Islam Pedoman Hidup: Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran (4)

Selasa, 25 Oktober 2016

Koreksi Total Masalah Politik Dan Pemikiran (4)




Oleh: Kumpulan Ulama Besar Arab Saudi
________________________________________
Sumber: Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah
Edisi Indonesia (eBook) : Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, Terbitan Darul Haq,
________________________________________
Penerjemah
Al Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Maktabah Abu Salma al-Atsari

_________________________


DIALOG KETIGA : BERSAMA SYAIKH SHALIH BIN GHANIM AS SADLAN

Pertanyaan 1 :
Diantara  persoalan  yang  menimbulkan  kesamaran  sekarang  ini bagi sebagian pemuda adalah munculnya berbagai  kemaksiatan dan  kemungkaran  yang  jelas  bertentangan  dengan  ajaran agama di tengah masyarakat Islam. Kemudian pemuda-pemuda itu  menganggapnya  sebagai  masyarakat  jahiliyah.  Sangat disayangkan beberapa orang yang disebut sebagai pemikir Islam justru banyak mengobral  istilah tersebut. Tentunya Syaikh yang mulia sudah mengatahui dampak buruk dari perkataan tersebut.

Jawaban :
Ahamdulillah  Rabbil  'Alamin.  Shalawat  dan  salam  semoga tercurah  kepada  Nabi  besar  Muhammad  Shallallahu  'alaihi  wa sallam, wa ba'du.
 
Eksistensi  haq  dan  batil  serta  peperangan  antara  keduanya merupakan perkara yang sudah dimaklumi  bersama. Semenjak Adam  diturunkan  ke  bumi,  peperangan  antara  haq  dan  batil terus berlangsung. Akan tetapi jika orang-orang yang berada di atas  haq  berlaku  jujur  dan  berniat  ikhlas  niscaya  mereka  akan mendapat  pertolongan.  Namun  jika  di  antara  mereka  saling tidak  memperdulikan  dan  tercerai  berai  serta  saling  tidak memahami  dan  merujuk  kepada  kebenaran  maka  perselisihan akan semakin  meruncing  dan jurang perpecahan akan semakin melebar.  Allah  telah  mengutus  para  rasul  dan  menurunkan kitab-kitab  supaya  manusia  dapat  menegakkan  keadilan  dan kebenaran.  Sungguh  sangat  keliru  seorang  muslim  yang menunggu  masyarakat  yang  steril  dari  kemungkaran  dan hanya ada satu kebenaran tanpa ada perlawanan dari kebatilan. Kondisi  seperti  itu  tidak  mungkin  tercipta,  sunnatullah  telah menetapkan bahwa peperangan antara haq dan batil akan terus berlangsung  agar  Allah  mengetahui  siapa  saja  yang  membela agamanya  dan  siapa  yang  hidup  maka  hidupnya  diatas keterangan  yang  nyata.  Sejak  generasi  pertama  umat  ini, masyarakat  Islam  tidak  terlepas  dari  pelanggaran-pelanggaran yang  dilakukan  oleh  individu-individunya,  sebagai  buktinya adalah  pelaksanaan  hukuman-hukuman  pidana  di  zaman Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam demikian  pula di zaman Khalifah  Rasyidah dan  Khilafah-khilafah  Islamiyah dari  masa  ke masa sampai sekarang.
 
Namun  walaupun  demikian,  kaum  muslimin,  terutama  para ulama  tetap  menegakkan  dakwah  kepada  jalan  Allah  di  atas pelita  ilmu.  Menerangkan  kebenaran  dan  mengajak  manusia kembali  ke  jalan  Allah  serta  memperingatkan  manusia  dari setiap pelanggaran perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka juga  bersikap  santun  kepada  pelaku  maksiat,  mereka  anggap pelaku  maksiat  itu  seperti  orang  sakit  yang  butuh  pengobatan, tidak  mereka  jadikan  sebagai  mangsa  atau  ajang memperebutkan harta ghanimah.
 
Termasuk kaidah  dalam  aqidah Ahlus Sunnah adalah  mencintai kaum  mukminin  sesuai  dengan  kadar  keimanan  yang  mereka miliki  serta  membenci  mereka  sesuai  dengan  kadar  maksiat yang  mereka  lakukan.  Dengan  demikian  martabat  manusia berbeda-beda  sesuai  dengan  kadar  keteguhan  dan keistiqomahan  mereka  menjalankan  agama,  sesuai  dengan kedudukan  dan  kecintaan  mereka  kepada  agama  dan  sesuai dengan  kadar perintah yang  mereka lalaikan dan larangan yang mereka langgar.
 
Akan  tetapi  hal  itu  tidak  menjurus  kepada  pengkafiran, permusuhan  dan  pemutusan  hubungan  dan  mengabaikan memberikan  nasihat  dan  bersikap  santun  kepada  mereka. Bahkan  setiap  muslim  wajib  memberi  nasihat  dan  bersungguh-sungguh  dalam  menasihati  dan  membimbing  saudaranya seagama. Saya yakin,  mayoritas pemuda  muslim yang  hidup di tengah  kebangkitan  Islam  sekarang  ini  mengetahui  perkara tersebut. Memang benar, ada diantara mereka ada yang bersikap ekstrim  dan  tidak  menempatkan  persoalan  sesuai  dengan porsinya.  Mereka  tidak  menginginkan  terjadinya  pelanggaran syariat apapun bentuknya.

Bagi  mereka siapa saja yang  melalaikan persoalan ini -menurut pemahaman sebagian  mereka- tidak berhak  menjadi pemimpin dan  tidak  boleh  diserahkan  mengurus  urusan  kaum  muslimin.
 
Menurut  mereka  orang  tersebut  sama  sekali  tidak  akan  mau mengenyahkan kebatilan. Hal itu mereka lakukan tanpa meneliti dan  mempelajari  serta  memahami  persoalan  sebenarnya  dan tanpa  melihat  positif  negatif  dan  baik  buruknya.  Tanpa  melihat sebab-sebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut.  Dan tanpa  melihat  akibat  tindakan  mereka  yang  tergesa-gesa  dan terburu-buru.  Dan  tanpa  melihat  latar  belakang  terjadinnya pelanggaran-pelanggaran syariat yang dilakukan masyarakat.
 
Ternyata  segelintir  pemuda  tadi  tidak  menyelami  sisi  yang  kita sebutkan  tadi.  Bagi  mereka  cuma  ada  satu  semangat,  yaitu semangat  mengubah kemungkaran tanpa  mengetahui ilmunya. Hingga  sebagian  mereka  jika  mendengar  berita,  tanpa mengecek  kebenarannya  (apakah  benar  atau  tidak)  langsung mengomentarinya dalam  khutbah-khutbah atau  majelis-majelis. Sudah  barang  tentu,  seseorang  harusnya  mengetahui  akar permasalahannya terlebih dahulu. Apa penyebab terjadinya dan tersebarnya  pelanggaran-pelanggaran  syariat  tersebut  ?  Dan apa saja wasilah yang  mungkin  ditempuh untuk  menyelesaikan problematika  tersebut  atau  minimal  mengurangi  tersebarnya keburukan.
 
