Tanya : Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
tidur di kediaman Ummu Haraam, dan kemudian Ummu Haraam pun
membersihkan kepala beliau. Apakah hadits ini dapat menjadi dalil
diperbolehkannya seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) danbersentuhan kulit (tanpa pembatas) dengan wanitaajnabiyyah (asing) ?.
Jawab : Berkhalwat dan bersentuhan dengan wanitaajnabiyyah (asing/bukan mahram) adalah diharamkan dalam Islam berdasarkan nash dan ijmaa’ ulama. Beberapa dalil tentang keharaman berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah :
a. Firman Allah ta’ala :
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” [QS. Al-Israa’ : 32].
Berkhalwat adalah perbuatan yang dapat mengantarkan pada zina yang sesungguhnya.
b. Hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي
مَعْبَدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ سَمِعَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا
مَحْرَمٌ، ......
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (berkhalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3006].
c. Hadits ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ "، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: " الْحَمْوُ: الْمَوْتُ "
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan
kepada kami Laits, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abul-Khair, dari
‘Uqbah bin ‘Aamir : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berhati-hatilah kalian dari masuk menemui para wanita (yang bukan mahramnya)”. Seorang laki-laki dari Anshaar berkata : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu dengan saudara ipar ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ipar adalah maut (kematian)”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5232].
d. Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا
يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، قَالَ يَحْيَي:
أَخْبَرَنَا، وقَالَ ابْنُ حُجْرٍ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ أَبِي
الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ. ح وحدثنا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ،
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قالا: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا أَبُو
الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قال: قال رسول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " أَلَا لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa dan ‘Aliy bin Hujr
– Yahyaa berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami, sedangkan
Ibnu Hujr berkata : Telah menceritakan kepada kami – Husyaim,
dari Abuz-Zubair, dari Jaabir. (ح)
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Zuhair
bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami
Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah!
Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menginap di rumah seorang janda
melainkan ia telah menikah dengannya atau mahramnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
e. Ijmaa’.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَفِي
هَذَا الْحَدِيث وَالْأَحَادِيث بَعْده تَحْرِيم الْخَلْوَة
بِالْأَجْنَبِيَّةِ ، وَإِبَاحَة الْخَلْوَة بِمَحَارِمِهَا ، وَهَذَانِ
الْأَمْرَانِ مُجْمَع عَلَيْهِمَا
“Dan dalam hadits ini dan juga hadits-hadits setelahnya terkandung pengharaman berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah, dan pembolehan berkhalwat dengan mahramnya. Dua perkara ini telah disepakati para ulama” [Syarh Shahiih Muslim, 14/153].
Adapun dalil-dalil yang menyatakan keharaman seorang laki-laki bersentuhan dengan wanita ajnabiyyah antara lain adalah :
a. Firman Allah ta’ala :
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ.....
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” [QS. An-Nuur : 30-31].
Sisi
pendalilannya : Jika memandang laki-laki atau wanita yang bukan
mahramnya (tanpa keperluan) adalah terlarang berdasarkan ayat ini, maka
menyentuh kulit/tubuh secara langsung lebih utama untuk dilarang. Efek
syahwat yang ditimbulkan dari menyentuh lebih besar daripada sekedar
melihat.
b. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ،
حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا،
مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ،
وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ
الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا
الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur : Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami
Wuhaib : telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abi Shaalih, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti menimpanya. Kedua mata, zinanya adalah memandang; zina kedua telinga adalah mendengar; zina lisan adalah ucapan; zina tangan adalah memegang; zina kaki adalah langkah; dan zina hati adalah menghendaki sesuatu (berangan-angan); dan farajnya (kemaluannya) membenarkan atau mendustakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2657].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
معنى
الحديث أن ابن آدم قدر عليه نصيب من الزنا فمنهم من يكون زناه حقيقياً
بإدخال الفرج في الفرج الحرام، ومنهم من يكون زناه مجازاً بالنظر الحرام
أو الاستماع إلى الزنا وما يتعلق بتحصيله، أو بالمس باليد بأن يمس أجنبية
بيده أو يقبلها، أو بالمشي بالرجل إلى الزنا أو النظر أو اللمس أو الحديث
الحرام مع أجنبية ونحو ذلك، أو بالفكر بالقلب،
“Makna hadits ini adalah bahwa sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti menimpanya. Di
antaranya ada yang ditimpa zina secara hakiki, yaitu dengan masuknya
farji ke dalam farji yang diharamkan. Di antaranya pula ada yang
ditimpa zina secara majaziy, yaitu dengan memandang atau mendengar sesuatu yang haram atau dengan menyentuh wanita ajnabiyyah (yang
bukan mahramnya) dengan tangannya atau menciumnya, atau berjalan kaki
dengan tujuan zina, atau bercakap-cakap untuk membicarakan sesuatu yang haram dengan wanita ajnabiyyah. Zina juga bisa lewat berpikir dengan hati akan sesuatu yang haram…” [Syarh Shahih Muslim, 16/206].
