Tanya : Apakah membayar zakat fitrah dengan uang merupakan satu kebid’ahan dalam agama ?
Jawab : Para ulama
berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Jumhur ulama mengatakan tidak
boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) berupa uang. Inilah yang
dipegang kuat oleh Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, Hanabilah, dan
Dhahiriyyah. Sedangkan ulama lain, seperti Al-Hasan Al-Bashriy,
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Ats-Tsauriy, Abu Haniifah,
dan yang lainnya; berpandangan boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri)
dengan uang.
Dalil Pokok Madzhab Pertama
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan
kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, dari ‘Umar bin
Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu shaa’ tamr (kurma) atau satu shaa’ gandum
atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat
muslimin. Dan beliau pun memerintahkan agar mengeluarkannya sebelum
orang-orang keluar mengerjakan shalat (‘Ied)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1503].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ
الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah
mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Zaid bin Aslam, dari
‘Iyadl bin ‘Abdllah bin Sa’d bin Abi Sarh
Al-‘Aamiriy, bahwasannya ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu shaa’ makanan, atau satu shaa’gandum, atau satu shaa’ tamr (kurma), atau satu shaa’ keju, atau satu shaa’ anggur kering (kismis)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1506].
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ عَبْدُ
اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ
وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ
زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ
مِنْ الصَّدَقَاتِ
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid Ad-Dimasyqiy[1] dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan As-Samarqandiy[2], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwaan[3] - ‘Abdullah berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Yaziid Al-Khaulaaniy[4],
ia seorang syaikh yang jujur, dan Ibnu Wahb meriwayatkan darinya :
Telah menceritakan kepada kami Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan[5] - : Mahmuud berkata : Ash-Shadafiy, dari ‘Ikrimah[6], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullahshalallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari
kesia-siaan dan perkataan yang tidak senonoh, dan sebagai makanan bagi
orang-orang miskin” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1506;
hasan].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri bagi kaum muslimin dengan menyebut jenisnya. Jenis-jenis yang disebutkan oleh beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut
merupakan jenis-jenis makanan pokok. Semua jenis makanan pokok bagi
satu penduduk negeri dapat diqiyaskan dengan hal-hal tersebut (misalnya
: beras). Suatu kewajiban jika telah ditentukan jenisnya, maka tidak
boleh diganti dengan selainnya. Apalagi dalam riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa telah disebutkan salah satu tujuan pengeluaran zakat fithri tersebut adalah sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Tidaklah tercapai tujuan tersebut kecuali dengan penunaian berupa bahan makanan pokok.
Pendalilan lain yang dipakai adalah bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam uang
(berupa dinar dan dirham) telah tersebar dan dipakai, namun beliau
tidak pernah memerintahkan mengeluarkan zakat berupa uang dan tetap
menyebutkan beberapa makanan pokok yang tertera dalam hadits di atas.
Dalil Pokok Madzhab Kedua
Allah ta’ala berfirman :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [QS. At-Taubah : 103].
Ayat ini sebagai dalil bahwa asal dari kewajiban zakat yang diambil adalah (pada) harta/maal. Dan asal dari harta adalah apa-apa yang dimiliki berupa emas dan perak.
Penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri dengan gandum dan kurma hanyalah untuk sekedar memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenisnya.
Penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri dengan gandum dan kurma hanyalah untuk sekedar memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenisnya.
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ
الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ
مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا
قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا
الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَعَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ وَمِثْلُهَا مَعَهَا
Telah
menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami
Syu’aib : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zinaad, dari
Al-A’raj, dari Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menunaikan shadaqah (zakat). Lalu dikatakan kepada beliau bahwa
Ibnu Jamiil, Khaalid bin Al-Waliid, dan 'Abbaas bin 'Abdil-Muthallib
tidak mau mengeluarkan zakat. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda
: "Mengapa Ibnu Jamiil tidak mau mengeluarkan zakatnya sebab dahulunya
dia faqir namun kemudian Allah dan Rasul-Nya menjadikannya kaya? Adapun
Khaalid, sungguh kalian telah mendhalimi Khaalid, karena dia telah
mewaqafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk berjuang di
jalan Allah. Adapun 'Abbaas bin 'Abdul Muthallib dia adalah paman
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, namun demikian dia tetap
wajib berzakat dan yang semisalnya selain itu" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1468].
Sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Khaalid untuk membuat perhitungan bagi dirinya yang senilai dengan zakat yang diwajibkan kepadanya.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي
ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا
بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي
أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ
عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ
الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ
عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ
وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا
تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ
دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ
وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ
بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ
بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا
تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا
أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ
عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ
مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata :
Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Tsumaamah : Bahwasannya Anas radliyallaahu ‘anhu telah menceritakan kepadanya : Bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu : "Barangsiapa yang memiliki onta dan terkena kewajiban zakat jadza'ahsedangkan dia tidak memiliki jadza'ah dan yang dia miliki hanya hiqqah; maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah sedangkan dia tidak memiliki hiqqah namun dia memiliki jadza'ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza'ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun; maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labunsedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadl; maka diterima zakat darinya berupa bintu makhadl, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1453].
Hadits
di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan
dengan sesuatu yang senilai dengannya. Qiyasnya, hal itu berlaku pula
pada kewajiban zakat fithri.
حَدَّثَنَا
أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ
قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ
نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
Telah
menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada
kami Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum". Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَدَلَ
النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ
يُعْطِي التَّمْرَ فَأُعْوِزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا
فَأَعْطَى الشَّعِيرَ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad[7] dan Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy[8], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad[9], dari Ayyuub[10], dari Naafi’[11], ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah (bin ‘Umar) : “Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah shaa’ burr”.
Naafi’ berkata : “’Abdullah memberikan kurma. Lalu
penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia
(‘Abdullah) memberikan gandum” [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 1615; shahih].
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ
قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan
kepada kami Laits. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh
: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari Naafi’ :
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakatfithri satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum”. Ibnu ‘Umar berkata : “Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd hinthah (sejenis gandum)” [Diriwayatkan Muslim no. 984].
Sisi pendalilannya adalah : Para shahabat telah mengkonversikan satu shaa’ kurma dan gandum dengan setengah shaa’ burr (gandum berkualitas bagus) atau dua mudd hinthah. Ini sebagai dalil bolehnya membayarkan zakat fithri berdasarkan kesetaraan nilai.
[Jika
ada yang mengatakan bahwa tidak ada pendalilan padanya, karena dua
riwayat di atas tetap menyebutkan bahan makanan; maka ini tidak bisa
diterima. Jika pembayaran zakat fithri memang tidak boleh dengan nilainya/harganya, niscaya burr atau hinthahyang dibayarkan harus dengan takaran yang sama. Pembedaan pengkonversian antara beberapa jenis gandum dalam zakat fithri itu mengandung penjelasan bahwa pengkonversian tersebut didasarkan atas nilainya. Adapun disebutkannya burr atauhinthah, maka itu bukan pembatas dalam standar pengkonversian ini].
حدثنا أبو أسامة عن زهير قال سمعت أبا إسحاق يقول أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام.
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[12], dari Zuhair[13], ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq[14] berkata : “Aku menjumpai mereka menunaikan shadaqah Ramadlaan (zakat fihtri) beberapa dirham senilai makanan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/174].
Maksud dari perkataan ‘menjumpai mereka’ adalah menjumpai para tabi’in dan sebagian shahabat, sebab Abu Ishaaq termasuk golongan tabi’iy pertengahan yang menjumpai beberapa orang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanad riwayat ini lemah karena faktor penyimakan Zuhair dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy adalah setelah ikhtilath-nya.[15] Akan tetapi ia mempunyai syawaahid dari riwayat berikut yang menguatkannya :
حدثنا وكيع عن قرة قال جاءنا كتاب عمر بن عبد العزيز في صدقة الفطر نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم
Telah menceritakan kepada kami Wakii’[16], dari Qurrah[17], ia berkata : “Telah datang kepada kami kitab ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz[18] tentang zakat fithri sebanyak setengahshaa’ bagi
setiap orang atau dengan nilainya/harganya seharga setengah
dirham” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/174; shahih].
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz adalah amiirul-mukminiin yang termasuk generasi tabi’inpertengahan
– semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Sebagian shahabat
pernah di bawah kepemimpinannya semasa ia menjadi gubernur Madinah. Ada kemungkinan bahwa perintahnya atas zakat fithri di sini ia berlakukan semenjak ia menjadi gubernur Madiinah hingga ia menjadi khalifah, wallaahu a’lam.