Segelintir  orang  juga  melupakan  kaidah  step  by  step  dalam menyelesaikan  masalah.  Sebenarnya  kaidah  ini  sudah  dikenal dalam  syariat  Islam,  sebagai  buktinya  adalah  dakwah  yang berkembang  setahap  demi  setahap,  maksiat  yang  dilakukan manusia pada zaman jahiliyah seperti  minum  khamar, riba, dan lainnya  juga dilarang  Islam secara bertahap.  Dibutuhkan waktu bertahun-tahun  untuk  menghilangkannya,  bukan  dengan hitungan  bulan  atau  hari  !  Segelintir  orang  sepertinya  ingin menyelesaikan problematika umat dalam waktu sekejap.
 
Mereka  ingin  segala  kerusakan  segera  teratasi  dalam  waktu sehari  atau  dalam  beberapa  jam  tanpa  memperhatikan  baik buruknya.  Dalam syariat Islam  kita ketahui bahwa  Dienul Islam datang  dengan  membawa  kaidah-kaidah  agung  yang  mesti diperhatikan diantaranya :
"Tidak  boleh  merubah  kemungkaran   yang  menimbulkan kemungkaran  yang  lebih  besar  daripada  sebelumnya  dan  tidak boleh  merubah  kemungkaran  yang  menimbulkan  kerusakan lebih besar daripada kemungkaran itu".

Dienul  Islam  mengajak  kita  agar  menciptakan  maslahat  dan menjauhi  kerusakan.  Jika  kita  dihadapkan  kepada  dua kerusakan  maka  kita  diperintahkan  untuk  memilih  kerusakan yang  paling  ringan,  demikianlah  !  Memperhatikan  dan memahami  perkara-perkara  di  atas  sangatlah  penting,  lebih-lebih  saat  tersebarnya  fitnah  yang  melumpuhkan  masyarakat. Dalam  kondisi demikian, seorang  insan hendaknya bersikap arif tidak tergesa-gesa. Apalagi di zaman yang dalam sekejap desas-desus berubah menjadi kenyataan.
 
Seorang  da'i  dituntut  bertindak  bijaksana  dan  bersikap  arif.  Di sana terdapat segelintir orang yang  memanfaatkan orang-orang awam  untuk  mencapai  ambisi  mereka.  Mereka  mendatangi sebagian orang-orang shalih yang  lalai  lalu  dimanfaatkan  untuk menyebarkan  idielogi  dan  maksud-maksud  kotor  mereka. Dengan  rapi  mereka  rancang  hal  itu  selama  berbulan-bulan bahkan  bertahun-tahun  untuk  dapat  menjerat  orang  shalih tersebut  dalam jaring-jaring  mereka.  Lalu  mereka  ikat  jaring-jaring  tersebut  hingga  orang  shalih  tersebut  bagaikan  lembu dicocok hidungnya di tangan mereka.
 
Seorang  muslim  hendaknya  mengetahui  masalah  ini  dan hendaknya  menyadari  bahwa  sebuah  masyarakat  Islam  harus menghormati  ulama  dan  orang  yang  lebih  senior  diantara mereka.  Kita  semua  wajib  berjalan  di  atas  pedoman  Salafush Shalih,  diantaranya  adalah  menghormati  ulama.  Hingga sekalipun  seseorang  merasa  maslahat  yang  dikatakannya  lebih besar daripada  maslahat yang  dikatakan oleh  ulama yang lebih senior daripadanya. Ia harus diam dan tidak boleh  menyanggah orang yang lebih senior daripadanya.
 
Sebagai  contoh  Ibnu  Abbas  Radhiyallahu  'anhu  memiliki beberapa  pendapat,  sementara  Umar  bin  Khaththab Radhiyallahu  'anhu  memilih  bermusyawarah  dengan  sahabat-sahabat  yang  lebih  senior,  Ibnu  Abbas  tidaklah mengomentarinya.  Ketika  Umar  bin  Khaththab  pergi  barulah Ibnu  Abbas  angkat  bicara.  Ditanyakan  kepadanya  :  "Mengapa  anda  tidak  berbiacara  di  hadapan  Umar?  Beliau  menjawab  : "Tidaklah  pantas  saya  berbicara  dihadapan  para  syaikh"
 
Demikian  pula  Abullah  bin  Mas'ud  dan  Abdullah  bin  Umar Radhiyallahu  anhuma  serta  sahabat-sahabat  lainnya Radhiyallahu  'anhum,  mereka  sangat  menghormati  ulama. Namun  realita   yang  kita  temukan  sekarang,  banyak  oknum yang  melecehkan  ulama.  Padahal  kepada  ulamalah  solusi problematika  umat  ini  diserahkan.  Kita  dapati  sebagian  oknum menjuluki  ulama  dengan   gelar-gelar  yang  tidak  pantas.  Kita tandaskan  bahwa  seorang  penuntut  ilmu  bahkan  juga  seorang mukmin  tidak  pantas  melakukannya.  Perbuatan  itu  hanya pantas  dilakukan  oleh  orang  kafir  yang  alergi  terhadap kebenaran.  Sebagian  kecil  pemuda  yang  masih  hijau melemparkan  kesalahan  ini  tanpa  melihat  akibatnya,  ia membeberkannya  tanpa  menyadari  akibat  buruk  yang  bakal terjadi.
 
Maksudnya  saya  ingin  mengajak  pemuda-pemuda  itu  supaya bersikap  arif  dan  tidak  keburu  nafsu,  menghormati  ulama  dan menimbang  maslahat  orang  banyak.  Hendaknya  mereka memperhatikan  akibat  buruk  dari  perkataan  yang  mereka ucapkan.

Pertanyaan 2 :
Fadhilatus  Syaikh,  bolehkah  menggunakan  istilah  jahiliyah  bagi masyarakat  Islam  sekarang  ini,  mengingat   pelanggaran-pelanggaran  syari'at  yang  terjadi  di  dalamnya,  terlebih masyarakat tersebut tidak berhukum dengan hukum Alllah ?

Jawaban :
Allah  Subhanahu  wa  Ta'ala  telah  memerintahkan  istri-istri  Nabi Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  yang  juga  merupakan  perintah kepada segenap wanita muslimah :
"Artinya  :  ...dan  janganlah  kamu  berhias  dan  bertingkah  laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu" [Al-Ahzab : 33]
 
Telah dimaklumi bersama bahwa  jahiliyah yang terdahulu telah mecapai  titik  klimaks  dalam  melanggar  perintah  Allah,  seperti syirik,  khurafat,  bid'ah  dan  kesesatan  yang  membuat  orang menertawakan  dirinya  sendiri  saking  jelek  dan  hinanya perbuatan yang dilakukannya.
 
