Pantalon adalah istilah serapan dari bahasa asing (Inggris) pantaloons, yang artinya : a man's close-fitting garment for the hips and legs, worn especially in the 19th century, but varying in form from period to period; trousers (pakaian
ketat laki-laki untuk pinggul dan kaki, terutama dipakai pada abad
ke-19, akan tetapi bentuknya bervariasi dari waktu ke waktu; celana).[1] Ada juga yang mengartikan : Men's wide breeches extending from waist to ankle, worn especially in England in the late 17th century (celana lebar laki-laki yang memanjang dari pinggang hingga pergelangan kaki, terutama dipakai di Inggris pada abad ke-17).[2] Jadi, kalau kita tilik dari makna asalnya dalam bahasa Inggris, secara garis besar pantaloon ini
artinya celana panjang bagi laki-laki. Ada yang model ketat, ada pula
yang lebar. Orang ‘Arab kemudian mengadopsi istilah pantaloons menjadibanthaluun (البنطلون).
Seperti apa bentuk pantaloons itu ?. Berikut gambarnya :
Orang ‘Arab mempunyai istilah dan jenis pakaian tersendiri yang ‘serupa’ dengan pantalon, yaitu : saraawiil (السراويل). Para pakar bahasa ‘Arab mengatakan bahwasaraawiil sebenarnya merupakan kata dalam bahasa Persi yang di-Arab-kan (muannats), jamaknya : saraawiilaat (سراويلات). Sebagian pakar bahasa yang lain mengatakan bahwa saraawiil merupakan bentuk jamak dari kata sirwaal (سروال),sirwaalah (سروالة), dan sirwiil (سرويل). Namun yang lebih fasih dalam bahasa ‘Arab adalah kata saraawiil (sebagai mufrad). Definisi saraawiil sendiri adalah pakaian yang menutupi pusar dan kedua lutut, serta apa-apa yang berada di antara keduanya [lihat :Al-Qaamuus Al-Muhiith, 1/1311; Al-Mu’jamul-Wasiith, 1/888; dan Lisaanul-‘Arab, 11/334].
Saraawiil telah dipakai oleh orang ‘Arab sejak jaman dulu, sebagaimana terdapat dalam banyak riwayat. Diantaranya :
حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ
زَبْرٍ، حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ،
يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
مَشْيَخَةٍ مِنَ الْأَنْصَارٍ بِيضٌ لِحَاهُمْ، فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ
الْأَنْصَارِ، حَمِّرُوا، وَصَفِّرُوا، وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ "،
قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ
يَتَسَرْوَلَونَ وَلَا يَأْتَزِرُونَ ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا، وَخَالِفُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ ".....
Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Al-‘Alaa’ bin Zabr : Telah
menceritakan kepadaku Al-Qaasim, ia berkata : Aku mendengar Abu Umaamah
berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui para sesepuh Anshaar yang jenggot-jenggot mereka telah memutih. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai sekalian kaum Anshaar, semirlah uban kalian dengan warna merah dan kuning, selisihilah Ahlul-Kitaab”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ahlul-Kitaab memakai saraawiil namun tidak memakai kain sarung”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pakailah saraawiil dan sarung. Selisihilah Ahlul-Kitaab”... [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/264; Al-Arna’uth berkata : ‘Sanadnya shahih’].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
وفيه الإذن بلبس السراويل وأن مخالفة أهل الكتاب تحصل بمجرد الاتزار في بعض الأوقات لا بترك لبس السراويل في جميع الحالات
“Dalam hadits tersebut terdapat izin memakai saraawiil.
Dan bahwasannya penyelisihan terhadap Ahlul-Kitaab tercapai dengan
pemakaian sarung pada sebagian waktu, tidak dengan meninggalkan
pemakaian saraawiil dalam semua keadaan....” [Nailul-Authaar, 2/123].
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ، وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ
سُفْيَانَ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ:
جَلَبْتُ أَنَا وَمَخْرَفَةُ الْعَبْدِيُّ بَزًّا مِنْ هَجَرَ، فَجَاءَنَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَاوَمَنَا بِسَرَاوِيلَ
وَعِنْدِي وَزَّانٌ يَزِنُ بِالْأَجْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْوَزَّانِ : "زِنْ وَأَرْجِحْ "
Telah
menceritakan kepada kami Hannaad dan Mahmuud bin Ghailaan, mereka
berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari
Sufyaan, dari Simaak bin Harb, dari Suwaid bin Qais, ia berkata : Aku
dan Makhramah Al-‘Abdiy pernah membawa pakaian dari Hajar. Lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami. Lalu beliau menawar saraawiil kepada kami (untuk dibeli), yang waktu itu aku memiliki tukang timbang yang aku upah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada tukang timbang : “Timbanglah dan lebihkanlah” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1305, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”[3]].
Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membelisaraawiil namun tidak memakainya. Yang benar, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammembelinya untuk beliau pakai. Inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar [Fathul-Baariy, 10/284] dan Ibnul-Qayyim [Zaadul-Ma’aad, 1/139].
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ
أَيُّوبَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَامَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ، عَنِ
الصَّلَاةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ؟ فَقَالَ: " أَوَكُلُّكُمْ يَجِدُ
ثَوْبَيْنِ "، ثُمَّ سَأَلَ رَجُلٌ عُمَرَ، فَقَالَ: إِذَا وَسَّعَ
اللَّهُ فَأَوْسِعُوا، جَمَعَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ، صَلَّى رَجُلٌ
فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ، فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ،
فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ، فِي سَرَاوِيلَ
وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ، قَالَ:
وَأَحْسِبُهُ، قَالَ: فِي تُبَّانٍ وَرِدَاء
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Muhammad,
dari Abu Hurairah, ia berkata : Seorang laki-laki berdiri dan bertanya
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat yang hanya mengenakan satu pakaian saja. Maka beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Apakah setiap orang di antara kalian bisa mendapatkan dua helai baju ?”.