c. Hadits Umaimah bintu Ruqaiqah radliyallaahu ‘anhaa.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ،
أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ أُمَيْمَةَ
بِنْتَ رُقَيْقَةَ، تَقُولُ: جِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ نُبَايِعُهُ، فَقَالَ لَنَا: " فِيمَا
اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ، إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, bahwasannya ia mendengar
Muhammad bin Al-Munkadir, ia berkata : Aku mendengar Umayyah bintu
Ruqaiqah berkata : Aku mendatangi Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama wanita-wanita lain untuk berbaiat kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Terhadap apa saja yang kalian mampu dan sanggup melakukannya. Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan para wanita” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2874; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no.
1984, ‘Abdurrazzaaq no. 9826, Al-Humaidiy no. 344, Ahmad 6/357,
At-Tirmidziy no. 1597 An-Nasaa’iy 7/149 & 152, Ibnu Hibbaan
no. 4553, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/no. 470-473 & 475-476, dan yang lainnya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وأما
مَدّ اليد والمصافحة في البيعة ، فذلك مِن السنة المسنونة ، فَعَلَها رسول
الله صلى الله عليه وسلم والخلفاء الراشدون بعده ، وكان رسول الله صلى
الله عليه وسلم لا يُصَافِح النساء
“Adapun
mengulurkan tangan dan berjabat tangan dalam baiat, maka hal itu
merupakan sunnah yang dianjurkan, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan al-khulafaaur-raasyiduun setelah beliau melakukannya. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak berjabat tangan dengan wanita” [Al-Istidzkaar, 8/545].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَفِي
الْحَدِيث أَنَّ كَلَام الْأَجْنَبِيَّة مُبَاح سَمَاعه وَأَنَّ صَوْتهَا
لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَمَنَعَ لَمْس بَشَرَة الْأَجْنَبِيَّة مِنْ غَيْر
ضَرُورَة لِذَلِكَ
“Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa perkataan wanita ajnabiyyah boleh didengarkan dan suara mereka bukanlah aurat; serta dilarang untuk menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat” [Fathul-Baariy, 13/204].
d. Dan yang lainnya.
Dr. Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz menyatakan adanya ijma’ para ulama atas halkeharaman perbuatan tersebut :
وانعقد الإجماع كذلك على حرمة مصافحة المرأة الأجنبية الشابة
“Dan telah terjadi ijmaa’ atas keharaman berjabat tangan dengan wanita mudaajnabiyyah[1]” [Al-Adillatusy-Syar’iyyah ‘alaa Tahriimi Mushaafahatil-Mar’atil-Ajnabiyyah, hal. 18].
Kemudian,.... tentang hadits Ummu Haraam radliyallaahu ‘anhaa yang dimaksudkan Penanyaadalah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ
عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ، فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ
حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ
جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ، فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ:
فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: " نَاسٌ مِنْ
أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ، يَرْكَبُونَ
ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ أَوْ مِثْلَ
الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ "، يَشُكُّ أَيَّهُمَا، قَالَ: قَالَتْ:
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ،
فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ، فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ
يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟،
قَالَ: " نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ
اللَّهِ كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى "، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، قَالَ: " أَنْتِ مِنَ
الْأَوَّلِينَ "، فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ
فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ، فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنَ
الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan
(hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi
Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menemui Ummu Haram binti Milhaan - isteri ‘Ubaadah bin
Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan
untuk beliau. Setelah itu Ummu Haram membersihkan rambut beliau (dari kutu), hingga Rasulullahshallallaahu 'alaihi wa sallam tertidur.
Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : "Apa
yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda :
“Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta'ala kepadaku. Mereka
berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para
raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana"
- perawi ragu antara keduanya - . Ummu Haram berkata : "Wahai
Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka." Kemudian
beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga
tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata
: Lalu aku kembali bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu
tertawa ?". Beliau menjawab : "Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta'ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…"
- sebagaimana sabda beliau yang pertama - . Ummu Haram berkata : Lalu
aku berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara
mereka !". Beliau bersabda : "Kamu termasuk dari rombongan pertama".
Pada masa (kepemimpinan) Mu'aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan
Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika
mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi musykilah tersebut. Berikut di antara pendapat mereka :
a. Ummu Haraam radliyallaahu ‘anhaa adalah mahram Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdengan sebab persusuan.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
قال
ابن وهب: أم حرام إحدى خالات النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من
الرضاعة، فلذلك كان يقيل عندها، وينام في حجرها، وتفلي رأسه.قال أبو عمر:
لو لا أنها كانت منه ذات محرم ما زارها، ولا قام عندها، والله أعلم.
“Ibnu Wahb berkata : ‘Ummu Haraam adalah salah satu di antara bibi-bibi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
sebab persusuan. Oleh sebab itu, beliau pernah tidur siang di sisinya
dan tidur di kamarmya. Dan Ummu Haraam pun pernah membersihkan rambut
beliau’. Abu ‘Umar (Ibnu ‘Abdil-Barr) melanjutkan :
“Seandainya Ummu Haraam tidak mempunyai hubungan mahram, niscaya
beliau tidak menziarahinya, dan tidak pula berada di sisinya, wallaahu a’lam” [Al-Istidzkaar, 5/25].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
اِتَّفَقَ
الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ مَحْرَمًا لَهُ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَاخْتَلَفُوا فِي كَيْفِيَّة ذَلِكَ فَقَالَ اِبْن
عَبْد الْبَرّ وَغَيْره : كَانَتْ إِحْدَى خَالَاته مِنْ الرَّضَاعَة ،
وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ كَانَتْ خَالَة لِأَبِيهِ أَوْ لِجَدِّهِ ؛
لِأَنَّ عَبْد الْمُطَّلِب كَانَتْ أُمّه مِنْ بَنِي النَّجَّار
“Ulama telah sepakat bahwa Ummu Haraam adalah mahram bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun
mereka berselisih pendapat tentang sebab yang menjadikan kemahramannya
tersebut. Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya berkata : ‘Ummu
Haraam adalah salah satu bibi (khaalah) karena sebab persusuan. Yang lainnya berkata : ‘Ummu Haraam adalah bibi (khaalah) dari ayah atau kakek beliau, karena ibu ‘Abdul-Muthallib berasal dari Bani Najjaar” [Syarh Shahiih Muslim, 13/58].
Klaim kesepakatan yang disebutkan An-Nawawiy rahimahullah ini tidak benar, sebagaimana akan disebutkan pendapat lain yang menyelisihi di bawah.
Pendapat ini mendapat sanggahan :
Ad-Dimyaathiy rahimahullah berkata :
ذَهِلَ
كُلّ مَنْ زَعَمَ أَنَّ أُمّ حَرَام إِحْدَى خَالَات النَّبِيّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الرَّضَاعَة أَوْ مِنْ النَّسَب وَكُلّ
مَنْ أَثْبَتَ لَهَا خُؤُولَةً تَقْتَضِي مَحْرَمِيَّةً ؛ لِأَنَّ
أُمَّهَاته مِنْ النَّسَب وَاَللَّاتِي أَرْضَعْنَهُ مَعْلُومَات لَيْسَ