Masyarakat  Islam  yang  ditegakkan  di  dalamnya  ibadah  shalat dan  hukum-hukum  Allah,  ditegakkan  di  dalamnya  amar  ma'ruf nahi  mungkar tidak boleh  dijuluki sebagai  masyarakat jahiliyah.  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  telah  memperingatkan kita dari adat-adat jahiliyah, beliau bersabda.
"Artinya : Empat perkara jahiliyah yang masih dilakukan umatku :  Berbangga-bangga  dengan  kebesaran  leluhur,  mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang dan mendatangi dukun"

Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  menjelaskan  bahwa keempat  perkara  tersebut  termasuk  jahiliyah.  Namun  beliau tidak  mensifatkan  umat  ini   sebagai  umat  jahiliyah  secara umum.  Ditengah  masyarakat  mungkin  saja  terjadi  perkara-perkara  jahiliyah.  Namun  sangat  keliru  jika  mensifati  umat  ini sebagai  umat  jahiliyah  jauh  dari  Islam  !  Hal  itu  merupakan perbuatan  yang  tidak  menempatkan  sesuatu  pada  tempatnya dan  termasuk  melampui  batas  syar'i.  Adapun  masyarakat  yang telah sirna dan hilang syiar-syiar Islam di dalamnya dan tampak nyata  syiar-syiar  kufur,  syirik,  ilhad  dan  paganisme,  maka tidaklah berlebihan jika dikatakan sebagai masyarakat jahiliyah.
 
Pertanyaan 3 :
Bagaimanakah  hukumnya  masyarakat  yang  didalamnya  masih ditegakkan  shalat  dan  syiar-syiar  Islam  lainnya,  namun  tidak berhukum  dengan hukum-hukum  Allah  sekalipun  mayoritas individunya  menghendaki  ditegakkannya  hukum  syar'i.  Sebagai catatan, penggunaan istilah jahiliyah terhadap masyarakat Islam tersebut  dijadikan  sebagai  alasan  oleh  sebagian  orang  untuk menjauhkan  diri  dari  masyarakat  dan  membangkang pemerintah, serta dijadikan sebagai alasan untuk menggunakan kekerasan  dan  tindakan-tindakan  lainnya  sebagai  konsekuensi vonis  kafir  yang  dijatuhkan,  seperti penghalalan  darah,  harta dan kehormatan orang lain !

Jawaban :
Seorang  insan  hendaknya  selalu  memperhatikan  dampak  dari setiap ucapan dan tindakannya terhadap orang  lain. Jika  istilah masyarakat  jahiliyah  yang  diucapkannya  lebih  dari  sekedar julukan biasa dan bermaksud untuk  menjatuhkan vonis tertentu atas masyarakat tersebut yaitu vonis kafir dan wajib keluar dan menjauhkan  diri  dari  masyarakat  tersebut,  maka  jelas  tidak benar  dan  merupakan  maksud  yang  jelek.  Dikhawatirkan  amal pelakunya akan terhapus jika yang ia maksudkan adalah seperti diatas.
 
Dia  ingin  menetapkan  bahwa  istilah  jahiliyah  ini  sama  dengan jatuhnya vonis  kafir. Sebagai  konsekwensinya ia  membangkang pemerintah  dan  berusaha  menjatuhkan,  menyerang  dan menekan penguasa. Saya tandaskan : "Cara seperti ini bukanlah cara  yang  Islami,  akan  tetapi  cara  yang  rusak  yang  disusupi maksud dan i'tikad jelek. Hal itu kelihatan dari beberapa sisi :
 
Pertama : Oknum-oknum yang  melakukan perbuatan seperti itu dan  yang  menganggap  masyarakat  yang  dijuluki  sebagai masyarakat  jahiliyah  adalah  masyarakat  kafir  yang  wajib menjauhkan  diri  darinya  walau  apapun  akibatnya,  sangat  jelas kelihatan bahwa mereka adalah :
1.  Orang  yang  dikenal  tidak  punya  hikmah,  ilmu  dan pengkajian tentang akibat buruk tindakan mereka.
2.  Orang-orang  yang  mengasingkan  diri  dari  masyarakat yang mayoritas  atau  bahkan  seluruh  penduduknya  kaum muslimin.  Sebenarnya  tiada  kuasa  bagi  mereka  untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Setelah menarik diri dari masyarakat merekapun menumpahkan darah kaum muslimin demi mewujudkan  satu tujuan, yaitu menekan pengusa.
 
Merekapun  menghalalkan  darah  kaum  muslimin  yang  masih loyal  kepada  penguasa  tersebut  dan  masih  bekerja  dalam jajaran  pemerintahannya  kendatipun  mereka  adalah  kaum muslimin yang taat menegakkan shalat !
 
Mengapa  mereka  menghalalkan darah  kaum  muslimin ? Jawab mereka  karena  penguasa  mereka  tidak  berhukum  dengan hukum  Allah  dan  memakai  undang-undang  buatan  manusia. Dan  disebabkan  pemerintah  membiarkan  khamar  dan  zina terang-terangan tersebar di wilayah mereka.
 
Boleh jadi  realita tersebut benar! Akan tetapi apakah  penguasa itu  yang  memerintahkannya  ?  Apakah  ia  memaksa  rakyatnya berbuat  demikian  ?  Dari  sisi  lain,  apa  hasilnya  membunuh  dan menumpahkan  darah  kaum  muslimin  ?  Padahal  dalam  hadits disebutkan. "Artinya  : Binasanya  dunia  dan  seluruh  isinya  lebih  ringan ketimbang tertumpahnya darah seorang muslim"
Orang-orang  yang  bertindak  demikian  tentunya  tidak mempertimbangkan akibat tersebut.

Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, pembangkangan tidak  menghasilkan  maslahat  apapun.  Kami  menyarankan mereka supaya  memperhatikan akibat perbuatan  mereka,  mulai mereka  melakukannya  hingga  detik  ini.  Bukankah  hasil  yang dapat dilihat hanyalah kerusakan dan mudharat yang besar bagi umat dan bagi  mereka sendiri ? Jelaslah  mereka tidak  memiliki kekuatan  dan  kemampuan  yang  seimbang  dengan  kekuatan yang mereka lawan !
 
Akibat perbuatan mereka, penguasa berubah memusuhi orang-orang  shalih,  para  da'i  dan  yayasan-yayasan  Islamiyah  yang tidak ada hubungannya dengan tindak kekerasan tersebut.
 
Akan  tetapi  dalam  hal  ini  penguasa  tidak  bisa  mendeteksi  dan membedakan  niat  masing-masing  orang,  mana  yang  bersalah dan yang tidak.
 
Yang  jelas,  bagi  siapa  saja  yang  memperhatikan  dengan seksama  tentunya  mengetahui  bahwa  mudharat  yang  timbul akibat cara-cara seperti  itu lebih besar daripada  maslahat yang diharapkan !
 
Dan  juga  salah  satu  dampak  negatifnya  adalah  terganggunya aktifitas dakwah. Pemerintah punya alasan untuk  mengusir dan menekan  para  da'i  disebabkan  perbuatan  orang-orang  pandir yang  memerangi  menteri  dan  militer  atau  aparat  pemerintah  lainnya.  Sehingga  mereka  menjadi  bahan  pembicaraan masyarakat dan  menjuluki  mereka sebagai teroris. Secara tidak sengaja  mereka  telah  membangunkan  musuh  untuk  melawan mereka.  Dengan  demikian  musuh  pun  bebas  membuat perangkap  dan  makar  untuk  menumpas  setiap  kebaikan  yang ada pada mereka.
 
Pertanyaan 4 :
Fadhilatus  Syaikh,  mereka  beralasan  dengan  permasalahan kafirnya orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan  beragumentasi  dengan  fatwa  yang  dikeluarkan  oleh sebagian  ulama  dalam  masalah  ini.  Apakah  kekufuran tersebut memang  kekufuran  secara  mutlak  yang  merupakan  sebab wajibnya membangkang dan memberontak penguasa ?

