Oleh : Abu Farabi al-Banjar
Sudah merupakan suatu kelaziman yang mengakar ditengah-tengah masyarakat muslim di negeri ini dan terjadi dimana-mana dan semua orang pasti mengenal dengan sebuah sebutan “syukuran“, sebuah istilah yang ada di negeri ini dan dikaitkan sebagai sebuah bentuk dari aplikasi rasa syukur.
Hampir semua apa saja dari setiap yang dianggap
sebagai suatu kenikmatan berupa kebahagian yang ditunjukkan dengan rasa bersyukur
kepada zat yang telah memberikan kenikmatan dan kebahagian dituangkan atau
diimplementasikan oleh banyak kalangan umat muslim dengan pelaksanaan syukuran.
Fenomena syukuran yang dilakukan oleh banyak orang
sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka dan malah dianggap sebagai label
yang islami, karena di dalamnya tidak pernah lepas dari ritual pembacaan
doa yang dipimpin bahkan tidak sedikit oleh mereka-mereka yang dikatakan
sebagai ulama setempat.
Semua orang pasti dan tidak dapat diingkari pernah mendapatkan
undangan dan menghadiri acara syukuran, atau undangan dengan sebutan selamatan
atau dinamai juga sebagai kenduri, seperti syukuran peringatan
kelahiran atau ulang tahun, syukuran sembuh dari sakit, syukuran mendapatkan
kenaikan pangkat atau jabatan, syukuran karena lulus dalam ujian di sekolah,
syukuran atas keberhasilan mendapatkan gelar, syukuran menempati rumah baru,
syukuran isteri yang baru melahirkan, syukuran membeli kendaraan baru. Dan
berbagai ragam bentuk acara syukuran yang banyak sekali dan tidak dapat
disebutkan satu persatu dalam artikel ini karena akan memerlukan halaman yang
banyak. Dan bahkan mungkin saja diantara pembaca pernah melakukan acara
syukuran atau yang sejenis dengan mengundang sedikit orang berupa sanak
keluarga atau tetangga, bahkan dengan jumlah undangan yang cukup banyak, yang
tentunya tidak pernah lupa menyediakan makanan segala.
Yang sekarang lagi trend merebak dimana-mana yang dilakukan oleh sebagian
orang-orang yang akan menunaikan haji, sebelum berangkat mereka terlebih dahulu
mengadakan acara kenduri syukuran dengan mengundang seluruh keluarga, tetangga,
dan para kerabat serta seluruh kenalan meskipun jauh tempatnya. Mereka membuat
acara kenduri syukuran yang layaknya seperti acara perkawinan dengan membuat
taruf atau tenda besar didepan rumahnya dengan hidangan makanan bermacam-macam
yang menggugah selera. Bahkan tidak ketinggalan disajikan hiburan dalam
bentuk rekaman qasidah atau nasyid dengan suara yang
sangat keras sekali.
Acara syukuran atau kenduri yang sudah merakyat dari lapisan bawah sampai
kelapisan atas, dari kalangan awam sampai kalangan yang berilmu, tidak saja
dilakukan oleh orang-orang secara invidu/keluarga, tetapi banyak pula yang
dilakukan secara berjama’ah ramai oleh orang-orang sekampung. Perhatikanlah
betapa banyak pesta-pesta atau syukuran yang dilakukan oleh suatu kampung yang
ditayangkan oleh berbagai media televisi. Ada syukuran pasca panen, syukuran
bersih desa, ada syukuran dalam bentuk pesta laut. Semua dilakukan oleh mereka,
yang konon katanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada penguasa bumi dan
penguasa laut yang telah memberikan rezeki berupa hasil bumi dan hasil laut,
dengan memberikan sesajen dan bentuk makanan dan buah-buah bahkan hewan ternak
agar para penguasa alam berupa dewa-dewa dan jin tidak marah.
Syukuran Ditinjau Dari Kacamata Syari’at.
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa hajatan,
kenduri, syukuran yang juga dikenal dengan sebutan selamatan,
oleh sebagian kalangan umat islam dikaitkan hal-hal yang bersifat ibadah,
yaitu sebagai bentuk implementasi pernyataan rasa syukur kepada Allah Yang
Maha Pencipta, atas segala bentuk kenikmatan dan berbagai anugerah yang
dilimpahkan-Nya.
