Ada
kalanya perselisihan lahir dari ketamakan diri untuk mewujudkan obsesi
pribadi ataupun perkara lain yang sifatnya individual. Dan terkadang
juga yang menjadi pemicu munculnya perselisihan adalah keinginan untuk
dikenal sebagai orang yang pandai, memiliki ilmu, dan mengerti agama.
Perselisihan semacam ini - bagaimanapun bentuk dan ragamnya - tidak
diragukan lagi termasuk perbuatan tercela. Sebabnya adalah karena
didominasi oleh dorongan hawa nafsu, padahal hawa nafsu itu tidak
mendatangkan kebaikan sama sekali. Allah ta’ala berfirman :
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah“ [QS. Shaad : 26].
Dan dengan sebab mengikuti hawa nafsulah orang-orang yang sesat menyimpang dan terperosok ke dalam kesesatannya. Allah ta’ala berfirman :
Dan dengan sebab mengikuti hawa nafsulah orang-orang yang sesat menyimpang dan terperosok ke dalam kesesatannya. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan Sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain)
dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan“ [QS. Al-An’aam : 119].
Hawa
nafsu itu sangat banyak jenis dan ragamnya, jalannya sulit dilalui dan
bercabang-cabang, namun secara umum bisa dikelompokkan menjadi : (1)
hawa nafsu, (2) mementingkan diri sendiri, (3) egoisme, dan (4) mau
menang sendiri. Karenanya ahlul-bid’ah itu disebut ahlul-ahwaa’,
sebab mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan tidak mengambil dalil
syar’i sebagai suatu kebutuhan dan dasar untuk berpijak yang
mereka berangkat darinya. Namun mereka lebih mendahulukan hawa nafsu
dan berpatokan kepada pendapat mereka. Mereka menempatkan dalil-dalilsyar’iy di
belakangnya. Mereka mendahulukan teori-teori sesat para filosof, dan
kebohongan ahli kalam, maka merekapun tersesat dan menyesatkan (orang
lain) dari jalan Allah dan dari jalan yang lurus; lalu setan
mengacaukan agama mereka. Dan sungguh benar firman Allah yang
mengatakan :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah:
"Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?. Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya “ [QS. Al-Kahfi : 103-104].
Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata :
إن
هذه الأٓية تشمل الحرورية كما تشمل اليهود والنصارى وغيرهم؛ لا أنها في
هؤلاء على الخصوص، وإنما عامة في كل من عبد الله على غير طريقة مرضية يحسب
أنه مصيب فيها، وأن عمله مقبول، وهو مخطيء وعمله مردود.
“Ayat
ini meliputi orang-orang Haruriyyah (Khawarij) sebagaimana halnya
Yahudi, Nasrani, dan selain mereka; karena ayat ini turun tidak hanya
berkenaan dengan mereka secara khusus, akan tetapi mencakup semua orang
yang beribadah kepada Allah tidak dengan cara yang diridlai sedang dia
menyangka ibadahnya sudah benar dan amalnya itu diterima, padahal
sebenarnya dia salah dan amalnya tertolak”. [selesai]
Namun
Allah Yang Maha Kuasa menghendaki di tengah maraknya perpecahan,
perceraian, dan penyimpangan dari jalan yang lurus ini membangkitkan
untuk agama-Nya yang haq orang yang mampu mewujudkan kehendak Allah
dalam menjaga dan memelihara agama ini. Orang tersebut melaksanakannya
sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sebaik-baiknya. Para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengemban tugas mulia ini dengan sebaik-baiknya. Dan generasi tabi’in setelah
mereka adalah penerus terbaik dari pendahulu yang terbaik. Mereka telah
melaksanakan tugas mereka dalam mengemban amanah agama serta
mewariskannya kepada para Imam Sunnah dan siapa saja yang mengikuti
jalan mereka dan berpedoman dengan petunjuk mereka, tanpa menghiraukan
orang-orang yang menyelisihi dan menghasut orang lain untuk menjauhi
dan tidak menolong mereka; dari kalangan pengikut hawa nafsu, ahli
bid’ah, dan pengikut aliran sesat sepanjang masa, dan dari
generasi ke generasi. Segala puji bagi Allah atas nikmat dan karunia
ini.
2. Ikhtilaf (perselisihan) yang didasari alasan yang haq
Terkadang
muncul perselisihan yang bukan didasari oleh dorongan pribadi dan hawa
nafsu. Perselisihan semacam inilah yang dikehendaki oleh iman dan
sesuai dengan akal sehat. Contohnya
adalah perselisihan antara orang-orang beriman dengan orang-orang
kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik adalah perselisihan
yang wajib adanya. Demikian pula perselisihan antara seorang muslim
terhadap pemeluk agama dan keyakinan yang kufur dan menyimpang seperti
Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, komunisme, dan lain sebagainya.
