Gejolak
unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang
komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa
ini dipelopori oleh oknum-oknum tertentu.”
Adapula
yang berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk
aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain
berkata : “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.”
Demikian
komentar para pengamat tentang demonstrasi yang terjadi di hampir semua
universitas di Indonesia. Sebagian mereka menentangnya dan menganggap
para mahasiswa itu ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Sebagian lain
justru mendukung mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.
Namun
dalam tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar
dan mana yang salah. Tetapi kita berbicara dari sisi apakah demonstrasi
ini bisa digunakan sebagai sarana/alat dakwah kepada pemerintah atau
tidak? Atau apakah tindakan ini bisa dikatakan sebagai jihad[1]?
DEMONSTRASI PERTAMA DALAM SEJARAH ISLAM
Kasus
terbunuhnya Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu dan timbulnya pemikiran
Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah
terbunuhnya Utsman radliyallahu ‘anhu adalah berawal dari isu-isu
tentang kejelekan Khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin
Saba’ di kalangan kaum Muslimin.
Abdullah
bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2].
Sedangkan kita telah maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah
telah berfirman :
“Niscaya
engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada
orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrikin.” (Al Maidah : 82)
Permusuhan
kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati
janji mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
merendahkan kaum Muslimin, mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi
(makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka
dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman 191 dan 199)
Pada
zaman Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhuma, suara orang-orang Yahudi
nyaris hilang. Bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai
realisasi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang pernah
bersabda :
“Sungguh
akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab
sampai aku tidak sisakan padanya kecuali orang Muslim.” Juga Ucapan
beliau : “Keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab.” (HR.
Bukhari)
Di
tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu ‘anhu di saat
kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang
tidak mendalam keimanannya, mulailah orang-orang Yahudi mengambil
kesempatan untuk mengobarkan fitnah.
Mereka
berpenampilan sebagai Muslim dan di antara mereka adalah Abdullah bin
Saba’ yang dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari Shan’a ini
menebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslimin agar mereka iri
dan benci kepada Utsman radliyallahu ‘anhu.
Sedangkan
inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang
bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah qiyas-nya yang bathil tentang
kewalian Ali radliyallahu ‘anhu. Dia berkata : “Sesungguhnya telah ada
seribu Nabi dan setiap Nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” Kemudian dia berkata lagi :
“Muhammad adalah penutup para Nabi sedangkan Ali adalah penutup para
wali.”
Tatkala
tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia
menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap
kekhalifahan Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu. Maka dia melontarkan
pernyataan pada masyarakat yang bunyinya : “Siapa yang lebih dhalim
daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (kewalian Rasul), kemudian dia melampaui
wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!”
Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian
(pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman
mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali
Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian
dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pejabat kalian tampakkan amar
ma’ruf nahi munkar. Niscaya manusia serentak mendukung dan ajaklah
mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar Rasul juz 4 halaman 340 karya
Ath Thabary melalui Mawaqif)
Amar
ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah ini sama modelnya dengan amar ma’ruf
menurut Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak,
memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar,
forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang semua ini mengakibatkan
timbulnya fitnah.
Masalah
pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah
telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan
Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan
radliyallahu ‘anhu, peperangan sesama kaum Muslimin, dan terbukanya
pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman kekhalifahan ‘Ali
bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati fil
Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2 halaman
342)
Sebenarnya
amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai
label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda kepada Utsman :
“Hai
Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika
orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam –dalam riwayat lain
:– Orang-orang munafik ingin melepaskannya, maka jangan engkau
lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya
juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi 3/210 nomor 2923)
Syaikh
Muhammad Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas
bahwa orang Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan
tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga
mereka bersembunyi dibalik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi
mungkar.
Tidak
diketahui di satu jamanpun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih
berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang
munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati juz 1 halaman 476)
Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Saba’iyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!
Di
jaman ini ternyata ada Khawarij Gaya Baru yaitu orang-orang yang
mempunyai pemikiran Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk
rasa, dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di
antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang
mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 31-32) :
“Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam
berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”
Sebelum
kita membongkar kebathilan ucapan ini dan kesesatan manhaj Khawarij
dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintahan, marilah kita
pelajari manhaj Salafus Shalih dalam perkara ini.
MANHAJ SALAFUS SHALIH BERAMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR KEPADA PEMERINTAH
Allah
adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang
beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan
menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim.
