87846: Hakekat Wisata Dalam Islam, Hukum
Dan Macam-Macamnya
Saya
memohon anda menjelaskan informasi yang penting dan menyeluruh tentang wisata
islami. Apa yang dimaksud wisata dalam Islam? Apa ketentuan wisata dalam Islam?
Bagaimana menyelenggarakan wisata Islam? Bagaimana suatu negara itu dikakatan
sebagai tujuan wisata islami? Dan apa program wisata islami? Kami ucapkan
banyak terima kasih
Published Date:
2010-12-18
---------------------------------------------
Alhamdulillah
Kata
Wisata menurut bahasa mengandung arti yang banyak. Akan tetapi dalam istilah
yang dikenal sekarang lebih dikhususkan pada sebagian makna itu. Yaitu, yang
menunjukkan berjalan-jalan ke suatu negara untuk rekreasi atau untuk
melihat-lihat, mencari dan menyaksikan (sesuatu) atau semisal itu. Bukan untuk
mengais (rezki), bekerja dan menetap. Silakan lihat kitab Al-Mu’jam Al-Wasith,
469.
Berbicara
tentang wisata menurut pandangan Islam, maka harus ada pembagian berikut ini,
Pertama:
Pengertian wisata dalam Islam.
Islam
datang untuk merubah banyak pemahaman keliru yang dibawa oleh akal manusia yang
pendek, kemudian mengaitkan dengan nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata
dalam pemahaman sebagian umat terdahulu dikaitkan dengan upaya menyiksa diri
dan mengharuskannya untuk berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih
sebagai hukuman baginya atau zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk
menghapuskan pemahaman negatif yang berlawanan dengan (makna) wisata.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang
bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau
menjawab: "Wisata tidak ada sedikit
pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh." (Talbis
Iblis, 340).
Ibnu
Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh
sekelompok orang yang dikenal suka beribadah dan
bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada
yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari,
karangan Ibnu Rajab, 1/56)
Kamudian
Islam datang untuk meninggikan pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan
tujuan-tujuan yang mulia. Di antaranya
1.
Mengaitkan wisata dengan ibadah,
sehingga mengharuskan adanya safar -atau wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam agama yaitu haji pada
bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah Ta’ala dalam satahun.
Ketika ada seseorang datang kepada Nabi sallallahu alaihi wa
sallam minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama, yaitu safar dengan
makna kerahiban atau sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa
sallam memberi petunjuk kepada maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar
berwisata dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan
Allah.” (HR. Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam
Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya
Ulumuddin, no. 2641). Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam
mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.
2. Demikian pula, dalam pemahaman
Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu
dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat
agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib
Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits’, di
dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk
mendapatkan dan mencari satu hadits saja.
Di
antaranya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian tabiin terkait dengan firman
Allah Ta’ala:
التَّائِبُونَ
الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة التوبة: 112)
“Mereka itu adalah
orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS.
At-Taubah: 112)
Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’ mereka adalah pencari ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul Qadir, 2/408.
Meskipun penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang
dimaksud dengan ‘As-Saaihin’ adalah orang-orang
yang berpuasa.
3.
Di antara maksud wisata dalam Islam
adalah mengambil pelajaran dan
peringatan. Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah untuk berjalan di
muka bumi di beberapa tempat. Allah berfirman: “Katakanlah: 'Berjalanlah di
muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan itu." (QS.
Al-An’am: 11)
Dalam ayat lain, “Katakanlah: 'Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu
perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69)
Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan dan pergi
ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasehat,
pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)
4. Mungkin di antara maksud yang paling
mulia dari wisata dalam Islam adalah berdakwah
kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan kepada manusia cahaya yang diturunkan
kepada Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Itulah tugas para Rasul
dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka dari kalangan para shahabat
semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam
telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia,
mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami berharap wisata yang ada
sekarang mengikuti wisata yang memiliki tujuan mulia dan
agung.
5.
Yang terakhir dari pemahaman wisata
dalam Islam adalah safar untuk
merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam
nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap
keesaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiabn hidup. Karena
refresing jiwa perlu untuk memulai semangat kerja baru. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
قُلْ
سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ
النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (سورة
العنكبوت: 20)
Katakanlah:
"Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.
Al-Ankabut: 20)
Kedua: Aturan
wisata dalam Islam
Dalam
ajaran Islam yang bijaksana terdapat hukum yang mengatur dan mengarahkan
agar wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah disebutkan tadi,
jangan sampai keluar melewati batas, sehingga wisata menjadi sumber
keburukan dan dampak negatif bagi masyarakat. Di antara hukum-hukum itu
adalah:
1.
Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat
tertentu kecuali tiga masjid. Dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:
لا
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
(رواه البخاري، رقم 1132 ومسلم، رقم 1397)
“Tidak dibolehkan
melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah
sallallahu’alaihi wa saal dan Masjidil Aqsha."
(HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)
Hadits ini menunjukkan akan haramnya promosi wisata
yang dinamakan Wisata Religi ke selain tiga masjid, seperti ajakan
mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan
kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus
dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. Dalam ajaran Islam
tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan ibadah di dalamnya
sehingga menjadi tempat yang diagungkan selain tiga tempat tadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Aku pergi Thur (gunung Tursina di Mesir),
kemudian aku bertemu Ka’b Al-Ahbar, lalu duduk bersamanya,
lau beliau menyebutkan hadits yang panjang, kemudian berkata, "Lalu
aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana
kamu datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur." Lalu
beliau mengatakan, "Jika aku menemuimu sebelum engkau keluar ke
sana, maka (akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu
alaihi wa sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke
Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR. Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no.
