PERKARA-PERKARA YANG TIDAK TERMASUK IKHTHILATH
Oleh
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Oleh
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Sebelum kami sebutkan perkara-perkara ini, yang hukumnya boleh 
(mubah), maka perlu diketahui bahwa sesuatu yang boleh/mubah itu tidak 
harus dikerjakan, juga bukan berarti mustahab (disukai/lebih utama) 
untuk dikerjakan. Tetapi sekedar boleh untuk dilakukan. Walaupun 
demikian, jika menimbulkan kerusakan, atau fitnah, atau kemaksiatan, 
maka haruslah ditinggalkan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dan 
sebagaimana sebuah kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi:
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَنَافِعِ
“Menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan/manfaat”.
Maka inilah perkara-perkara tersebut:
1. Wanita mendatangi seorang alim untuk minta fatwa. 
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى 
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ 
اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ 
الصَّلَاةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
 إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ 
فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ 
صَلِّي قَالَ وَقَالَ أَبِي ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى 
يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ *
“Dari A’isyah dia berkata: “Fathimah binti Abu Hubais datang kepada 
Nabi lalu berkata: “Saya mengeluarkan darah istihadlah, sehingga saya 
tidak suci, haruskah aku meninggalkan sholat?” Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam menjawab: “Tidak, itu hanyalah urat/pembuluh darah (yang 
luka-Red), bukan haid, jika masa haidmu datang maka tinggalkanlah 
sholat, jika telah usai maka bersihkanlah darah dari badanmu lalu 
sholatlah” (Seorang perawi berkata) Bapakku berkata (tambahan di dalam 
riwayatnya tentang sabda Rasulullah itu): “Berwudlu’lah tiap-tiap sholat
 ketika telah masuk waktunya”. [Al-Bukhari] 
2. Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan. 
أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ 
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ 
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ 
الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ 
بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ 
بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ 
مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ 
وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ 
أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ 
فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ 
هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى 
“Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib 
menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib 
berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah 
menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab: 
“Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau 
berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau 
berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah
 selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu
 Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin 
Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau 
lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha” 
[HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]
3. Wanita shalat bermakmum kepada laki-laki dengan shaf tersendiri.
Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: “Dan 
tidaklah larangan ikhthilath itu terbatas antara banyak orang-orang 
laki-laki dan para wanita saja, namun juga mencakup seorang wanita 
apabila shalat bersama para laki-laki. (Yaitu jika satu wanita berbaris 
satu shaf dengan para laki-laki itu termasuk ikhthilath-pen). 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ
 صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ 
وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا 
“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi
 wa sallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang yatim 
berdiri di belakang beliau, sedangkan Ummu Sulaim di belakang kami”. 
[HR. Bukhari, no:871, 860]
Sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam 
bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan 
orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf. [Al-Mar’ah Al-Muslimah 
Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]
Di dalam hadits  yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan 
lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
 dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا 
“Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang 
pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan 
sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling 
buruk adalah shaf yang pertama”. [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan 
hadits ini: “Hadits Hasan Shahih].
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata : 
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyari’atkan bagi para
 wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah 
(laki-laki)”.
Maka kenyataan adanya para wanita di zaman Rasululah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam yang shalat bersama beliau di masjid, menunjukkan 
bahwa hal itu bukanlah ikhthilath.
4.  Penganten wanita yang melayani para tamu laki-laki, dengan dua syarat: aman dari fitnah dan berpakaian secara Islam.
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Tidak 
mengapa penganten wanita melayani sendiri para (tamu) undangan, apabila 
dia tertutup (dengan baju yang disyari’atkan-pen) dan aman dari fitnah 
(perkara yang dapat mendatangkan kemaksiatan/kesesatan), berdasarkan 
hadits Sahl bin Sa’d, dia berkata:
لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا 
وَلاَ قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلاَّ امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ بَلَّتْ 
(وفي رواية: أنقعت) تَمَرَاتٍ فِي تَوْرٍ مِنْ حِجَارَةٍ مِنَ اللَّيْلِ 
فَلَمَّا فَرَغَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ 
الطَّعَامِ أَمَاثَتْهُ لَهُ فَسَقَتْهُ تُتْحِفُهُ بِذَلِكَ (فَكَانَتْ 
امْرَأَتُهُ يَوْمَئِذٍ خَادِمُهُمْ وَهِيَ الْعَرُوْسُ) 
“Tatkala Abu Usaid As-Sa’idi telah menikah, dia mengundang Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, dia tidak membuat
 makanan untuk mereka, dan tidak menghidangkan makanan kepada mereka. 