Namun perlu dicermati apakah syukuran yang dikenal luas dikalangan umat islam
itu adalah merupakan suatu bentuk pelaksanaan dari petunjuk baik yang ada dalam
al-Qur’an maupun as-sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam yang harus
dijadikan panduan dalam melakukan sesuatu yang terkait dengan kepentingan
agama. Apakah syukuran itu ada dalil atau hujjah yang dapat dipakai sebagai
dasar hukumnya, karena sesuatu ibadah itu dalam islam harus didasarkan kepada
adanya perintah, suruhan dan contoh dari Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam,
atau setidaknya pernah dilakukan oleh kalangan para sahabat radhyallaahu anhum,
para tabi’in dan tabi’ut tabi’in rahimahulllaah. Kalau tidak ada perintah,
suruhan, atau contohnya maka perbuatan itu adalah termasuk perbuatan
mengada-ada atau menambah-nambah yang dilarang keras untuk dilakukan oleh umat
islam. Dan pelakunya telah melakukan pelanggaran syari’at yang diancam
mendapatkan sanksi hukuman.
Dari seluruh hadits yang diriwayatkan oleh para muhaditsin, baik yang maudhu,
dhaif, maupun hasan tidak ada satupun yang menyebutkan adanya syukuran
tersebut, apalagi hadits yang shahih sama sekali tidak pernah menyinggung dan
membicarakan tentang syukuran tersebut.
Nabi Muhammad Shalalahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasullulah yang diutus
menyampaikan risalah Islam oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam bentuk syari’at,
telah memberikan informasi yang lengkap dan sempurna tentang bagaimana
seharusnya sepak terjang, tingkah polah dan prilaku umat manusia terhadap Allah
Subhanahu Wata’ala. Islam telah mengajarkan dan memberitahukan
segalanya kepada makhluk yang namanya manusia, apa yang harus dilakukan berupa
segala perintah yang harus dilakukan dan segala sesuatu yang sifatnya larangan.
Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Qur’an surah al-
Ma’idah ayat 3 : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu.”
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku beliau “Risalah Bid’ah“ dalam
bab Kesempurnaan Islam mengemukan tentang ayat tersebut diatas : “dalam ayat
yang mulai ini, Allah menegaskan bahwa agama ini (al Islam) telah sempurna dan
lengkap, yang tidak memerlukan sedikit pun tambahan dan pengurangan,
apapun bentuk dan alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun
disangka baik atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap benar
oleh sebagian manusia, adalah
satu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi
sangat dicintai oleh iblis dan para pengikutnya.
Pelakunya, langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, telah
membantah firman Allah diatas dan telah menuduh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam
berkhianat di dalam menyampaikan risalah.
Al-Qur’an sebagai acuan pokok dan standar atau
landasan hukum yang pokok dalam syari’at islam bagi kaum muslimin, dilengkapi
pula oleh as Sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelasan
dan penjabaran dari al-Qur’an, merupakan aturan rinci dan lengkap bagaimana
seharusnya umat islam dalam beribadah dan bermuamalah, yang mengatur bagamaina
umat islam dalam mengadakan kontak dengan Allah Sang Maha Pencipta (hablumminallaah)
dan berhubungan sesama manusia (hablumminannasy).
Semua aturan sudah tercover
secara lengkap dalam as-sunnah Rasul dan tidak satupun yang tercecer atau
terlupakan, dari hal yang paling kecil sekalipun dan sepele sampai
kepada hal yang besar, semuanya ada diatur.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani di kitabnya al-Mu’jamir
Kabir dari Abu Dzar, ia berkata : “Rasullulah shalalahu ‘alaihiwasallam telah (pergi)
meninggalkan kami (wafat) dan tidak seekorpun burung yang ( terbang)
membalik-balkikan kedua sayapnya diudara melainkan beliau telah menerangkan
ilmunya kepada kami.
