“Rumahku
adalah surgaku”, itulah ungkapan yang sering kita dengar, yang
menggambarkan keinginan setiap insan akan kebaikan dan kebahagiaan
dalam kehidupan anggota keluarganya. Karena cinta kepada istri dan
anak-anak merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap
manusia. Allah Ta’ala berfirman,
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga).” (QS Ali ‘Imran: 14)
Bersamaan
dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga
merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan.
Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka…” (QS At Taghaabun: 14)
Makna
“menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal
shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah
Ta’ala. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/482)
Kita
dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang
kepada istri dan anak-anak, dengan menuruti semua keinginan mereka
meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang
pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup
mereka sendiri.
Sewaktu
menafsirkan ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di berkata,
“…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan
anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan
hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka
menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 637)
Oleh
karena itulah, seorang suami dan bapak yang benar-benar menginginkan
kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai
pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan
terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu
akan diminta pertanggungjawabannya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”
“Ketahuilah,
kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah
pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang
(perbuatan) mereka.” (HSR. Al-Bukhari no. 2278 dan Muslim no. 1829)
Ancaman keras bagi orang yang membiarkan perbuatan maksiat dalam keluarganya
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه, والمرأة المترجلة, والديوث…”
“Ada
tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan
pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti, yaitu: orang yang
durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki,
dan ad-dayyuts…” (HR. An-Nasa-i, no. 2562, Ahmad, 2/134 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Adz-Dzahabi dalam Kitabul Kaba-ir, hal. 55 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, no. 284. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/498 mengenai makna hadits ini)
Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya (Lihat Fathul Baari, 10/406. Makna ini disebutkan dalam riwayat lain dari hadits di atas dalam Musnad Imam Ahmad, 2/69. Akan tetapi sanadnya lemah karena adanya seorang perawi yang majhul/tidak dikenal. Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, 2/284).
Lawannya adalah al-gayur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat maksiat. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 9/357)
Ancaman
keras dalam hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa
besar yang sangat dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena termasuk ciri-ciri
dosa besar adalah jika perbuatan tersebut diancam akan mendapatkan
balasan di akhirat nanti, baik berupa siksaan, kemurkaan Allah ataupun
ancaman keras lainnya. (Lihat Kitabul Kaba-ir, hal. 4)
Oleh karena itulah, Imam Adz-Dzahabi mencantumkan perbuatan ini dalam kitab beliau “Al-Kaba-ir”
(hal. 55), dan beliau berkata setelah membawakan hadits di atas: “Dalam
hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) bahwa tiga perbuatan
tersebut termasuk dosa-dosa besar.” (Dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadiir, 3/327. Ucapan ini tidak kami dapati dalam dua cetakan kitab Al-Kaba-ir yang ada pada kami)
Dampak negatif perbuatan ini
Ancaman
keras terhadap perbuatan ini yang disebutkan dalam hadits di atas
adalah sangat wajar jika kita mengamati dampak buruk yang ditimbulkan
oleh perbuatan ini. Karena perbuatan ini di samping akan berakibat
merusak agama seseorang, juga akan merusak agama dan akhlak anggota
keluarganya. Adapun kerusakan bagi agama seseorang, karena perbuatan
ini akan menghilangkan atau minimal melemahkan sifat ghirah (kecemburuan karena kebaikan dalam agama), yang merupakan pendorong kebaikan dalam diri seorang hamba.
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan dampak buruk perbuatan maksiat, di antaranya perbuatan ad-diyatsah/ad-dayytus (membiarkan
perbuatan buruk dalam keluarga) yang timbul karena lemah atau hilangnya
sifat ghirah dalam hati pelakunya, beliau berkata, “…Oleh karena itulah, ad-dayyuts adalah
makhluk Allah yang paling buruk dan diharamkan baginya masuk surga,
demikian juga orang yang membolehkan dan menganggap baik perbuatan
zhalim dan melampaui batas bagi orang lain. Maka perhatikanlah akibat
yang ditimbulkan karena lemahnya sifat ghirah (dalam diri seseorang).
Ini semua menunjukkan bahwa asal (pokok) agama (seseorang) adalah sifat
ghiroh.