Jawaban :
Fatwa  yang  dikeluarkan  oleh  ulama  tentang  kafirnya  orang-orang  yang  tidak  berhukum  dengan  hukum  Allah  kebanyakan memang  benar  adanya  !  Bahkan  beberapa  buku  telah  ditulis oleh  para  ulama  berkaitan  dengan  masalah  ini,  bersandarkan kepada beberapa ayat dan hadits.
 
Vonis kafir, zhalim dan fasik yang dijatuhkan kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah ketetapan syari'at ! Itu  adalah  perkara  yang  selalu  kita  sebutkan  berulang  kali  dan kita yakini bersama!
Akan  tetapi  perlu  diketahui  bahwa  berhukum  dengan  selain hukum Allah ada dua :
Pertama  :  Menghalalkan  hukum  selain  hukum  Allah  dan meyakini bahwa syariat Islam tidak layak diterapkan selamanya.
Kedua  :  Meyakini  bahwa  syariat  Islam  layak  diterapkan  dan sudah  sempurna.  Akan  tetapi  keputusan  terakhir  bukan  di tangannya  dan  bukan  pula  di  bawah  kuasa  seseorang, perumpamaannya  seperti  seorang  muslim  yang  melakukan maksiat  tanpa  menghalalkannya.  Seperti  orang  yang  minum khamar, ia  meyakini bahwa perbuatan itu adalah  maksiat, akan tetapi  ia  telah  dikuasai  syahwat.  Keadaannya  tentu  berbeda dengan  orang  yang  meyakini  khamar  halal  tidak  terlarang sekalipun  ia  tidak  meminumnya,  atau  tidak  meyakini  wajibnya shalat lima waktu, orang seperti ini dihukumi kafir.
 
Kami  tegaskan  bahwa  masalah  pengkafiran  orang  yang  tidak berhukum  dengan  hukum  Allah  ada  perinciannya.  Tidak  boleh menjatuhkan  hukum  kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum  dengan  hukum  Allah  secara  mutlak  sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.
 
Persoalan kedua : Kendati ayat menyatakan : "Artinya  :  Barangsiapa  yang  tidak  memutuskan  menurut  apa yang  diturunkan  Allah,  maka  mereka  itu  adalah  orang-orang yang kafir" [Al-Maidah : 44]

Namun,  adakah  perintah  memberontak  dan  membangkang penguasa  yang  dapat  menimbulkan  kerusakan  dan  mafsadat yang  besar  dan  dapat  membahayakan  kelanggengan  dakwah dan keselamatan para da'i?
 
Memang  kita  tetap  menyatakan  bahwa  siapa  saja  yang  tidak berhukum dengan  hukum Allah  maka  ia termasuk orang-orang kafir  (dengan  perincian  diatas  tadi).  Namun  di  sisi  lain  kita menyatakan : Tidak dibenarkan  membangkang penguasa yang tidak  mendatangkan  maslahat  bahkan  justru  mendatangkan mafsadat.  Hal  itu  hanya  boleh  dilakukan  jika  seluruh  kaum muslimin  bersatu  padu,  duduk  berdialog  untuk  menasihati penguasa  tersebut,  para  ulama  dan  orang-orang  yang  shalih juga  banyak  jumlahnya  dan  seluruh  rakyat  tidak  menghendaki penguasa  itu  terus  memimpin  serta  seluruh  masyarakat menentangnya.  Dalam  kondisi  demikian  kaum  muslimin  boleh menurunkan penguasa itu jika mereka yakin dapat mewujudkan harapan  mereka  meskipun  masih  tersisa  segelintir  orang  yang pro penguasa dan para pendukungnya.
 
Adapun  kondisi  yang  kita  saksikan  sekarang  ini,  tindak pemberontakan  dan  pembangkangan  merupakan  tindakan bodoh, tergesa-gesa dan tanpa ada alasan yang jelas.

Pertanyaan 5 :
Diantara  persoalan  yang  dijadikan  alasan  melakukan  tindak kekerasan  dan  anarki  yang  banyak  kita  saksikan  sekarang adalah  alasan  yang  dilontarkan  sebagian  mereka  bahwa pemerintah  yang  ada  itu  tidak  sah  dan  tidak  adanya  bai'at setelah jatuhnya khilafah Islamiyah ?

Jawaban :
Pembahasan  tentang  sah  atau  tidaknya  pemerintahan-pemerintahan  yang  ada  harus  dilihat  dari  tolak  ukur  yang menentukan  sah  atau  tidaknya  pemerintahan  itu.  Apakah penguasa  yang  dibai'at  rakyatnya  secara  sah,  disetujui  oleh seluruh  rakyatnya  sementara  penguasa  itu  tidak  berhukum dengan hukum Allah bahkan menghapus hukum syar'i, melarang rakyatnya menunaikan ibadah, menjauhkan mereka dari agama dan menyebarkan syirik dan kerusakan dapat dikatakan sebagai penguasa yang sah ? Tentu saja penguasa seperti  ini tidak bisa dikatakan sebagai penguasa yang sah,  karena  ia  mengajak dan memaksa  rakyatnya  berbuat  ilhad  dan  syirik  dan  menumpas segala  sesuatu  selainnya.  Dia  itu  meskipun  pada  awalnya dianggap sah namun menjadi tidak sah.
 
Penguasa  lainnya  merebut  kekuasaan dengan  kekuatan senjata atau dinobatkan sebagai  penguasa. Segenap rakyat tunduk dan patuh  kepadanya,  sehingga  stabilitas  keamanan  tetap  terjaga, maslahat  demi  maslahat  dapat  ditegakkan,  rakyat  pun  hidup  dengan  tenteram,  semua  urusan  lancar  dan  beres,  ketenangan tetap  terpelihara,  kaum  muslimin  dapat  melaksanakan  ibadah mereka dengan aman dan tenang, kendati ada beberapa catatan atas penguasa itu, dapatkah  kita golongkan sebagai pemerintah yang tidak sah ?
 
Alim ulama menyatakan : Setiap orang yang merebut kekuasaan dengan  kekuatan  lalu  memerintah  kaum  muslimin  berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan segenap rakyat tunduk dan patuh kepadanya,  maka tidak boleh  membangkang  pemerintahannya meskipun  ia  tidak  dibai'at,  karena  bukanlah  menjadi  syarat  ia harus dibaiat oleh setiap orang !
 
Jika  seseorang  merebut  kekuasaan  dengan  kekuatan,  segenap rakyat  patuh  dan  taat  kepadanya,  stabilitas  keamanan  terjaga, maka diharamkan memberontak terhadapnya meskipun didapati beberapa  perbuatan  maksiat  dan  pelanggaran  syariat padanya. Selama  ia  tidak  mengajak  manusia  kepada  kekufuran  dan melarang  mereka   menjalankan  agama  atau  menutup  masjid-masjid kaum  muslimin,  menyebarkan ilhad dan kekufuran serta lebih  mendahulukan  orang-orang  kafir  dan  pelaku  maksiat  dan menjauhi  kaum  muslimin  dan  mukminin.  Jika  demikian keadaannya maka harus disikapi dengan cara yang lain pula.
 
