran yang
jelas bertentangan dengan
ajaran agama di tengah masyarakat Islam. Kemudian pemuda-pemuda itu menganggapnya
sebagai masyarakat jahiliyah.
Sangat disayangkan beberapa orang yang disebut sebagai pemikir Islam
justru banyak mengobral istilah
tersebut. Tentunya Syaikh yang mulia sudah mengatahui dampak buruk dari
perkataan tersebut.
Jawaban :
Ahamdulillah Rabbil
'Alamin. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada
Nabi besar Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, wa ba'du.
Eksistensi haq
dan batil serta
peperangan antara keduanya merupakan perkara yang sudah
dimaklumi bersama. Semenjak Adam diturunkan
ke bumi, peperangan
antara haq dan
batil terus berlangsung. Akan tetapi jika orang-orang yang berada di
atas haq
berlaku jujur dan
berniat ikhlas niscaya
mereka akan mendapat pertolongan.
Namun jika di
antara mereka saling tidak
memperdulikan dan tercerai
berai serta saling
tidak memahami dan merujuk
kepada kebenaran maka
perselisihan akan semakin
meruncing dan jurang perpecahan
akan semakin melebar. Allah telah
mengutus para rasul
dan menurunkan kitab-kitab supaya
manusia dapat menegakkan
keadilan dan kebenaran. Sungguh
sangat keliru seorang
muslim yang menunggu masyarakat
yang steril dari
kemungkaran dan hanya ada satu
kebenaran tanpa ada perlawanan dari kebatilan. Kondisi seperti
itu tidak mungkin
tercipta, sunnatullah telah menetapkan bahwa peperangan antara haq
dan batil akan terus berlangsung
agar Allah mengetahui
siapa saja yang
membela agamanya dan siapa
yang hidup maka
hidupnya diatas keterangan yang
nyata. Sejak generasi
pertama umat ini, masyarakat Islam
tidak terlepas dari
pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh individu-individunya, sebagai
buktinya adalah pelaksanaan hukuman-hukuman pidana
di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam demikian pula di zaman Khalifah Rasyidah dan
Khilafah-khilafah Islamiyah dari masa
ke masa sampai sekarang.
Namun walaupun
demikian, kaum muslimin,
terutama para ulama tetap
menegakkan dakwah kepada
jalan Allah di
atas pelita ilmu. Menerangkan
kebenaran dan mengajak
manusia kembali ke jalan
Allah serta memperingatkan manusia
dari setiap pelanggaran perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka
juga bersikap santun
kepada pelaku maksiat,
mereka anggap pelaku maksiat
itu seperti orang
sakit yang butuh
pengobatan, tidak mereka jadikan
sebagai mangsa atau
ajang memperebutkan harta ghanimah.
Termasuk
kaidah dalam aqidah Ahlus Sunnah adalah mencintai kaum mukminin
sesuai dengan kadar
keimanan yang mereka miliki
serta membenci mereka
sesuai dengan kadar
maksiat yang mereka lakukan.
Dengan demikian martabat
manusia berbeda-beda sesuai dengan
kadar keteguhan dan keistiqomahan mereka
menjalankan agama, sesuai
dengan kedudukan dan kecintaan
mereka kepada agama
dan sesuai dengan kadar perintah yang mereka lalaikan dan larangan yang mereka
langgar.
Akan tetapi
hal itu tidak
menjurus kepada pengkafiran, permusuhan dan
pemutusan hubungan dan
mengabaikan memberikan
nasihat dan bersikap
santun kepada mereka. Bahkan setiap
muslim wajib memberi
nasihat dan bersungguh-sungguh dalam
menasihati dan membimbing
saudaranya seagama. Saya yakin,
mayoritas pemuda muslim yang hidup di tengah kebangkitan
Islam sekarang ini
mengetahui perkara tersebut.
Memang benar, ada diantara mereka ada yang bersikap ekstrim dan
tidak menempatkan persoalan
sesuai dengan porsinya. Mereka
tidak menginginkan terjadinya
pelanggaran syariat apapun bentuknya.
Bagi mereka siapa saja yang melalaikan persoalan ini -menurut pemahaman
sebagian mereka- tidak berhak menjadi pemimpin dan tidak
boleh diserahkan mengurus
urusan kaum muslimin.
Menurut mereka
orang tersebut sama
sekali tidak akan
mau mengenyahkan kebatilan. Hal itu mereka lakukan tanpa meneliti
dan mempelajari serta
memahami persoalan sebenarnya
dan tanpa melihat positif
negatif dan baik
buruknya. Tanpa melihat sebab-sebab terjadinya
pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dan
tanpa melihat akibat
tindakan mereka yang
tergesa-gesa dan
terburu-buru. Dan tanpa
melihat latar belakang
terjadinnya pelanggaran-pelanggaran syariat yang dilakukan masyarakat.
Ternyata segelintir
pemuda tadi tidak
menyelami sisi yang
kita sebutkan tadi. Bagi
mereka cuma ada
satu semangat, yaitu semangat mengubah kemungkaran tanpa mengetahui ilmunya. Hingga sebagian
mereka jika mendengar
berita, tanpa mengecek kebenarannya
(apakah benar atau
tidak) langsung mengomentarinya
dalam khutbah-khutbah atau majelis-majelis. Sudah barang
tentu, seseorang harusnya
mengetahui akar permasalahannya terlebih
dahulu. Apa penyebab terjadinya dan tersebarnya pelanggaran-pelanggaran syariat
tersebut ? Dan apa saja wasilah yang mungkin
ditempuh untuk menyelesaikan
problematika tersebut atau
minimal mengurangi tersebarnya keburukan.
Segelintir orang
juga melupakan kaidah
step by step
dalam menyelesaikan masalah. Sebenarnya
kaidah ini sudah
dikenal dalam syariat Islam,
sebagai buktinya adalah
dakwah yang berkembang setahap
demi setahap, maksiat
yang dilakukan manusia pada zaman
jahiliyah seperti minum khamar, riba, dan lainnya juga dilarang
Islam secara bertahap. Dibutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk menghilangkannya, bukan
dengan hitungan bulan atau
hari ! Segelintir
orang sepertinya ingin menyelesaikan problematika umat dalam
waktu sekejap.
