Oleh
Ustadz Muhammad Yassir, Lc.
Ustadz Muhammad Yassir, Lc.
Segala
sesuatu pasti ada tujuannya. Kita hidup diciptakan Allâh Azza wa
Jalla juga memiliki tujuan, yaitu ibadah kepada-Nya. Membangun mesjid
adalah untuk tujuan ibadah di dalamnya. Membangun rumah sakit bertujuan
untuk pelayanan kesehatan. Membangun sekolah untuk pelaksanaan belajar
mengajar.
Bisakah
dibayangkan bila rumah sakit didirikan dengan begitu megahnya, tersedia
berbagai dekorasi, lengkap dengan taman beserta air mancur di dalamnya.
Namun, rumah sakit tersebut tidak memiliki seorang dokter pun ?
Berarti, seluruh kemegahannya tidak berguna, disebabkan tidak
tercapainya tujuan nyata sebuah rumah sakit.
Gambaran di atas hanyalah ilustrasi tentang pentingnya mengenal tujuan.
TUJUAN SHALAT
Tidak ada yang menyangkal, shalat merupakan ibadah yang paling utama.
Hal yang pertama dipertanggungjawabkan di hadapan Allâh Azza wa
Jalla kelak pada hari kiamat. Sehingga shalat pun memiliki tujuan.
Tujuan itu adalah ruhnya shalat, yaitu khusyu’.
Setiap
orang mencari seluruh cara untuk mencapai ruh ini dengan menggali
segala sumber untuk bisa meneguk rasa khusyu’ dalam shalatnya.
Wujud nyata dari khusyu’ adalah konsentrasi penuh dalam shalat.
Tidak ada yang terbersit dalam hati kecuali hanya dzikir kepada
Allâh Azza wa Jalla .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ
تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ
يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa
berwudhu seperti cara aku berwudhu, kemudian ia beranjak shalat dua
rakaat tanpa terbersit atau membayangkan apapun dalam hatinya, maka
Allâh Azza wa Jalla akan mengampuni dosa orang tersebut. [HR
al-Bukhâri, 158].
Sekilas,
rasanya mudah untuk mendapatkan ampunan dengan mengamalkan hadits di
atas. Semua bisa berwudhu dengan sempurna, sanggup untuk mendirikan
shalat dua raka’at. Akan tetapi, yang paling sulit adalah untuk
khusyu’ dalam shalat seperti yang disyaratkan dalam hadits di
atas, yaitu kosongnya hati dari seluruh bayangan dan bisikan selain
shalat.
Ketenangan
hati dapat saja terganggu melalui dua pintu hati, yaitu telinga dan
mata. Segala yang didengar dan semua yang dilihat bisa membuat hati
terlena, atau bahkan membekas dalam hati.
Untuk
gangguan yang berasal dari suara, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan dalam haditsnya yang
diriwiyatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Beliau
Radhiyallahu anhu bercerita :
اعْتَكَفَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ
يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ
إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ »
Ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
i’tikaf di masjid, beliau pernah mendengar para sahabat saling
mengeraskan suara saat membaca al-Qur’ân, maka
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar
menemui mereka seraya bersabda, “Ketahuilah, bahwasanya kalian
ini sedang bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla. Janganlah
kalian saling mengganggu satu sama lain dan jangan pula kalian saling
mengangkat suara dalam membaca al-Qur’ân atau
berdzikir”. [HR Abu Dâwud, 1334].
Untuk jenis gangguan khusyu’ kedua adalah yang berasal dari pandangan mata, dan inilah yang sedang dalam pembahasan kita.
Sehubungan
dengan fenomena yang banyak terjadi dalam kehidupan kita. Seperti
pembangunan masjid yang berfokus pada keindahan dan kemegahan,
berhiaskan ukiran dan kaligrafi, bahkan terkadang ada masjid yang
dihiasi dengan foto atau lukisan pendirinya, sajadah untuk shalat hanya
terfokus pada hiasan dan corak serta warna karena hanya untuk menjadi
komoditi pasar. Maka begitu pula pakaian yang dipakai, bisa saja
membuat lalai orang dari khusyu’ dalam shalat.
Diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu :
كَانَ
قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ النَّبِيُ
صلى الله عليه وسلم: “أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ
لاَ تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلاَتِي”
‘Aisyah
mempunyai gorden yang dipasang di dinding rumahnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyuruh
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Singkirkanlah gorden itu
dari kita, karena lukisannya senantiasa membayangiku dalam
shalatku”. [HR al-Bukhâri, 374].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata, “Bila kain bergambar yang berada di
hadapan orang shalat bisa melalaikannya, maka begitu pula bila gambar
tersebut dipakai di baju orang yang sedang shalat. Bahkan, gambar yang
dipakai itu lebih melalaikan lagi”. [Fathul-Bari, 10/391].
Hal
tersebut pernah juga dialami oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam . ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata :
أَنَّ
النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيْصَةٍ لَهَا
أَعْلاَمٌ فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ
: اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي
بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ
صَلاَتِي
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan pakaian
khamishah yang bercorak. Dalam shalatnya beliau memandang sekilas corak
pakaian tersebut. Setelah selesai shalat, beliaupun berkata:
“Serahkan khamishah ini kepada Abu Jahm, dan ambilkan untukku
pakaian ambijaniyah hadiah dari Abu Jahm. Karena, pakaian khamishah
tadi melalaikan khusyuk shalatku”. [HR al-Bukhâri, no. 373]
Pakaian
anbijâniyyah yang diminta Rasûlullâh adalah pakaian
kasar yang tidak bercorak. Berbeda dengan pakaian khamishah yang
dikembalikan oleh beliau, pakaian itu memiliki corak ataupun gambar.
HUKUM SHALAT DENGAN PAKAIAN BERCORAK ATAU BERGAMBAR
Tidak ada yang mengatakan bahwa shalat orang yang memakai pakaian
bergambar atau bercorak itu batal. Ini berarti, sah hukumnya shalat
menghadap memandang gambar atau sesuatu yang bercorak atau bertulisan,
baik gambar di pakaian itu gambar makhluk bernyawa atau gambar lainnya.
HUKUM MEMAKAI PAKAIAN BERGAMBAR DALAM SHALAT
Pada asalnya, hukum memakai pakaian adalah mubah, terserah pada setiap
orang mau memakai pakaian berwarna ataupun corak apa saja. Namun, ada
beberapa kondisi tertentu atau jenis gambar yang menjadikannya haram
dipakai.
Gambar
di pakaian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ada gambar makhluk
hidup seperti manusia dan hewan, dan ada pula gambar lainnya, seperti
pohon, pemandangan, ukiran, kendaraan dan lain-lain.
Untuk
jenis gambar pertama, yaitu bergambar makhluk hidup, pakaian seperti
ini dilarang memakainya, baik dalam shalat ataupun di luar shalat.
Karena, makhluk hidup dilarang untuk digambar atau dilukis. Hal
tersebut telah diancam oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam haditsnya :
إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Sungguh
orang yang melukis gambar ini akan diazab pada hari kiamat kelak.
Mereka akan diminta untuk menghidupkan makhluk yang mereka lukis
tersebut. [HR al-Bukhari, no. 1999].
Demikian
ganjaran bagi pelukisnya. Adapun memakai pakaian tersebut juga
merupakan perbuatan dosa karena memajang sesuatu yang haram untuk
dibuat. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, bahwa rumah yang di dalamnya terdapat lukisan makhluk
hidup, tidak akan dimasuki oleh malaikat rahmat. [HR al-Bukhâri,
no. 1999].
Dalam
Shahîh Muslim disebutkan hadits Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk menghapus
seluruh gambar makhluk hidup yang kita temui. [HR Muslim, no. 969].
