Di
antara sebab terputusnya seseorang dari jalan ilmu sebagaimana yang
terjadi pada generasi muda selama ini adalah bahwasannya mereka
tidaklah terus-menerus bergaul/bersahabat dengan para ulama atau
ustadz. Bahkan waktunya untuk bersama ilmu dan ulama hanyalah
pada saat pelajaran berlangsung saja. Di luar waktu itu, mereka
bersahabat dengan masyarakat yang berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda. Maka jiwanya tidaklah senantiasa tergerak untuk meraih
ilmu, bahkan hanya tegerak dalam waktu yang sedikit saja, yaitu pada
waktu pelajaran saja. Setelah itu, maka sebagian besar aktivitasnya
tidaklah berkaitan dengan ilmu. Hal ini menjadikannya tidak selalu
terpaut dengan ilmu. Padahal ilmu membutuhkan agar pemiliknya selalu
terpaut dengannya selamanya (jiwanya selalu bersama dengan ilmu dalam
setiap keadaan).
Terkadang beberapa ulama berpaling dari kenikmatan duniawi yang mubah (diperbolehkan) demi meraih ilmu agama, seperti harta, istri, pandangan yang mubah,
atau manusia, dan tidak menyibukkan diri dengannya. Sebagian penyair
bercerita tentang hal tersebut ketika seorang ulama didatangi oleh
seorang budak wanita. Beliau tidak menoleh kepadanya meskipun budak
wanita tersebut memiliki akhlak yang mulia dan sangat cantik. Penyair
tersebut berkata dalam beberapa bait syair:
Maka aku katakan, tinggalkanlah aku dan maafkanlah aku
Karena aku telah disibukkan dengan ilmu dan mencarinya
Bagiku (lebih utama) belajar ilmu, keutamaan, dan ketakwaan
Yang tidak butuh kepada nyanyian para penyanyi dan musiknya
Maksudnya,
bahwa dirinya disibukkan dengan sesuatu yang lebih besar yang telah
menguasai dirinya. Hal ini akan tercapai jika seseorang selalu bersama
dengan ilmu. Dia bersahabat dengan orang-orang yang membicarakan dan
menyampaikan ilmu, selalu bersama para ulama dalam pembicaraan mereka,
dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka.
Niscaya kita akan mendapati sebuah jiwa yang selalu disibukkan dengan ilmu. Sehingga ilmu itu akan menjadi tabiat dan aktivitas keseharian kita. Awalnya hal itu mungkin menyusahkan kita. Akan tetapi, pada akhirnya bisa menjadi tabiat. Sehingga ketika kita berbicara, maka kita berbicara dengan ilmu. Jika menasihati, maka kita memberikan nasihat dengan ilmu. Jika menjelaskan sesuatu, maka kita menjelaskan dengan ilmu. Sehingga hal itu menjadi sesuatu yang mudah bagi kita. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini membutuhkan perjuangan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
”Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al ’Ankabuut [29] : 69).
Kebodohan adalah Penyakit, Obatnya adalah Ilmu dan Ulama
Kebodohan adalah lawan dari ilmu. Kebodohan adalah penyakit sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa kebodohan adalah penyakit yang membunuh pemiliknya tanpa disadari. Beliau rahimahullah berkata di dalam kitab An-Nuniyyah:
Kebodohan adalah penyakit yang membunuh
Obatnya adalah 2 hal yang berurutan
(Pertama) yaitu ilmu dari Al Quran dan Sunnah
(Ke dua) dan dokternya adalah seorang alim robbani
Tidak diragukan lagi bahwa kebodohan adalah penyakit yang membunuh manusia yang tersesat dari kewajiban agamanya. Sehingga menjadikan pemiliknya tidak termasuk orang-orang yang hidup (hatinya). Maka para ulama adalah orang yang hidup, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang mati. Sebab kematiannya adalah kebodohan tentang agama mereka,
karena kebodohan adalah sesuatu yang menyebabkan kematian. Sehingga
setiap orang yang bodoh, dia terbunuh dan mati. Adapun kebodohan itu
sendiri tidaklah berada dalam satu tingkatan saja. Akan tetapi,
kebodohan itu bermacam-macam. Setiap orang yang bodoh terhadap sesuatu, dia tertimpa kematian dari sisi kebodohannya terhadap sesuatu tersebut.
Perkataan beliau rahimahullah,“Kebodohan adalah penyakit yang membunuh, obatnya adalah 2 hal yang berurutan, (pertama) yaitu ilmu dari Al–Qur’an dan Sunnah.” Dua hal ini –yaitu ilmu Al–Qur’an dan Sunnah- adalah ilmu yang menjelaskan dalil-dalil dari Al–Qur’an dan As–Sunnah, menggunakan sesuai dengan tempatnya, serta membawanya kepada makna yang benar (shahih).