Akan tetapi istrinya, Ummu Usaid, semenjak malam merendam kurma di dalam
 bejana dari batu. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
selesai makan, Ummu Usaid melarutkannya untuk beliau, lalu memberikan 
minum kepada beliau dengannya, dia mengkhususkan beliau dengan (minuman)
 itu. (Maka pada hari itu istrinya yang menjadi pelayan mereka, padahal 
dia sebagai  penganten wanita”. [1].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil 
bolehnya seorang istri melayani suaminya dan orang yang dia undang, 
tentu saja hal itu adalah jika aman dari fitnah dan dengan menjaga 
penutup (tubuh) yang wajib atas wanita. Dan dalil bolehnya seorang suami
 melayani istrinya dalam hal seperti itu..” [Fathul Bari:IX/251] 
5. Dua laki-laki shalih atau lebih menemui seorang wanita, karena keperluan.
عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ  أَنَّ نَفَرًا مِنْ 
بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُو 
بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ 
فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَقَالَ لَمْ أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ
 رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ 
فَقَالَ لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ 
إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ 
“Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa 
orang-orang dari Bani Hasyim menemui Asma’ binti ‘Umais, kemudian Abu 
Bakar Ash-Shiddiq masuk –waktu itu Asma’ adalah istri Abu Bakar-, lalu 
Abu Bakar melihat mereka, maka dia tidak menyukainya. Kemudian dia 
menyebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
sambil berkata: “Aku tidak melihat kecuali kebaikan”. Maka Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setelah hariku ini, janganlah 
sama sekali seorang laki-laki menemui seorang wanita yang ditinggal pergi
 suaminya kecuali bersamanya ada seorang laki-laki lain atau dua 
laki-laki”. [HSR. Muslim, no:5641]
An-Nawawi rahimahullah berkata di dalam penjelasan hadits ini: 
“Kemudian bahwa zhahir hadits ini membolehkan menyendirinya dua atau 
tiga laki-laki dengan seorang wanita asing/bukan mahramnya. Tetapi yang 
terkenal di kalangan para sahabat kami (yakni madzhab Syafi’iyah-pen) 
adalah haramnya hal tersebut, kemudian hadits itu diberi arti (untuk) 
sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat berbuat keji, karena 
keshalihan atau keperwiraan mereka, atau lainnya. Dan Al-Qadhi telah 
mengisyaratkan pemberian arti seperti ini.
Syaikh Musthafa Al-‘Adawi memasukkan dua hadits di atas di dalam 
masalah “Masuknya dua atau tiga laki-laki kepada seorang wanita”. Dan 
pada catatan kaki beliau berkata: “Jika seorang laki-laki masuk/menemui 
sekelompok wanita, sedangkan mereka memakai hijab (menutupi seluruh 
tubuhnya termasuk wajah, karena Syaikh berpendapat wajah wanita harus 
ditutup-pen) dan jauh kemungkinan bersepakat untuk berbuat keji, dan 
aman dari fitnah, maka hal itu boleh. Wallahu A’lam”. [Jami’ Ahkamun 
Nisa’ IV/293]
6. Seorang laki-laki berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati orang, untuk memenuhi keperluan wanita tersebut.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ امْرَأَةً كَانَ فِي عَقْلِهَا شَيْءٌ فَقَالَتْ يَا 
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَقَالَ يَا أُمَّ فُلَانٍ 
انْظُرِي أَيَّ السِّكَكِ شِئْتِ حَتَّى أَقْضِيَ لَكِ حَاجَتَكِ فَخَلَا 
مَعَهَا فِي بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا 
“Dari Anas, bahwa seorang wanita yang akalnya tidak begitu beres 
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku  memiliki keperluan 
kepadamu”. Maka beliau menjawab: “Hai Ummu Fulan, lihatlah jalan mana 
yang engkau sukai, sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu”. Maka beliau
 berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan sehingga wanita 
itu menyelesaikan keperluannya”. [HSR. Muslim, Al-Bukhari secara 
ringkas, dan Abu Dawud]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Perkataan “Maka beliau 
berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan” yaitu berdiri 
bersamanya di jalan yang dilewati oleh orang, agar beliau dapat memenuhi
 keperluannya dan memberikan fatwa kepadanya dalam keadaan 
sendirian/sepi. Dan hal itu tidak termasuk khalwat (menyendiri) dengan 
wanita asing (bukan mahram), karena hal ini terjadi di tempat lewatnya 
orang-orang dan mereka dapat melihat beliau dan wanita tersebut, tetapi 
mereka tidak mendengar perkataan wanita itu, karena pertanyaan wanita 
itu, tidak dinampakkan dengan terang oleh beliau, wallahu a’lam”. [Syarh
 Muslim V/180]
Imam An-Nawawi juga berkata: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan
 tentang tawadhu’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan 
berdirinya beliau dengan seorang wanita yang lemah. Inilah, dan Imam 