Jadi, apakah  maksudnya  pemerintah yang sah ?  Kita ingin tahu istilah  pemerintah  yang  sah  menurut  persepsi  mereka  !  Jika penguasa yang berkuasa dengan kekuatan senjata, dipatuhi dan ditaati oleh rakyat dianggap sebagai pemerintahan yang sah ?

Jadi,  untuk  mengetahui  istilah  pemerintahan  yang  sah  perlu kaidah.  Beberapa  sisi  telah  kami  jelaskan  di  atas  tadi.  Adapun mengaitkan  persoalan  menegakkan  pemerintahan  yang  sah dengan  khilafah  Islamiyah  adalah  perkara  yang  tidak  dapat diterima  sama  sekali.  Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam telah  mengabarkan  bahwa  masa  khilafah  rasyidah  itu  adalah tiga  puluh  tahun  setelah  itu  akan  muncul  penguasa-penguasa yang otoriter.
 
Pertanyaan 6 :
Fadhilatusy  Syaikh,  dari  jawaban  Anda  tadi  dapat  saya  pahami bahwa penguasa  yang  boleh  diberontak  adalah  penguasa  yang memaksa rakyatnya kepada syirik dan kekufuran. Dapatkah kita pahami  dari  penjelasan  tersebut  bahwa  demi  menjaga kemaslahatan  umat  tidak  dibenarkan  memberontak  penguasa yang  tidak  berhukum  dengan  hukum  syar'i  namun  ia  tidak memaksa  rakyatnya  kepada  kekufuran  dan  masih  meyakini kelayakan syariat ?

Jawaban :
Jika  demikian  keadaan  penguasa  tersebut  maka  tidak dibenarkan  memberontak  pemerintahannya.  Kewajiban  kaum muslimin  adalah  menasihatinya.  Para  ulama  harus  kontinyu menasihatinya,  dalam  hal  ini  kewajiban  ulama  adalah  harus menasihati  penguasa  nasihat  demi  nasihat,  tahun  demi  tahun, bulan  demi  bulan,  janganlah  mereka  berputus  asa  dan  jangan pula mengatakan: "Kami telah memberi nasihat namun ia tidak mengacuhkannya  !"  Hendaknya  mereka  mencari  metode  yang terbaik dalam  menyampaikan nasihat hingga penguasa tersebut mendengarnya atau satu hari kelak dengan izin Allah !
 
Dari  sisi  lainnya,  para  ulama  juga  harus  berusaha  membenahi keadaan  masyarakat  dengan  mengajarkan  syariat  dan memahamkan  Dienul  Islam  kepada  mereka  sehingga masyarakat  tersebut  menjadi  masyarakat  muslim  yang  shalih. Dengan cara demikian nilai-nilai kebaikan akan cepat tersebar di tengah  kaum  muslimin  sehingga  terciptalah  masyarakat  yang shalih  dan  beriman. Dengan  demikian  pula  orang-orang  fasik dan pelaku  maksiat  semakin  terdesak  dan  tidak  punya tempat. Dengan  cara  seperti  itu  pula  para  pelaku  maksiat terpaksa  menampakkan  sesuatu  yang  bertentangan  dengan batinnya.  Demikianlah  kondisi  masyarakat  pada  zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Itulah kondisi masyarakat muslim dari zaman ke zaman. Sedikit demi  sedikit  mengalami  perubahan  disebabkan  penjajahan  dan sebab-sebab  lainnya  sehingga  sangat  membutuhkan pembenahan kembali.
 
Adapun  melakukan  pemberontakan  terhadap penguasa  yang tidak  berhukum  dengan  syariat  namun  tidak  juga  meyakini jeleknya  syariat  dan  tidak  mengajak  dan  memerintahkan rakyatnya  kepada  syirik  dan  kekufuran  atau  minimal  ia  diam, tidak  menindak  pelaku  maksiat  dan  tidak  pula  mengganggu kaum  muslimin  di  masjid-masjid  mereka.  Ia  tidak  menindak kedua  belah  pihak  tersebut  serta  masih  meyakini  kebenaran Dienul  Islam  dan  meyakini  bahwa  Islamlah  yang  layak memimpin. Akan tetapi ia belum bersedia dan belum membantu tegaknya syariat  karena beberapa sebab yang menghalanginya, atau  karena  imannya  atau  jiwanya  yang  lemah,  atau  sebab-sebab  lainnya seperti  khawatir beberapa  keputusan  dan  hukum akan  terluput  ditangannya  dan  yang  lainnya,  maka  tentu  saja tidak  boleh  melakukan  pemberontakan  terhadapnya.  Bahkan selalu  saya  ulangi  supaya  terus  menasihatinya  dan  berusaha menempuh berbagai cara dalam menyampaikan nasihat tersebut hingga pada suatu kelak penguasa itu dapat menerimanya.
 
Apabila  masyarakat  muslim  yang  shalih  telah  tercipta, masyarakat yang memiliki satu ideologi dan satu pedoman yaitu hanya  menunjukkan  ibadah  kepada  Allah  semata  dan menegakkan  perintah-perintahNya,  dan  apabila  kondisi  yang ideal  telah  tercipta  untuk  menegakkan  syariat  maka  boleh  jadi penguasa  itu  sendirilah  yang  meminta  supaya  berada  di  atas pedoman  mereka  dan  meninggalkan  pelanggaran  syariat  yang dilakukannya  !  Karena  ia  menyaksikan  sendiri  nilai-nilai kebaikan yang telah banyak tersebar.

Pertanyaan 7 :
Meskipun  ulama  telah  menjelaskan  cara  yang  syar'i  dalam memberi  nasihat,  terlebih  nasihat  kepada  penguasa,  namun sangat  disayangkan  masih  ada  juga  orang  yang  berusaha membantah  dan  mencari-cari  alasan  demi  alasan  untuk melakukan tindakan-tindakan anarki yang  banyak terjadi akhir-akhir  ini.  Padahal  persoalan  ini  telah  dibatasi  dengan  rambu-rambu  syariat!  Mereka  gembar-gemborkan  ke  mana-mana bahwa  nasihat  dengan  cara  yang  syar'i  bukanlah  cara  yang ampuh.  Mereka  beralasan  bahwa  cara  seperti  itu  tidak membawa  pengaruh  apa-apa  terhadap  masyarakat  padahal telah  berlalu  sekian  tahun  tanpa  membawa  hasil  apapun  !
Demikian kata mereka. Mereka beranggapan  bahwa  untuk mengatasi  kondisi seperti  ini mereka  membolehkan  melanggar  batas-batas  syar'i  yang ditetapkan  Ahlus  Sunnah  wal  Jama'ah.  Bagaimana  tanggapan Anda dalam masalah ini ?

Jawaban :
Asumsi yang  mengatakan bahwa periode  memberi  nasihat dan menahan  sabar  sudah  berakhir,  menurut  saya  adalah  sebuah asumsi  yang  keliru.  Sebab  nasihat  tidaklah dibatasi  dengan jangka  waktu  tertentu.  Namun  dibatasi  dengan  cara  dan  etika tertentu.
Apakah seluruh  metode  memberi nasihat telah dilakukan ?  Dan apakah tahapan-tahapannya sudah ditempuh ?
Saya  beri  contoh  kasus  :  Ketika  dilakukan  perjanjian  damai dengan Israel di salah satu negeri Islam, sebagian da'i berunjuk rasa  dan  berusaha  memberontak  dan  mengkafirkan  penguasa negeri  itu!  Ironisnya  sebelumnya  mereka  tidak  pernah menyinggung-nyinggung masalah  tersebut  sedikitpun!  Padahal sebelumnya  juga  terdapat  persoalan  yang  lebih  besar  dari  itu yaitu  tidak  diterapkannya  syariat  Allah  dan  terdapat  beberapa kondisi  yang  sama  sekali  tidak  Islami,  sementara  para  da'i  itu tidak berkomentar sedikitpun.
 
