Hukum asal air baik
yang turun dari langit atau keluar dari bumi atau semisalnya adalah suci dan
mensucikan1. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
طَهُورًا
“Dan Kami turunkan
dari langit air yang suci” (QS. Al Furqan: 48).
Allah Ta’ala juga
berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“Dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit agar kalian bisa bersuci dengannya”
(QS. Al Anfal: 11).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda tentang laut:
هو الطهور ماؤه, الحل ميتتة
“Laut itu suci
airnya dan halal bangkai (binatang yang ada di dalam)-nya” (HR. Ibnu Majah
309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Maka jelas dari
dalil-dalil ini bahwa hukum asal air adalah suci dan mensucikan. Maka dalam hal
ini dua hal yang patut diperhatikan,
Air tidak keluar dari
kedua sifat tersebut (suci dan mensucikan) kecuali ada dalilnya
Air tidak keluar dari
kedua sifat tersebut (suci dan mensucikan) kecuali telah keluar dari
kemutlakannya, atau dengan kata lain jika air tersebut sudah tidak disebut
sebagai “air” secara mutlak, namun disebut dengan “air …”. Misalnya: “air
kopi”, “air teh”, “air gula”, dll.
Status
air yang berubah
Air keluar dari sifat
mutlaknya jika berubah atau tercampur dengan zat lain. Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di2 merinci hukumnya adalah sebagai berikut,
Pertama: jika air tercampur dengan zat lain yang
merupakan najis hingga air tersebut berubah warna, atau bau atau rasanya, maka
air tersebut menjadi najis. Ulama ijma akan hal ini.
Kedua: jika air tersebut berubah karena telah
menempati suatu tempat dalam waktu lama, atau karena saluran yang dilaluinya,
atau ada ada suatu zat yang sulit menghindarkan ia dari air, seperti tanah,
pasir, debu yang ada di saluran-saluran air, maka air tetap suci.
Ketiga: jika air tercampur dengan zat yang tidak bisa
larut dalam air seperti lemak dan minyak, sebagian ulama menyatakan hukumnya
makruh, namun pendapat yang tepat ia tetap suci tanpa karahah (makruh).
Karena hukum asal air adalah suci dan tidak ada dalil yang memindahkan
statusnya dari suci.
Keempat: jika air tercampur dengan zat lain yang suci.
Jika zat lain tersebut jumlahnya sedikit, maka ia tetap suci dan mensucikan.
Jika zat lain tersebut jumlahnya banyak, ulama bersepakat ia suci namun mereka
berselisih pendapat apakah air tersebut mensucikan (bisa digunakan untuk
tharahah).
Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di merajihkan bahwa air tersebut tetap dapat mensucikan. Beliau
mengatakan: “Para ulama berselisih pendapat mengenai air yang tercampur dengan
zat yang suci yang digunakan untuk menghilangkan hadats dan semisalnya, apakah
ia tetap suci dan mensucikan? Adapun kami ber-istishab(berpegang pada
hukum asal) dalam hal ini, sebagaimana pendapat yang shahih dalam hal ini.
Berdasarkan dalil (istishab) yang banyak yang tidak bisa dipaparkan di
sini. Jika dikatakan bahwa air tersebut statusnya antara suci dan najis
sehingga ia suci namun tidak mensucikan, beralasan dengan pendapat ini adalah
alasan yang sangat lemah. Karena menetapkan jenis air baru yang tidak suci dan
tidak pula najis adalah perkara yang ta’ummu bihil balwa (kebutuhannya
luas) dan sangat mendesak untuk didatangkan penjelasan. Jika hal tersebut
dibenarkan, maka tentu syariat akan menjelaskannya dengan penjelasan yang lurus
untuk memutus perselisihan. Maka jelaslah bahwa pendapat yang tepat adalah
bahwa air hanya dibagi dua: suci dan najis”3.
Namun hal itu jika zat
lain yang mencampuri air tidak mendominasi air hingga keluar dari
kemutlakannya. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “Jika air
berubah salah satu sifatnya (warna, bau dan rasa) dengan percampuran zat lain
yang suci, seperti daun, kayu, sabun, pohon isynan, daun bidara,
atau benda lain yang suci, yang tidak sampai mendominasi air, maka sebagian
ulama memiliki rincian dan terdapat khilaf. Yang tepat, air
tersebut tetap suci, boleh menggunakannya untuk bersuci dari hadats dan bersuci
dari najis”4.
Ringkasnya, yang
shahih, secara umum air hanya ada dua jenis: suci dan najis. Syaikh Shalih Al
Fauzan menjelaskan:
“Air itu terdiri dari
dua macam:
Pertama: air suci yang bisa digunakan untuk bersuci,
baik ia masih dalam keadaan aslinya atau sudah tercampur dengan zat lain yang
suci namun tidak sampai mendominasi air hingga ia tidak lagi dinamai ‘air’
secara mutlak.
Kedua: air najis yang tidak boleh digunakan, dan
tidak bisa untuk bersuci dari hadats dan najis. Yaitu air yang salah satu
sifatnya berubah karena tercampur dengan zat lain yang najis”5.
Wabillahi at taufiq
was sadaad.
***
Penulis: Yulian
Purnama
Artikel Muslim.or.id
____
- Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 23
- Dalam Irsyad Ulil Bashair, 8-9
- Irsyad Ulil Bashair, 9
- Al Mulakhash Al Fiqhi, 18-19
- Al Mulakhash Al Fiqhi, 19