Maka
jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim,
sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun
demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan
kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak
mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi
rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Bukan
dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi
menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan
fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.
Adapun
dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi
adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa
yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah
ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil
tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu
(yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan
nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang
menasihati).”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229,
Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus
Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits
ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian
ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin
Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was
Sunnah halaman 54).
Dan
Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji
Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati
pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka
dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian
dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.
Bertolak
dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai
dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang
berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin)
dalam beberapa masalah –lantaran pemimpin itu telah berbuat salah–
seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak
ramai.
Tetapi
sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan
imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa
merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada
awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap
pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama
mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari
mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir.
Akan
tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam
ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah.
Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As Sailul Jarar 4/556)
Imam
Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi.
Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu
Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan
pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia
memakai pakaian orang fasik.”
Lantas
Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina
(merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan
menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara
menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As
Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi
pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan
terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid,
selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua
sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau
tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang
baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti.
Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)
Diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak
menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah
kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan
kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara
aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka
pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan
Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)
Syaikh
Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau
(Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.)
terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah.
Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat
mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada
Utsman mengakibatkan kematian beliau[4].”
Demikian
metode atau manhaj Salaf dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada
pemerintah atau orang yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian
batallah manhaj Khawarij yang mengatakan bahwa demonstrasi termasuk
cara untuk berdakwah sebagaimana yang dianggap oleh Abdurrahman Abdul
Khaliq.
Manhaj
Khawarij ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang
Khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said bin Jahm beliau berkata : “Aku
datang ke Abdullah bin Abu Aufa, beliau matanya buta, maka aku ucapkan
salam.”
Beliau
bertanya kepadaku : “Siapa engkau?” “Said bin Jahman,” jawabku. Beliau
bertanya : “Kenapa ayahmu?” Aku katakan : “Al Azariqah[5] telah
membunuhnya.” Beliau berkata : “Semoga Allah melaknat Al Azariqah,
semoga Allah melaknat Al Azariqah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing neraka.” Aku bertanya :
“(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al Azariqah saja atau
Khawarij semuanya?” Beliau menjawab : “Ya, Khawarij semuanya.” Aku
katakan : “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kedhaliman
kepada rakyatnya.” Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya
dengan sangat kuat, kemudian berkata : “Celaka engkau wahai Ibnu
Jahman, wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu
untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika engkau ingin pemerintah mau
mendengar nasehatmu maka datangilah dan khabarkan apa yang engkau
ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya
engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 4/383)
Dan
masih banyak lagi hadits-hadits mengenai celaan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing
neraka karena perbuatan mereka sebagaimana telah dijelaskan.
Oleh
karena itu, bagi seorang Muslim yang masih mempunyai akal sehat, tidak
mungkin dia akan rela dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti
yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (sebagai
anjing-anjing neraka). Maka wajib bagi kita apabila hendak menasehati
pemerintah, hendaklah dengan metode Salaf yang jelas menghasilkan
akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan bentrokan fisik antara
rakyat (demonstran) dengan aparat pemerintah yang akhirnya membawa
kerugian di kedua belah pihak atau munculnya tindak anarki.
DEMONSTRASI ATAU UNJUK RASA MERUPAKAN BENTUK TASYABUH (MENYERUPAI) ORANG-ORANG KAFIR
Sangat
disayangkan, para demonstran ini mayoritas mereka adalah
aktivis-aktivis Islam. Tetapi mengapa mereka melakukan hal ini? Mana
ciri Islam mereka? Atas dasar apa melakukan hal hal itu? Apakah
berdasarkan dalil ataukah berlandaskan syubhat (kekaburan pemahaman)?
Mereka –mahasiswa/rakyat yang beragama Islam— tidak sadar bahwa mereka
telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, junjungan mereka, yaitu larangan menyerupai
orang-orang kafir. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum
tersebut.” Malah demonstrasi ini termasuk bentuk tasyabuh terhadap
orang kafir. Telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani hafidhahullah
tatkala seorang penanya menyampaikan pertanyaan kepada beliau yang
lengkapnya demikian :
Penanya : “Apa hukumnya demonstrasi/unjuk rasa, misalnya para remaja, laki-laki maupun perempuan keluar ke jalan-jalan?”
Syaikh : “Para perempuan juga?”
Penanya : “Benar. Sungguh ini telah terjadi!”