Dan  salah  satu  bukti  bahwa  permasalahan-permasalahan  tidak diletakkan  sesuai  dengan  tempatnya  adalah  perlakuan  tadi disamping  masalah  menekan  perdamaian dengan Yahudi  boleh jadi  dibenarkan  dalam  syariat  sebagaimana  yang  dilakukan Rasulullah  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  karena  situasi  dan kondisi  tertentu.  Boleh  jadi  penguasa  meyakini  tindakannya  itu mendatangkan  maslahat  terlepas  benar  atau  tidaknya tindakah itu, lalu anehnya  mengapa permasalahan  yang  lebih besar dan berbahaya  dari  itu  tidak  menjadi  alasan  untuk  menentang  dan memberontak  penguasa  tersebut  ?  Lalu  ketika  penguasa  itu menandatangani  surat  perjanjian  damai  dengan  Yahudi  segera saja kasus itu diangkat sebagai alasan  untuk  memberontak dan membangkang !
Saya  tegaskan  sekali  lagi  bahwa  sebenarnya  nasihat  belum dilakukan  sebagaimana  mestinya  dan  tidak  dilakukan  secara bertahap serta tidak pula menetapkan skala prioritas yang jelas ! Ini perlu menjadi catatan penting.
 
Permasalahan  kedua  :  Keyakinan  sebagian  orang  bahwa  jika nasihat  telah  diberikan  kepada  penguasa  dan  ternyata  tidak diacuhkan  maka  wajib  melakukan  pembangkangan  secara terang-terangan  terhadapnya,  baik  pembangkangan  dengan senjata  maupun  dengan  lisan  melalui  mimbar-mimbar,  koran-koran dan melalui seluruh sarana informasi yang ada.
 
Satu pertanyaan yang  mesti dilontarkan  kepada  mereka : Mana dalilnya  jika  nasihat  tidak  diterima  maka  kita  wajib memberontak ?
 
Para  ahli  ilmu  menyatakan  bahwa  kewajiban  kita  hanyalah memberi  nasihat.  Jika  nasihat  itu  diberikan  berulang  kali  maka cara  itulah  yang  terbaik.  Namun  jika  memotong  kompas  yaitu melakukan  pemberontakan,  tentu  saja  cara  tersebut  sangat keliru !
Imam  Ahmad  pernah  ditanya  :  "Ada  seorang  yang  kedapatan memainkan  gitar,  apakah  kita  harus  mengingkarinya  ?"  Beliau menjawab :  "Ya, ingkarilah ia,  jangan biarkan  ia  melakukannya!"  Si  penanya  melanjutkan  pertanyaannya  :  "Bolehkah  saya laporkan  kepada  pemerintah  ?"  Beliau  menjawab  :  "Boleh  saja jika engkau mau !"

Perhatikanlah  jawaban  beliau  tersebut  !  Sebuah  kemungkaran yang  terjadi  di  negeri  yang  aman,  diperintah  oleh  seorang penguasa  muslim  yang  berhukum  dengan  hukum  Allah  akan tetapi Imam Ahmad memberikan kebebasan kepada si penanya, ia boleh melaporkannya kepada pemerintah atau jika tidak maka pemerintah sendirilah yang berwenang menindak pelakunya.
Beliau  menetapkan  adanya  hak  pengingkaran  dengan  lisan,  ia boleh menyatakan bahwa perkara tersebut haram dan mungkar, sampai di situ sajalah kewajiban Anda !
 
Dari  sini  jelaslah  bahwa  tidak  semua  perkara  mungkar  mesti dilaporkan  kepada  penguasa. Jika ternyata dilaporkan  maka  itu merupakan  salah  satu  langkah  melebihi  kewajiban  yang dibolehkan.
 
Sebenarnya  tugas  yang  wajib  diketahui  oleh  penguasa,  yaitu hendaknya ia  memiliki  mata-mata yang  melaporkan  kepadanya perbuatan-perbuatan  mungkar. Sementara tugas dan  kewajiban Anda telah selesai, yaitu memberi nasihat.
 
Sebab  pada  dasarnya  nasihat  itu  adalah  kewajiban  setiap muslim,  berdasarkan  sabda  Nabi  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam yang  artinya,  "Agama  itu  adalah  nasihat"  Beliau  membaginya menjadi  lima  bagian  :  "Bagi  AllahKitabNyaRasulNya,  bagi Penguasa dan Segenap Kaum Muslimin".
Apakah  Rasul  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  mengatakan  bahwa setelah  menasihati  penguasa  engkau  harus  memberontak terhadapnya ?
Apakah  Rasul  Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  mengatakan  kepada engkau  :  Jika  engkau  telah  memberi  nasihat  kepada  kaum muslimin  atau  kepada  seorang  muslim  namun  ia  tidak mengacuhkannya lantas engkau boleh membunuh, mencambuk atau  memukulnya  dengan  alasan  ia  tidak  mendengarkan nasihat?  Tentu  saja  tidak  boleh!  Itu  bukan  kewajiban  dan kewenanganmu!  Pelaksanaan  hukuman,  memenjarakan, menjatuhkan sanksi merupakan wewenang pemerintah.
 
Jadi engkau tidak boleh  melangkah kepada prosedur berikutnya kecuali dengan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
 
Menurut  saya,  nasihat  harus  diberikan  secara  kontinyu  dan berkesinambungan jangan sampai putus, tidak ada prosedur lain setelah  nasihat.  Ingat  !  Kewajiban  Anda  hanyalah  memberi nasihat. Ada beberapa cara dan metode dalam memberi nasihat. Orang  yang  arif  dan  bijaksana  tentunya  dapat  melihat  bahwa banyak sekali cara dan metode yang belum ditempuh !
 
Harus  kita  tekankan  disini  bahwa  nasihat  tidak  dapat  dibatasi dengan waktu. Hanya orang-orang yang sempit pandangan saja yang membatasi nasihat dengan jangka waktu tertentu. Ini jelas musibah.  Sebuah  perkara  yang  sudah  dimaklumi  oleh  para dokter  bahwa pengobatan tentunya  membutuhkan waktu yang  tidak dapat ditentukan secara pasti batas waktunya.  Khususnya bagi  penderita  penyakit  kronis  atau  telah  menderita  penyakit selama  bertahun-tahun.  Biasanya  ia  tidak  dapat  langsung sembuh dalam waktu sehari dua hari atau sebulan dua bulan.
 
Maka  dari  itu,  nasihat  tidak  boleh  ditindak  lanjuti  dengan melakukan  pemberontakan  bagaimanapun  bentuknya  terhadap penguasa.
 