Mereka ingin
segala kerusakan segera
teratasi dalam waktu sehari
atau dalam beberapa
jam tanpa memperhatikan
baik buruknya. Dalam syariat
Islam kita ketahui bahwa Dienul Islam datang dengan
membawa kaidah-kaidah agung
yang mesti diperhatikan
diantaranya :
"Tidak boleh
merubah kemungkaran yang
menimbulkan kemungkaran yang lebih
besar daripada sebelumnya
dan tidak boleh merubah
kemungkaran yang menimbulkan
kerusakan lebih besar daripada kemungkaran itu".
Dienul Islam
mengajak kita agar
menciptakan maslahat dan menjauhi
kerusakan. Jika kita
dihadapkan kepada dua kerusakan
maka kita diperintahkan
untuk memilih kerusakan yang paling
ringan, demikianlah !
Memperhatikan dan memahami perkara-perkara di
atas sangatlah penting,
lebih-lebih saat tersebarnya
fitnah yang melumpuhkan
masyarakat. Dalam kondisi
demikian, seorang insan hendaknya
bersikap arif tidak tergesa-gesa. Apalagi di zaman yang dalam sekejap desas-desus
berubah menjadi kenyataan.
Seorang da'i
dituntut bertindak bijaksana
dan bersikap arif.
Di sana terdapat segelintir orang yang
memanfaatkan orang-orang awam
untuk mencapai ambisi
mereka. Mereka mendatangi sebagian orang-orang shalih
yang lalai lalu
dimanfaatkan untuk
menyebarkan idielogi dan
maksud-maksud kotor mereka. Dengan rapi
mereka rancang hal
itu selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk
dapat menjerat orang
shalih tersebut dalam jaring-jaring mereka.
Lalu mereka ikat
jaring-jaring tersebut hingga
orang shalih tersebut
bagaikan lembu dicocok hidungnya
di tangan mereka.
Seorang muslim
hendaknya mengetahui masalah
ini dan hendaknya menyadari
bahwa sebuah masyarakat
Islam harus menghormati ulama
dan orang yang
lebih senior diantara mereka. Kita
semua wajib berjalan
di atas pedoman
Salafush Shalih, diantaranya adalah
menghormati ulama. Hingga sekalipun seseorang
merasa maslahat yang
dikatakannya lebih besar
daripada maslahat yang dikatakan oleh ulama yang lebih senior daripadanya. Ia harus
diam dan tidak boleh menyanggah orang
yang lebih senior daripadanya.
Sebagai contoh
Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhu memiliki beberapa pendapat,
sementara Umar bin
Khaththab Radhiyallahu 'anhu memilih
bermusyawarah dengan sahabat-sahabat yang
lebih senior, Ibnu
Abbas tidaklah
mengomentarinya. Ketika Umar
bin Khaththab pergi
barulah Ibnu Abbas angkat
bicara. Ditanyakan kepadanya
: "Mengapa anda
tidak berbiacara di
hadapan Umar? Beliau
menjawab : "Tidaklah pantas
saya berbicara dihadapan
para syaikh"
Demikian pula
Abullah bin Mas'ud
dan Abdullah bin
Umar Radhiyallahu anhuma serta
sahabat-sahabat lainnya
Radhiyallahu 'anhum, mereka
sangat menghormati ulama. Namun
realita yang kita
temukan sekarang, banyak
oknum yang melecehkan ulama.
Padahal kepada ulamalah
solusi problematika umat ini
diserahkan. Kita dapati
sebagian oknum menjuluki ulama
dengan gelar-gelar yang
tidak pantas. Kita tandaskan bahwa
seorang penuntut ilmu
bahkan juga seorang mukmin tidak
pantas melakukannya. Perbuatan
itu hanya pantas dilakukan
oleh orang kafir
yang alergi terhadap kebenaran. Sebagian
kecil pemuda yang
masih hijau melemparkan kesalahan
ini tanpa melihat
akibatnya, ia membeberkannya tanpa
menyadari akibat buruk
yang bakal terjadi.
Maksudnya saya
ingin mengajak pemuda-pemuda
itu supaya bersikap arif
dan tidak keburu
nafsu, menghormati ulama
dan menimbang maslahat orang
banyak. Hendaknya mereka memperhatikan akibat
buruk dari perkataan
yang mereka ucapkan.
Pertanyaan
2 :
Fadhilatus Syaikh,
bolehkah menggunakan istilah
jahiliyah bagi masyarakat Islam
sekarang ini, mengingat
pelanggaran-pelanggaran
syari'at yang terjadi
di dalamnya, terlebih masyarakat tersebut tidak berhukum
dengan hukum Alllah ?
Jawaban :
Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah
memerintahkan istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang
juga merupakan perintah kepada segenap wanita muslimah :
"Artinya :
...dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu" [Al-Ahzab : 33]
Telah
dimaklumi bersama bahwa jahiliyah yang
terdahulu telah mecapai titik klimaks
dalam melanggar perintah
Allah, seperti syirik, khurafat,
bid'ah dan kesesatan
yang membuat orang menertawakan dirinya
sendiri saking jelek
dan hinanya perbuatan yang
dilakukannya.
Masyarakat Islam
yang ditegakkan di
dalamnya ibadah shalat dan
hukum-hukum Allah, ditegakkan
di dalamnya amar
ma'ruf nahi mungkar tidak
boleh dijuluki sebagai masyarakat jahiliyah. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
telah memperingatkan kita dari
adat-adat jahiliyah, beliau bersabda.
"Artinya
: Empat perkara jahiliyah yang masih dilakukan umatku : Berbangga-bangga dengan
kebesaran leluhur, mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan
kepada bintang-bintang dan mendatangi dukun"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa keempat perkara
tersebut termasuk jahiliyah.
Namun beliau tidak mensifatkan
umat ini sebagai
umat jahiliyah secara umum.
Ditengah masyarakat mungkin
saja terjadi perkara-perkara jahiliyah.
Namun sangat keliru
jika mensifati umat
ini sebagai umat jahiliyah
jauh dari Islam
! Hal itu
merupakan perbuatan yang tidak
menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan termasuk melampui
batas syar'i. Adapun
masyarakat yang telah sirna dan
hilang syiar-syiar Islam di dalamnya dan tampak nyata syiar-syiar
kufur, syirik, ilhad
dan paganisme, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan
sebagai masyarakat jahiliyah.