Kemudian orang tersebut bertanya kepada ‘Umar, lalu ia
(‘Umar) menjawab : “Apabila Allah memberikan kelapangan,
maka pergunakanlah. Seseorang yang dapat mengumpulkan pakaiannya untuk
shalat, hendaklah ia shalat dengan pakaian itu. Seseorang bisa shalat
dengan memakai sarung dan ridaa’[4], sarung dan qamiish, sarung dan qubaa’ (pakaian luar), saraawiil dan ridaa’, saraawiil danqamiish, saraawiil dan qubaa’, atau celana pendek dan qamiish”. Abu Hurairah berkata : “Aku mengira ia (‘Umar) berkata : celana pendek dan ridaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 365].
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ
زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ
وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada
kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu
‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa
yang tidak mendapatkan sarung, hendaklah ia memakai saraawiil. Dan
barangsiapa yang mendapatkan sepasang sandal, hendaklah ia memakai
khuff (ketika ihraam)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5804].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ الذُّهْلِيُّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو تُمَيْلَةَ يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُنِيبِ عُبَيْدُ اللَّهِ الْعَتَكِيُّ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ فِي لِحَافٍ لَا
يَتَوَشَّحُ بِهِ وَالْآخَرُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي سَرَاوِيلَ وَلَيْسَ
عَلَيْكَ رِدَاءٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa bin Faaris Adz-Dzuhliy :
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Muhammad : Telah
menceritakan kepada kami Abu Tumailah Yahyaa bin Waadlih : Telah
menceritakan kepada kami Abul-Muniib ‘Ubaidullah
Al-‘Atakiy, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia
berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat dengan menggunakan selimut tanpa mengikatkannya. Dan beliau juga melarang engkau shalat dengan saraawiil tanpa mengenakan ridaa’” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 636; dan dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 1/189].
حَدَّثَنَا
أَبُو الْعَلَاءِ، قَالَ: حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ،
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ، أَنَّهُ
قَالَ: رَقِيتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى ظَهْرِ الْمَسْجِدِ،
وَعَلَيْهِ سَرَاوِيلُ مِنْ تَحْتِ قَمِيصِهِ، فَنَزَعَ سَرَاوِيلَهُ،
ثُمَّ تَوَضَّأَ، وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَرَفَعَ فِي عَضُدَيْهِ
الْوُضُوءَ، وَرِجْلَيْهِ، فَرَفَعَ فِي سَاقَيْهِ
Telah
menceritakan kepada kami Abul-‘Alaa’, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Laits, dari Khaalid bin Yaziid, dari
Sa’iid bin Hilaal, dari Nu’aim Al-Mujmir, bahwasannya ia
berkata : Aku pernah naik di atas punggung masjid bersama Abu
Hurairah yang waktu itu ia memakai saraawiil di bawah qamish (baju)-nya. Kemudian ia mengangkat (melinting) saraawiil-nya,
lalu berwudlu. Ia membasuh wajah dan kedua tangannya. Ia melebihkan
basuhan wudlunya pada tangan hingga lengan atas, dan kaki hingga kedua
betisnya....” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/400; dan
Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya qawiy (kuat)”].
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، عَنْ أَبِي
خَلْدَةَ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا الْعَالِيَةِ عَلَيْهِ سَرَاوِيلُ،
قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: قَالَ: " إِنَّهَا مِنْ لِبَاسِ الرِّجَالِ "
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Abu Khaldah, ia berkata : Aku pernah melihat Abul-‘Aaliyyah memakai saraawiil,
lalu aku tanyakan hal itu kepadanya, dan ia menjawab : “Ia adalah
pakaian laki-laki” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25254;
sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ،
عَنِ الْأَسْوَدِ أَنَّهُ بَالَ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي سَرَاوِيلِهِ
فَغَسَلَ ذَكَرَهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syu’bah, dari
‘Amru bin Murrah, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad : Bahwasannya ia
pernah kencing, kemudian memasukkan tangannya ke dalam saraawiil-nya, lalu mencuci dzakarnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 603; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: أخبرنا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، قَالَ:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ عُثَيْمِ بْنِ نِسْطَاسٍ، قَالَ:
" رَأَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ شَهِدَ الْعَتَمَةَ فِي سَرَاوِيلَ
وَرِدَاءٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’d : Telah mengkhabarkan
kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid bin Muslim, dari ‘Utsaim
bin Nisthaas, ia berkata : “Aku melihat Sa’iid bin
Al-Musayyib menghadiri shalat ‘Isya’ dengan mengenakan saraawiil dan ridaa’” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalamAth-Thabaqaat, 5/72; sanadnya hasan].
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa saraawiil merupakan pakaian laki-laki yang telah masyhur lagi biasa dikenakan semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,dan turun-temurun di kalangan salaf.
Lantas, seperti apa itu bentuk saraawiil ?. Berikut gambarnya :
Gambar di atas saya ambil dari kitab Libaasur-Rajul, Ahkaamuhu wa Dlawaabithuhu fil-Fiqhil-Islaamiy (2/1468) oleh Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy – desertasi Univ. Ummul-Qurraa’, tahun 1422 H.
Kembali bahasan yang terkait dengan judul.......
Bolehkah kita (laki-laki) memakai pantalon/pantaloons dalam keseharian aktivitas kita ?.
Para
ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang melarang, ada pula yang
memperbolehkannya (dengan syarat). Berikut sebagian fatwa mereka :
Ulama yang Melarang
a. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah.