Berkata Abu Dzar : Beliau shalalahu ‘alaihi
wasallamtelah bersabda : “Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan (kamu) ke
surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, melainkan sesungguhnya telah
dijelaskan kepada kamu“
Dijelaskan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
bahwa maksud perkataan Abu Dzar diatas ialah: Bahwasanya Rasullulah shalalahu
‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada umatnya segala sesuatu baik berupa
perintah atau larangan atau kabar dan lain-lain. Untuk itu, Nabi shalalahu
‘alaihi wasallam telah bersabda : ”Tidak tinggal sesuatu pun yang mendekatkan
(kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari api neraka, melainkan sesungguhnya
telah dijelaskan kepada kamu”. Oleh karena itu, barang siapa yang mencari jalan
menuju jannah/surga dan menjauhkan dirinya dari nar/neraka tanpa mengikuti
al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya ia
telah menempuh jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasullnya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Salman al
Faarisiy, ia berkata :
سَلْمَانَ قَالَ
قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Ditanyakan kepadanya,
'(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab
beristinja? ' 'Abdurrahman berkata, "Salman menjawab, 'Ya. Sungguh
dia telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar, buang air
kecil, beristinja' dengan tangan kanan, beristinja' dengan batu kurang dari
tiga buah, atau beristinja' dengan kotoran hewan atau tulang'."
Dari riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabat menegaskan kepada kita
: Sesungguhnya Rasullulkah shalalahu
‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu tentang Agama
Allah ini (al Islam) baik aqidah, ibadah
dan lain-lain sampai kepada adab-adab buang air. Demikian yang dikutip dari
penjelasan ustadz Abdul Hakim Amir
Abdat.
Berdasarkan uraian diatas, maka apa saja yang tidak ada dalam al-Qur’an dan
as-sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, maka ia bukan merupakan bagian
dari agama, yang tentunya tidak boleh seorangpun melakukan sesuatu dalam
beragamanya tanpa dilandasi dalil yang shahih. Meskipun itu
menurut pikiran, akal, perasaan dan hawa nafsu sesuatu yang baik. Karena apa
yang baik menurut akal, pikiran, perasaan dan hawa nafsu itu baik, belum tentu
baik menurut syari’at, mungkin ia bahkan bertentangan dengan syari’at. Tetapi
sebaliknya apapun yang dikatakan oleh syari’at baik, maka mutlak dan pasti
tidak akan pernah bertentangan dan ditolak oleh akal, pikiran, dan perasaan.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan bahwa
rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ ضَلَالَةٌ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ
مَنْ
"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan
setiap bid'ah adalah sesat."
Dari hadits tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa karena syukuran
bukan bagian dari agama tetapi sesuatu yang diada-adakan maka ia
disebut sebagai bid’ah, dan syukuran termasuk suatu perkara yang buruk dan
dikatagorikan sebagai perbuatan yang sesat.
Meskipun didalam acara selamatan, kenduri, hajatan syukuran dengan mengundang
banyak orang dan menyediakan hidangan berupa aneka makanan merupakan suatu
kebaikan yang mendapatkan ganjaran pahala, namun tidaklah seharusnya
untuk mendapatkan pahala itu harus dengan melakukan sesuatu yang mengandung
suatu kemunkaran. Karena sesungguhnya sesuai dengan kaidah/ushul fiqih
bahwa sesuatu yang dilarang itu hukum asalnya haram, maka mengingat perbuatan
mengada-ada hal yang baru dalam ibadah (bid’ah) adalah perbuatan sesat yang
terlarang, maka syukuran sebagai perbuatan yang mengada-ada tersebut adalah
suatu kemunkaran.
Satu catatan penting yang perlu mendapat perhatian secara khusus oleh kita kaum muslimin adalah syukuran yang didalam pelaksanaannya banyak sekali bertentangan dengan syari’at karena banyaknya terjadi berbagai kemunkaran dan malah bersifat kesyirikan, yaitu syukuran yang dilaksanakan secara massal oleh masyarakat seperti pesta laut dengan melarungkan sesajen ke laut sebagai persembahan kepada dewa dan penguasa laut yang telah memberikan rezeki berupa tangkapan ikan, dimana juga sebelumnya didahului dengan pawai yang diikuti kaum dewasa, muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan campur baur dan yang perempuannya menampakkan auratnya berupa pakaian yang terbuka dadanya. Hal yang sama juga dilakukan dalam rangka syukuran selepas panen dengan melakukan ritual pesta bersih desa, dan tentunya juga tidak ketinggalan sesajen serta pertunjukan wayang semalam suntuk. Acara hajatan syukuran bersih desa dimaksudkan agar penguasa bumi memberikan perlindungan dari bagai malapetaka, dan juga harapan panenan hasil bumi dimasa yang akan datang berlimpah.