Pertanyaan
3 :
Bagaimanakah hukumnya
masyarakat yang didalamnya
masih ditegakkan shalat dan
syiar-syiar Islam lainnya,
namun tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah sekalipun
mayoritas individunya
menghendaki ditegakkannya hukum
syar'i. Sebagai catatan,
penggunaan istilah jahiliyah terhadap masyarakat Islam tersebut dijadikan
sebagai alasan oleh
sebagian orang untuk menjauhkan diri
dari masyarakat dan
membangkang pemerintah, serta dijadikan sebagai alasan untuk menggunakan
kekerasan dan tindakan-tindakan lainnya
sebagai konsekuensi vonis kafir
yang dijatuhkan, seperti penghalalan darah, harta dan kehormatan orang lain !
Jawaban :
Seorang insan
hendaknya selalu memperhatikan
dampak dari setiap ucapan dan
tindakannya terhadap orang lain.
Jika istilah masyarakat jahiliyah
yang diucapkannya lebih
dari sekedar julukan biasa dan
bermaksud untuk menjatuhkan vonis
tertentu atas masyarakat tersebut yaitu vonis kafir dan wajib keluar dan
menjauhkan diri dari
masyarakat tersebut, maka
jelas tidak benar dan
merupakan maksud yang
jelek. Dikhawatirkan amal pelakunya akan terhapus jika yang ia
maksudkan adalah seperti diatas.
Dia ingin
menetapkan bahwa istilah
jahiliyah ini sama
dengan jatuhnya vonis kafir.
Sebagai konsekwensinya ia membangkang pemerintah dan
berusaha menjatuhkan, menyerang
dan menekan penguasa. Saya tandaskan : "Cara seperti ini bukanlah
cara yang Islami,
akan tetapi cara
yang rusak yang
disusupi maksud dan i'tikad jelek. Hal itu kelihatan dari beberapa sisi
:
Pertama : Oknum-oknum yang melakukan perbuatan seperti itu dan yang
menganggap masyarakat yang
dijuluki sebagai masyarakat jahiliyah
adalah masyarakat kafir
yang wajib menjauhkan diri
darinya walau apapun
akibatnya, sangat jelas kelihatan bahwa mereka adalah :
1. Orang
yang dikenal tidak
punya hikmah, ilmu
dan pengkajian tentang akibat buruk tindakan mereka.
2. Orang-orang
yang mengasingkan diri
dari masyarakat yang
mayoritas atau bahkan
seluruh penduduknya kaum muslimin. Sebenarnya
tiada kuasa bagi
mereka untuk menindak pelanggaran
yang terjadi. Setelah menarik diri dari masyarakat merekapun menumpahkan darah
kaum muslimin demi mewujudkan satu
tujuan, yaitu menekan pengusa.
Merekapun menghalalkan
darah kaum muslimin
yang masih loyal kepada
penguasa tersebut dan
masih bekerja dalam jajaran
pemerintahannya kendatipun mereka
adalah kaum muslimin yang taat
menegakkan shalat !
Mengapa mereka
menghalalkan darah kaum muslimin ? Jawab mereka karena
penguasa mereka tidak
berhukum dengan hukum Allah
dan memakai undang-undang
buatan manusia. Dan disebabkan
pemerintah membiarkan khamar
dan zina terang-terangan tersebar
di wilayah mereka.
Boleh
jadi realita tersebut benar! Akan tetapi
apakah penguasa itu yang
memerintahkannya ? Apakah
ia memaksa rakyatnya berbuat demikian
? Dari sisi
lain, apa hasilnya
membunuh dan menumpahkan darah
kaum muslimin ?
Padahal dalam hadits disebutkan. "Artinya : Binasanya
dunia dan seluruh
isinya lebih ringan ketimbang tertumpahnya darah seorang
muslim"
Orang-orang yang
bertindak demikian tentunya
tidak mempertimbangkan akibat tersebut.
Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, pembangkangan tidak menghasilkan maslahat apapun. Kami menyarankan mereka supaya memperhatikan akibat perbuatan mereka, mulai mereka melakukannya hingga detik ini. Bukankah hasil yang dapat dilihat hanyalah kerusakan dan mudharat yang besar bagi umat dan bagi mereka sendiri ? Jelaslah mereka tidak memiliki kekuatan dan kemampuan yang seimbang dengan kekuatan yang mereka lawan !
Akibat
perbuatan mereka, penguasa berubah memusuhi orang-orang shalih,
para da'i dan
yayasan-yayasan Islamiyah yang tidak ada hubungannya dengan tindak
kekerasan tersebut.
Akan tetapi
dalam hal ini
penguasa tidak bisa
mendeteksi dan membedakan niat
masing-masing orang, mana
yang bersalah dan yang tidak.
Yang jelas,
bagi siapa saja
yang memperhatikan dengan seksama tentunya
mengetahui bahwa mudharat
yang timbul akibat cara-cara
seperti itu lebih besar daripada maslahat yang diharapkan !
Dan juga
salah satu dampak
negatifnya adalah terganggunya aktifitas dakwah. Pemerintah punya alasan untuk mengusir dan menekan para
da'i disebabkan perbuatan
orang-orang pandir yang memerangi
menteri dan militer
atau aparat pemerintah lainnya. Sehingga mereka
menjadi bahan pembicaraan masyarakat dan menjuluki
mereka sebagai teroris. Secara tidak sengaja mereka
telah membangunkan musuh
untuk melawan mereka. Dengan
demikian musuh pun
bebas membuat perangkap dan
makar untuk menumpas
setiap kebaikan yang ada pada mereka.
Pertanyaan
4 :
Fadhilatus Syaikh,
mereka beralasan dengan
permasalahan kafirnya orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum
Allah, dan beragumentasi dengan
fatwa yang dikeluarkan
oleh sebagian ulama dalam
masalah ini. Apakah
kekufuran tersebut memang
kekufuran secara mutlak
yang merupakan sebab wajibnya membangkang dan memberontak
penguasa ?
Jawaban :
Fatwa yang
dikeluarkan oleh ulama
tentang kafirnya orang-orang
yang tidak berhukum
dengan hukum Allah
kebanyakan memang benar adanya
! Bahkan beberapa
buku telah ditulis oleh
para ulama berkaitan
dengan masalah ini,
bersandarkan kepada beberapa ayat dan hadits.
