KEUTAMAAN WAQAF
Oleh
Ustadz Aunur Rofiq Ghufron
Ustadz Aunur Rofiq Ghufron
MENJUAL HARTA WAKAF
Sykaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam berkata: Imam Ahmad berpendapat, harta wakaf tidak boleh dijual atau diganti yang lain, kecuali bila tidak bisa dimanfaatkan secara keseluruhan, atau tidak mungkin diperbaiki; sehingga jika tidak dapat dimanfaatkan, maka boleh dijual atau diganti dengan yang lain. Imam Ahmad ini beralasan dengan amalan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika sampai berita kepadanya, bahwa baitul mal di Kufah rusak. Sehingga beliau menulis surat kepada sahabat Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu agar memindah masjid di Tamarin, dan menjadikan baitul mal di depan masjid, sedangkan masjid itu senantiasa dijadikan sebagai tempat shalat. Perbuatan Khalifah ini disaksikan oleh sahabat, dan tidak ada yang mengingkarinya. Karenanya, kedudukan perbuatan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu ini bernilai Ijma’.
Ibn Taimiyah berkata:
Apabila dibutuhkan ganti, maka harta wakaf itu wajib diganti dengan semisalnya.
Adapun bila ia tidak dibutuhkan, boleh diganti dengan yang lebih baik, bila
ternyata dengan diganti (itu) lebih mendatangkan maslahat. [Lihat Taisirul
Allam, 2/252].
Adapun misal harta
wakaf yang harus diganti, orang mewakafkan genting masjid, atau kayu, atau
peralatan bangunan lainnya, barang itu sudah rusak, maka wajib diganti; sebab
bila tidak, maka tidaklah bermanfaat bangunan tersebut, mengingat sebagian
peralataannya tidak berfungsi lagi. Misal yang lain, yang tidak membutuhkan
ganti, tapi bila diganti akan lebih bermanfaat; (misal) orang mewakafkan rumah
dan tanah untuk masjid. Mengingat rumah itu sempit dan tidak bisa menampung
kebutuhan jama’ah, maka bangunannya diganti dengan yang lebih luas, sehingga
dapat menampung jama’ah yang lebih banyak.
LARANGAN BAGI PEWAKAF
Wakif, hendaknya
memperhatikan benda yang diwakafkan. Antara lain : Pertama. Benda wakaf tidak
boleh dihibahkan kepada siapapun. Mengapa? Karena wakaf adalah mengambil
manfaat, bukan menghabiskan bendanya. Kedua. Benda wakaf tidak boleh diwaris.
Karena bila diwaris, berarti status wakafnya pindah menjadi milik perorangan.
Ketiga. Benda wakaf tidak boleh dijual-belikan. Karena dengan dijual-belikan,
berarti akan hilang benda aslinya.
Adapun dalil larangan
tiga perkata di atas, ialah sebagaimana keterangan hadits di atas. Antara lain
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata.
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ
Sesungguhnya tanah
wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwaris. [HR
Bukhari].
PENGURUS WAKAF
Pengurus wakaf adalah
mewakili wakif, untuk melaksanakan amanahnya. Tentunya dibutuhkan orang yang
amanat. Diutamakan orang yang berakidah benar dan Ahli Ilmu din (agama) dan
bermanhaj yang benar. Memiliki kemampuan mengelola, agar dapat disalurkan
hasilnya untuk kebaikan.
Di dalam kitab
Kasyaful Qana’ disebutkan, tidak sah wakaf diserahkan kepada: Pertama. Orang
yang tidak jelas, misalnya wakaf ini kami serahkan kepada siapa saja, karena
diragukan kepengurusannya. Kedua. Diserahkan kepada orang mati, jin atau budak,
karena wakaf membutuhkan tenaga yang mampu mengelolanya. Ketiga. Diserahkan
kepada bayi yang belum lahir. Karena wakaf membutuhkan izin untuk memilikinya.
Sedangkan bayi, dia tak memiliki kemampuan. [Lihat kitab Kasyaful Qana’,
4/249].