Satu catatan penting yang perlu mendapat perhatian secara khusus oleh kita kaum muslimin adalah syukuran yang didalam pelaksanaannya banyak sekali bertentangan dengan syari’at karena banyaknya terjadi berbagai kemunkaran dan malah bersifat kesyirikan, yaitu syukuran yang dilaksanakan secara massal oleh masyarakat seperti pesta laut dengan melarungkan sesajen ke laut sebagai persembahan kepada dewa dan penguasa laut yang telah memberikan rezeki berupa tangkapan ikan, dimana juga sebelumnya didahului dengan pawai yang diikuti kaum dewasa, muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan campur baur dan yang perempuannya menampakkan auratnya berupa pakaian yang terbuka dadanya. Hal yang sama juga dilakukan dalam rangka syukuran selepas panen dengan melakukan ritual pesta bersih desa, dan tentunya juga tidak ketinggalan sesajen serta pertunjukan wayang semalam suntuk. Acara hajatan syukuran bersih desa dimaksudkan agar penguasa bumi memberikan perlindungan dari bagai malapetaka, dan juga harapan panenan hasil bumi dimasa yang akan datang berlimpah.
Coba disimak secara akal sehat, tidakkah hajatan syukuran seperti itu suatu
kesyirikan, karena memberikan sesajen kepada para dewa penguasa bumi. Tidakkah
itu merupakan perilaku menyukutukan Allah dengan yang lain. Kalau itu ditujukan
kepada Allah, caranya juga telah menyalahi syariat, karena Allah tidak
pernah meminta sesuatu dari hambanya berupa sesajen.
Bersyukur Sesuai Dengan Aturan Syari’at.
Di Dalam al-Qur’an terdapat cukup banyak ayat-ayat
yang menyebutkan tentang bersyukur antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 152
: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.
Juga dalam ayat lain , seperti yang tercantum dalam al-qur’an surah adh-Dhuha
ayat 11: “Dan terhadap nikmat
Tuhanmu, maka hendanlah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Selain itu dalam al-Qur’an surah Ibrahim ayat 7 Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nimatku) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmatku) maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih“
Karena bersyukur adalah suatu perintah yang termasuk sebagai sebuah ibadah,
maka cara bersyukur haruslah pula sesuai dengan kaidah-kaidah
syari’at, dimana untuk itu tidak diperkenankan seorangpun untuk membuat
ketetapan syari’at yang baru dalam beribadah tersebut, termasuk
dalam cara melakukan syukur.
Mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Subhanahu
wata’ala adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia, dan menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam buku beliau Tazkiyatun Nafs
bahwa pujian tidak terjadi kecuali dengan adanya nikmat dan itu merupakan inti
dari syukur dan awal dari bentuk kesyukuran. Dan mensyukuri nimat Allah tidak
hanya cukup dengan memuji tetapi harus dibarengi dengan tindakan baik
memuji-Nya dengan lisan yaitu berzikir, menggunakan nikmat tersebut di jalan
yang diridhai Allah.
Perwujudan Syukur dengan Hati, Lidah dan Anggota Tubuh.
Ibnu Qudamah rahimahullaah dalam Kitab “ Minhajul Qashidin (Jalan orang-orang
Yang Mendapatkanh Petunjuk) mengemukakan : Perwujudan syukur bisa dengan
hati, lidah dan anggota tubuh. Syukur
dengan hati ialah bermaksud untuk kebaikan dan menyebarkan kepada
semua orang. Syukur dengan lidah ialah menampakkan syukur itu kepada Allah
dengan cara memujinya. Syukur dengan anggota tubuh ialah dengan mempergunakan
kenikmatan dari Allah untuk ta’at kepada-Nya dan tidak menggunakannya untuk
mendurhakai-Nya. Perwujudan syukur dengan mata ialah dengan menutupi aib yang
dilihatnya pada diri orang Muslim lainnya. Perwujudan syukur
telinga ialah dengan menutupi setiap aib yang didengarnya. Ini termasuk sejumlah
syukur anggota tubuh ini. Lebih lanjut Ibnu Qudamah rahimahullaah menyebutkan :
syukur dengan lidah ialah menampakkan keridhaan terhadap apa-apa yang datang
dari Allah dan memang manusia diperintahkan untuk melakukannya. Rasullulah
shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Menceritakan kenikmatan adalah syukur dan
meninggalkannya adalah kufur ( diriwayatkan oleh Ahmad ).
Cara Bersyukur.