Vonis
kafir, zhalim dan fasik yang dijatuhkan kepada orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah adalah ketetapan syari'at ! Itu
adalah perkara yang
selalu kita sebutkan
berulang kali dan kita yakini bersama!
Akan tetapi
perlu diketahui bahwa
berhukum dengan selain hukum Allah ada dua :
Pertama : Menghalalkan
hukum selain hukum
Allah dan meyakini bahwa syariat
Islam tidak layak diterapkan selamanya.
Kedua : Meyakini
bahwa syariat Islam
layak diterapkan dan sudah
sempurna. Akan tetapi
keputusan terakhir bukan
di tangannya dan bukan
pula di bawah
kuasa seseorang,
perumpamaannya seperti seorang
muslim yang melakukan maksiat tanpa
menghalalkannya. Seperti orang
yang minum khamar, ia meyakini bahwa perbuatan itu adalah maksiat, akan tetapi ia
telah dikuasai syahwat.
Keadaannya tentu berbeda dengan orang
yang meyakini khamar
halal tidak terlarang sekalipun ia
tidak meminumnya, atau
tidak meyakini wajibnya shalat lima waktu, orang seperti ini
dihukumi kafir.
Kami tegaskan
bahwa masalah pengkafiran
orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah ada
perinciannya. Tidak boleh menjatuhkan hukum
kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan
hukum Allah secara
mutlak sehingga mengetahui
keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.
Persoalan
kedua : Kendati ayat menyatakan : "Artinya
: Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu
adalah orang-orang yang
kafir" [Al-Maidah : 44]
Namun, adakah
perintah memberontak dan
membangkang penguasa yang dapat
menimbulkan kerusakan dan
mafsadat yang besar dan
dapat membahayakan kelanggengan
dakwah dan keselamatan para da'i?
Memang kita
tetap menyatakan bahwa
siapa saja yang
tidak berhukum dengan hukum Allah maka
ia termasuk orang-orang kafir
(dengan perincian diatas
tadi). Namun di
sisi lain kita menyatakan : Tidak dibenarkan membangkang penguasa yang tidak mendatangkan
maslahat bahkan justru
mendatangkan mafsadat. Hal itu
hanya boleh dilakukan
jika seluruh kaum muslimin
bersatu padu, duduk
berdialog untuk menasihati penguasa tersebut,
para ulama dan
orang-orang yang shalih juga
banyak jumlahnya dan
seluruh rakyat tidak
menghendaki penguasa itu terus
memimpin serta seluruh
masyarakat menentangnya.
Dalam kondisi demikian
kaum muslimin boleh menurunkan penguasa itu jika mereka
yakin dapat mewujudkan harapan
mereka meskipun masih
tersisa segelintir orang
yang pro penguasa dan para pendukungnya.
Adapun kondisi
yang kita saksikan
sekarang ini, tindak pemberontakan dan
pembangkangan merupakan tindakan bodoh, tergesa-gesa dan tanpa ada
alasan yang jelas.
Pertanyaan
5 :
Diantara persoalan
yang dijadikan alasan
melakukan tindak kekerasan dan
anarki yang banyak
kita saksikan sekarang adalah alasan
yang dilontarkan sebagian
mereka bahwa pemerintah yang
ada itu tidak
sah dan tidak
adanya bai'at setelah jatuhnya
khilafah Islamiyah ?
Jawaban :
Pembahasan tentang
sah atau tidaknya
pemerintahan-pemerintahan
yang ada harus
dilihat dari tolak
ukur yang menentukan sah
atau tidaknya pemerintahan
itu. Apakah penguasa yang
dibai'at rakyatnya secara
sah, disetujui oleh seluruh
rakyatnya sementara penguasa
itu tidak berhukum dengan hukum Allah bahkan menghapus
hukum syar'i, melarang rakyatnya menunaikan ibadah, menjauhkan mereka dari
agama dan menyebarkan syirik dan kerusakan dapat dikatakan sebagai penguasa
yang sah ? Tentu saja penguasa seperti
ini tidak bisa dikatakan sebagai penguasa yang sah, karena
ia mengajak dan memaksa rakyatnya
berbuat ilhad dan
syirik dan menumpas segala sesuatu
selainnya. Dia itu
meskipun pada awalnya dianggap sah namun menjadi tidak sah.
Penguasa lainnya
merebut kekuasaan dengan kekuatan senjata atau dinobatkan sebagai penguasa. Segenap rakyat tunduk dan
patuh kepadanya, sehingga
stabilitas keamanan tetap
terjaga, maslahat demi maslahat
dapat ditegakkan, rakyat
pun hidup dengan tenteram, semua
urusan lancar dan
beres, ketenangan tetap terpelihara,
kaum muslimin dapat
melaksanakan ibadah mereka dengan
aman dan tenang, kendati ada beberapa catatan atas penguasa itu, dapatkah kita golongkan sebagai pemerintah yang tidak sah
?
Alim ulama
menyatakan : Setiap orang yang merebut kekuasaan dengan kekuatan
lalu memerintah kaum
muslimin berdasarkan Al-Qur'an
dan As-Sunnah dan segenap rakyat tunduk dan patuh kepadanya, maka tidak boleh membangkang
pemerintahannya meskipun ia tidak
dibai'at, karena bukanlah
menjadi syarat ia harus dibaiat oleh setiap orang !
Jika seseorang
merebut kekuasaan dengan
kekuatan, segenap rakyat patuh
dan taat kepadanya,
stabilitas keamanan terjaga, maka diharamkan memberontak
terhadapnya meskipun didapati beberapa
perbuatan maksiat dan
pelanggaran syariat padanya.
Selama ia tidak
mengajak manusia kepada
kekufuran dan melarang mereka
menjalankan agama atau
menutup masjid-masjid kaum muslimin,
menyebarkan ilhad dan kekufuran serta lebih mendahulukan
orang-orang kafir dan
pelaku maksiat dan menjauhi
kaum muslimin dan
mukminin. Jika demikian keadaannya maka harus disikapi
dengan cara yang lain pula.
Jadi,
apakah maksudnya pemerintah yang sah ? Kita ingin tahu istilah pemerintah
yang sah menurut
persepsi mereka ! Jika
penguasa yang berkuasa dengan kekuatan senjata, dipatuhi dan ditaati oleh rakyat
dianggap sebagai pemerintahan yang sah ?
Jadi, untuk
mengetahui istilah pemerintahan
yang sah perlu kaidah.