Adapun
untuk jenis gambar kedua, yaitu bukan gambar makhluk hidup, maka hukum
memakai pakaian tersebut adalah tetap pada hukum asalnya yaitu
boleh-boleh saja. Namun, jika dipakai dalam shalat bisa mempengaruhi
konsentrasi karena dilalaikan oleh corak dan gambar di pakaian
tersebut. Oleh karena itu, hukum memakainya dalam shalat menjadi makruh.
Hukumnya
tidak sampai ke derajat haram dikarenakan beberapa hal. Pertama, tidak
ada dalil yang mengharuskan shalat dengan pakaian jenis ataupun warna
tertentu. Begitu pula tidak ada larangan untuk memakai corak tertentu.
Yang berhubungan antara pakaian dengan shalat hanyalah masalah menutup
aurat. Kedua, mengganggu atau tidaknya kekhusyukan shalat bentuknya
nisbi. Bisa tergantung pada diri pribadi seseorang; bisa dikarenakan
corak pakaian; bisa disebabkan biasa atau tidak memandang suatu corak
tertentu; atau faktor lainnya.
Kaitan
dengan hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya tentang sajadah yang ada gambarnya diperuntukkan untuk
imam shalat.
Syaikh Shâlih ‘Utsaimin menjawab :
Tidak seharusnya disediakan sajadah seperti itu untuk imam shalat,
karena itu akan mengganggu kekhusyukannya. Namun, kalau seandainya
sajadah tersebut tidak mengganggu dikarenakan imam itu seorang tuna
netra, atau disebabkan penggunaan sajadah model seperti itu sudah
menjadi kebiasaan yang sering disaksikannya, sehingga perhatiannya
tidak teralihkan lagi, untuk kondisi seperti ini, maka tidak mengapa
menggunakan sajadah tersebut untuk shalat. [Majmu’ Fatawa Syaikh
‘Utsamin, 12/362].
HUKUM SHALAT SAMBIL MEMEJAMKAN MATA
Jika terjadi pada diri kita buyar (kehilangan) konsentrasi dalam shalat
karena berhadapan dengan gambar atau ukiran yang menarik perhatian,
bagaimanakah cara menghindarinya ? Bolehkah shalat sedangkan matanya
terpejam ?
Dalam
kitab Zâdul Ma’âd, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah
menulis satu pembahasan khusus tentang masalah ini. Di awal
pembahasannya, ia menyatakan bahwa memjamkan mata dalam shalat bukanlah
cara shalat yang dicontohkan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang diajarkan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memandangi tempat sujud atau
memandangi ujung telunjuk ketika sedang duduk tasyahud.
Imam
Ibnul-Qayyim rahimahullah juga membawakan adanya perbedaan pendapat di
kalangan ulama mengenai hukumnya, ia berkata, “Ada perbedaan
pendapat Ulama dalam masalah memejamkan mata ketika shalat. Ada yang
memakruhkannya, seperti pendapat Imam Ahmad dan Ulama lainnya. Menurut
pendapat ini, makruhnya perbuatan itu karena menyerupai ibadah orang
Yahudi.
Ada
pendapat Ulama lain yang mengatakan tidak makruh. Mereka beralasan
bahwa dengan memejamkan mata akan lebih bisa memetik ruh dan tujuan
shalat yaitu khusyu’.
Namun,
pendapat yang benar adalah dengan melihat kondisi. Seandainya membuka
mata tidak mengurangi rasa khusyu’, maka itu lebih utama
dilakukan. Akan tetapi, jika di hadapannya terdapat hal-hal yang bisa
mengurangi rasa khusyu’ dan mengganggu konsentrasinya, seperti
adanya hiasan atau dekorasi dan lain sebagainya, maka dalam kondisi
seperti ini tidak makruh untuk memejamkan mata dalam shalat, bahkan
hukumnya bisa jadi sunnah. [Zâdul-Ma’âd, 1/283].
Wallâhu ‘alam bish-Shawab.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
----------------Share ULang:
- Soekarno Hatta, 26 Ramadhan 1440
- Sumber= https://almanhaj.or.id/4056-shalat-dengan-pakaian-bergambar.html