Sedangkan perkataan beliau rahimahullah,“Dan dokternya adalah seorang alim robbani”, maksudnya, tidak setiap orang alim. Akan tetapi seorang alim robbani, yaitu seorang ulama yang takut kepada Allah Ta’ala, bertakwa kepada-Nya dalam setiap perkataan dan perbuatannya.
Oleh karena itu, dalil-dalil dari Al–Qur’an dan As–Sunnah
adalah obat bagi orang-orang yang bodoh. Sebagian besar manusia ingin
menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri. Mereka bersemangat
mempelajari Al–Qur’an dan As–Sunnah, namun mereka tidak mengambil bimbingan dari penjelasan ahlul ilmi. Dan ketika mereka tidak mengambil bimbingan dari para ulama, maka mereka pun tertimpa kesesatan (kebodohan yang mematikan).
Perkataan beliau rahimahullah,“Dan dokternya adalah seorang alim robbani”,
adalah ungkapan yang menjelaskan kepadamu bahwa ilmu adalah obat. Jika
seseorang datang dan mengambil obat yang tidak sesuai untuknya, maka
apakah dia celaka ataukah tidak? Jelas, dia akan celaka.
Kelompok khawarij, mereka tersesat karena mengambil dalil-dalil dari Al–Qur’an dan As–Sunnah, namun tidak menerapkannya dengan tepat. Mereka mengambil (sebagian) dalil dari Al–Qur’an yang menunjukkan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
”Dan barangsiapa membunuh orang mukmin secara sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 93).
Orang-orang khawarij berkata,”Ayat ini menunjukkan bahwa mereka adalah kafir”.
Contoh lain, kelompok murji’ah mengambil sebagian dalil dari Al–Qur’an dan tidak menerapkannya dengan tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
”Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah (tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah), maka dia masuk surga.” (HR. Tirmidzi no. 2849. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi, hadits no. 2638).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
”Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah laa ilaaha illallah, maka dia masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3118. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Misykatul Mashobih, hadits no. 1621).
Demikian juga dengan dalil-dalil yang lain. Sehingga kelompok murji’ah meniadakan amal (anggota badan) dari definisi iman. Mereka hanya
menetapkan perkataan dan keyakinan sebagai bagian dari keimanan. Mereka
menyepelekan amal perbuatan sehingga tertimpa sesuatu yang membunuh
mereka, yaitu kebodohan. Mengapa bisa demikian?
Karena mereka tidaklah menjadikan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama di zaman mereka {di zaman sahabat=dass} sebagai pembimbing dalam memahami dalil-dalil agama. Mereka hanya mengambil ilmu dari diri mereka sendiri, dan tidak mengikuti ahlul ilmi yang telah mendalam ilmunya. Maka mereka tertimpa sesuatu yang membunuh mereka.
Demikianlah
pada setiap masa, semangat untuk menuntut ilmu adalah sesuatu yang
diharuskan. Namun tidaklah mungkin hanya semangat mencari ilmu saja. Supaya tidak keliru dalam memahami ilmu, maka harus dengan mengambil petunjuk dari pemahaman ahlul ilmi (ulama). Karena sesungguhnya ilmu pada umat ini adalah sesuatu yang diwariskan,
bukan sesuatu yang dikarang dan dibuat-buat pada setiap masa dimana
manusia dapat membuat dan mengarang-ngarang ilmu baru yang tidak
dikenal pada masa sebelumnya.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
”Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya
para Nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan dirham, mereka hanya
mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia
mendapatkan bagian yang besar” (HR. Ibnu Majah no. 228. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, hadits no. 223).
Perhatikanlah dasar yang agung ini, yaitu semangat di dalam menuntut ilmu. Akan tetapi, hendaknya yang menjadi pembimbing semangat itu (dalam mempelajari dalil-dalil) adalah seorang ulama, seorang alim robbani. Jika tidak seorang alim robbani, maka kita akan dibimbing oleh orang yang memiliki hawa nafsu, yang memiliki maksud dan tujuan duniawi tertentu. Sehingga kita akan tertimpa musibah, berupa kebodohan dan tidak adanya pemahaman terhadap dalil-dalil Al–Qur’an dan As-Sunnah.
***
Catatan:
Tulisan ini dicuplik dari ceramah Syaikh Shalih bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah yang berjudul “Asbaabu Ats-Tsabaat ‘ala Thalabil ’Ilmi” (Sebab-sebab untuk istiqamah di jalan ilmu).
Diselesaikan ba’da isya, Rotterdam NL, 4 Rabiul ‘Awwal 1438
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
from: http://muslim.or.id/29086-senantiasa-bergaul-dengan-para-ustadz-dan-ulama.html