حدثنا وكيع عن سفيان عن هشام عن الحسن قال لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan[19], dari Hisyaam[20], dari Al-Hasan[21], ia berkata : “Tidak mengapa diberikan berupa uang dirham dalam zakatfithri” [idem].
Al-Hasan Al-Bashriy termasuk tabi’iy pertengahan yang semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy dan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz.
وقال
طاوس: قال معاذ رضي الله عنه لأهل اليمن: ائتوني بعرض، ثياب خميص أو لبيس،
في الصدقة، مكان الشعير والذرة، أهون عليكم، وخير لأصحاب النبي صلى الله
عليه وسلم بالمدينة.
Dan telah berkata Thaawuus : Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman : “Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian khamiis atau
pakaian lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu
lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/bermanfaat bagi para shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara ta’liq, dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thaawuuus bin Kaisaan].
Tarjih
Pada asalnya, zakat fithri harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalamnash. Namun jika terpaksa, atau karena adanya kebutuhan dan maslahat yang kuat, maka diperbolehkan membayarkan zakat fithri dengan
nilainya (uang atau yang lainnya). Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih,
Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, serta pendapat yang
dipilih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Ibnu Taimiyyah berkata :
والأظهر
في هذا: أن إخراج القيمة لغير حاجة ولا مصلحة راجحة، ممنوع منه؛
ولهذا قَدَّر النبي صلى الله عليه وسلم الجبران بشاتين، أو عشرين درهمًا،
ولم يعدل إلى القيمة؛ ولأنه متى جوز إخراج القيمة مطلقًا، فقد يعدل المالك
إلى أنواع رديئة، وقد يقع في التقويم ضرر؛ ولأن الزكاة مبناها على
المواساة، وهذا معتبر في قدر المال وجنسه، وأما إخراج القيمة للحاجة أو
المصلحة أو العدل، فلا بأس به، مثل أن يبيع ثمر بستانه، أو زرعه بدراهم،
فهنا إخراج عشر الدراهم يجزيه، ولا يكلف أن يشتري ثمرًا، أو حنطة، إذ كان
قد ساوي الفقراء بنفسه، وقد نص أحمد على جواز ذلك.
ومثل أن يجب عليه شاة في خمس من الإبل، وليس عنده من يبيعه شاة، فإخراج القيمة هنا كاف، ولا يكلف السفر إلى مدينة أخري ليشتري شاة، ومثل أن يكون المستحقون للزكاة طلبوا منه إعطاء القيمة؛ لكونها أنفع، فيعطيهم إياها، أو يرى الساعي أن أخذها أنفع للفقراء، كما نقل عن معاذ بن جبل أنه كان يقول لأهل اليمن: ائتوني بخميص، أو لبيس أسهل عليكم، وخير لمن في المدينة من المهاجرين والأنصار.
ومثل أن يجب عليه شاة في خمس من الإبل، وليس عنده من يبيعه شاة، فإخراج القيمة هنا كاف، ولا يكلف السفر إلى مدينة أخري ليشتري شاة، ومثل أن يكون المستحقون للزكاة طلبوا منه إعطاء القيمة؛ لكونها أنفع، فيعطيهم إياها، أو يرى الساعي أن أخذها أنفع للفقراء، كما نقل عن معاذ بن جبل أنه كان يقول لأهل اليمن: ائتوني بخميص، أو لبيس أسهل عليكم، وخير لمن في المدينة من المهاجرين والأنصار.
“Yang lebih nampak benar dalam permasalahan ini adalah : Bahwasannya mengeluarkan (zakat) dengan nilai/harga tanpa kebutuhan ataupun maslahat yang kuat adalah terlarang. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menetapkan keputusan untuk zakat berupa dua ekor kambing atau duapuluh
dirham. Dan beliau tidak langsung menyetarakannya dengan nilainya/uang.
Sebab, jika diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan nilainya/harganya
secara mutlak, maka itu akan dapat menyebabkan pemilik harta
menyamakannya dengan sesuatu yang jelek. Bahkan kadangkala hal ini
menimbulkan dampak yang buruk, karena zakat dibangun atas asas
memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal ini hanya dianggap jika
diberikan sesuai jumlah dan jenis harta itu sendiri. Adapun mengeluarkan zakat fithri dengan nilainya karena kebutuhan, kemaslahatan, atau keadilan, maka tidak mengapa.