Pertanyaan 8 :
Ada sebagian orang yang berdalil dengan hadits yang berbunyi : "Barangsiapa  melihat  sebuah  kemungkaran  maka  ubahlah dengan  tangannya,  jika  tidak  mampu  maka  mencegahnya dengan  lisan,  jika  tidak  mampu  maka  hendaknya  ia  membenci kemungkaran  itu  dalam  hatinya,  dan  itu  merupakan  derajat keimanan  yang  paling  lemah"Untuk  bertindak  bila  nasihat tidak diterima !

Jawaban :
Hadits  diatas  tidak  menunjukkan  hal  tersebut.  Hadits  diatas dibatasi  pengertiannya  dengan  hadits-hadits  dan  kaidah-kaidah syariat  lainnya.  Di  antaranya  kaidah  yang  berbicara  tentang maslahat dan mudharat

Hadits  tersebut  menjelaskan  bahwa  seseorang  boleh  merubah kemungkaran  dengan  tangan  jika  dia  punya  wewenang  dan mampu melakukannya. Pemerintah dan aparat-aparatnya wajib merubah  kemungkaran  dengan  tangan.  Selain  mereka  tidak berhak merubah kemungkaran dengan tangan, namun ia berhak mencegahnya  dengan  lisan.  Jika  merubah  dengan  lisan  dapat menimbulkan mudharat, maka cukuplah ia membencinya dalam hati. Hadits ini sebenarnya membeberkan keadaan sebagian da'i yang  justru  berbuat  menyalahi  hadits  tersebut.  Hadits menjelaskan  tingkatan  dan  tahapan  dalam  mewujudkan maslahat. 

Apabila  merubah  kemungkaran  tidak  menimbulkan efek negatif bahkan mendatangkan sisi positif maka itulah yang dituntut.  Dan  apabila  merubahnya  dengan  lisan  sudah  cukup maka cukuplah merubahnya dengan lisan.

Dan jika ternyata bisa  menimbulkan  mudharat terhadap dirinya dan  terhadap  segenap  kaum  muslimin  maka  dalam  kondisi demikian cukuplah membencinya dalam hati.

Pertanyaan 9 :
Bukankah perbaikan umat termasuk salah satu tujuan syariat ?

Jawaban :
Sesungguhnya  perbaikan  umat  memang  termasuk  salah  satu tujuan syariat. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara  mewujudkan  perbaikan  tersebut?  Pertanyaan  ini  harus dicarikan jawabannya!
 
Sekiranya  kita  katakan  bahwa  memanfaatkan  mimbat-mimbar dan  podium-podium  untuk  memprovokasi  massa  dan membeberkan  kepada  mereka  segala  sesuatunya  adalah  cara memperbaiki umat,  maka  realita yang ada telah  menjawbnya!
 
Apakah umat bertambah  baik ataukah  malah semakin terpecah belah?  Pertanyaan  berikut  jawabannya  ini  menjelaskan  apa sebenarnya yang dimaksud dengan maslahat tersebut!

Pertanyaan 10 :
Mereka  mencela  manhaj  Ahlus  Sunnah  wal  Jama'ah  yang mendahulukan  dan  memperhatikan  kepentingan  umat.  Yaitu batasan-batasan yang telah digariskan oleh Ahlus Sunnah untuk membangkang  terhadap  penguasa  yang  jelas  dan  nyata kekafirannya,  yakni  pembangkangan  itu  tidak  menimbulkan mudharat  terhadap  masyarakat  umum.  Sementara  mereka beranggapan  bahwa  tidak  perlu  memperhatikan  maslahat umum,  namun  sebaliknya  kita  mesti  siap  memberikan pengorbanan demi keberhasilan perubahan yang kita inginkan.

Jawaban :
Pertama  harus  saya  jelaskan  bahwa  maslahat  umum  harus didahulukan  daripada  maslahat  pribadi  atau  khusus.  Kedua, sesungguhnya  kemaslahatan  Dienul  Islam adalah  kemaslahatan seluruh umat.  Namun bukan berarti  Islam  itu  harus ditegakkan dengan  menumpahkan darah  kaum  muslimin.  Dan bukan  pula dengan  menggoncang  stabilitas  keamanan  dan  kemaslahatan kaum  muslimin  serta  menghancurkan  kekuatan  mereka  hanya untuk  meraih  suatu  kemaslahatan  yang  mungkin  berhasil  atau mungkin  tidak.  Dalil  tentang  itu  banyak  terdapat  di  dalam  Al-Qur'an dan hadits, di antaranya. "Artinya  :  Dan  janganlah  kamu  memaki  sembahan-sembahan yang  mereka  sembah  selain  Allah,  karena  mereka  nanti  akan memaki  Allah  dengan  melampui  batas  tanpa  pengetahuan. Demikianlah  Kami  jadikan  setiap  umat  menganggap  baik pekerjaan mereka.  Kemudian  kepada  Rabb merekalah  kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan" [Al-An-am: 108]
 
Bukankah  mencela  berhala,  kekafiran  dan  orang-orang  kafir merupakan  salah  satu  kemaslahatan  Islam  ?  Hal  itu  tentu  saja tidak  diragukan  lagi.  Tetapi  apabila  orang-orang  kafir  berkuasa serta  memiliki  kekuatan,  lantas dalam  kondisi  demikian  mereka malah  melontarkan  ucapan-ucapan  yang  terkadang  mereka sendiri tidak memahaminya (bahaya)nya, (maka pada waktu itu terlarang  untuk  mencaci  mereka  -red).  Meskipun  kita  tetap meyakini  bahwa  mencela  tuhan-tuhan  mereka  adalah  benar, namun tidak semua yang kita yakini benar mesti kita katakan.
 
Dalam  kisah seorang anak  muda ashabul ukhdud terdapat dalil yang  menunjukkan  adanya  kaidah  "mendahulukan kemaslahatan  umum  dari  maslahat  yang  khusus".  Allah  telah memberikan karamah yang banyak kepada anak muda tersebut. Ketika  itu  sang  raja  memerintahkan  anak  buahnya  untuk melemparkannya  dari  sebuah  gunung  setelah  ia  menyanggah ketuhanan raja tersebut, namun ia kembali dengan selamat.  Kemudian sang raja memerintahkan untuk melemparkannya ke laut  namun  ia  juga  kembali  dengan  selamat.  Lalu  dia  berkata kepada  sang  raja  :  "Engkau  tidak  akan  bisa  membunuhku sampai engkau melaksanakan apa yang aku katakan". Sang raja berkata  :  "Apa  yang  harus  aku  lakukan?"  Dia  berkata  : "Kumpulkanlah  manusia  di  suatu  lapangan  kemudian  saliblah aku  di atas kayu dan ambillah sebilah anak  panah dari  kantong anak panahku, lalu katakanlah. "Artinya : Dengan menyebut nama Allah, Rabb anak muda ini !" Jika  engkau  lakukan  hal  itu  niscaya  engkau  akan  dapat membunuhku". Begitu sang raja melakukan instruksi anak muda itu,  ia  pun  berhasil  membunuhnya.  Kemudian  orang-orang berkata  seketika  itu  juga  :  "Kami  beriman  kepada  Rabb  anak muda itu!".
 