فِيهِنَّ أَحَد مِنْ الْأَنْصَار الْبَتَّة سِوَى أُمّ عَبْد الْمُطَّلِب
وَهِيَ سَلْمَى بِنْت عَمْرو بْن زَيْد بْن لَبِيدِ بْن خِرَاش بْن عَامِر
بْن غَنْم بْن عَدِيِّ بْن النَّجَّار ، وَأُمّ حَرَام هِيَ بِنْت
مِلْحَان بْن خَالِد بْن زَيْد بْن حَرَام بْن جُنْدُب بْن عَامِر
الْمَذْكُور فَلَا تَجْتَمِع أُمّ حَرَام وَسَلْمَى إِلَّا فِي عَامِر بْن
غَنْمٍ جَدّهمَا الْأَعْلَى ، وَهَذِهِ خُؤُولَةٌ لَا تَثْبُت بِهَا
مَحْرَمِيَّةٌ لِأَنَّهَا خُؤُولُةٌ مَجَازِيَّة ، وَهِيَ كَقَوْلِهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَعْدِ بْن أَبِي وَقَّاص " هَذَا
خَالِي " لِكَوْنِهِ مِنْ بَنِي زُهْرَة وَهُمْ أَقَارِب أُمّه آمِنَة ،
وَلَيْسَ سَعْد أَخًا لِآمِنَةَ لَا مِنْ النَّسَب وَلَا مِنْ الرَّضَاعَة
“Mengigaulah semua orang yang menganggap Ummu Haraam adalah salah satu di antara bibi-bibi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik
dengan sebab hubungan susuan atau nasab; dan (juga mengigaulah orang
yang menganggap) setiap orang yang tetap baginya hubungan khu’uulah, maka menunjukkan kemahraman. Hal itu dikarenakan ibu-ibu beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam karena
nasab dan orang-orang yang menyusukan beliau adalah dikenal. Tidak ada
seorang pun di antara mereka (yang menyusui) berasal dari Anshaar
kecuali Ummu ‘Abdil-Muthallib. Ia adalah Salmaa bintu ‘Amru
bin Zaid bin Labiid bin Khiraasy bin ‘Aamir bin Ghanam bin
‘Adiy bin An-Najjaar. Adapun Ummu Haraam adalah Bintu Milhaan bin
Khaalid bin Zaid bin Haraam bin Jundub bin ‘Aamir –
sebegaimana telah disebutkan sebelumnya (dalam silsilah Ummu
‘Abdil-Muthallib). Ummu Haraam dan Salmaa tidaklah berkumpul
(dalam nasab) kecuali pada ‘Aamir bin Ghanam, kakek buyut mereka
berdua yang sudah jauh ke atas. Hubungan khu’uulah ini tidak menetapkan dengannya kemahraman, karena ini adalah khu’uulah majaziy (hubungan paman/bibi secara majaziy) – seperti perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap Sa’d bin Abi Waqqaash : ‘Ini adalah pamanku’,
dikarenakan ia (Sa’d) berasal dari Bani Zuhrah yang merupakan
kerabat ibu beliau, Amiinah. Sa’d bukanlah saudara laki-laki bagi
Amiinah baik karena nasab maupun persusuan” [Fathul-Baariy, 11/78].
b. Hal ini termasuk kekhususan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَحَكَى
اِبْن الْعَرَبِيّ مَا قَالَ اِبْن وَهْب ثُمَّ قَالَ : وَقَالَ غَيْره
بَلْ كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعْصُومًا
يَمْلِك أَرَبَهُ عَنْ زَوْجَته فَكَيْف عَنْ غَيْرهَا مِمَّا هُوَ
الْمُنَزَّهُ عَنْهُ ، وَهُوَ الْمُبَرَّأ عَنْ كُلّ فِعْلٍ قَبِيحٍ
وَقَوْلٍ رَفَثٍ ، فَيَكُون ذَلِكَ مِنْ خَصَائِصه
“Dan
Ibnul-‘Arabiy menghikayatkan apa yang dikatakan Ibnu Wahb, lalu
berkata : Telah berkata selain dirinya : Akan tetapi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang yangma’shuum yang
dapat menahan hawa nafsunya terhadap istrinya. Lantas bagaimana halnya
dengan selain istrinya yang beliau bersih dari hawa nafsu terhadapnya
?. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbebas dari segala perbuatan keji dan perkataan kotor. Oleh karena itu, hal itu termasuk kekhususan-kekhususan beliau” [Fathul-Baariy, 11/78-79].
Lalu Ibnu Hajar rahimahullah memberi kesimpulan :
وَأَحْسَن
الْأَجْوِبَة دَعْوَى الْخُصُوصِيَّة وَلَا يَرُدّهَا كَوْنُهَا لَا
تَثْبُت إِلَّا بِدَلِيل ؛ لِأَنَّ الدَّلِيل عَلَى ذَلِكَ وَاضِح ،
وَاَللَّه أَعْلَم
“Dan
jawaban terbaik adalah anggapan hal tersebut sebagai kekhususan, dan
ini tidak dapat ditolak oleh keberadaannya yang tidak ditetapkan
kecuali dengan dalil, karena dalil tentang hal tersebut adalah jelas, wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 11/79].