JENIS BENDA WAKAF
Adapun jenis barang
yang boleh diwakafkan, misalnya:
1. Tanah Kosong.
Sebagaimana hadits di
atas, bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah untuk masjid. Tentunya bukanlah wakaf
tanah hanya diperuntukkan masjid saja, tetapi boleh untuk pendidikan atau rumah
sakit dan selainnya yang bermanfaat bagi kaum muslimin khususnya, dan tidak
dipergunakan untuk perkara maksiat seperti wakaf untuk gedung biskop, tempat
pelacuran dan semisalnya.
2. Alat Perang.
Wakaf berupa alat
perang juga dibolehkan, walaupun bendanya tidak tetap, karena ada riwayat dari
Abbas Radhiyallahu ‘anhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُادَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Bukanlah ibn Jamil
benci (mengeluarkan zakat), melainkan dia miskin, lalu Allah mencukupinya dan
Rasulnya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian menzhaliminya. Sungguh dia telah
mewakafkan baju perangnya, dan dia menyediakannya untuk perang fi sabilillah.
[HR Bukhari, no. 1375]
3. Hewan Atau
Kendaraan.
Amr bin Al Harist
Radhiyallahu ‘anhu berkata.
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلَا دِينَارًا وَلَا عَبْدًا وَلَا أَمَةً وَلَا شَيْئًا إِلَّا بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلَاحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً
Pada waktu wafatnya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan dirham, tidak
pula dinar, tidak pula budak pria, tidak pula budak wanita, dan sedikitpun
tidak meninggalkan harta, melainkan keledainya yang putih, senjata dan tanah.
Beliau mewakafkan semua barang itu. [HR Bukhari, no. 2661].
Hadits ini juga
sebagai dalil point 2, yaitu waqaf berupa alat perang.
Ulama berbeda pendapat
mewakafkan benda yang tidak kekal, misalnya binatang, kendaraan dan lainnya.
Tetapi, mereka hanya berselisih dari segi penamaan, disebut wakaf ataukah
shadaqah. Perbedaan pendapat ini tidak membatalkan orang yang berinfaq berupa
hewan yang dipergunakan hasilnya untuk menuju jalan Allah.
4. Sumur Atau
Pengairan.
Utsman bin Affan
Radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di
kota Madinah. Beliau tidak menjumpai air tawar, melainkan sumur namanya Rumah
lalu Beliau bersabda.
مَنْ يَشْتَرِيهَا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ فَيَكُونَ دَلْوُهُ فِيهَا كَدُلِيِّ الْمُسْلِمِينَ وَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang membeli
sumur ini dengan uangnya sendiri, sehingga timba yang diletakkan di dalamnya
sebagai timbanya orang muslim, dan dia akan mendapat imbalan yang lebih baik di
sorga? Lalu aku membelinya dengan hartaku sendiri. [HR Ahmad, no. 524;
Tirmidzi, no. 3636; Nasa’i, 3551].
5. Kebun Yang
Dimanfaatkan Penghasilannya.
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Sa’ad bin
Ubadah, tatkala ibunya meninggal dunia, dia tidak berada di rumah. Lalu dia
bertanya : wahai Rasulullah : sesungguhnya Ibuku meninggal dunia , sedangkan
saat itu aku tidak ada ,apakah bermanfaat baginya bila aku yang bersodaqoh ?
Beliau menjawab: Ya. Dia berkata: Wahai Nabi ! saksikanlah bahwa kebun yang
berbuah banyak ini aku wakafkan agar dia dapat pahala. [HR Bukhari, no. 2551]
Hadist ini menjelaskan
pula bahwa boleh orang mewakafkan harta, pahalanya diperuntukkan keluarganya
yang telah meninggal dunia.
Keterangan hadits di
atas merupakan contoh benda wakaf, bukan sebagai pembatasan. Apabila kita
mewakaf kan benda lain berupa mushhaf, kitab hadits dan lainnya hukumnya boleh.
PENERIMA DAN
PENGGUNAAN WAKAF
Siapakah yang berhak
memanfaatkan hasil wakaf dan bagaimana pemanfaatannya? Berikut beberapa hadits
yang menjelaskan penerima hasil wakaf dan penggunaannya.