Syaikh : “Masya Allah.”
Penanya
: “Mereka keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebagian
permasalahan yang dituntut atau diperintahkan oleh orang yang mereka
anggap taghut-taghut, atau apa yang mereka tuntut dari
organisasi/partai-partai politik yang bertentangan dengan mereka. Apa
hukumnya perbuatan ini?”
Syaikh
: [ Aku katakan –wabillahi taufiq–, jawaban dari soal ini termasuk pada
kaidah dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang
dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dari Abdullah bin ‘Amr
bin ‘Ash radliyallahu ‘anhu atau hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu
–saya ragu apakah beliau Abdullah bin ‘Amr atau Ibnu Umar– ia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku diutus dengan
pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya Allah-lah yang
disembah, tidak ada sekutu baginya. Dan Allah menjadikan rizqiku di
bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang
yang menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum
maka dia termasuk kaum mereka.” Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini adalah perkataan : “Barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”
Maka
tasyabuh (penyerupaan) seorang Muslim kepada seorang kafir tidak
dibolehkan dalam Islam. Tasyabuh kepada seorang kafir ada beberapa
tingkatan dari segi hukum. Yang tertinggi adalah haram dan yang
terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah diterangkan secara rinci
oleh Syaikhul Islam di dalam kitabnya yang agung, Iqtidla’ Shirathal
Mustaqim Mukhalafata Ashabil Jahim secara rinci dan tidak akan didapat
selain dari beliau rahimahullah. Aku ingin memperingatkan perkara yang
lain, yang sepantasnya bagi Thalabul Ilmi memperhatikannya agar tidak
menyangka bahwa hanya tasyabuh saja yang dilarang syariat.
Ada
perkara lain –yang lebih tersamar– yaitu perintah untuk menyelisihi
orang-orang kafir. Tasyabuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan
kesukaan mereka. Adapun menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau
bermaksud menyelisihi mereka pada apa yang kita dan mereka
mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti sesuatu yang
ditetapkan dengan ketetapan alami yang tidak berbeda antara Muslim
dengan kafir, karena sesungguhnya pada ketetapan ini, tidak ada usaha
dan kehendak dari makhluk. Karena yang demikian adalah sunnatullah
tabarak wa ta’ala kepada manusia dan engkau tidak akan mendapati
sunnatullah itu berubah. Sebagaimana telah shahih dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak
menyemir rambut-rambut mereka maka selisihilah mereka (2X).” Sungguh
dalam hal ini seorang Mukmin mungkin menyerupai orang kafir dalam hal
uban. Dan ini tidak ada perbedaannya. Engkau tidak akan menemukan
seorang Muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit sekali. Ada
kesamaan di sini pada penampilan antara Muslim dan kafir yang sama-sama
keduanya tidak bisa memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan
tadi. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita
untuk menyelisihi kaum musyrikin, yakni dengan menyemir uban
rambut-rambut kita. Sama saja rambut jenggot atau kepala. Untuk apa?
Agar dengan ini tampak perbedaan antara Muslim dan kafir. Maka apa
tujuannya kalau apabila seorang kafir mengerjakan suatu amalan lalu
seorang Muslim ikut melakukannya dan terpengaruh dengan
perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada
menyelisihi. Dalam masalah ini, aku memperingatkannya sebelum memasuki
bahasan dalam menerangkan pertanyaan yang ditujukan padaku.
Jika
telah diketahui perbedaan antara tasyabuh dengan penyelisihan maka
seorang Muslim yang benar keislamannya hendaknya terus menerus berusaha
menjauhi bertasyabuh dengan orang kafir.
Sebaliknya
harus berusaha menyelisihi mereka. Dengan alasan inilah kami
menyunnahkan (membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan karena
mereka yang pertama kali membuat jam tangan memakainya di tangan kiri.
Kami
mengambil istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka.” Kalian mengetahui hadits
ini : “Bahwa Yahudi dan Nashara tidak menyemir rambut mereka maka
selisihilah mereka.” Sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam dalam
kitab tersebut (Iqtidla). Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam : “Maka selisihilah mereka,” merupakan hujjah yang
mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang
dikehendaki oleh As Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh
karena itu, kami mendapati praktek penyelisihan dalam amalan dan
hukum-hukum bukan termasuk wajib. Seperti makan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam atau : “Shalatlah kalian di atas sandal-sandal
kalian.” “Selisihilah Yahudi (2X).” Di sini diketahui bahwasanya shalat
memakai sandal bukan fardlu. Beda dengan memanjangkan jenggot, karena
orang yang mencukurnya akan mendapat dosa.