Coba  perhatikan  !  Anak  muda  tersebut  telah  mengorbankan dirinya  di  jalan  Allah  demi  mendahulukan  kemaslahatan masyarakat  umum.  Sungguh  berbeda  sekali  dengan  orang-orang  sekarang  yang  mengangkat  senjata  sambil  berkata pongah  :  "Saya  akan  merubah  kemungkaran  dan  membunuh (orang-orang  yang  berbuat  kemungkaran  atau  membelanya) apapun  yang  terjadi  nanti  !"  Apakah  tindakan  seperti  itu dibenarkan syariat !? Padahal ia sendiri tahu bahwa tindakannya itu  tidak  ada  faidahnya  !  Dan  apakah  perbuatan  seperti  itu terpuji!?  Jawabnya  tentu  tidak !  Jadi,  kemaslahatan  Islam bukanlah  berarti  kemenanganya  Dienul  Islam  saja.  Justru kemaslahatan  Islam  adalah  kemaslahatan  seluruh  kaum muslimin.
 
Pertanyaan 11 :
Di  antara  perkara  yang  perlu  diperhatikan  juga  adalah penggunaan  kekerasan  dan  tindak  anarki  melawan  kaum  kafir yang  tinggal  di  tengah-tengah  kaum  muslimin  dan  menekan para pelaku maksiat dan orang fasik.

Jawaban :
Menurut saya perbuatan seperti itu tidak layak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mengatasnamakan Islam. Mereka hanya mengambil  secuil  ajaran  Islam  dan  meninggalkan  sebagian besarnya.  Mereka  belum  mengerti  hakikat  Dienul  Islam sebenarnya.
Tindakan  mereka  itu  jelas  salah.  Apa  dosa  orang-orang  yang telah  mendapat  jaminan  keamanan  itu  sehingga  diperlakukan secara  aniaya  ?  Apakah  tidak  ada  balasan  lain  bagi  pelaku maksiat  kecuali  dipukul  dan  dihina  ?  Ataukah  kita  perlakukan dengan  santun.  Sesungguhnya  Rasul  Shallallahu  'alaihi  wa sallam sangat penyayang kepada umatnya. beliau sangat santun kepada orang yang bersalah.
 
Ketika seorang lelaki buang air  kecil di  masjid dan para sahabat bangkit  menyerbunya,  beliau  justru  berkata  :  "Biarkanlah  dia, janganlah  sakiti  dia  hingga  ia  menyelesaikan  hajatnya". Kemudian  beliau  memerintahkan  agar  menyiram  seember  air untuk membersihkan kotorannya. Lalu beliau memanggilnya dan mengajarkannya  dengan  lembut  etika-etika  Islam.  Beliau jelaskan  kepadanya bahwa  masjid tidak  boleh  digunakan  untuk hal  semacam  itu.  Lelaki  itupun  segera  mengambil  air  wudhu', lalu  mengerjakan  shalat  dua  rakaat  lalu  berdo'a  :  "Ya  Allah, curahkanlah  rahmatMu  bagiku  dan  bagi  Muhammad  dan janganlah kau curahkan kepada selain kami berdua".
 
Demikian  pula  ketika  seorang  pemuda  datang  menemui beliau meminta  izin  berbuat  zina,  maka  bagaimanakah  Rasulullah Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  membimbingnya  ?  Dan bagaimanakah hasilnya ?
 
Janganlah  jadikan  pelaku  maksiat  laksana  mangsa  tempat  kita menumpahkan  kemarahan  di  dalam  dada!  Hal   itu  sangat keliru. Tidaklah dibolehkan melakukan tindakan aniaya terhadap orang-orang  kafir  yang  mendapat  jaminan  keamanan.  Mereka datang ke negeri Islam secara damai meskipun mereka kafir dan meskipun mereka  melakukan  perkara-perkara  yang bertentangan  dengan  syariat.  Kita  berkewajiban  meminta  agar mereka   tidak  melakukannya terang-terangan. Adapun melakukan  tindak  aniaya  terhadap  mereka,  jelas  hal  itu merupakan  perbuatan  bodoh  dan  jahil.  Perbuatan  yang dilakukan  karena  tidak mengerti syariat  Islam  dan  diterapkan tidak sebagaimana yang diinginkan Allah.
 
Pertanyaan 12 :
Ada yang beranggapan bahwa salah satu tuntutan syariat adalah menekan dan mengintimidasi kaum kafir (Nasrani dan Yahudi) di tempat  ibadah-ibadah  mereka.  Mereka  berdalil  dengan  sebuah riwayat dari Umar bin  Khaththab Radhiyallahu anhu, disebutkan di  dalamnya perintah mendesak orang-orang  kafir  ke tepi  jalan jika kaum muslimin berpapasan dengan mereka.

Jawaban :
Menyempitkan  kaum  kafir  di  jalan-jalan  bukan  berarti menyempitkan  mereka  dengan  tindakan yang  membahayakan mereka. Apakah maksud riwayat itu jika kita berpapasan dengan orang  kafir  yang  mengendarai  kendaraan  lantas  kita  desak  ia hingga kendaraannya naik ke trotoar, atau keluar dari ruas jalan atau hingga ia menabrak sesuatu ? Anggapan  dan  ucapan  seperti  itu  jelas  keliru  !  Pemahaman seperti itu sangat picik dan salah !
Maksudnya  ialah  tidak  memberikan  jalan  bagi  mereka  dalam rangka  memuliakan  dan  menghormati  mereka.  Karena  hal  itu bisa  menjadi  bentuk penghormatan  bagi  agama  mereka  dan menambah  kekuatan  mereka,  hal  itu  jelas  dilarang.  itulah maksud  riwayat  di  atas.  Bukan  maksudnya  kita  mendesak mereka  ke  pinggir  jalan,  akan  tetapi  teruslah  kamu  berjalan  di jalan  yang  kamu  lalui  dan  jangalah  kamu  persilahkan  mereka lewat  terlebih  dahulu  karena menghormati  dan  memuliakan mereka.

Berkaitan dengan tempat-tempat peribadatan  mereka, tentunya persoalan  ini berbeda  menurut kondisi satu negeri.  Negeri yang tidak terdapat didalamnya  kaum Nasrani dan Yahudi dan bukan pula  penduduk  asli,  maka  tidaklah  diperkenankan  membangun sarana  peribadatan  mereka  di  situ!  Jika  mereka  mendirikannya di  rumah  mereka  sendiri  dan  tidak  tampak  tanda-tanda  rumah ibadah  padanya,  maka  kaum  muslimin  tidak  boleh  memata-matai  mereka di  rumah-rumah atau tempat  mereka berkumpul pada  hari  raya  mereka.  Mereka  tidak  diperkenankan menampakkannya terang-terangan.

Inilah yang dipraktekkan di  Kerajaan Saudi Arabia dimana tidak terdapat  gereja-gereja  dan  tidak  ada  agama  yang  lain  selain Islam.  Adapun  negeri  yang  mana kaum  Nasrani  dan  Yahudi terhitung bagian dari  penduduknya,  maka  kaum  muslimin tidak boleh  mendatangi  tempat-tempat  ibadah  mereka  untuk menekan mereka. Cara seperti itu bertentangan dengan syariat.
Namun  hendaknya  kita  mendakwahi  mereka  kepada  Dienul Islam  dengan  cara  yang  terbaik. Menjelaskan  kepada  mereka keindahan  dan  kesempurnaan  Dienul  Islam,  rahmat  dan kekuasannya. Itulah yang seharusnya kita lakukan.