1430, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)
Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju tempat suci
selain tiga tempat ini. Hal itu bukan berarti dilarang mengunjungi
masjid-masjid yang ada di negara muslim, karena kunjungan kesana dibolehkan,
bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar dengan
niat seperti itu. Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu
diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan
terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. Yang
keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci
agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau
lainnya yang serupa.
2.
Ada juga dalil yang mengharamkan wisata seorang muslim ke
negara kafir secara umum.
Karena berdampak buruk terhadap agama dan akhlak seorang muslim, akibat
bercampur dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apabila
tidak ada keperluan dalam safar tersebut seperti untuk berobat,
berdagang atau semisalnya, kecuali Cuma sekedar bersenang senang dan rekreasi.
Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki
keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir.
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Tidak boleh Safar
ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat
bercampur dan menetap di tengah orang kafir di antara mereka. Akan
tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara
mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk
belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang,
kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir
dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di
negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam. Adapun kalau
safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak
membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat
dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan. (Al-Muntaqa
Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)
Penegasan tentang masalah ini telah diuraikan dalam situs
kami secara terperinci dan panjang lebar. Silakan lihat soal no. 13342,
8919,
52845.
3.
Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam melarang wisata ke
tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai
kemaksiatan seperti di pinggir pantai yang bebas dan
acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim diperintahkan
untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya) dan jangan duduk
dengan orang yang melakukan itu.
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: “Tidak diperkenankan
bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal itu mengundang
bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang untuk menutup
peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah, 26/332)
Bagaimana dengan wisata yang menganjurkan kemaksiatan dan
prilaku tercela, lalu kita ikut mengatur, mendukung dan menganjurkannya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah juga berkata: “Kalau wisata
tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran serta
mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah
dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi
perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah
akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah,
26/224)
4.
Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan
situs-situs kuno, jika itu adalah bekas tempat turunnya azab, atau tempat
suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.
Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, ada di kota
Al-Bada di provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang
diukir di gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal
kaum Nabi Syu’aib alaihis salam. Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil
bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak ada
dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi orang
yang bermaksud untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud mengambil
pelajaran dan nasehat?
Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal bahwa tempat tinggal bangsa Madyan
yang diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib alaihis shalatu was salam
berada di arah barat daya Jazirah Arab yang sekarang dinamakan Al-Bada
dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika itu benar, maka tidak
diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan sekedar
melihat-lihat. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika melewati Al-Hijr,
yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau bersabda:
“Janganlah
kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya,
khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka, kecuali
kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala dan berjalan
cepat sampai melewati sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika menjelaskan
manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di antaranya adalah
barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai dan turunkan azab,
tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya, tetapi hendaknya dia
mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat. Tidak boleh memasukinya
kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran. Dengan landasan ini,
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di wadi (sungai) Muhassir
antara Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah membinasakan pasukan
gajah dan orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits
tadi, "Hal ini mencakup negeri Tsamud dan negeri lainnya
yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan mereka."
(Fathul Bari, 6/380).
Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi Arabia
jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu Ihyai Diyar Tsamud (hukum
menghidupkan perkampungan Tsamud). Juga silahkan lihat soal jawab no. 20894.
5.
Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi
haji atau umrah tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk wisata yang di
dalamnya banyak tasahul (mempermudah masalah) dan campur baur yang diharamkan?
Silakan lihat soal jawab no. 4523, 45917, 69337 dan 3098.
6.
Adapun mengatur wisata untuk orang
kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau diizinkan oleh
pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai keluar. Akan tetapi
keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati agama Islam, akhlak
umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang mendakwahkan agamanya dan tidak
menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak boleh keluar kecuali dengan
penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai untuk negara Islam, bukan
dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya dengan terbuka dan tanpa baju.
Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau spionase untuk negaranya. Yang
terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua tempat suci; Mekkah dan Madinah.
Ketiga:
Tidak
tersembunyi bagi siapa pun bahwa dunia wisata sekarang lebih dominan dengan
kemaksiatan, segala perbuatan buruk dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja
bersolek diri, telanjang di tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas,
meminum khamar, memasarkan kebejatan, menyerupai orang kafir, mengambil
kebiasaan dan akhlaknya bahkan sampai penyakit mereka yang berbahaya.
Belum lagi, menghamburkan uang yang banyak dan waktu serta kesungguhan. Semua
itu dibungkus dengan nama wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan
terhadap agama, akhlak dan umatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jangan
sampai menjadi penolong untuk mempromosikan wisata fasik ini. Akan tetapi
hendaknya memeranginya dan memerangi ajakan mempromosikannya. Hendaknya
bangga dengan agama, wawasan dan akhlaknya. Hal tersebut akan menjadikan negeri
kita terpelihara dari segala keburukan dan mendapatkankan pengganti keindahan
penciptaan Allah ta’ala di negara islam yang terjaga.
Wallahu’alam .
____________________________
Share Ulang
Share Ulang
·
Citramas, Cinunuk.
·
from= https://islamqa.info/id/87846