“....... "Celana pantalon mengandung dua cela. Pertama,
orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada
mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar
yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan
Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon, kecuali
setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah
takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu
dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan
mereka tadi. Kedua,
celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah
dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat
jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang
menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya
terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua
pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya
semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul 'Alamin?!
Anehnya
banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita
berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka
sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang
diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian
sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon
yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya
sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera
menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang
dipelihara Allah, namun mereka sedikit”.
b. Asy-Syaikh Yahyaa Al-Hajuriy hafidhahullah.
Soal : Sebagian orang yang membolehkan celana pentalon dan dasi berdalih dengan kaidah: hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh, benarkah dalih yang seperti ini?
Jawab : Ini
tidaklah benar, ibarah “hukum asal segala sesuatunya itu adalah
boleh” adalah ibarah yang masih butuh diteliti lagi, hanya saja
yang mereka (ulama) katakan adalah: hukum asal dalam perkara makanan
dan minuman dan seterusnya adalah boleh, dan kemaluan hukum asalnya
adalah haram, maka apakah kaidah tersebut yang menghukumi dalil ataukah
dalil-lah yang menghukumi kaidah? Tidaklah di sana terdapat kaidah
melainkan engkau perlu mencarikan dalil untuknya bukan malah engkau
berdalih dengannya,
Memakai celana pentalon itu menyerupai orang-orang kafir Apakah Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dulunya
mengenakan pentalon, demikian juga Abu Bakr Ash-Shiddiq dan
khulafa’ur Rosyidin, demikian pula Ibnu Mubarak, Sufyanain
(Sufyan At-Tsaury dan Sufyan ibnu ‘Uyainah), Hammadain (Hammad
bin Zaid dan Hammad bin Salamah), dan Al-Auza’i, tidak satupun
dari mereka yang mengenakannya.
Andaikata
celana ini ada pada zaman mereka, tentulah mereka akan sangat
membencinya, sebab mereka itu sangat melarang untuk menyerupai
orang-orang Eropa (barat) dan orang-orang kafir, Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Apakah
engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwasanya mereka
itu telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelummu?mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu" [An-Nisaa': 60].
Sama saja apakah itu dalam ucapan, perbuatan ataupun selainnya, dan berkata Allah ta’ala:
لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan
janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab,
penolong, dan pelindung), dengan meninggalkan orang-orang mukminin" [An-Nisaa': 144].
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum tersebut” [HR. Abu Daud dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah di Irwaa' (1269) dengan syawahidnya]
Dan Syaikhul Islam punya ungkapan yang kuat di “Iqtidhaa’ Shiratal Mustaqim Mukhalafat Ashhabil Jahim“:
Barangsiapa yang memakai pakaian orang-orang kafir dan berpendapat
bahwa pakaian itu lebih bagus dan lebih mendapat petunjuk daripada
pakaian muslimin maka dia kafir. -selesai- [Al-Iftaa' alal Asilah Al-Waridah min Duwalin Syatta, hal. 200-201].
c. Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy hafidhahullah.
“.......Dan potong jenggot termasuk dari maksiat yang merupakan sebab kekalahan, dan tasyabbuh (menyerupai
orang kafir) dengan memakai pentalon adalah bentuk peniruan
terhadap musuh-musuh Allah –semoga Allah memberkahimu-
sementara kalian tahu bahwasanya para sahabat kalah pada perang Uhud
dan Hunain, adapun hari Uhud disebabkan penyelisihan pasukan pemanah
yang akhirnya menimpa para sahabat yang dipimpin oleh Rasulullah apa
yang telah menimpa mereka.
Demikian juga hari Hunain peristiwanya hampir sama:
وَيَوْمَ
حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ
شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ
مُدْبِرِينَ * ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ
“Dan
(ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlah kalian, Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi
manfaat kepada kalian sedikitpun, dan bumi yang
luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari
kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada RasulNya …” [At-Taubah: 25-26].
Jadi
karena sebagian di antara mereka ada yang mengatakan “Sekarang
jumlah kita sungguh banyak, kita tidak akan terkalahkan hari ini karena
jumlah yang sedikit: Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi
mereka pelajaran karena apa yang timbul pada diri mereka (dari
‘ujub), maka bagaimana kiranya dengan pasukan yang memotong
jenggotnya dan memakai pakaian orang-orang kafir, kemudian
mengharap pertolongan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala?! Karena itulah kita tidak mendapat pertolongan, seringnya musuh-musuh islam-lah yang meraih kemenangan melawan kita.
Maka
wajib bagi kita untuk bersemangat dalam menaati Allah dan menetapi dan
merealisasikan perintah-perintah Allah, terutama di medan peperangan
agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Apabila kalian menolong (agama) Allah niscaya Ia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.” [Muhammad 7].
Ketika
itulah baru kita berhak dan pantas meraih pertolongan dari
Allah ‘Azza wa Jalla yang telah Ia janjikan kepada
kita. -selesai- [Ajwibah Al-'Allamah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali As-Salafiyyah 'Ala Asilati Abi Rawahah Al-Manhajiyyah, hal. 25-27].
Ketiga fatwa ulama di atas saya ambilkan dari http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=59 dan http://isnad.net/fatwa-ulama-tentang-celana-pantalon. Silakan merujuk ke sana.
Jika kita cermati inti fatwa ketiga ulama tersebut, maka ‘illat larangan memakaipantalon ada 2, yaitu tasyabbuh dengan orang kafir dan menampakkan aurat (karena sempit).
Ulama yang Membolehkan dengan Syarat
a. Ulama Lajnah Daaimah.