Beberapa sisi telah
kami jelaskan di
atas tadi. Adapun mengaitkan persoalan
menegakkan pemerintahan yang
sah dengan khilafah Islamiyah
adalah perkara yang
tidak dapat diterima sama
sekali. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah
mengabarkan bahwa masa
khilafah rasyidah itu
adalah tiga puluh tahun
setelah itu akan
muncul penguasa-penguasa yang
otoriter.
Pertanyaan
6 :
Fadhilatusy Syaikh,
dari jawaban Anda
tadi dapat saya
pahami bahwa penguasa yang boleh
diberontak adalah penguasa
yang memaksa rakyatnya kepada syirik dan kekufuran. Dapatkah kita
pahami dari penjelasan
tersebut bahwa demi
menjaga kemaslahatan umat tidak
dibenarkan memberontak penguasa yang
tidak berhukum dengan
hukum syar'i namun
ia tidak memaksa rakyatnya
kepada kekufuran dan
masih meyakini kelayakan syariat
?
Jawaban :
Jika demikian
keadaan penguasa tersebut
maka tidak dibenarkan memberontak
pemerintahannya. Kewajiban kaum muslimin
adalah menasihatinya. Para
ulama harus kontinyu menasihatinya, dalam
hal ini kewajiban
ulama adalah harus menasihati penguasa
nasihat demi nasihat,
tahun demi tahun, bulan
demi bulan, janganlah
mereka berputus asa
dan jangan pula mengatakan:
"Kami telah memberi nasihat namun ia tidak mengacuhkannya !"
Hendaknya mereka mencari
metode yang terbaik dalam menyampaikan nasihat hingga penguasa tersebut
mendengarnya atau satu hari kelak dengan izin Allah !
Dari sisi
lainnya, para ulama
juga harus berusaha
membenahi keadaan masyarakat dengan
mengajarkan syariat dan memahamkan Dienul
Islam kepada mereka
sehingga masyarakat tersebut menjadi
masyarakat muslim yang
shalih. Dengan cara demikian nilai-nilai kebaikan akan cepat tersebar di
tengah kaum muslimin
sehingga terciptalah masyarakat
yang shalih dan beriman. Dengan demikian
pula orang-orang fasik dan pelaku maksiat
semakin terdesak dan
tidak punya tempat. Dengan cara
seperti itu pula
para pelaku maksiat terpaksa menampakkan
sesuatu yang bertentangan
dengan batinnya. Demikianlah kondisi
masyarakat pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Itulah kondisi
masyarakat muslim dari zaman ke zaman. Sedikit demi sedikit
mengalami perubahan disebabkan
penjajahan dan sebab-sebab lainnya
sehingga sangat membutuhkan pembenahan kembali.
Adapun melakukan
pemberontakan terhadap
penguasa yang tidak berhukum
dengan syariat namun
tidak juga meyakini jeleknya syariat
dan tidak mengajak
dan memerintahkan rakyatnya kepada
syirik dan kekufuran
atau minimal ia
diam, tidak menindak pelaku
maksiat dan tidak
pula mengganggu kaum muslimin
di masjid-masjid mereka.
Ia tidak menindak kedua belah
pihak tersebut serta
masih meyakini kebenaran Dienul Islam
dan meyakini bahwa
Islamlah yang layak memimpin. Akan tetapi ia belum bersedia
dan belum membantu tegaknya syariat
karena beberapa sebab yang menghalanginya, atau karena
imannya atau jiwanya
yang lemah, atau
sebab-sebab lainnya seperti khawatir beberapa keputusan
dan hukum akan terluput
ditangannya dan yang
lainnya, maka tentu
saja tidak boleh melakukan
pemberontakan terhadapnya. Bahkan selalu
saya ulangi supaya
terus menasihatinya dan
berusaha menempuh berbagai cara dalam menyampaikan nasihat tersebut
hingga pada suatu kelak penguasa itu dapat menerimanya.
Apabila masyarakat
muslim yang shalih
telah tercipta, masyarakat yang
memiliki satu ideologi dan satu pedoman yaitu hanya menunjukkan
ibadah kepada Allah
semata dan menegakkan perintah-perintahNya, dan
apabila kondisi yang ideal
telah tercipta untuk
menegakkan syariat maka
boleh jadi penguasa itu
sendirilah yang meminta
supaya berada di
atas pedoman mereka dan
meninggalkan pelanggaran syariat
yang dilakukannya ! Karena
ia menyaksikan sendiri
nilai-nilai kebaikan yang telah banyak tersebar.
Pertanyaan
7 :
Meskipun ulama
telah menjelaskan cara
yang syar'i dalam memberi
nasihat, terlebih nasihat
kepada penguasa, namun sangat
disayangkan masih ada
juga orang yang
berusaha membantah dan mencari-cari
alasan demi alasan
untuk melakukan tindakan-tindakan anarki yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
Padahal persoalan ini
telah dibatasi dengan
rambu-rambu syariat! Mereka
gembar-gemborkan ke mana-mana bahwa nasihat
dengan cara yang
syar'i bukanlah cara yang
ampuh. Mereka beralasan
bahwa cara seperti
itu tidak membawa pengaruh
apa-apa terhadap masyarakat
padahal telah berlalu sekian
tahun tanpa membawa
hasil apapun !
Demikian
kata mereka. Mereka
beranggapan bahwa untuk mengatasi kondisi seperti ini mereka
membolehkan melanggar batas-batas
syar'i yang ditetapkan Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.
Bagaimana tanggapan Anda dalam
masalah ini ?
Jawaban :
Asumsi
yang mengatakan bahwa periode memberi
nasihat dan menahan sabar sudah
berakhir, menurut saya
adalah sebuah asumsi yang
keliru. Sebab nasihat
tidaklah dibatasi dengan
jangka waktu tertentu.
Namun dibatasi dengan
cara dan etika tertentu.
Apakah
seluruh metode memberi nasihat telah dilakukan ? Dan apakah tahapan-tahapannya sudah ditempuh
?
Saya beri
contoh kasus :
Ketika dilakukan perjanjian
damai dengan Israel di salah satu negeri Islam, sebagian da'i berunjuk
rasa dan
berusaha memberontak dan
mengkafirkan penguasa negeri itu!