Adapun
shalat dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (mustahab).
Namun apabila seorang Muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika
shalat justru telah menyelisihi sunnah dan bukan menyelisihi Yahudi.
Ada
suatu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat
sikap tawadlu Ibnu Mas’ud ketika beliau mempersilakan Abu Musa Al
Asy’ari mengimami shalat waktu itu. Padahal kedudukan Ibnu Mas’ud lebih
utama dari Abu Musa radliyallahu ‘anhu. Pada waktu itu Abu Musa Al
Asy’ari melepas sandalnya dan segera ditegur dengan keras oleh Ibnu
Mas’ud : “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau
menganggap dirimu ada di lembah Thursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu
Mas’ud ini menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Shalatlah di atas sandal kalian dan selisihilah Yahudi!”
Apabila
dua hakikat ini telah dipahami yaitu (larangan) tasyabuh dan (perintah)
menyelisihi kaum musyrikin maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap
perilaku kesyirikan dan segala bentuk kekufuran.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh kalian benar-benar
akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun
mereka menyusuri atau masuk ke lubang biawak niscaya kalian pun akan
memasukinya.”
Berita
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini mengandung peringatan bagi
umat ini. Namun di samping itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
juga mengatakan dalam hadits mutawatir : “Akan selalu ada dari umatku
suatu kelompok yang menampakkan Al Haq. Tidak membahayakan mereka orang
yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.”
Jadi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu telah memberikan khabar
gembira dalam hadits shahih ini bahwasanya umat ini terus dalam keadaan
baik. Tatkala datang berita ini, yaitu : “Sungguh kalian akan mengikuti
jalan-jalan sebelum kalian.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memaksudkan dalam hadits ini setiap individu dalam umatnya akan
mengikuti jalan orang-orang kafir.
Maka
ucapan itu bermakna peringatan artinya : “Hati-hati kalian, jangan
mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian. Dan sesungguhnya akan ada
dari kalian orang-orang yang melakukannya.”
Dalam
riwayat lain selain riwayat As Shahihain, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan perbuatan orang Yahudi pada tingkat
yang sangat parah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda
(dalam riwayat itu) : “Bahkan ada dari mereka (Yahudi) orang yang
mendatangi (menzinahi) ibunya di tengah-tengah jalan dan niscaya akan
ada pula dari kalian yang akan melakukanya.”
Kecenderungan
pada jaman ini telah membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam tersebut walaupun masih perlu adanya penelitian yang
lebih mendalam.
Dan
pada sebagian hadits-hadits yang telah tsabit, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ada
di antara manusia bersetubuh seperti bersetubuhnya keledai di
jalan-jalan.” Ini adalah puncak kejelekan tasyabuh terhadap orang-orang
kafir.
Apabila
kalian telah mengetahui larangan bertasyabuh dan perintah untuk
menyelisihi (orang-orang kafir) maka kembali kepada permasalahan
demonstrasi (unjuk rasa), kita saksikan dengan mata kepala sendiri saat
Perancis menguasai Suriah dan apa yang terjadi di Aljazair. Di sana
terdapat kesesatan dan tasyabuh dengan turut sertanya para wanita dalam
demonstrasi.
Demikian
itu merupakan kesempurnaan tasyabuh terhadap orang kafir baik laki-laki
atau perempuan. Karena kita melihat melalui foto-foto, berita lewat
radio, dan televisi atau selainnya tentang keluarnya beribu-ribu
manusia dari kalangan orang-orang kafir Afrika maupun Syiria dan yang
lainnya.
Menurut
ungkapan orang-orang Syam, keluarga laki-laki dan wanita dalam keadaan
“meleit temkit”. Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara
punggung dengan punggung, atau pinggul dengan pinggul, dan lain-lain.
Saya katakan dari segi yang lain (yang berhubungan dengan demonstrasi)
: Bahwasanya demonstrasi ini menunjukkan sikap taklid terhadap
orang-orang kafir dalam rangka menolak undang-undang yang ditetapkan
oleh hakim-hakim mereka.