Misalnya (ada seseorang yang) menjual buah-buahan di kebun atau lahan
pertaniannya dengan dirham. Dalam hal ini, jika orang tersebut
mengeluarkan sepersepuluh (zakat pertanian) dari uang dirhamnya
tersebut diperbolehkan. Ia tidak dibebani untuk membeli (dengan uang
dirhamnya itu) buah-buahan atau gandum (dalam pembayaran zakatnya).
Pada kondisi tersebut, orang-orang faqir telah mendapatkan kesamaan
dalam zakat tersebut. Ahmad (bin Hanbal) telah mengatakan kebolehannya
tentang hal itu.
Misalnya, seseorang yang diwajibkan padanya mengeluarkan zakat seekor kambing untuk (kepemilikan) lima ekor
onta dimana pada saat itu tidak ada orang yang menjual kambing; maka
membayar zakat dengan nilainya pada waktu itu diperbolehkan/mencukupi.
Ia tidak dibebankan untuk bersafar ke kota lain hanya untuk membeli seekor kambing. Misal yang lain, ada beberapa orang mustahiq zakat
yang meminta kepadanya agar diberikan uang. Karena dipandang lebih
bermanfaat atau petugas zakat memandang memberikan uang lebih
bermanfaat bagi orang-orang faqir; maka dalam hal ini diperbolehkan
memberikan (zakat) dalam bentuk uang kepada mereka. Hal itu sebagaimana
dinukil dari Mu’aadz bin Jabal ketika ia berkata kepada penduduk
Yaman : ‘Berikanlah kepadaku baju khamiish atau
pakaian lainnya, karena itu lebih mudah bagimu dan lebih baik bagi para
shahabat Muhaajiriin dan Anshaar yang tinggal di Madinah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/82-83].
Inilah yang tampak dari pendapat Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah saat berkata :
ثم
لو صح هذا الأثر لم يدل على قول أبي حنيفة أنه لا فرق بين القيمة والعين
بل يدل لقول من يجوز إخراج القيمة مراعاة لمصلحة الفقراء والتيسير على
الأغنياء وهو اختيار ابن تيمية
“Kemudian seandainya shahih atsar ini[22],
maka hal itu tidak menunjukkan (kebenaran) perkataan Abu Haniifah yang
tidak membedakan antara nilai/harga dan wujud fisik barang zakat. Bahkan
perkataan itu menunjukan (kebenaran) orang yang mengatakan
diperbolehkannya mengeluarkan harga/nilainya untuk menjaga kemaslahatan
orang-orang faqir dan kemudahan bagi orang-orang kaya (dalam menunaikan
zakat). Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah” [Tamaamul-Minnah, hal. 379].
Asy-Syaikh Abu Maalik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah (2/84) dan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul dalam At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah (hal. 145) juga merajihkan pendapat ini.
Inilah pendapat pertengahan – wallaahu a’lam – dengan melihat nash-nash yang ada.
Kembali
pada pertanyaan di atas. Seandainya pun ada seseorang yang memegang
perajihan pendapat jumhur tentang terlarangnya/tidak sahnya penunaian
zakat fithridengan uang, maka tidak boleh baginya menghukumi pendapat yang ia pandang marjuh(lemah)
sebagai bid’ah. Tidak setiap pendapat yang lemah berkonsekuensi
bid’ah. Apalagi dalam hal ini telah ternukil dari salaf yang
membolehkannya.
Oleh karena itu, hendaklah para ikhwan – apalagi mereka yang mengaku berinstisab pada madzhab salaf[23] (baca : salafy) – tidak bersikap gegabah dan tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – bogor , 6 September 2010, 01:54 WIB].
[1] Mahmuud bin Khaalid bin Abi Khaalid Yaziid As-Sulamiy Abu ‘Aliy Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (w. 240 H dalam usia 73 tahun) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 924 no. 6553].
[2] ‘Abdullah
bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Fadhl bin Bahraam Ad-Daarimiy
At-Tamiimiy Abu Muhammad As-Samarqandiy; seorang yang tsiqah, faadlil, dan mutqin (181-155 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 522 no. 3456].
[3] Marwaan bin Muhammad bin Hassaan Al-Asadiy Ath-Thaathariy Abu Bakr/Hafsh/’Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (147/148-210 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 932 no. 6617].