الأصل
في أنواع اللباس الإباحة ؛ لأنه من أمور العادات ، قال تعالى : قُلْ مَنْ
حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ
مِنَ الرِّزْقِ ويستثنى من ذلك ما دل الدليل الشرعي على تحريمه أو كراهته
كالحرير للرجال ، والذي يصف العورة ؛ لكونه شفافا يرى من ورائه لون الجلد
أو لكونه ضيقا يحدد العورة ، لأنه حينئذ في حكم كشفها وكشفها لا يجوز ،
وكالملابس التي هي من سيما الكفار الخاصة بهم ، فلا يجوز لبسها لا للرجال
ولا للنساء ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن التشبه بهم ، وكلبس الرجال
ملابس النساء ولبس النساء ملابس الرجال ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم
عن تشبه الرجال بالنساء والنساء بالرجال.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Hukum asal dari berbagai jenis pakain adalah diperbolehkan, karena ia termasuk perkara ‘aadaat (kebiasaan). Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" (QS.
Al-A’raaf : 32). Dan dikecualikan dari hal tersebut jika ada
dalil syar’iy yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya,
seperti sutera bagi laki-laki. Pakaian yang dapat menampakkan aurat
dikarenakan tipis sehingga menampakkan warna kulit yang ada di balik
pakaian, atau sempit sehingga membentuk aurat, (maka itu tidak
diperbolehkan), termasuk hukum menyingkap aurat, sedangkan menyingkap
aurat tidak diperbolehkan. Dan seperti pakaian yang menjadi kekhususan
orang kafir, maka tidak diperbolehkan memakainya, baik laki-laki
ataupun wanita dengan sebab larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambertasyabbuh
pada mereka. Dan juga seperti laki-laki yang memakai pakaian wanita,
dan wanita yang memakai pakaian laki-laki; dikarenakan larangan Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dari laki-laki bertasyabbuh dengan wanita, dan wanita bertasyabbuh dengan wali-laki.
Dan pakaian yang disebut pantalon dan qamiish (kemeja)
itu bukanlah termasuk kekhususan pakaian orang kafir. Bahkan ia
termasuk pakaian yang umum dipakai oleh kaum muslimin dan orang kafir
di banyak negeri. Hanya saja yang membuat jiwa enggan memakainya di
sebagian negeri adalah karena peniadaan kelembutan dan penyelisihan
terhadap kebiasaan berpakaian penduduk setempat, meskipun hal itu
berkesesuaian dengan kebiasaan kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi
yang lebih utama bagi seorang muslim apabila di satu negeri pakaian
tersebut tidak dianggap/dipakai oleh penduduknya, hendaknya ia tidak
memakainya dalam shalat, pertemuan umum, dan di jalan-jalan. Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa shahbihi wa sallam” [Al-Fataawaa,
24/38-39 no. 1620; dengan ketua : Ibnu Baaz, wakil ketua :
‘Abdurrazzaaq ‘Afiifiy, anggota : ‘Abdullah
Al-Ghudayyaan & ‘Abdullah Al-Qu’uud – lihat :http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=9&PageID=9347].
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah.
Beliau rahimahullah ketika ditanya tentang batasan-batasan tasyabbuh dengan orang kafir, menjawab :
التشبه
بالكفار هو أن الإنسان يتزيا بزيهم في اللباس, أو في الكلام, أو ما أشبه
ذلك, بحيث إذا رآه الرائي يقول: هذا من الكفار, أما ما يشترك فيه المسلمون
والكفار فهذا ليس تشبهاً, مثل: الآن لبس البنطلون للرجال لا نقول هذا
تشبه؛ لأنه صار عادة للجميع, وأما مسألة السيارات وغيرها فهذه ما فيها
تشبه إطلاقاً
“Tasyabbuh dengan
orang kafir adalah seseorang yang meniru mode mereka dalam pakaian,
perkataan, atau yang semisalnya; dimana jika ada orang yang melihat hal
tersebut akan berkata : ‘hal ini (berasal) dari orang
kafir’. Adapun hal-hal yang kaum muslimin dan orang-orang kafir
bersekutu di dalamnya, maka ini bukantasyabbuh. Misalnya sekarang ini memakai pantalon bagi laki-laki. Kita tidak mengatakannya perbuatan ini tasyabbuh,
karena hal itu telah menjadi kebiasaan bagi semua orang (baik muslim
atau kafir). Adapun masalah mobil dan yang lainnya, maka ini bukan tasyabbuh secara mutlak” [Pertemuan Terbuka tanggal 16 Jumadits-Tsaaniy 1416 H; lihat : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=111742].
c. Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah pernah
ditanya : Apakah diperbolehkan bagi seseorang kadang-kadang memakai
baju dan pantalon, ataukah ia harus senantiasa memakai jubah panjang
setiap saat, dan apakah ia diharamkan dan termasuk tasyabbuh dengan orang kafir ?. Beliau menjawab :
أما
لبس البنطلون فلست أراه من التشبه لأنه زي غلب على ديار المسلمين وكما في
القاعدة الفقهية إذا ضاق الأمر اتسع ومع ذلك ففيه حرج من جهة الصلاة فيه
ولذلك أرى ألا يلبسه المسلم اذا لم يكن هناك داع اليه
“Adapun memakai pantalon, maka aku tidak memandang itu termasuk tasyabbuh(dengan
orang kafir), karena ia adalah pakaian yang umum dipakai di
negeri-negeri kaum muslimin. Dan sebagaimana kaedah fiqhiyyah : ‘apabila satu perkara menjadi sempit, ia menjadi luas’.