Barangsiapa yang tidak memiliki sifat ghirah maka berarti dia tidak
memiliki agama (iman). Karena sifat inilah yang akan menghidupkan hati
(manusia) yang kemudian menghidupkan (kebaikan pada) anggota badannya,
sehingga anggota badannya akan menolak (semua) perbuatan buruk dan keji
(dari diri orang tersebut). Sebaliknya, hilangnya sifat ghirah akan
mematikan hati (manusia) yang kemudian akan mematikan (kebaikan pada)
anggota badannya, sehingga sama sekali tidak ada penolak keburukan pada
dirinya…” (Kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 84)
Adapun
keburukan terhadap agama istri dan anak-anaknya, dengan membiarkan atau
menuruti keinginan mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan
syariat, ini berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran.
Seorang istri bagaimana pun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah
seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan
kekurangan pada akalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة”
“Sesungguhnya
perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia
tidak bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya.” (HSR Muslim no. 1468)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati perempuan sebagai,
“…ناقصات عقل ودين”
“…Orang-orang yang kurang (lemah) akal dan agamanya.” (HSR. Al-Bukhari no. 298 dan Muslim no. 132)
Maka
seorang perempuan yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan
bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal,
kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan.
(Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan,
hal. 101). Oleh karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan kaum laki-laki
sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan dalam firman-Nya,
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ}
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka.” (QS. An Nisa’: 34)
Makna “pemimpin bagi kaum perempuan”
adalah penegak (urusan) mereka dengan mewajibkan bagi mereka untuk
menunaikan hak-hak Allah, dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban
(yang) Allah (tetapkan), dan melarang mereka dari perbuatan-perbuatan
yang merusak (maksiat), serta mendidik mereka untuk meluruskan
kebengkokan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/653 dan Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 100)
Kalau
kita mendapati banyak perempuan yang rusak agamanya padahal suaminya
telah berusaha keras mendidik dan mengarahkannya kepada kebaikan, maka
apalagi perempuan yang tidak diarahkan dan bahkan dibiarkan larut dalam
kerusakan dan maksiat?!
Terlebih
lagi anak-anak, jika tidak diarahkan kepada kebaikan dan dibiarkan
larut dalam maksiat, maka tentu mereka akan terbiasa dan menganggap
remeh maksiat tersebut sampai mereka dewasa.
Seorang penyair berkata:
Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh (Adabud Dunya wad Diin, hal. 334)
Senada dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan:
“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan terus melakukannya.” (Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin dalam Majmu’atul as-Ilah Tahummul Usratal Muslimah, hal. 43)
Nasehat untuk para kepala keluarga
Seorang
suami dan bapak yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan
anak-anaknya, hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati
terhadap mereka tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan
duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi, yang lebih penting
dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap
pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk Al Qur’an
dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan
dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At Tahriim: 6)
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/535. Dishahihkan oleh Al Hakim sendiri dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara
diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat
dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun
memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik
dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka
untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan
selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar)
melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan
pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640)
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh.” [agar Hasan membuang kurma tersebut]. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” (HSR Al-Bukhari no. 1420 dan Muslim no. 1069)
Imam
Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya
membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang
bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang
membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang
diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban
syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut. (Fathul Baari, 3/355)
Kemudian,
hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan
perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan
besar dalam rumah tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam
keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya,
dengan anak-anaknya atau pun di antara sesama keluarganya. Bukankah
penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah
tangga, adalah perbuatan maksiat manusia[?] Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (QS Asy Syuura: 30)
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh
(ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk)
perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Da-u wad Dawaa’, hal. 68)
Barangsiapa
yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal
abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi
cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata, serta mengisinya dengan
saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah
Ta’ala berfirman,
{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS Az-Zukhruf: 67)
Ayat
ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia
yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian
dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih
sayang karena-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/170)
Lebih
daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba
-dengan izin Allah Ta’ala- akan melihat pada diri istri dan
anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan
menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman
yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena
itulah, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka
mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
“Dan
(mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah
kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk
(pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang
yang bertakwa.” (QS Al Furqan: 74)
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah
akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri,
saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada
Allah. Demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menyejukkan
pandangan mata seorang muslim daripada ketika dia melihat anak, cucu,
saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala.” (Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/439)
Akhirnya,
kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa
melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.
Ya
Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami
sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 3 Rabi’ul awal 1430 H
_____________________
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/658-dayyuts-profil-seorang-suami-dan-bapak-yang-buruk-bagi-istri-dan-anak-anak.html