Demonstrasi
ala Eropa dengan sikap taklidiyah (ikut-ikutan) dari kalangan kaum
Muslimin bukan termasuk cara yang syar’i untuk memperbaiki hukum dan
keadaan masyarakat. Dari sini setiap jamaah hizbiyah kelompok Islam
jelas telah melakukan kekeliruan besar karena tidak menelusuri jalan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di dalam merubah keadaan masyarakat.
Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara
bergerombol-gerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi (unjuk rasa).
Islam
mengajarkan ketenangan dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum
Muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil
walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang.
Dengan
ini saya katakan dengan ringkas, demonstrasi dan unjuk rasa yang
terjadi di sebagian negara Islam pada asalnya adalah penyimpangan dari
jalan kaum Mukminin[6] dan tasyabuh (menyerupai) golongan kafir.
Sungguh Allah telah berfirman (yang artinya) : “Barangsiapa yang
menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam
neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An
Nisa’ : 115)
Penanya
: “Mereka –para demonstran– berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi)
bahwasanya setelah Umar radliyallahu ‘anhu masuk Islam, kaum Muslimin
(serentak) keluar.
Umar
pada suatu barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro
demonstrasi) mengatakan unjuk rasa ini untuk mengingkari taghut-taghut
dan orang kafir Quraisy. Bagaimanakah jawaban Anda dengan dalil semacam
ini?”
Jawab
: Jawaban terhadap pendalilan semcam itu adalah : Berapa kali aksi
demonstrasi ini terjadi pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali.
Padahal sirah termasuk sunnah yang diikuti, menurut ulama fiqih. Mereka
mengatakan kalau tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
suatu ibadah yang disyariatkan akan diberi pahala orang yang
melakukannya.
Dan
dalam pelaksanaannya pun tidak boleh terus-menerus tanpa putus karena
dikhawatirkan menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.
Kebanyakan
manusia –menurut adat mereka– kalau ada salah satu Muslim meninggalkan
sunnah seperti ini niscaya akan diingkari dengan keras. Demikian
menurut para ahli fiqih. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang
sekilas terjadi pada waktu tertentu seperti disebutkan di dalam sirah
di atas kemudian dijadikan sunnah yang diikuti bahkan dijadikan hujjah
untuk mendukung apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir secara
terus-menerus sedangkan kaum Muslimin tidak secara mutlak melakukannya
kecuali pada saat itu saja[7].
Kita
mengetahui kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-hukum yang keluar
dari Islam dan kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan dhalim dan
melampaui batas, maka bagaimana sikap kaum Muslimin dalam hal ini?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memerintahkan dalam
hadits yang shahih wajibnya taat kepada pemerintah walaupun dia
mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun kenyataannya
demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang digariskan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Inilah
yang aku khawatirkan tentang apa yang dinamakan “kebangkitan (shahwah)
suara kebenaran”, bagaimana kita akan meridlainya? Bagaimana mungkin
suatu “kebangkitan (shahwah)” dengan perasaan, bukan dengan ilmu?
Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara itu dianggap baik atau
buruk.
Tidak
diragukan lagi di Aljazair dan di setiap negara Islam, shahwah ini
lahir dari pemuda Muslim setelah mereka “bangun dari tidur”. Akan
tetapi engkau akan melihat mereka berjalan di atas jalan yang
menunjukkan ketidakgigihan mereka dalam menuntut ilmu Allah ‘Azza wa
Jalla.
Kita
tidak memperpanjang pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan
mereka terhadap dalil ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqih
Islam sebagaimana yang kami telah isyaratkan di depan. Kejadian yang
sesaat ini terbetik pada diri saya dan saya teringat bahwa kejadian ini
tercatat dalam sirah. Akan tetapi saya belum bisa mendapati shahih atau
tidaknya saat ini. Jika riwayat ini shahih sanadnya maka dan ada salah
seorang di antara kalian mendapati riwayat ini pada kitab-kitab hadits
standar, tolong ingatkan saya. Sehingga saya bisa memeriksa barangkali
riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut shahih. Maka kalaupun
shahih, hanya dilakukan sekali saja. Jika terjadi hanya sekali saja,
tentu tidak bisa dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini
lebih sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum
Muslimin menyelisihinya.
Kejadian
ini dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama
Hanafiyah telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahwasanya
ada suatu masalah yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak
sepantasnya ditinggalkan, yaitu sunnah membaca surat Sajadah pada pagi
hari Jum’at (saat shalat Shubuh). Ini terdapat dalam Shahihain (Bukhari
dan Muslim). Walaupun demikian ulama Hanafiyah menganjurkan pada
imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhawatirkan apabila
terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan menganggkat
hukumnya keluar dari hukum asalnya.