Bersamaan dengan hal itu, padanya terdapat kesempitan (larangan) dari
sisi shalat jika mengenakannya. Oleh karena itu aku berpandangan
seorang muslim tidak memakainya apabila tidak ada alasan yang
mendesak” [lihat :http://ar.islamway.com/fatwa/9814].
d. Asy-Syaikh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah pernah ditanya : “Apakah boleh memakai baju orang Eropa dan pantalon ?”. Dijawab :
نعم، يجوز العمل في القميص (الإفرنجي) وفي (البنطلون) إذا كان واسعاً وسابغاً
“Ya, diperbolehkan memakai baju orang Eropa dan pantalon jika longgar dan besar” [Silsilatut-Tafsiir, 17/46].
Pendapat yang Raajih
Dengan
mencermati pendapat para ulama di atas beserta alasan-alasan yang
dikemukakannya, maka kami lebih condong pada pendapat yang
membolehkannya dengan alasan (dimana ini merupakan sedikit rangkuman
dari yang dijelaskan para ulama di atas) :
1. Hukum asal pakaian adalah mubah, dan tidak ada dalil yang menunjukkan secara jelas tentang pelarangannya.
2. Tidak ada bedanya secara hakekat antara saraawiil dengan pantalon. Ibnu Baazrahimahullah di atas juga menyamakan antara hakekat saraawiil dengan
pantalon. Dilihat dari bentuk keduanya pada asalnya memang sama
sebagaimana ditampilkan pada gambar di atas. Hanya saja, modelnya
berlainan. Ada yang sempit, ada pula yang longgar. Oleh karena itu,
diperbolehkan bagi seorang muslim memakai pantalon yang longgar
sebagaimana kebolehan memakai saraawiil yang semisal (longgar).
3. Pantalon yang longgar sudah merupakan pakaian yang dapat menutupi aurat laki-laki.[5]
Dr. Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy dalam desertasinya (1/176) menjelaskan bahwa saraawiil adalah pakaian yang memenuhi syarat tersebut.
4. Pantalon bukanlah pakaian yang menyerupai (tasyabbuh) pakaian
orang kafir, karena ia sudah merupakan pakaian yang umum dipakai oleh
kaum muslimin dan orang-orang kafir, terlebih di negeri kita ini.
Hanya
saja yang menjadi permasalahan adalah memakainya ketika shalat. Satu
point penting yang perlu dibahas di sini adalah tentang batasan menutup
‘aurat, karena sebagian ulama melarang seseorang shalat memakai
pantalon adalah dengan alasan ini.
Menutup aurat merupakan syarat keabsahan shalat[6],
dimana kain/pakaian yang dikenakan harus memenuhi syarat : tebal dan
tidak tipis, sehingga tidak menyifatkan warna kulit yang ada di
bawahnya. Bila keadaan ini tidak terpenuhi, maka pakaian/kain tersebut
tidak boleh dipakai untuk shalat menurut kesepakatan para ulama. Dan
seandainya pakaian tersebut dapat menutup warna kulitnya, namun masih
menyifatkan bentuk badannya, sah shalatnya. Meskipun demikian, tetap dibenci (makruuh) pakaian
yang dapat menggambarkan bentuk ‘aurat dan menyembulkannya. Ini
berlaku baik untuk laki-laki dan wanita. Berikut sebagian perkataan
ulama madzhab :
Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
(
قَوْلُهُ لَا يَصِفُ مَا تَحْتَهُ ) بِأَنْ لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ
الْبَشَرَةِ احْتِرَازًا عَنْ الرَّقِيقِ وَنَحْوِ الزُّجَاجِ ( قَوْلُهُ
وَلَا يَضُرُّ الْتِصَاقُهُ ) أَيْ بِالْأَلْيَةِ مَثَلًا ، .......
وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُنْيَةِ : أَمَّا لَوْ كَانَ غَلِيظًا لَا يُرَى
مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ إلَّا أَنَّهُ الْتَصَقَ بِالْعُضْوِ
وَتَشَكَّلَ بِشَكْلِهِ فَصَارَ شَكْلُ الْعُضْوِ مَرْئِيًّا فَيَنْبَغِي
أَنْ لَا يَمْنَعَ جَوَازَ الصَّلَاةِ لِحُصُولِ السَّتْرِ
“(Perkataannya
: Tidak menyifatkan apa-apa yang ada di bawahnya), yaitu tidak terlihat
darinya warna kulit, terhindar dari sifat tipis dan transparan.
(Perkataannya : Tidak memudlaratkan jika pakaian/kain itu
‘ngepres’/menempel/ketat), yaitu dengan pantat
misalnya..... Dan ‘ibarat dalam kitab Syarh Al-Mun-yah :
Adapun jika kain/pakaian tersebut tebal tidak nampak darinya warna
kulit, namun ia ‘ngepres’/menempel dengan anggota badan dan
tergambar bentuk/rupanya, lalu terlihatlah bentuk tubuhnya; maka itu
tidak menghalangi kebolehan (sahnya) shalat dengan adanya penutup
tadi” [Raddul-Muhtaar, 3/270 – via Syaamilah].