Ironisnya sebelumnya mereka
tidak pernah
menyinggung-nyinggung masalah
tersebut sedikitpun! Padahal sebelumnya juga
terdapat persoalan yang
lebih besar dari
itu yaitu tidak diterapkannya
syariat Allah dan
terdapat beberapa kondisi yang
sama sekali tidak
Islami, sementara para
da'i itu tidak berkomentar
sedikitpun.
Dan salah
satu bukti bahwa
permasalahan-permasalahan tidak
diletakkan sesuai dengan
tempatnya adalah perlakuan
tadi disamping masalah menekan
perdamaian dengan Yahudi boleh
jadi dibenarkan dalam
syariat sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa
sallam karena situasi
dan kondisi tertentu. Boleh
jadi penguasa meyakini
tindakannya itu mendatangkan maslahat
terlepas benar atau
tidaknya tindakah itu, lalu anehnya
mengapa permasalahan yang lebih besar dan berbahaya dari
itu tidak menjadi
alasan untuk menentang
dan memberontak penguasa tersebut
? Lalu ketika
penguasa itu menandatangani surat
perjanjian damai dengan
Yahudi segera saja kasus itu
diangkat sebagai alasan untuk memberontak dan membangkang !
Saya tegaskan
sekali lagi bahwa
sebenarnya nasihat belum dilakukan sebagaimana
mestinya dan tidak
dilakukan secara bertahap serta
tidak pula menetapkan skala prioritas yang jelas ! Ini perlu menjadi catatan
penting.
Permasalahan kedua
: Keyakinan sebagian
orang bahwa jika nasihat
telah diberikan kepada
penguasa dan ternyata
tidak diacuhkan maka wajib
melakukan pembangkangan secara terang-terangan terhadapnya,
baik pembangkangan dengan senjata maupun
dengan lisan melalui
mimbar-mimbar, koran-koran dan
melalui seluruh sarana informasi yang ada.
Satu
pertanyaan yang mesti dilontarkan kepada
mereka : Mana dalilnya jika nasihat
tidak diterima maka
kita wajib memberontak ?
Para ahli
ilmu menyatakan bahwa
kewajiban kita hanyalah memberi nasihat.
Jika nasihat itu
diberikan berulang kali
maka cara itulah yang
terbaik. Namun jika
memotong kompas yaitu melakukan pemberontakan, tentu
saja cara tersebut
sangat keliru !
Imam Ahmad
pernah ditanya :
"Ada seorang yang
kedapatan memainkan gitar, apakah
kita harus mengingkarinya ?"
Beliau menjawab : "Ya,
ingkarilah ia, jangan biarkan ia
melakukannya!" Si penanya
melanjutkan pertanyaannya :
"Bolehkah saya laporkan kepada
pemerintah ?" Beliau
menjawab : "Boleh
saja jika engkau mau !"
Perhatikanlah jawaban
beliau tersebut !
Sebuah kemungkaran yang terjadi
di negeri yang
aman, diperintah oleh
seorang penguasa muslim yang
berhukum dengan hukum
Allah akan tetapi Imam Ahmad
memberikan kebebasan kepada si penanya, ia boleh melaporkannya kepada
pemerintah atau jika tidak maka pemerintah sendirilah yang berwenang menindak
pelakunya.
Beliau menetapkan
adanya hak pengingkaran
dengan lisan, ia boleh menyatakan bahwa perkara tersebut
haram dan mungkar, sampai di situ sajalah kewajiban Anda !
Dari sini
jelaslah bahwa tidak
semua perkara mungkar
mesti dilaporkan kepada penguasa. Jika ternyata dilaporkan maka
itu merupakan salah satu
langkah melebihi kewajiban
yang dibolehkan.
Sebenarnya tugas
yang wajib diketahui
oleh penguasa, yaitu hendaknya ia memiliki
mata-mata yang melaporkan kepadanya perbuatan-perbuatan mungkar.
Sementara tugas dan kewajiban Anda telah selesai, yaitu memberi
nasihat.
Sebab pada
dasarnya nasihat itu
adalah kewajiban setiap muslim, berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang
artinya, "Agama itu
adalah nasihat" Beliau
membaginya menjadi lima bagian
: "Bagi Allah,
KitabNya, RasulNya, bagi Penguasa dan Segenap Kaum
Muslimin".
Apakah Rasul
Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengatakan bahwa setelah
menasihati penguasa engkau
harus memberontak terhadapnya ?
Apakah Rasul
Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengatakan kepada engkau
: Jika engkau
telah memberi nasihat
kepada kaum muslimin atau
kepada seorang muslim
namun ia tidak mengacuhkannya lantas engkau boleh
membunuh, mencambuk atau memukulnya dengan
alasan ia tidak
mendengarkan nasihat? Tentu saja
tidak boleh! Itu
bukan kewajiban dan kewenanganmu! Pelaksanaan
hukuman, memenjarakan,
menjatuhkan sanksi merupakan wewenang pemerintah.
Jadi engkau
tidak boleh melangkah kepada prosedur
berikutnya kecuali dengan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Menurut saya,
nasihat harus diberikan
secara kontinyu dan berkesinambungan jangan sampai putus,
tidak ada prosedur lain setelah
nasihat. Ingat !
Kewajiban Anda hanyalah
memberi nasihat. Ada beberapa cara dan metode dalam memberi nasihat.
Orang yang arif
dan bijaksana tentunya
dapat melihat bahwa banyak sekali cara dan metode yang
belum ditempuh !
Harus kita
tekankan disini bahwa
nasihat tidak dapat
dibatasi dengan waktu. Hanya orang-orang yang sempit pandangan saja yang
membatasi nasihat dengan jangka waktu tertentu. Ini jelas musibah. Sebuah
perkara yang sudah
dimaklumi oleh para dokter
bahwa pengobatan tentunya
membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti batas waktunya. Khususnya bagi penderita
penyakit kronis atau
telah menderita penyakit selama bertahun-tahun. Biasanya
ia tidak dapat
langsung sembuh dalam waktu sehari dua hari atau sebulan dua bulan.
Maka dari
itu, nasihat tidak
boleh ditindak lanjuti
dengan melakukan
pemberontakan bagaimanapun bentuknya
terhadap penguasa.
Pertanyaan
8 :
Ada
sebagian orang yang berdalil dengan hadits yang berbunyi : "Barangsiapa melihat
sebuah kemungkaran maka
ubahlah dengan tangannya, jika
tidak mampu maka
mencegahnya dengan lisan, jika
tidak mampu maka
hendaknya ia membenci kemungkaran itu
dalam hatinya, dan
itu merupakan derajat keimanan yang
paling lemah". Untuk
bertindak bila nasihat tidak diterima !