Pendapat ini mendapat sanggahan :
Ibnu Hajar menukil perkataan Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahumallah :
وَرَدَّ
عِيَاضٌ الْأَوَّل بِأَنَّ الْخَصَائِص لَا تَثْبُت بِالِاحْتِمَالِ ،
وَثُبُوتُ الْعِصْمَةِ مُسَلَّمٌ لَكِنَّ الْأَصْل عَدَم الْخُصُوصِيَّة ،
وَجَوَاز الِاقْتِدَاء بِهِ فِي أَفْعَاله حَتَّى يَقُوم عَلَى
الْخُصُوصِيَّة دَلِيل
“’Iyaadl membantah pendapat tersebut, karena kekhususan tidaklah ditetapkan dengan kemungkinan. Tetapnya ‘ishmah tidaklah dapat dibantah, akan tetapi asalnya adalah peniadaan kekhususan[2] dan diperbolehkan untuk mencontoh perbuatan-perbuatan beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga tegak dalil tentang kekhususannya” [Fathul-Baariy, 11/78].
Selain itu, jika dikatakan perbuatan tersebut termasuk kekhususan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau diperbolehkan untuk menyentuh wanita ajnabiyyah, maka pendapat ini bertentangan dengan perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
tidak mau berjabat tangan saat baiat – sebagaimana dalilnya telah
disebutkan di atas. Padahal, asal perbuatan baiat adalah dengan
berjabat tangan, sehingga hal itu memang dibutuhkan. Kenyataannya,
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap enggan melakukannya. Oleh karenanya, hadits tersebut menjadi dalil peniadaan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini.
Juga bertentangan dengan dalil :
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " أَنَّ
صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرَتْهُ، أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً،
ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ،
عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ،
فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى
رِسْلِكُمَا، إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ، فَقَالَا:
سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ
مِنَ الْإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي
قُلُوبِكُمَا شَيْئًا "
Telah
menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami
Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepadaku ‘Aliy bin Al-Husain radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Shafiyyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya ia pernah datang menziarahi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam i’tikaf beliau di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadlaan. Ia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit untuk pulang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun
bangkit bersamanya mengantarkannya. Hingga ketika sampai di pintu
masjid dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang laki-laki
Anshaar. Keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada keduanya : “Perlahan, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah bintu Huyay”. Mereka berdua berkata :“Subhaanallaah, wahai Rasulullah” - keduanya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang besar. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya setan mendatangi manusia lewat aliran darah dan aku khawatir setan telah memasukkan sesuatu pada hati kalian berdua". [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2035].
Sisi pendalilannya : Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mempunyai kekhususan dalam hal interaksi dengan wanita ajnabiyyah dalam berkhalwat – lebih-lebih lagi bersentuhan – niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
menjelaskan bahwa wanita yang bersama beliau adalah Shafiyyah,
istrinya; dan bahkan beliau akan menjelaskan kekhususan yang beliau
miliki dalam hal itu.
Perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah untuk memutuskan prasangka buruk bahwa beliau telah berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah. Hadits ini menafikkan adanya kekhususan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kebolehan berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah.
c. Hal ini termasuk kekhususan Ummu Haraam (dan Ummu Sulaim).
Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Ad-Dimyaathiy dam Ibnul-Mulaqqin rahimahumallah.
Ibnul-Mulaqqin berkata :
وهذا خاص بأُمّ حَرَام وأختها أُمّ سُلَيْم، وقد ذكرتُ ذلكَ عنه في كتابي المسمى "العُدّة في معرفة رجالِ العمدة
“Ini adalah kekhususan bagi Ummu Haraam dan saudarinya Ummu Sulaim. Aku telah menyebutkannya dalam kitabku yang berjudul Al-‘Uddah fii Ma’rifati Rijaalil ‘Umdah” [Khashaaishun-Nabiy, hal. 136].
Pertanyaannya
: Apa yang membuat Ummu Haraam dan Ummu Sulaim mempunyai kekhususan ini
?. Jika dijawab bahwa itu dikarenakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنِّي أَرْحَمُهَا، قُتِلَ أَخُوهَا مَعِي
“Sesungguhnya aku mengasihinya (yaitu : Ummu Sulaim). Saudara laki-lakinya terbunuh bersamaku (di medan jihad)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2844 dan Muslim no. 2455].
Ad-Dimyaathiy rahimahullah berkata :
فبين تخصيصها بذلك فلو كان ثمة علة أخرى لذكرها لأن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
“Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
pengkhususan Ummu Sulaim dengan sebab itu. Seandainya di sana ada sebab
lain, niscaya beliau akan menyebutkannya, karena mengakhirkan
penjelasan pada waktu yang yang diperlukan tidak diperbolehkan” [‘Umdatul-Qaariy, 11/99].