Ibnu Syaas Al-Maalikiy rahimahullah berkata :
في
صفة الساتر : وليكن صفيقا كثيفا، ولا يكون شفا، ولا بحيث يصف، فإن كان
شفا، فهو كالعدم مع الانفراد. وإن كان بحيث يصف وليس يشف فهو مكروه، ولا
يؤدي إلى بطلان الصلاة
“Tentang
sifat penutup (‘aurat) : Hendaknya tebal, tidak tipis, dan tidak
bisa mensifati (‘aurat). Apabila tipis, maka ia seperti
ketiadaannya. Dan apabila dapat menyifatkan ‘aurat, namun tidak
tipis, maka makruh, dan shalatnya tidak batal sehingga perlu
diulang” [‘Iqdul-Jawaahir Ats-Tsamiinah fii Madzhab ‘Aalimil-Madiinah, 1/159].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قال
أصحابنا يجب الستر بما يحول بين الناظر ولون البشرة، فلا يكفي ثوب رقيق
يُشاهد من ورائه سواد البشرة أو بياضها، ولا يكفي أيضاً الغليظ المهلهل
النسج الذي يُظهر بعض العورة من خلله. فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة
كالركبة والإلية ونحوهما، صحت الصلاة فيه لوجود الستر
“Shahabat-shahabat kami (kalangan ulama Syaafi’iyyah – Abul-Jauzaa’)
berkata : wajib menutup ‘aurat dengan sesuatu yang dapat
menghalangi antara orang yang memandang dengan warna kulit. Maka,
tidaklah mencukupi pakaian tipis yang dapat dilihat hitam atau putihnya
kulit yang ada dibaliknya. Dan tidak mencukupi juga kain tenun tebal
yang menampakkan sebagian ‘aurat dikarenakan tenunnya renggang.
Seandainya ia dapat menutupi warna kulit namun masih menyifatkan bentuk
kulit luar (badan) seperti lutut, pantat, dan yang semisalnya; maka sah
shalatnya karena keberadaan penutup (‘aurat) tersebut” [Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab, 3/170].
Al-Khathiib Asy-Syarbiiniy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
فلا
يكفي ثوب رقيق ولا مهلهل لا يمنع إدراك اللون ولا زجاج يحكي اللون لأن
مقصود الستر لا يحصل بذلك. أما إدراك الحجم فلا يضر لكنه للمرأة مكروه
وللرجل خلاف الأولى
“Maka
tidaklah mencukupi pakaian tipis yang tidak menghalangi nampaknya warna
kulit, tidak pula (mencukupi) pakaian yang transparan yang dapat
menggambarkan warna kulit; karena tujuan menutupi ‘aurat tidak
tercapai dengan hal itu. Adapun nampaknya bentuk tubuh, tidak
memudlaratkannya, akan tetapi bagi wanita adalah makruh dan bagi
laki-laki khilaaful-ulaa[7] (meninggalkannya lebih baik)” [Mughnil-Muhtaaj, 1/398].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Dan
apabila pakaian tersebut menutup warna kulitnya, namun menyifatkan
bentuk badannya, maka shalatnya sah, karena tidak mungkin menghindarkan
diri dari hal tersebut meskipun pakaian/kain penutup itu tebal” [Al-Mughniy, 2/286-287].
Ibnu Muflih Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
إذا
وصف بياض الجلد، أو حمرته فليس بساتر، وإذا ستر اللون، ووصف الخلقة، أي:
حجم العضو، صحت الصلاة فيه، لأن البشرة مستورة، وهذا لا يمكن التحرز منه
“Apabila
pakaian/kain dapat menyifatkan putih atau merahnya warna kulit, maka
itu bukanlah penutup. Dan apabila ia dapat menutupi warna kulit, namun
masih menyifati bentuk tubuh/anggota badan; sah shalatnya, karena kulit
telah tertutup. Dan yang demikian tidaklah mungkin untuk
menghindarinya” [Al-Mubdi’ Syarh Al-Muqni’, 2/51 – via Maktabah Syaamilah].
Dalil yang dipakai untuk membangun pendapat di atas di antaranya :
حَدَّثَنَا
أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنِ ابْنِ أُسَامَةَ بْنِ
زَيْدٍ، أَنَّ أَبَاهُ أُسَامَةَ، قَالَ: كَسَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا
أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا لَكَ لَمْ
تَلْبَسْ الْقُبْطِيَّةَ "، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا
امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً، إِنِّي أَخَافُ
أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah menceritakan kepada
kami Zuhair bin Muhammad, dari ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Aqiil, dari Ibnu Usaamah bin Zaid, bahwasannya ayahnya yaitu
Usaamah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah
memberiku baju Qubthiyyah yang tipis yang dihadiahkan oleh Dihyah
Al-Kalbiy. Lalu aku memberikannya kepada istriku untuk dipakai. Setelah
itu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Mengapa engkau tidak mengenakan baju Qubthiyyah ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah memberikannya kepada istriku agar ia memakainya”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Perintahkanlah ia agar ia mengenakan di bawahnya ghilaalah[8]. Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan bentuk tulangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/205; sanadnya dla’iif dengan
sebab ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil. Al-Arna’uth
mengatakan : “Kemungkinan untuk dihasankan”[9]].
Faedah
: Riwayat ini menunjukkan perintah menutup ‘aurat bagi wanita
lebih keras/ketat daripada perintah menutup ‘aurat bagi
laki-laki, karena ketika Usaamah memberitahukan pakaian/kain Qubthiyyah
kepada istrinya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melapisinya dengan ghilaalah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal yang sama ketika kain itu diberikan kepada Usaamah di kali pertama.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ،
عَنْ عَبَّادِ بْنِ الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ،
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: " إِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْتَسِي وَهُوَ عَارٍ، يَعْنِي الثِّيَابَ الرِّقَاقَ "
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy : Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan, dari ‘Abbaad
bin Al-‘Awwaam, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais
bin Abi Haazim dari Jariir (bin ‘Abdillah Al-Bajaliy) radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berpakaian,
namun hakekatnya telanjang. Yaitu pakaiannya tipis” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausathno. 2215; sanadnya shahih].