Jawaban :
Hadits diatas
tidak menunjukkan hal
tersebut. Hadits diatas dibatasi pengertiannya
dengan hadits-hadits dan
kaidah-kaidah syariat
lainnya. Di antaranya
kaidah yang berbicara
tentang maslahat dan mudharat
Hadits tersebut menjelaskan bahwa seseorang boleh merubah kemungkaran dengan tangan jika dia punya wewenang dan mampu melakukannya. Pemerintah dan aparat-aparatnya wajib merubah kemungkaran dengan tangan. Selain mereka tidak berhak merubah kemungkaran dengan tangan, namun ia berhak mencegahnya dengan lisan. Jika merubah dengan lisan dapat menimbulkan mudharat, maka cukuplah ia membencinya dalam hati. Hadits ini sebenarnya membeberkan keadaan sebagian da'i yang justru berbuat menyalahi hadits tersebut. Hadits menjelaskan tingkatan dan tahapan dalam mewujudkan maslahat.
Apabila merubah kemungkaran tidak menimbulkan efek negatif bahkan mendatangkan sisi positif maka itulah yang dituntut. Dan apabila merubahnya dengan lisan sudah cukup maka cukuplah merubahnya dengan lisan.
Dan jika ternyata bisa menimbulkan mudharat terhadap dirinya dan terhadap segenap kaum muslimin maka dalam kondisi demikian cukuplah membencinya dalam hati.
Pertanyaan
9 :
Bukankah
perbaikan umat termasuk salah satu tujuan syariat ?
Jawaban :
Sesungguhnya perbaikan
umat memang termasuk
salah satu tujuan syariat. Namun
yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara
mewujudkan perbaikan tersebut?
Pertanyaan ini harus dicarikan jawabannya!
Sekiranya kita
katakan bahwa memanfaatkan
mimbat-mimbar dan
podium-podium untuk memprovokasi
massa dan membeberkan kepada
mereka segala sesuatunya
adalah cara memperbaiki umat, maka
realita yang ada telah
menjawbnya!
Apakah umat
bertambah baik ataukah malah semakin terpecah belah? Pertanyaan
berikut jawabannya ini
menjelaskan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan maslahat tersebut!
Pertanyaan
10 :
Mereka mencela
manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama'ah yang mendahulukan dan
memperhatikan kepentingan umat.
Yaitu batasan-batasan yang telah digariskan oleh Ahlus Sunnah untuk
membangkang terhadap penguasa
yang jelas dan
nyata kekafirannya, yakni pembangkangan
itu tidak menimbulkan mudharat terhadap
masyarakat umum. Sementara
mereka beranggapan bahwa tidak
perlu memperhatikan maslahat umum, namun
sebaliknya kita mesti
siap memberikan pengorbanan
demi keberhasilan perubahan yang kita inginkan.
Jawaban :
Pertama
harus saya jelaskan
bahwa maslahat umum
harus didahulukan daripada maslahat
pribadi atau khusus.
Kedua, sesungguhnya
kemaslahatan Dienul Islam adalah
kemaslahatan seluruh umat. Namun
bukan berarti Islam itu
harus ditegakkan dengan
menumpahkan darah kaum muslimin.
Dan bukan pula dengan menggoncang
stabilitas keamanan dan
kemaslahatan kaum muslimin serta
menghancurkan kekuatan mereka
hanya untuk meraih suatu
kemaslahatan yang mungkin
berhasil atau mungkin tidak.
Dalil tentang itu
banyak terdapat di
dalam Al-Qur'an dan hadits, di
antaranya. "Artinya :
Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah
selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada
Rabb merekalah kembali mereka,
lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan"
[Al-An-am: 108]
Bukankah mencela
berhala, kekafiran dan
orang-orang kafir merupakan salah
satu kemaslahatan Islam
? Hal itu
tentu saja tidak diragukan
lagi. Tetapi apabila
orang-orang kafir berkuasa serta memiliki
kekuatan, lantas dalam kondisi
demikian mereka malah melontarkan
ucapan-ucapan yang terkadang
mereka sendiri tidak memahaminya (bahaya)nya, (maka pada waktu itu
terlarang untuk mencaci
mereka -red). Meskipun
kita tetap meyakini bahwa
mencela tuhan-tuhan mereka
adalah benar, namun tidak semua
yang kita yakini benar mesti kita katakan.
Dalam kisah seorang anak muda ashabul ukhdud terdapat dalil yang menunjukkan
adanya kaidah "mendahulukan kemaslahatan umum
dari maslahat yang
khusus". Allah telah memberikan karamah yang banyak kepada
anak muda tersebut. Ketika itu sang
raja memerintahkan anak
buahnya untuk melemparkannya dari
sebuah gunung setelah
ia menyanggah ketuhanan raja
tersebut, namun ia kembali dengan selamat. Kemudian
sang raja memerintahkan untuk melemparkannya ke laut namun
ia juga kembali
dengan selamat. Lalu
dia berkata kepada sang
raja : "Engkau
tidak akan bisa
membunuhku sampai engkau melaksanakan apa yang aku katakan". Sang
raja berkata : "Apa
yang harus aku
lakukan?" Dia berkata
: "Kumpulkanlah manusia di
suatu lapangan kemudian
saliblah aku di atas kayu dan
ambillah sebilah anak panah dari kantong anak panahku, lalu katakanlah.
"Artinya : Dengan menyebut nama Allah, Rabb anak muda ini !" Jika engkau
lakukan hal itu
niscaya engkau akan
dapat membunuhku". Begitu sang raja melakukan instruksi anak muda
itu, ia
pun berhasil membunuhnya.
Kemudian orang-orang berkata seketika
itu juga :
"Kami beriman kepada
Rabb anak muda itu!".
Coba perhatikan
! Anak muda
tersebut telah mengorbankan dirinya di
jalan Allah demi
mendahulukan kemaslahatan
masyarakat umum. Sungguh
berbeda sekali dengan
orang-orang sekarang yang
mengangkat senjata sambil
berkata pongah : "Saya
akan merubah kemungkaran
dan membunuh (orang-orang yang berbuat kemungkaran
atau membelanya) apapun yang
terjadi nanti !"