1. Sesungguhnya Umar
bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Saya mendapat bagian
tanah di Khaibar. Tidaklah kami memiliki harta yang lebih aku senangi daripada
tanah ini. Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku, wahai Nabi? Beliau
menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanahnya, dan engkau
shadaqohkan hasilnya.” Dia berkata : Lalu Umar mewakafkan tanahnya, bahwa
tanahnya tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Lalu Umar
menyedekahkan hasilnya untuk diberikan kepada kaum fakir, untuk kerabat, untuk
memerdekakan budak, untuk kepentingan jalan Allah, untuk orang yang terputus
bekal bepergiannya, dan untuk menjamu tamu. Yang mengurusinya tidak mengapa
bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain, asalkan bukan
menimbun harta. [HR Bukhari, no. 2532].
2. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلًا يَسُوقُ بَدَنَةً فَقَالَ ارْكَبْهَا
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang
menggiring onta, lalu Beliau berkata,”Tunggangilah onta itu.” [HR Bukhari,
2442].
3. Sahabat Anas
Radhiyallahu ‘anhu berkata.
كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالًا وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَى وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ) قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ ( لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ) وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَى وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ
Abu Thalhah adalah
sahabat yang paling kaya dari sahabat Al Anshar di kota Madinah. Sedangkan
harta yang paling ia sukai ialah tanah di Bairoha. Tanah itu berhadapan dengan
masjid. Rasulullah n masuk di tanah ini dan minum airnya. Airnya segar sekali.
Lalu Anas berkata : Tatkala turun ayat (Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan
[surga] melainkan bila kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu senangi) Abu
Thalhah bangun menjumpai Rasulullah n dan berkata,”Wahai, Rasulullah! Allah
berfirman : (Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan [surga] melainkan bila kamu
membelanjakan sebagian harta yang paling kamu senangi), dan sesungguhnya harta
yang paling aku cintai adalah tanah di Bairoha. Tanah ini kuwakafkan untuk
kepentingan agama Allah. Aku berharap kebaikannya dan sebagai tabungan di sisi
Allah. Wahai, Rasulullah! Engkau belanjakan harta ini sesukamu! Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bakh! Inilah harta yang berlaba, itulah
harta yang berlaba. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku
berpendapat, hendaknya engkau wakafkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu
Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya. [HR Muslim, no. 1664].
4. Hadits
أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ
Sesunggguhnya Umar bin
Khathab mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai
Rasulullah untuk meminta saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia
berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di
Khaibar. Sungguh belum pernah aku memiliki harta yang lebih aku sukai daripada
tanah ini. Maka, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu
Beliau bersabda,”Jika engkau menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau
shadaqohkan buahnya. Dia berkata: Lalu Umar menyedekahkan hasilnya.
Sesungguhnya tanah itu tidak dijual, tidak dihadiahkan dan tidak boleh diwaris.
Lalu Umar menyedahkannya kepada fuqoro’, kerabatnya, untuk memerdekakan budak,
untuk fi sabilillah, untuk membantu ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. [HR
Bukhari, Kitabusy Syurut, no. 2532].
Dari uraian hadits di
atas, secara umum pemanfaatan wakaf ada dua macam. Pertama, wakaf untuk
keluarga. Maksudnya wakaf untuk cucu atau keluarga dan orang sepeninggal
mereka. Kedua, wakaf khairiyah. Maksudnya wakaf untuk kemaslahatan umum. [Lihat
Fiqih Sunnah, 3/337].
Adapun yang berhak
menerima dan memanfaatkan hasil wakaf, secara terperinci sebagai berikut.
1. Keluarga atau anak.
Jika pewakaf
mewakafkan untuk keluarga, maka keluarga boleh mengambil hasil wakaf, karena
hadist di atas menerangkan: وَفِي الْقُرْبَى “ dan untuk keluarga”.
2. Orang Kaya.
Waqaf ditujukan kepada
orang kaya boleh, karena keumuman kalimat “dan untuk keluarga”, berarti orang
kaya termasuk di dalamnya. Selanjutnya hadits di atas menyebutkan bahwa Beliau
bersabda:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
”Jika kamu menghendaki
, kamu wakafkan tanahnya, dan kamu shadaqohkan hasilnya”
Imam Bukhari menulis
”Bab Waqaf Diperuntukkan Orang Kaya dan Miskin dan Tamu” berdalil dengan hadits
Umar. Lihat Shahih Bukhari, 2/1020.
