Semua manusia sepakat bahwa ilmu sangat penting bagi manusia. Baik
ilmu dunia maupun ilmu agama, karena ilmu bisa meningkatkan derajat
manusia.
Allah berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [Al-Mujadilah : 11]
Karena ilmu ini yang bisa mengarahkan orang untuk beramal dengan amal
yang benar. Jika tidak berilmu, bagaimana ia bisa beramal? Ath-habari
rahimahullahu berkata,
ويرفع الله الذين أوتوا العلم من أهل الإيمان على المؤمنين، الذين لم يؤتوا العلم بفضل علمهم درجات، إذا عملوا بما أمروا به
“Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan
orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka, jika
mereka mengamalkan ilmu tersebut.”[1]
Salah satu keutamaan ilmu juga sebagaimana dalam ayat berikut.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ
قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ
مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”
Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya
untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah
nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allâh amat cepat hisab-Nya.”
[Al-Maidah/5:4].
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa anjing yang “berilmu/terlatih” (kalbun
mu’allam/anjing terlatih) dihalalkan buruannya padahal anjing berburu
dengan gigitan mulut dan ada air liurnya. Beliau berkata,
ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺟﻌﻞ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﺠﺎﻫﻞ ﻣﻴﺘﺔ ﻳﺤﺮُﻡ ﺃﻛﻠﻬﺎ ، ﻭﺃﺑﺎﺡ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﻤﻌﻠّﻢ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻌﻠﻢ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan buruan anjing yang
“bodoh/tidak dilatih” sebagai bangkai yang haram di makan dan Allah
membolehkan buruan anjing terlatih. Hal ini menunjukkan kemuliaan
ilmu.”[2]
Banyak orang yang sangat ingin berilmu dan menjadi orang yang
memiliki ilmu, akan tetapi mereka tidak tahan dengan lelah dan letihnya
menuntut ilmu. Ilmu tidak mungkin didapatkan, seseorang harus melawan
nafsu bersantai-santainya.
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,
ولا يستطاع العلم براحة الجسد
“Ilmu tidak akan diperoleh dengantubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)”[3]
Semakin tinggi cita-cira kita, maka semakin sedikit juga waktu luang dan waktu untuk badan kita bersantai-ria.
Imam Syafi’i rahimahullah juga mengisyaratkan perjalanan dan
perjuangan berat menuntut ilmu dengan hasil yang baik. Beliau berkata,
لا يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذلة النفس، وضيق العيش، وخدمة العلم، أفلح
“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas
jiwanya kemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut
ilmu dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat
untuk ilmu, maka ia akan beruntung.”[4]
Abu ‘Amr bin Ash-Shalah menceritakan biografi Imam Muslim rahimahullah, beliau berkata,
وَكَانَ لمَوْته سَبَب غَرِيب نَشأ عَن غمرة فكرية علمية
“Tentang sebab wafatnya (imam muslim) adalah suatu yang aneh
(bagiku), timbul karena kepedihan/kesusahan hidup dalam (menuntut)
ilmu.”[5]
Menuntur ilmu selain meletihkan pikiran, juga terkadang meletihkan badan. Yahya Abu zakaria berkata,
وذكر لي عمي عبيد الله قال: قفلت من خراسان
ومعي عشرون وقرا من الكتب، فنزلت عند هذا البئر -يعني: بئر مجنة- فنزلت
عنده اقتداء بالوالد
“Pamanku Ubaidillah bercerita kepadaku, “aku kembali dari
Khurasan dan bersamaku ada 20 beban berat yang berisikan buku-buku. Aku
singgah di sebuah sumur –yaitu sumur Majannah- aku lakukan karena
mencontoh ayahku.”[6]
Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menanggung
letihnya menuntut ilmu adalah orang yang beruntung dengan ilmunya kelak.
Beliau berkata,
ما أفلح فى العلم إلا من طلبه فى القلة، ولقد كنت أطلب القرطاس فيعسر علىَّ. وقال: لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح
“Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang
yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan, aku dahulu mencari
sehelai kertaspun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu
dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia
beruntung.”[7]
Semoga ini menjadi motivasi kita terutama di zaman ini yang ilmu
sangat mudah diperoleh melalui internet, youtube dan sosial media.
Jangan sampai kita terlena dengan kemudahan ini dan tidak berniat
menuntut ilmu dengan baik. Silahkan bandingkan bagaimana cara kita
menuntut ilmu dengan ulama zaman dulu.
Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Jami’ Bayan fii Ta’wilil Quran 23/246, Muassasah Risalah, Asy-Syamilah
[2] Miftah Daris Sa’adah 1/55, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
[3] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/348 no.553, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[4] Tadribur Rawi 2/584, Darut Thayyibah, Syamilah
[5] Shiyanah Shahih Muslim hal. 62, darul Gharbil Islamiy, Beirut, cet.II, 1408 H, Syamilah
[6] Siyar A’lam An-nubala 12/503 Darul Hadits, koiro, 1427 H, syamilah
[7] Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat hal. 54, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Syamilah