Al-Bukhari telah memasukkan hadits ini ke dalam bab: Khalwat seorang 
laki-laki dan wanita yang dibolehkan di hadapan orang-orang”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menjelaskan bab ini: “Yaitu, laki-laki itu tidak menyendiri dengan wanita itu sampi tubuh keduanya tertutup dari (pandangan) mereka, tetapi sekedar mereka tidak mendengar perkataan keduanya, jika hal itu termasuk yang disembunyikan oleh wanita itu, seperti sesuatu yang seorang wanita malu untuk menyebutkannya di antara orang banyak. Dan penyusun (yaitu Imam Al-Bukhari) mengambil perkataan “di hadapan orang-orang” di dalam bab itu dari perkataan pada sebagian jalan-jalan hadits (yaitu): “Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan”, yaitu di jalan yang dilewati, yang pada umumnya tidak sepi dari lewatnya orang-orang.” Kemudian Ibnu Hajar juga berkata: “Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa perundingan seorang wanita asing (dengan seorang laki-laki-pen) secara pelan-pelan tidaklah merusakkan agamanya di saat aman dari fitnah. Akan tetapi urusannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Siapakah di antara kamu yang dapat menguasai syahwatnya sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguasai syahwatnya”.
7. Wanita mengucapkan salam kepada laki-laki. 
Dalilnya hadits Ummu Hani’ yang telah disebutkan di atas, yaitu pada 
point ke (2). Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan. 
أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ 
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ 
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ 
الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ 
بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ 
بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ 
مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ 
وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ 
أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ 
فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ 
هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى 
“Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib 
menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib 
berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah 
menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab: 
“Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau 
berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau 
berdiri sholat delapan roka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah
 selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu
 Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin 
Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau 
lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha” 
[HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]
8.Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita.  
عَنْ سَهْلٍ قَالَ:… فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا 
Dari Sahl, dia berkata: “…Maka jika kami telah shalat jum’ah, kami 
pulang (dan mampir ke rumah seorang wanita tua) dan kami mengucapkan 
salam kepadanya, kemudian dia menghidangkan makanan kepada kami.” [HSR. 
Al-Bukhari dan lainnya]
TAMBAHAN
Inilah sebagian di antara perkara-perkara yang tidak termasuk ikhthilath yang terlarang hukumnya. 
Dengan keterangan ini, maka definisi ikhthilath di dalam kitab 
Mas-uliyah Mar’atil Muslimah (hal:22) karya Syaikh Abdullah bin Jarullah
 bin Ibrahim Al-Jarullah rahimahullah, yaitu bahwa ikhthilath adalah: 
“Berkumpulnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan 
mahramnya, atau: berkumpulnya banyak orang laki-laki dengan banyak orang
 wanita yang mereka itu bukan mahram, di satu tempat, yang memungkinkan 
padanya untuk berhubungan di antara mereka, dengan cara memandang, 
berisyarat, dan berbicara, sehingga menyepinya seorang laki-laki dengan 
seorang wanita asing -yang bukan mahramnya- dalam keadaan bagaimanapun 
juga dianggap termasuk ikhthilath” belum bisa diterima. Karena kalau 
yang dimaksud ikhthilath adalah demikian, tentulah perkara-perkara di 
atas tadi termasuk ikhthilath yang terlarang!
Tetapi hal ini, bukan berarti laki-laki boleh memandang wanita yang 
bukan mahramnya –atau sebaliknya- tanpa adanya keperluan yang diidzinkan
 syari’at.  Karena larangan tentang memandang ini jelas dari Al-Kitab 
dab As-Sunnah, sebagaimana sebagiannya telah berlalu di atas.
Inilah sedikit yang kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit
 Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________Footnote
[1]. HSR. Al-Bukhari di dalam Shahihnya, dan di dalam Al-Adabul Mufrad; 
Muslim; Abu ‘Awanah; Ibnu Majah; dan lainnya –kami ringkaskan 
takhrijnya-pen] (Adabuz Zifaf Fis Sunnah Al-Muthahharah, hal:103-106, 
Maktab Al-Islami, 1409 H- 1989 M

 
 

 
 
