Penulis: Ummu Ziyad F. Mustikawati
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Telah lama
rasanya, muslimah.or.id
tidak membahas tentang Dzat yang paling mulia untuk dipelajari, yaitu Allah
Tabaraka wa Ta’ala. Padahal pengetahuan tentang
Allah adalah hal yang paling kita butuhkan dan paling mulia untuk
dipelajari, dan tidak akan berhenti kebutuhan kita untuk mempelajarinya. Karena
dengan mengenal Allah inilah, akan semakin bertambah keimanan kita, semakin
baik ibadah kita dan semakin besar rasa cinta, harap dan takut yang ada pada
diri kita dalam setiap amalan ibadah yang kita lakukan.
Tauhid
asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama-nama Allah yang
telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun sunnah Nabi-Nya
tanpa melakukan empat hal berikut:
1. Penyimpangan (tahrif), yaitu merubah
atau mengganti makna dari apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang
ditetapkan oleh Rasul-Nya.
Misalnya:
Sifat
marah Allah diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat istiwa
Allah diselewengkan menjadi istaula (menguasai).
2.Penolakan (ta’thil), yYaitu meniadakan
nama dan sifat yang telah Allah tetapkan, baik sebagiannya ataupun seluruhnya.
Misalnya membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat
lainnya karena (mereka katakan) akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal
penetapan sifat Allah tidak berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
3.Membahas bagaimana bentuk nama dan sifat Allah (takyif),
yaitu membatasi bagaimanakah sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Padahal
hal ini tidak mungkin. Untuk mengetahui bentuk dan hakekat dari sebuah sifat,
dapat diketahui dari tiga hal:
- Melihat zat tersebut. Dan ini tidak mungkin kita lakukan karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Ada sesuatu yang semisal zat tersebut. Dan ini juga tidak mungkin kita lakukan kepada Allah karena Allah tidak serupa dengan makhluknya.
- Ada berita yang akurat (khobar shodiq). Orang yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberitakan tentang bentuk sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Inipun
tidak mungkin karena Allah tidak serupa dengan hamba-Nya, akan tetapi Allah
tetap memiliki nama dan sifat sebagaimana yang ditetapkan oleh-Nya dalam kitab-Nya
dan sunnah Nabi-Nya.
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha Mendengar dan Melihat.”
(Qs. Asy-Syuura: 11)
Agar kita
tidak terjatuh dalam empat penyimpangan besar dalam tauhid nama dan sifat Allah
ini, maka terdapat kaidah umum yang ditetapkan oleh para ulama, yaitu sebagai
berikut:
1.Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah (hadits-hadits shahih).
Artinya,
kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Al-Qur’an,
baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain
sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani
ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan
sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan
akal mereka.
“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat)
dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 85)
Begitupula
dalam mengimani hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits
mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat
memahaminya. (Lihat artikel Tasirul Mustholah Hadits, bagaian 2 dan 3).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segera
saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya sebuah
hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang
maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan
dalam kitab Allah.'”
(HR. AbuDawud dan at-Tirmidsi, dishahihkan oleh syaikh al-Albani).
Al-Ustadz
Ali Misri mengatakan, “Sebagian ulama memberikan
perumpamaan akal dengan wahyu bagaikan mata dengan cahaya. Sebagaimana mata
tidak dapat melihat sesuatu kecuali ketika ada cahaya – baik cahaya matahari
pada siang hari atau cahaya lampu pada malam hari -, akal tidak akan bisa menentukan
sesuatu terutama dalam hal yang ghaib kecuali jika ada penjelasan dari wahyu.”
(majalah Al-Furqon)
2.Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala
sifat-sifat-Nya.
Ketika
kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha
melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak
diperbolehkan menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.
Sayangnya,
hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini pulalah yang
memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat. Kesalahan yang
berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:
Seseorang
tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia menyimpangkan (tahrif)
sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena menganggap jika ia
menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya,
“Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
Hal ini
disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk dan sifat.
Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki kaki, namun
bentuk dan hakekat kaki tersebut tetaplah berbeda.
Atau
seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir akan
menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah tetapkan
baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan
nama-nama Allah hanya ada 13. Padahal apa yang mereka lakukan justru
menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki
sifat-sifat yang terbatas.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat
sifat-sifat Allah tersebut.
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk penyimpangan dalam tauhid
asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana bentuk dan hakekat sifat-sifat
Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya
tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat
menanyakan kaifiyat (bagaimananya) sifat tertawa Allah, atau bentuk
tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.
Yang perlu
kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha
sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya. Dan untuk mengimani sesuatu
tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat tersebut. Sebagai
contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi
bentuk dan hakekat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat
dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan
hakekatnya.
Termasuk
larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat
sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan
dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui
bentuk dan hakekat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya
bentuk dan hakekat dari sifat-sifat Allah. Hakekat sifat Allah tetaplah ada
dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Sekarang
kita praktekkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami salah satu hadits
tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke langit dunia setiap malam,
sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke
langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman,
‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon
kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya
Aku mengampuninya.'” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sesuai
kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.Kita tidak
menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun pada makhluk
adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang (naqish)) dan juga kita
tidak menanyakan atau membayangkan bagaimana Allah turun ke langit dunia setiap
malam (seperti banyak orang menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini
karena menganggap tidak mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam
karena dunia ada yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah karena
berpikir dengan logika makhluk). Allah sempurna dengan segala sifatnya dan
tidak memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut. Jika kita tidak mampu
memahami ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya bahwa sifat turun ini ada
pada Allah.
Contoh
lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain (dua tangan) dan
al-‘ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur’an
وَيَبْقَى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 27)
وَاصْبِرْ
لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ
تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu,
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata Kami.”
(Qs. Ath-Thur: 48)
قَالَ يَا
إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ
أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ
“Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang
telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.”
(Qs. Shad: 75)
Dari apa
yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai kaidah, kita
mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak menyerupakan
sifat-sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak menanyakan bagaimana bentuk
atau penggunaan dari sifat-sifat Allah tersebut, misalnya mempertanyakan
bagaimana wajah Allah, atau membayangkan mata Allah seperti manusia atau
membayangkan bagaimana Allah menggunakan kedua tangannya.
Demikian
‘sedikit’ pengetahuan tentang Allah dengan nama dan sifat-Nya. Pembahasan ini
sungguh sangat luas sehingga tidak dapat dicukupkan dengan satu artikel ini.
Semoga Allah memudahkan untuk mewujudkan ilmu tentang ini pada artikel-artikel
selanjutnya, insya Allah.
Maraji’:
- Majalah Al-Furqon edisi 08 tahun ke-8 1430/2009
- Syarah Tsalaatsatul Ushuul – terjemahan -, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ’Utsaimin. Al Qowam.
- Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Sa’id bin Ali bin Wahfi al-Qahthaniy
____________________________
Share
Ulang
- Pal Merah
- from= https://muslimah.or.id/494-memahami-nama-dan-sifat-allah.html