Mengutip tulisan Ahmad Abu Ari dalam majalah Fatawa
Vol.06.th.II 1425H.2004 bahwa diantara cara bersyukur yang dibangun atas ilmu
adalah menyadari bahwa semua nikmat itu datang dari Allah Subhanahu Wata’ala
semata. Sehingga sangat tidak masuk akal jika rasa syukur itu ditujukan kepada
selain Allah atau menyelisihi syari’at, sebagaimana banyak yang dilakukan masyarakat.
Termasuk di dalam hal ini ialah tidak memahami keharamannya secara syar’i.
Misalnya melakukan pesta, bersedekah bumi sesudah panen atau sedekah laut,
berterimakasih kepada kuburan atau orang pintar, memaksakan diri melakukan
selamatan jika keinginanya terkabul. Contoh lainnya ialah syukuran dengan
membaca surat tertentu dari al-Qur’an (yasinan) dengan dzikiran yang tidak ada
contohnya dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.
Cara bersyukur dibangun atas amal, yaitu merasa senang
dan gembira terhadap nikmat itu, serta melakukan perintah-perintah
Allah untuk tidak
bermaksiat dengan kondisi itu.
Sementara itu amalan bersyukur atas kesehatan,
ialah dengan menikmatinya, merasa senang dan memeliharanya
dengan berolah raga, beristirahat dengan cukup, makan makanan yang halal dan
tayyib dan sebagainya.
Harta selain dinikmati, juga digunakan untuk hal-hal
yang makruf seperti untuk berzakat, bersedeqah,berinfak dan sebagainya. Termasuk
untuk menuntut ilmu, menghadiri majelas ta’lim, membeli buku-buku yang bermanfaat.
Sedangkan nikmat kesempatan untuk hidup, tentulah tidak lain hanya melakukan
ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an
surah adz-Dzariyat ayat 56 : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku”
Ditambahkan pula bahwa bentuk lain yang disyari’atkan dalam mengekspresikan
rasa syukur adalah dengan melakukan sujud syukur. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Nabi shallalahu ‘alaih wasallam. Dalam hadits marfu’
yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah disampaikan bahwa:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا
لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Jika datang suatu perkara yang menyenangkan atau
menggembirakan Nabi Shalalahu ‘alaihi wasallam, beliau bersujud sebagai bentuk
syukur kepada Allah Tabaraka Wata’ala.
Kapan Waktu Bersyukur.
Ahmad Abu Ari mengemukakan bahwa amalan bersyukur
hendaknya dilakukan pada segala kondisi. Tidak saja pada kondisi
baik, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, tetapi juga pada
kondisi yang buruk sekalipun; karena manusia masih memperoleh nikmat dari Allah
Subhanahu Wata’ala yaitu kesempatan untuk hidup. Dengan kehidupan itu, seburuk
bagaimana kondisinya dia tetap dapat beribadah kepada Allah Ta’ala. Ia juga
dapat bersyukur dengan bersabar atas segala kondisi yang dihadapinya. Dengan
melihat orang lain yang kebanyakan kondisinya lebih buruk daripadanya, maka ia
dapat mengungkapkan rasa syukur dengan sebaik-baiknya atau setulus-tulusnya.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Shuhaib radyhiallaah anhum,
Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ
خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ
"perkara orang
mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki
seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan
syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu
baik baginya."
Akhirul kalam, penulis mengajak kepada seluruh pembaca untuk bersyukur
dengan cara yang disyari’atkan, tidak dengan cara melakukan kenduri,
selamatan, syukuran yang tidak ada pernah diperintahkan atau dilakukan oleh
Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam.
Wallaahu ta’ala ‘alam.
Diselesaikan pada
hari Kamis, 14 Syawal 1431 H / 23 September 2010, ba’da dhuha.
_____________
Sumber bacaan :1. Al-Qur’an dan terjemahan, Departemen Agama R.I
2. Ensiklopedi Hadits , kitab 9 Imam CDHKJ91 Ver.1.2k Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Minhajul Qashidin ( Jalan Orang-Orang Yang Mendapat Petunjuk), Ibnu Qudamah.
4. Kemulian Sabar dan Keagungan Syukur, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah.
5. Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), Ibnu Qaiyyim Al-Jauziyah.
6. Manajemen Qalbu Ulama Salaf, Syaikh Dr. Ahmad Farid.
7. Risalah Bid’ah, Abdul Hakim bin Amir Abdat.
8. Majalah Fatawa Vol.06.Th II. 1425. 2004 M
from= http://abufarabial-banjari.blogspot.com/2010/09/bersyukur-bukan-dengan-syukuran.html