Walhasil,
jika seseorang shalat dengan pakaian/kain yang dapat untuk menutupi
kulit sehingga tidak dapat terlihat dari luar, meskipun akan membentuk
sebagian anggota tubuh; maka shalat sah, walau sebagian ulama ada yang
memakruhkannya.
Kembali
pada masalah pantalon. Seseorang yang shalat dengan memakai pantalon
yang dapat menutupi ‘auratnya sehingga warna kulitnya tidak
terlihat, sah shalatnya. Jika pantalonnya sempit[10] hingga
dapat membentuk anggota badannya, maka makruh. Bahkan jika terlalu
sempit, saya khawatir itu masuk dalam hukum : keberadaannya seperti
ketiadaannya. Jika longgar[11],
maka boleh. Yang lebih sempurna dan lebih menutupi ‘aurat (lagi
terhindar dari perselisihan pendapat), maka ia shalat dengan didobeli
kain sarung atau gamis panjang (model Pakistan, Saudi, atau yang
semisalnya).
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
ويصلى
الرجل في السراويل إذا وارى ما بين السرة والركبة، والإزار أستر وأحب منه
.قال وأحب إلى أن لا يصلى إلا وعلى عاتقه شيء عمامة أو غيرها ولو حبلا يضعه
“Seorang laki-laki boleh shalat dengan saraawiil apabila dapat menutupi apa-apa yang terletak antara pusar dan lutut. Dan sarung lebih menutupi dan lebih aku sukai darinya (saraawiil). Dan aku lebih suka jika ia tidak shalat kecuali jika di atas pundaknya ada sesuatu berupa ‘imaamah atau yang lainnya, meskipun hanya seutas tali yang ia letakkan padanya (pundak)” [Al-Umm, 1/89].
Al-Barbahaariy rahimahullah berkata :
ولا بأس بالصلاة في السراويل
“Tidak mengapa shalat dengan mengenakan saraawiil” [Syarhus-Sunnah, hal. 61 no. 37].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah
ditanya tentang hukum memakai celana pantalon dimana sebagian
pemakainya tersingkap sebagian auratnya ketika rukuk dan sujud dalam
shalat. Beliau rahimahullah menjawab :
إذا
كان البنطلون - وهو السراويل - ساتراً ما بين السرة والركبة للرجل، واسعاً
غير ضيق صحت فيه الصلاة، والأفضل أن يكون فوقه قميص يستر ما بين السرة
والركبة، وينزل عن ذلك إلى نصف الساق أو إلى الكعب؛ لأن ذلك أكمل في الستر.
والصلاة في الإزار الساتر أفضل من الصلاة في السراويل إذا لم يكن فوقها قميص ساتر؛ لأن الإزار أكمل في الستر من السراويل
“Apabila pantalon – yaitu saraawiil –
dapat menutupi apa-apa yang terdapat antara pusar dan lutut bagi
laki-laki, longgar lagi tidak sempit, maka sah shalatnya. Dan afdlal-nya agar didobeli qamiish yang
menutup antara pusar dan lutut, dan lebih rendah lagi hingga
pertengahan betis atau hingga mata kaki. Hal itu dikarenakan lebih
sempurna dalam menutup aurat. Dan shalat dengan memakai sarung penutup
aurat lebih utama daripada shalat dengan memakai saraawiil bila tanpa didobeli qamiish sebagai penutup aurat. Karena, sarung lebih sempurna untuk menutup aurat daripada saraawiil” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480].
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, 24062012. Banyak mengambil faedah dari Libaasur-Rajul, Ahkaamuhu wa Dlawaabithuhu fil-Fiqhil-Islaamiyoleh Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy dan Mukhtaarul-Ahaadiits wal-Aatsaar wal-Aqaawiil li-Ba’dli Maa Yata’allaqa bis-Saraawiil oleh Khaalid bin Muhammad Al-Ghurbaaniy, ditambah beberapa artikel dan fataawaa yang ada di internet].
[3]
Simaak bin Harb adalah perawi yang jujur, namun berubah hapalannya di
kahir usianya. Namun Sufyaan Ats-Tsauriy meriwayatkan hadits darinya
sebelum ia berubah hapalannya [Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy, hal. 49 no. 20, beserta komentar muhaqqiq-nya].
[4] Ridaa’ menurut istilah adalah sesuatu yang dipakai dari jenis pakaian yang tidak meliputi/mengelilingi tubuh (ghairu muhiith), yang diletakkan di atas pundak/bahu atau di antara kedua pundak/bahu [lihat: Fathul-Baariy, 10/277].
Sebagaimana terdapat dalam riwayat :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحِ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " لَقَدْ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ
حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ، وَرَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ، أَنْظُرُ إِلَى
لَعِبِهِمْ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d,
dari Shaalih, dari Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya ‘Aaisyah
berkata : “Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari di pintu kamarku, dan orang-orang Habasyah saat itu sedang bermain-main di masjid. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan ridaa’-nya ketika aku melihat permainan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 455].
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي
حَازِمٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ
يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ:
كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ
عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ
وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا
تُرَابٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari
Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”.
Faathimah menjawab : “Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya,
lalu marah kepadaku kemudian ia keluar dan tidak tidur siang
bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”. Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid “. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan ridaa’-nya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبَّادَ بْنَ تَمِيمٍ
يُحَدِّثُ أَبَاهُ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ، " أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى
فَاسْتَسْقَى فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَقَلَبَ رِدَاءَهُ، وَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdullah bin Abi
Bakr, bahwasannya ia mendengar ‘Abbaad bin Tamiim menceritakan
dari ayahnya, dari pamannya yaitu ‘Abdullah bin Zaid :
Bahwasannya Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju tanah lapang untuk memohon hujan (istisqaa’). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap kiblat dan membalikkan ridaa’-nya dan shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1012].