Apakah tindakan seperti
itu dibenarkan syariat !? Padahal ia sendiri tahu bahwa tindakannya itu tidak
ada faidahnya ! Dan apakah
perbuatan seperti itu terpuji!?
Jawabnya tentu tidak !
Jadi, kemaslahatan Islam bukanlah berarti
kemenanganya Dienul Islam
saja. Justru kemaslahatan Islam
adalah kemaslahatan seluruh
kaum muslimin.
Pertanyaan
11 :
Di antara
perkara yang perlu
diperhatikan juga adalah penggunaan kekerasan
dan tindak anarki
melawan kaum kafir yang
tinggal di tengah-tengah
kaum muslimin dan
menekan para pelaku maksiat dan orang fasik.
Jawaban :
Menurut
saya perbuatan seperti itu tidak layak dilakukan kecuali oleh orang-orang
yang mengatasnamakan Islam. Mereka hanya mengambil secuil
ajaran Islam dan
meninggalkan sebagian besarnya. Mereka
belum mengerti hakikat
Dienul Islam sebenarnya.
Tindakan mereka
itu jelas salah.
Apa dosa orang-orang
yang telah mendapat jaminan
keamanan itu sehingga
diperlakukan secara aniaya ?
Apakah tidak ada
balasan lain bagi
pelaku maksiat kecuali dipukul
dan dihina ?
Ataukah kita perlakukan dengan santun.
Sesungguhnya Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam sangat
penyayang kepada umatnya. beliau sangat santun kepada orang yang bersalah.
Ketika
seorang lelaki buang air kecil di masjid dan para sahabat bangkit menyerbunya,
beliau justru berkata
: "Biarkanlah dia, janganlah sakiti
dia hingga ia
menyelesaikan hajatnya".
Kemudian beliau memerintahkan
agar menyiram seember
air untuk membersihkan kotorannya. Lalu beliau memanggilnya dan
mengajarkannya dengan lembut
etika-etika Islam. Beliau jelaskan kepadanya bahwa masjid tidak
boleh digunakan untuk hal
semacam itu. Lelaki
itupun segera mengambil
air wudhu', lalu mengerjakan
shalat dua rakaat
lalu berdo'a :
"Ya Allah, curahkanlah rahmatMu
bagiku dan bagi
Muhammad dan janganlah kau
curahkan kepada selain kami berdua".
Demikian pula
ketika seorang pemuda
datang menemui beliau
meminta izin berbuat
zina, maka bagaimanakah
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
membimbingnya ? Dan bagaimanakah hasilnya ?
Janganlah jadikan
pelaku maksiat laksana
mangsa tempat kita menumpahkan kemarahan
di dalam dada!
Hal itu sangat keliru. Tidaklah dibolehkan melakukan
tindakan aniaya terhadap orang-orang
kafir yang mendapat
jaminan keamanan. Mereka datang ke negeri Islam secara damai
meskipun mereka kafir dan meskipun mereka melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan
syariat. Kita berkewajiban
meminta agar mereka tidak
melakukannya terang-terangan. Adapun melakukan tindak
aniaya terhadap mereka,
jelas hal itu merupakan
perbuatan bodoh dan
jahil. Perbuatan yang dilakukan karena
tidak mengerti syariat
Islam dan diterapkan tidak sebagaimana yang diinginkan
Allah.
Pertanyaan
12 :
Ada yang
beranggapan bahwa salah satu tuntutan syariat adalah menekan dan mengintimidasi
kaum kafir (Nasrani dan Yahudi) di tempat
ibadah-ibadah mereka. Mereka
berdalil dengan sebuah riwayat dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, disebutkan
di dalamnya perintah mendesak
orang-orang kafir ke tepi
jalan jika kaum muslimin berpapasan dengan mereka.
Jawaban :
Menyempitkan kaum
kafir di jalan-jalan
bukan berarti menyempitkan mereka
dengan tindakan yang membahayakan mereka. Apakah maksud riwayat
itu jika kita berpapasan dengan orang
kafir yang mengendarai
kendaraan lantas kita
desak ia hingga kendaraannya naik
ke trotoar, atau keluar dari ruas jalan atau hingga ia menabrak sesuatu ? Anggapan dan
ucapan seperti itu
jelas keliru !
Pemahaman seperti itu sangat picik dan salah !
Maksudnya ialah
tidak memberikan jalan
bagi mereka dalam rangka
memuliakan dan menghormati
mereka. Karena hal
itu bisa menjadi bentuk penghormatan bagi agama
mereka dan menambah kekuatan
mereka, hal itu
jelas dilarang. itulah maksud
riwayat di atas.
Bukan maksudnya kita
mendesak mereka ke pinggir
jalan, akan tetapi
teruslah kamu berjalan
di jalan yang kamu
lalui dan jangalah
kamu persilahkan mereka lewat
terlebih dahulu karena menghormati dan memuliakan mereka.
Berkaitan
dengan tempat-tempat peribadatan mereka,
tentunya persoalan ini berbeda menurut kondisi satu
negeri. Negeri yang tidak terdapat didalamnya kaum Nasrani dan Yahudi dan bukan pula
penduduk asli, maka
tidaklah diperkenankan membangun sarana
peribadatan
mereka di situ!
Jika mereka mendirikannya di rumah
mereka sendiri dan
tidak tampak tanda-tanda
rumah ibadah padanya, maka
kaum muslimin tidak
boleh memata-matai mereka di
rumah-rumah atau tempat mereka
berkumpul pada hari raya
mereka. Mereka tidak
diperkenankan menampakkannya terang-terangan.
Inilah yang
dipraktekkan di Kerajaan Saudi Arabia
dimana tidak terdapat gereja-gereja dan
tidak ada agama
yang lain selain Islam.
Adapun negeri yang
mana kaum Nasrani
dan Yahudi terhitung bagian
dari penduduknya, maka
kaum muslimin tidak boleh mendatangi
tempat-tempat ibadah mereka
untuk menekan mereka. Cara seperti itu bertentangan dengan syariat.
Namun hendaknya
kita mendakwahi mereka
kepada Dienul Islam dengan
cara yang terbaik. Menjelaskan kepada
mereka keindahan dan kesempurnaan Dienul Islam, rahmat
dan kekuasannya. Itulah yang seharusnya kita lakukan.