Jika itu adalah alasan pengkhususan Ummu Sulaim (dan juga Ummu Haraam), maka yang terbunuh bersama beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
hanya saudara laki-laki mereka (Haraam bin Milhaan), akan tetapi juga
banyak shahabat yang lainnya. Bersamaan dengan itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkhalwat dengan saudara wanita mereka atau keluarga wanita mereka selain Ummu Sulaim (dan Ummu Haraam).
Tarjih :
Melihat
beberapa alasan dan dalil-dalil yang ada, maka yang kuat dalam hal ini
adalah pendapat yang menyatakan Ummu Haraam (dan saudarinya, Ummu
Sulaim) merupakan mahram Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanggahan Ad-Dimyaathiy rahimahullah dapat dijawab dengan beberapa sisi :
1. Persusuan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan
hal yang umum dan tersebar sehingga seringkali kemahraman dari sebab
ini tidak nampak oleh kebanyakan orang, meskipun merupakan kerabat
dekatnya. Dalil yang menunjukkan hal ini antara lain :
حدثنا
هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ، حدثنا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ
أَبِي الشَّعْثَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: قَالَت
عَائِشَةُ: دَخَلَ عَلَيّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَنْدِي رَجُلٌ قَاعِدٌ، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ،
وَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ، قَالَت: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنَّهُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، قَالَت: فقَالَ: " انْظُرْنَ
إِخْوَتَكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ
الْمَجَاعَةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Hannaad bin As-Sariy : Telah menceritakan
kepada kami Abul-Ahwash, dari Asy’ats bin
Abisy-Sya’tsaa’, dari ayahnya, dari Masruuq, ia berkata :
‘Aaisyah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
masuk menemuiku dan waktu itu ada seorang laki-laki di sisiku. Beliau
keberatan atas hal itu dan aku melihat kemarahan di wajah
beliau”. ‘Aaisyah berkata : Aku berkata : ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ia adalah laki-lakiku sepersusuan”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi sallam bersabda : “Perhatikanlah saudara sepersusuanmu. Sesungguhnya persusuan (yang menjadikan mahram) hanyalah yang disebabkan oleh rasa lapar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1455].
Kemahraman ‘Aaisyah dengan saudara laki-laki sepersusuannya tersebut bahkan tidak nampak bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang notabene merupakan suaminya.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ،
قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عُقْبَةَ
بْنِ الْحَارِثِ، أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ
عَزِيزٍ، فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ
عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ: مَا أَعْلَمُ
أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلَا أَخْبَرْتِنِي، فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ، فَسَأَلَهُ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ وَقَدْ
قِيلَ، فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ، وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqaatil Abul-Hasan, ia berkata :
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain,
ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Mulaikah,
dari ‘Uqbah bin Al-Haarits :
Bahwasannya ia menikahi anak perempuan Ihaab bin
‘Abdil-‘Aziiz. Lalu datanglah seorang wanita dan berkata :
“Sesungguhnya aku dulu pernah menyusui ‘Uqbah dan
istrinya”. ‘Uqbah berkata kepadanya : “Aku tidak tahu
engkau telah menyusuiku dan engkau pun tidak pernah
mengkhabariku”. Lalu ia (‘Uqbah) menunggang kuda menemui
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madiinah. Kemudian ia bertanya kepada beliau perihal tersebut. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagaimana lagi, sungguh ia telah mengatakannya”. Lalu ‘Uqbah menceraikannya dan setelah itu ia menikahi wanita yang lain [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 88].
أَخْبَرَنَا
هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ، عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ، عَنْ الْأَعْمَشِ،
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
السَّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ تَنَوَّقُ فِي قُرَيْشٍ وَتَدَعُنَا، قَالَ: "
وَعِنْدَكَ أَحَدٌ؟ " قُلْتُ: نَعَمْ، بِنْتُ حَمْزَةَ، قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِي،
إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Hannaad bin As-Sariy, dari Abu
Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Sa’d bin
‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, kenapa engkau
mengutamakan wanita-wanita Quraisy dan meninggalkan wanita-wanita kami
?”. Beliau bersabda : “Apakah engkau memiliki wanita yang pantas aku nikahi ?”. Aku berkata : “Ya, yaitu anak perempuan Hamzah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya ia tidak halal bagiku. Ia adalah anak perempuan saudara laki-laki sepersusuanku” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3304; shahih].