Penyelisihan
terhadap orang-orang seperti mereka hukumnya wajib dan tidak mungkin
seorang mukmin dan muslim untuk menghindar darinya ataupun mengajak
untuk menghilangkannya, karena perbedaan ini merupakan tuntutan iman
dan inti ajarannya yang haq.
3. Ikhtilaf (perselisihan) antara terpuji dan tercela.
Ada perselisihan yang tidak bisa dikatakan terpuji ataupun tercela, yaitu perselisihan dalam perkara-perkara furu’ yang
di dalamnya terdapat beberapa kemungkinan tentang hukumnya, terkadang
satu pendapat lebih kuat dari yang lainnya dan terkadang sebaliknya.
Dan di antara contohnya adalah :
Perselisihan
para ulama dalam perkara batalnya wudhu karena keluarnya darah dari
luka dan karena muntah yang disengaja, hukum bacaan (Al-Faatihah) di
belakang imam, bacaan basmalah sebelum membaca Al-Faatihah, hukum mengeraskan bacaan aamiin, dan banyak lagi contoh lain yang tidak mungkin untuk disebutkan seluruhnya.
Dalam
perselisihan semacam ini ada kemungkinan untuk terjatuh ke dalam
kesalahan, karena adanya kemungkinan bercampurnya antara dorongan hawa
nafsu dan ketakwaan, antara yang rajih (kuat) dan yang marjuh (lemah), dan antara yangmaqbul (bisa diterima) dan yang mardud (tidak dapat diterima/tertolak).
Tidak
ada jalan untuk selamat dari kesalahan dalam masalah ini kecuali dengan
mengikuti kaedah-kaedah pokok yang dijadikan patokan dalam ikhtilaf/perselisihan, juga dengan mematuhi rambu-rambu dan adab-adabnya yang dijadikan sebagai patron. Kalau tidak, maka perselisihan akan
berubah menjadi perpecahan dan konflik, dan masing-masing pihak yang
berselisih akan terperosok ke dalam jurang hawa nafsu, semuanya menjadi
kacau dan setan pun akan menancapkan tanduknya.
Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullah mengatakan :
وبين
الأئمة اختلاف كثير في الفروع، وبعض الأصول، وللقليل منهم غلطات وزلقات
ومفردات منكرة. وإنما أُمرنا باتباع أكثرهم صواباًَ، ونجزم بأن غرضهم ليس
إلا اتباع الكتاب والسنة وكلما خالفوا فيه لقياس أو تأويل،....وما زال
الاختلاف بين الأئمة واقعاًَ في الفروع وبعض الأصول مع اتفاق الكل على
تعظيم الباري جل جلاله، وأنه ليس كمثله شيء وأنَّ ما شرع رسوله صلى الله
عليه وسلم وأن كتابهم واحد ونبيهم واحد وقبلتهم واحدة وإنما وضعت المناظرة
لكشف الحق وإفادة العالم الأذكى لمن دونه وتنبيه الأغفل الأضعف. فإذا وجد
النص الصحيح الصريح فلا مجال لمخالفته سواء كان متواتراًَ أم آحاداًَ
“Di antara para imam terdapat perselisihan yang cukup banyak dalam masalah furu’, dan dalam sebagian masalah ushul (pokok); dan sebagian kecil dari mereka ada yang memiliki banyak kesalahan, kekeliruan, dan pendapat yang munkar.
Dan kita hanya diperintahkan untuk mengikuti mereka yang paling banyak
benarnya, dan telah dipastikan bahwa maksud dan tujuan mereka tidak
lain dari mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan setiap perbedaan
pendapat yang ada pada mereka adalah karena qiyas atau ta’wil,…….. dan senantiasa akan terjadi perselisihan (perbedaan pendapat) antara para imam dalam masalah furu’ dan sebagian masalahushul,
sekalipun mereka semuanya sepakat dalam mengagungkan Allah Yang Maha
Besar - tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya - dan bahwa
syari’at Rasul-Nya dan kitab yang mereka pegangi adalah satu,
sebagaimana Nabi dan kiblat mereka adalah satu. Perdebatan dan diskusi
yang terjadi di antara mereka adalah semata-mata untuk menyingkap
kebenaran, sebagai ajang bagi ulama yang lebih pandai memberi faedah
dan transfer ilmu kepada yang lebih rendah ilmunya, dan juga sebagai
ajang untuk mengingatkan yang lalai lagi lemah. Maka ketika ada nash
yang shahih dan sharih (jelas/terang), maka tidak ada tempat untuk menyelisihinya, baik nashnya mutawatir ataupun ahad”. [selesai]
[diterjemahkan oleh Sudirman, Lc.; diedit oleh Abul-Jauzaa’; dari kitab Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf, Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Prof. Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan, hal. 50-55; Daar Balansiyah, Cet. Thn. 1417].
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/03/beberapa-jenis-ikhtilaf-dan-motifnya.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/03/beberapa-jenis-ikhtilaf-dan-motifnya.html