[4] Abu Yaziid Al-Khaulaaniy Al-Mishriy Ash-Shaghiir; seorang yang shaduuq [idem, hal. 1225 no. 8518].
[5] Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan Ash-Shadafiy Al-Mishriy; seorang yang shaduuq [idem, hal. 427 no. 2731].
[6] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[7] Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurid Al-Asadiy Abul-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 228 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 935 no. 6642].
[8] Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 407 no. 2571].
[9] Hammaad bin Zaid bin Dirham Al-Azdiy Al-Jahdlamiy Abu Ismaa’iil Al-Bashriy Al-Azraq; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (95-179 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 268 no. 1506].
[10] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah,tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
[11] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[12] Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis (w. 201 dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[13] Zuhair bin Mu’aawiyyah bin Hudaij Abu Khaitsamah Al-Ju’fiy Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya di akhir usianya/Abu Ishaaq (100-172/173 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 342 no. 2062].
[14] ‘Amru bin ‘Abdillah Al-Hamdaaniy Abu Ishaaq As-Sabii’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah,
banyak haditsnya, ahli ibadah, namun berubah hapalannya pada akhir
hayatnya (29/32-126/127/128/129 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 739 no. 5100].
[15] Semula saya menyangka ia adalah Zuhair bin Muhammad At-Tamiimiy Al-‘Anbariy Abul-Mundzir Al-Khurasaaniy; seorang yang tsiqah, akan tetapi riwayat penduduk Syaam darinya lemah (w. 162 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 342 no. 2060] – karena bertaqlid kepada muhaqqiq kitab Mushannaf Ibni Abi Syaibah (Muhammad
‘Awwaamah, Daarul-Qiblah, Cet. 1/1427), sehingga saya mengatakan
riwayat ini berkualitas shahih. Setelah melakukan pengecekan lebih
lanjut, nampak bagi saya bahwa yang dimaksud dengan Zuhair di sini
adalah Ibnu Mu’aawiyyah yang riwayatnya dari Abu Ishaaq mendapat
kritikan banyak ulama.
Oleh karena itu, di sini saya akan meralat apa yang telah saya tulis dalam halamanfacebook saya akan tashhiih riwayat tersebut. Wal-‘ilmu ‘indallaah.
[16] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
[17] Qurrah bin Khaalid As-Saduusiy Abu Khaalid/Muhammad Al-Bashriy; seorang yangtsiqah lagi dlaabith (w. 155 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim [idem, hal. 800 no. 5575].
[18] ‘Umar
bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Marwaan bin Al-Hakam bin
Abil-‘Aash Al-Qurasyiy Al-Umawiy Abu Hafsh Al-Madaniy; amiirul-mukminiin, yang sebagian ulama memasukkannya dalam jajaran Al-Khulaafaur-Raasyidiin (w. 101 H dalam usia 40 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 724 no. 4974].
[19] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 394 no. 2458].
[20] Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy Al-Qurduusiy; seorang yang tsiqah (w. 146/147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1020-1021 no. 7339].
Sebagian ulama ada yang mempermasalahkan riwayatnya dari Al-Hasan Al-Bashriy mursal,
karena haditsnya dari Al-Hasan diambil melalui perantaraan Hausyab.
Namun pendapat ini tertolak. Ibnu ‘Uyainah berkata :
“Hisyaam adalah orang yang paling mengetahui tentang hadits
Al-Hasan”. Hisyaam sendiri berkata : “Aku bertetangga
dengan Al-Hasan selama 10 tahun” [Tahdziibul-Kamaal, 30/185]. Al-Bukhaariy pun menegaskan bahwa ia telah mendengar riwayat dari Al-Hasan dan ‘Athaa’ [At-Taariikh Al-Kabiir, 8/197 no. 2689]. Sesuai dengan kaidah yang ma’ruf bahwa
yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan. Karena
dalam penetapan mengandung tambahan ilmu yang tidak dimiliki oleh pihak
yang menafikkan.
[21] Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur (w. 110 H dalam usia 88/89 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 236 no. 1237].
[22] Yaitu atsar Mu’aadz bin Jabal yang disebutkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas.
[23] Kami katakan : Bermadzhab salaf itu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah !!!
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/09/apakah-membayar-zakat-fitrahfithri.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/09/apakah-membayar-zakat-fitrahfithri.html