Kami
mempunyai bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqih dan pemahaman
terhadap sunnah ini. Saya sangat ingat bahwasanya imam di masjid besar
Damaskus, yaitu masjid Bani Umayah, mengimami shalat shubuh di masjid
tersebut dan dia tidak membaca surat Sajadah.
Baru
saja imam salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam
tersebut seraya berkata : “Kenapa engkau tidak membaca surat Sajadah?”
Kemudian dia menerangkan bahwa hal itu adalah sunnah dan kadang-kadang
dianjurkan untuk meninggalkannya.
Kejadian
ini terjadi karena imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara
terus-menerus dan berlangsung lama. Dan saat itu ia tidak mengerjakan
amalan tersebut.
Lebih
aneh lagi yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada
dalam perjalanan dari Damaskus kira-kira 60 km ke Madhaya. Maka aku
hampir di pagi hari Jum’at untuk shalat berjamaah bersama kaum Muslimin
di sana. Tatkala itu imam tidak datang.
Maka
mereka mencari pengganti imam yang cocok. Mereka tidak mendapati
pengganti kecuali saya. Pada waktu itu saya masih muda dan jenggot saya
baru tumbuh. Dalam keadaan bingung, mereka menyuruh saya maju. Saya
sebenarnya belum hafal surat Sajadah dengan baik maka aku membaca surat
Maryam. Aku membaca dua halaman awal. Tatkala aku takbir untuk ruku
maka aku merasakan semua makmum malah sujud. Ini menunjukkan karena
apa? Karena adat kebiasaan (yakni mereka sujud tilawah karena kebiasaan
dan bukan dengan ilmu, ed.).
Seyogyanya
para imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan)
pada sebagian hukum-hukum. Lalu memberi penjelasan bahwa masalah
syariat, wajib untuk diambil dengan tanpa sikap keterlaluan hingga
mengangkat derajat hukum sunnah menjadi wajib dan sebaliknya yang wajib
menjadi sunnah.
Semua
ini adalah ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawaban
saya terhadap pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas
kebodohan orang yang mengambil dalil dengannya. ] (Kaset Fatawa Jeddah
nomor 89880, pagi Shubuh, hari Ahad, 27 Jumadil Akhir 1410 H)
BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ
Di
awal sudah saya singgung masalah manhaj Abdurrahman Abdul Khaliq
terhadap pemerintah Muslimin. Yaitu bolehnya memakai demonstrasi
sebagai alat dakwah dengan berdalil riwayat Umar radliyallahu ‘anhu
yang dibawakan oleh seorang penanya di atas. Dan Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa beliau belum tahu shahih dan dlaifnya riwayat
tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz telah membantah syubhat
Abdurrahman Abdul Khaliq dalam surat menyurat antara beliau dengan
Abdurrahman Abdul Khaliq. Kata Syaikh bin Bazz : “Engkau menyebutkan
pada kitab Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah halaman 31-32 bahwasanya
termasuk dari uslub (metode) dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
adalah demonstrasi. Aku belum pernah mengetahui nash yang sharih dalam
masalah ini. Maka aku mengharap faidah dari siapa kamu mengambil dan
dari kitab mana kamu dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya maka
kamu wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Karena aku
tidak tahu sama sekali nash-nash yang menunjukkan hal itu.
Dengan
menggunakan demonstrasi atau unjuk rasa justru mengakibatkan banyak
kerusakan. Jika nash (dalil) itu shahih maka kamu harus menerangkan
dengan jelas dan sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerusakan
tidak berdalih dengannya dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang
bathil.” (Tanbihat wa Ta’biqat halaman 41)
Jawaban
Abdurrahman Abdul Khaliq : “Adapun ucapanku pada kitab Al Fushul Minas
Siyasah As Syar’iyyah fi Da’wah Ilallah halaman 31-33 maka aku katakan
: Aku telah menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu
sebagai wasilah (metode) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam
menampakkan dakwah Islam, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa setelah
masuk Islamnya Umar radliyallahu ‘anhu, kaum Muslimin keluar karena
perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada dua shaf
(barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan.
Dalam
satu barisan terdapat Hamzah radliyallahu ‘anhu, sedang barisan yang
lain ada Umar bin Al Khattab radliyallahu ‘anhu beserta kaum Muslimin.”
(Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan
sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah 1/40
dengan sanad sampai ke Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, Ibnu Abi Syaibah
dalam As Shahabah 2/512, dan di dalam Tarikh-nya serta Al Bazar).
Kemudian
dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) berkata : “Tetapi setelah kedatangan
surat Anda (Syaikh bin Bazz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad
hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul
hadits.” Demikian pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq.
Tapi
anehnya setelah itu dia mengatakan : “Aku berpandangan metode ini
(demonstrasi) bisa untuk dijadikan metode yang benar dalam
mendorong/menganjurkan manusia dalam shalat Jum’at dan jamaah … dalam
rangka menampakkan banyaknya orang Islam.
Demikian
juga memamerkan tentara-tentara Islam bersamaan dengan peralatan perang
karena hal ini dapat menaklukan hati-hati musuh dan menakuti
musuh-musuh Allah serta meninggikan syariat Islam.”
Demikian
cara Ahlul Bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan
dan setelah ucapan atau perbuatannya diketahui tidak benar bahkan palsu
maka mereka tidak mau merujuk kepada dalil yang shahih dan manhaj yang
benar.
Bahkan
dia berkelit : “Maksud saya demikian, maksud saya demikian”, “boleh
saja hadits lemah –dalam hal ini palsu– dijadikan i’tibar”, dan
berbagai silat lidah lainnya pun meluncur tajam.
Maka
saya katakan, setelah atsarnya diketahui mungkar karena adanya rawi
yang mungkarul hadits pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak bisa
dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan manhaj amar ma’ruf nahi
mungkar. Karena metode dakwah adalah tauqifiyah, yakni harus sesuai
dengan metode Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
shahabatnya.
Jikalau
kisah Umar itu shahih, maka penjelasannya adalah sebagaimana yang telah
diterangkan oleh Syaikh Al Albani. Dengan telah diketahui atsarnya
dlaif bahkan mungkar, maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai dalil
bolehnya demonstrasi, sekalipun niatnya baik, sebagaimana telah
diterangkan oleh Syaikh bin Bazz di atas. Wallahu A’lam.
KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN PADA ACARA UNJUK RASA
Di atas sudah diterangkan sebagian kemungkaran pada acara demo yaitu :
– Bentuk tasyabuh dengan orang-orang kafir.
–
Termasuk khuruj (menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain.
(Lihat Nasehati)
–
Menceritakan aib pemerintah di depan umum dalam bentuk orasi-orasi yang
ini pun dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. (Lihat
Nasehati)
– Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan) bahkan berdesak-desakan. (Lihat SALAFY rubrik Ahkam edisi 4 tahun pertama)
– Tindak anarkis yang seringkali timbul ke sana atau setelah demonstrasi dan orasi-orasi.
– Dan lain-lain.
SOLUSI DARI KRISIS
Pada
situasi sekarang, masalah yang timbul bukan saja terjadi akibat satu
aspek, misalnya ekonomi. Tetapi juga terkait pada aspek lainnya,
seperti sosial dan politik. Dan krisis ini tidak bisa sembuh total
manakala dibasmi dengan kebathilan.
Suatu
negara yang dipimpin oleh pemimpin yang dhalim yang di dalamnya
ditaburi praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan buah
dari tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang
arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh junjungan kita Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin.
Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi tetapi
dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar.
Kemudian menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul
generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya diharapkan nanti setiap
langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan
demikian akan musnahlah virus kolusi, korupsi, dan virus-virus lainnya.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
[1] Seperti pendapatnya Abdurrahman Abdul Khaliq dan konco-konconya.
[2] Orang yang bergabung dengannya disebut golongan (firqah) Saba’iyah.
[3] Mirdas bin Udayah adalah seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi 7/399.
[4] Mukhtashar Shahih Muslim, ta’liq Syaikh Al Albani nomor 335.
[5] Salah satu aliran dari aliran-aliran Khawarij.
[6] Shahabat, ed.
[7]
Ini bukti bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya
tidak mengambil kejadian itu sebagai sunnah dalam rangka mengingkari
pemerintah.
(sumber : Tulisan Ustadz Zuhair Syarif, SALAFY XXVII/1419/1998/MABHATS)
from=http://www.darussalaf.or.id/manhaj/demonstrasi-bukan-metode-salafus-sholih/