Seandainya
kemahramana karena hubungan persusuan itu dapat tidak diketahui oleh
kerabat dekat, apalagi oleh kerabat jauh atau orang-orang yang hidup
jauh sepeninggal mereka?.
2. Dengan memperhatikan interaksi antara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap
Ummu Haraam dan Ummu Sulaim, maka tidak mungkin hal itu terjadi kecuali
antara dua orang yang mempunyai hubungan kemahraman. Selain hadits Ummu
Haram dan Ummu Sulaim yang telah disebutkan di atas, dalil-dalil lain
yang menunjukkannya adalah :
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ،
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَخَلَ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ فَأَتَوْهُ بِسَمْنٍ وَتَمْرٍ، فَقَالَ:
رُدُّوا هَذَا فِي وِعَائِهِ وَهَذَا فِي سِقَائِهِ فَإِنِّي صَائِمٌ،
ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ تَطَوُّعًا، فَقَامَتْ أُمُّ
سُلَيْمٍ، وَأُمُّ حَرَامٍ خَلْفَنَا، ......
Telah
menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah
menceritakan kepada kami Hammaad : Telah mengkhabarkan kepada kami
Tsaabit, dari Anas : Bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Ummu Haraam. Lalu Ummu Haraam menghidangkan kepada beliau minyak samin dan kurma (tamr). Beliau bersabda : “Kembalikanlah makan tersebut ke tempatnya, sesungguhnya aku sedang berpuasa”. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri
melaksanakan shalat sunnah dua raka’at bersama kami. Ummu Haraam
dan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami…..” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 608; shahih].
حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا، وَمَا هُوَ إِلَّا أَنَا، وَأُمِّي،
وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَ: " قُومُوا فَلِأُصَلِّيَ بِكُمْ فِي
غَيْرِ وَقْتِ صَلَاةٍ، فَصَلَّى بِنَا، ...... ثُمَّ دَعَا لَنَا أَهْلَ
الْبَيْتِ بِكُلِّ خَيْرٍ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، فَقَالَتْ
أُمِّي: يَا رَسُولَ اللَّهِ، خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللَّهَ لَهُ، قَالَ:
فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ، أَنْ
قَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ، وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ "
Telah
menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada
kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan,
dari Tsaabit, dari Anas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui kami, sementara yang ada di rumah hanyalah aku, ibuku (Ummu Sulaim), dan bibiku Ummu Haraam. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdirilah, aku akan shalat mengimami kalian”. Yaitu di luar waktu shalat. Lalu beliau shalat bersama kami……
Kemudian beliau mendoakan kebaikan dunia dan akhirat bagi kami dan
seluruh anggota keluarga. Ibuku (Ummu Sulaim) berkata : “Wahai
Rasulullah, berdoalah kepada Allah kepada pembantumu ini (yaitu Anas
bin Maalik)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendoakanku dengan segala kebaikan, dan akhir doa yang beliau ucapkan untukku : “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, dan berikanlah ia barakah padanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2481].
وحَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ
إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَدْخُلُ بَيْتَ أُمِّ سُلَيْمٍ، فَيَنَامُ عَلَى فِرَاشِهَا، وَلَيْسَتْ
فِيهِ، قَالَ: فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَنَامَ عَلَى فِرَاشِهَا،
فَأُتِيَتْ، فَقِيلَ لَهَا: هَذَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَامَ فِي بَيْتِكِ، عَلَى فِرَاشِكِ، قَالَ: فَجَاءَتْ وَقَدْ
عَرِقَ وَاسْتَنْقَعَ عَرَقُهُ عَلَى قِطْعَةِ أَدِيمٍ عَلَى الْفِرَاشِ،
فَفَتَحَتْ عَتِيدَتَهَا، فَجَعَلَتْ تُنَشِّفُ ذَلِكَ الْعَرَقَ
فَتَعْصِرُهُ فِي قَوَارِيرِهَا، فَفَزِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا تَصْنَعِينَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ ؟
فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَرْجُو بَرَكَتَهُ لِصِبْيَانِنَا،
قَالَ: أَصَبْتِ "
Dan
telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Raafi’ : Telah
menceritakan kepada kami Hujain bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Salamah, dari Ishaaq bin
‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik, ia berkata :
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pada
suatu hari pernah masuk ke rumah Ummu Sulaim. Beliau lalu tidur di atas
alas tidur Ummu Sulaim ketika ia tidak ada di rumah. Pada hari lainnya
beliau juga datang dan melakukan hal yang sama. Ketika Ummu Sulaim
datang, ada yang melapor bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidur di alas tidur di rumahnya. Segera saja Ummu Sulaim masuk dan mendapati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersimbah
keringat yang sangat banyak sehingga mengenai sepotong kulit yang
berada di dekat alas tidur tersebut. Kemudian Ummu Sulaim menyeka
keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol-botol yang terbuat
dari kaca. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbangun dan merasa kaget. Beliau bertanya : “Apa yang sedang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim ?”.
Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, kami mengharapkan barakahnya
untuk anak-anak kami”. Maka beliau berkata : “Engkau benar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2331].
حَدَّثَنَا
حَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا
هَمَّامٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَدْخُلُ عَلَى أَحَدٍ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِ، إِلَّا أُمِّ سُلَيْمٍ،
فَإِنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ:
إِنِّي أَرْحَمُهَا، قُتِلَ أَخُوهَا مَعِي "
Telah
menceritakan kepada kami Hasan Al-Hulwaaniy : Telah menceritakan kepada
kami ‘Amru bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami
Hammaam, dari Ishaaq bin ‘Abdillah, dari Anas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah masuk menemui seorang wanita pun kecuali istrinya dan Ummu Sulaim. Sesungguhnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuinya. Dikatakan kepada beliau tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : ‘Sesungguhnya aku mengasihinya (yaitu : Ummu Sulaim). Saudara laki-lakinya terbunuh bersamaku (di medan jihad)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2455].
3. Terkait dengan nomor 2 di atas, seandainya Ummu Haraam dan Ummu Sulaim bukan termasuk mahram beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
sudah pasti orang-orang kafir dan munafiq akan menjadikan hal itu
sebagai aib beliau dan kemudian mereka jadikan bahan celaan untuk
menjatuhkan kehormatan beliau. Hal yang sama telah mereka lakukan
terhadap ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu yang mereka tuduh melakukan penyelewengan dengan Shafwan As-Sulamiy radliyallaahu ‘anhumaa – sebagaimana masyhur kisahnya dalamhadiitsul-ifki. Kenyataannya, mereka (orang-orang kafir dan munafiq) tidak pernah menjadikan hal itu sebagai aib dan celaan mereka kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Selain itu, tidak ada satupun dalil yang shahih dan sharih yang menunjukkan adanya kekhususan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyentuh atau berkhalwat dengan wanitaajnabiyyah; ataupun kekhususan bagi Ummu Haraam dan Ummu Sulaim sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Beberapa alasan di atas secara keseluruhan menunjukkan hubungan kemahraman antara Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Haraam dan Ummu Sulaim radliyallaahu ‘anhumaa.
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor –
01111434/07092013 – 14:20 – bahan bacaan : Isykaalun wa Jawaabuhu fii Hadiits Ummi Haraam binti Milhaan oleh Dr. ‘Aliy bin ‘Abdillah bin Ash-Shayyaah; Daarul-Hadiits, Cet. 1/1425 H].
[1] Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang hukum menyentuh wanita yang telah lanjut usia. Yang raajih dalam
hal ini adalah pendapat yang melarangnya, karena dalil-dalil
pengharamannya adalah mutlak dan tidak ada keterangan yang
mengkhususkan pembolehannya untuk wanita lanjut usia. Selain itu,
(bahaya) syahwat seorang
laki-laki tetap ada meskipun terhadap wanita yang telah lanjut usia.
Betapa banyak perzinahan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah
lanjut usia dari kalangan laki-laki dan wanita, baik yang mereka
lakukan antara sesama lanjut usia ataupun dengan yang berusia lebih
muda. Oleh karena itu,.... Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلَاثَةٌ
لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ،
قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ: " وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ، شَيْخٌ زَانٍ، وَمَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
“Ada
tiga golongan (manusia) yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka
pada hari kiamat serta tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada
mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih. Mereka adalah : (1)
orang tua yang berzina, (2) raja yang pendusta (pembohong), dan (3)
orang miskin yang sombong” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 107].
[2] Sehingga setiap dalil yang berasal dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2013/09/dalil-diperbolehkannya-laki-laki.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2013/09/dalil-diperbolehkannya-laki-laki.html