[5]
Pemutlakkan sebagian ulama bahwa pantalon itu sempit, maka ini kurang
tepat, karena kenyataannya pantalon itu ada yang sempit, ada pula yang
leonggar sebagaimana dijelaskan oleh para ulama lainnya.
Sebagian rekan-rekan pun juga menganggap bahwa celana yang bukan jenis sirwal (saraawiil) seperti celana yang jamak dipakai oleh orang untuk sekolah, kuliah, ngantor,
dan yang semisalnya; termasuk katagori ‘sempit’ yang tidak
boleh dipakai. Saya pribadi agak bingung dengan batasan
‘sempit’ yang dimaksudkan, karena celana pantalon itu pun
banyak yang mempunyai ukuran yang tidak jauh berbeda dengan
sirwal-sirwal yang lazim dipakai. Hanya saja tidak bertali, serta
diberi kancing dan resliting.
[6] Allah ta’ala berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” [QS. Al-A’raaf : 31].
حَدَّثَنَا
أَبِي، ثنا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ: " يَا بَنِي
آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ، قَالَ: كَانُوا
يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ الْحَرَامِ عُرَاةٍ بِاللَّيْلِ، فَأَمَرَهُمُ
اللَّهُ أَنْ يَلْبَسُوا ثِيَابَهُمْ وَلا يَتَعَرُّوا "
Telah
menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu
Shaalih : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih,
dari ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang
firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid”
(QS. Al-A’raaf : 31); ia berkata : “Dulu mereka (orang Arab
Jaahiliyyah) melakukan thawaf sambil telanjang di malam hari, lalu
Allah memerintahkan mereka agar memakai pakaian mereka dan jangan
telanjang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim no. 8376. Sanad
riwayat ini lemah karena keterputusan antara ‘Aliy bin Abi
Thalhah dengan Ibnu ‘Abbaas. Selain itu, Abu Shaalih (namanya :
‘Abdullah bin Shaalih Al-Juhhaniy) banyak dikritik ulama. Akan
tetapi periwayatan dari perantaraan kitabnya adalah tsabt, dan ia sendiri mempunyai naskah periwayatan yang besar dari Mu’aawiyyah bin Shaalih. Riwayat ini mempunyai penguat].
نَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ طَاوُسٍ، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ:
خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ قَالَ: " الثِّيَابُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Thaawus (bin Kaisaan) tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid”
(QS. Al-A’raaf : 31); ia berkata : “(Perhiasan tersebut)
adalah pakaian” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur dalam Tafsiir-nya no. 947; sanadnya shahih].
وحَدَّثَنَا
أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ
الأَصَمُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُثْمَانُ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِهِ: خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ.
قَالَ: " مَا وَارَى عَوْرَتَكَ، وَلَوْ عَبَاءَةً "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muusaa, ia berkata
: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan, dari Mujaahid tentang
firman-Nya‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raaf : 31); ia berkata : “Apa saja yang dapat menyembunyikan auratmu, meskipun ‘abaa’ah (sejenis mantel)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah 2/94; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ،
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ
صَفِيَّةَ بِنْتِ الْحَارِثِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ
حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan
kepada kami Hajjaaj bin Minhaal : Telah menceritakan kepada kami
Hammaad, dari Qataadah, dari Muhammad bin Siiriin, dari Shafiyyah binti
Al-Haarits, dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Allah tidak menerima shalat seorang wanita yang telah haidl, hingga ia mengenakan khimaar (kerudung)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 641; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 196].
Ayat dan hadits di atas dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwa menutup aurat termasuk syarat sahnya shalat.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
سَتْرَ
الْعَوْرَةِ عَنْ النَّظَرِ ، بِمَا لَا يَصِفُ الْبَشَرَةَ ، وَاجِبٌ ,
وَشَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ . وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُ
الرَّأْي
“Menutup
‘aurat dari pandangan dengan sesuatu yang tidak menyifatkan kulit
adalah wajib, dan termasuk syarat sahnya shalat. Inilah yang dikatakan
Asy-Syaafi’iy dan ashhaabur-ra’yi” [Al-Mughniy, 1/336].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ذهب الجمهور إلى أن ستر العورة من شروط الصلاة
“Jumhur ulama berpendapat bahwa menutup ‘aurat termasuk syarat (sahnya) shalat” [Fathul-Baariy, 1/466].
[7] Istilah di sebagian kalangan ushuuliyyiin – terutama Syaafi’iyyah – yang maknanya hampir sama dengan makruh.
[8] Yaitu pakaian dalam yang dikenakan di bawah/di belakang pakaian luar.
[9] Abul-Jauzaa’ berkata : Ada riwayat lain yang luput dari pengamatan Al-Arna’uthhafidhahullah :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْكَرِيمِ، حَدَّثَنَا
حَنْبَلُ بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا
ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أُسَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَرْدَفَهُ مِنْ جَمْعٍ "
فَذَكَرَهُ، وَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَصِفَ عُجْمَ
عِظَامِهَا.قَالَ: وَإِنَّمَا هُوَ: حَجْم عِظَامِهَا
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Abdil-Kariim : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq
: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Ibraahiim bin ‘Uqbah, dari
Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Usaamah radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengnya dari sekelompokl orang. Lalu ia menyebutkannya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan pangkal ekor (‘ujm) tulangnya”. Perawi berkata : Sesungguhnya perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah : ‘bentuk (hajm) tulangnya” [Diriwayatkan oleh Al-Hasan bin ‘Abdillah Al-‘Askariy dalam Tashhiifaat Al-Muhadditsiin hal. 30].
Sanad hadits ini shahih.