3. Fakir Miskin.
Fakir miskin atau anak
yatimpun berhak meman faatkan hasil wakaf , utamanya bila wakif mewakafkan
untuk mereka, karena hadits diatas mengatakan :
وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ
”Lalu Umar
menyedekahkan hasilnya untuk diberikan kepada kaum fakir”.
4. Ibn Sabil.
Ibn sabil, maksudnya
orang yang bepergian ibadah, atau penuntut ilmu din. Mereka membutuhkan bantuan
karena terputus bekalnya. Mereka boleh menerima bantuan hasil wakaf, karena
hadits di atas ada kalimat:
وَابْنِ السَّبِيل “ dan untuk ibn Sabil”
وَابْنِ السَّبِيل “ dan untuk ibn Sabil”
5. Fi sabilillah.
Maksudnya untuk orang
yang jihad atau berperang untuk menegakkan dinul Islam dengan membelikan alat
perang, atau untuk menafkahi para pengajar din Islam, untuk sarana pendidikan
Islam dan semisalnya, karena hadits di atas menyebutkan: “Dan untuk fi
sabililla وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ
6. Pewakaf.
Orang yang wakaf boleh
mengambil sebagian hasil wakafnya, bila di dalam wakaf ia mensyaratkan dirinya
mengambil sebagian hasil harta wakafnya. Karena ada hadits, dari Abu Hurairah,
dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang
bershadaqoh. Lalu ada orang laki-laki berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ أَوْ قَالَ زَوْجِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ
Wahai, Rasulullah.
Saya memiliki dinar,” Beliau berkata: ”Shadaqohkan untuk dirimu.” Dia
berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk anakmu.”
Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk
istrimu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan
untuk pelayanmu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau
bersabda,”Engkau yang lebih tahu.” [HR Abu Dawud, no. 1441].
7. Tamu.
Maksudnya, bila ada
tamu, boleh diambilkan harta wakaf untuk menjamu tamu, apalagi mereka tamu
Allah, karena disebutkan hadits di atas : وَالضَّيْفِ “untuk menjamu tamu”
8. Pengurus Harta
Wakaf.
Tentunya pengurus
harta wakaf tidaklah mengambil hasil wakaf, melainkan sesuai dengan
pekerjaannya dengan didasari takut kepada Allah. Hadits di atas menyebutkan :
لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Yang mengurusinya
tidak mengapa bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain,
asalkan bukan untuk menimbun harta. [HR Bukhari, no. 2565].
ZAKAT WAKAF
Ibn Qudamah berkata:
Jika benda waqaf itu berupa pohon yang berbuah atau tanah yang diperuntukkan
pertanian, sedangkan yang menerima wakaf ini perorangan, kemudian menghasilkan
buah-buahan atau biji-bijian telah mencapai nisab, maka wajib mengeluarkan
zakatnya. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i. Adapun wakaf yang
diperuntukkan fakir miskin, maka tidak dikenakan zakat, meskipun pada waktu
panen mencapai nisab. [Lihat Al Mughni, 8/228].
Dari keterangan di
atas, tidak semua benda wakaf dikenakan zakat, tetapi khusus wakaf tanah yang
diperuntukkan untuk pertanian. Itupun terbatas dengan tanaman tertentu. Untuk
lebih jelasnya, dapat kita pelajari pada pembahasan zakat tanaman.
Demikianlah keterangan
singkat masalah wakaf. Semoga Allah Subhanhu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada
umat Islam agar segera mewakafkan sebagian hartanya, sehingga kebutuhan kaum
muslimin dapat terpenuhi, baik untuk kepentingan sarana ibadah, pendidikan atau
untuk membantu orang yang membutuhkannya. Utamanya untuk mengembangkan da’wah
salafiyah dibutuhkan sarana dan bantuan yang cukup, agar ahli tauhid cepat
bangkit serta ahli syirik dan ahli bid’ah berkurang. Barangsiapa membantu
saudaranya muslim, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantunya.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]