Ibnu
Sa’di mengatakan, “Semua transaksi baik transaksi jual
beli, sewa menyewa, investasi dan selainnya yang para pelakunya sudah
saling rela akan tetapi syariat melarangnya maka transaksi tersebut
adalah transaksi haram yang batal. Kerelaaan semua pelaku tidaklah
teranggap karena kerelaan pelaku transaksi adalah syarat sah transaksi
setelah ada keridhoan Allah dan rasul-Nya terhadap transaksi
tersebut”.
Ketika
menjelasan kalimat kalimat di atas, Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Kaedah di atas berdasarkan hadits. Nabi bersabda, “Segala
persyaratan atau perjanjian yang tidak terdapat dalam hukum Allah
adalah persyaratan yang batil” [HR Bukhari dan Muslim].
Nabi juga bersabda, “Kaum
muslimin itu terikat dengan segala perjanjian yang mereka sepakati
kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal” [HR Tirmidzi dari Abu Hurairah]
Ketika
disodorkan kepada Nabi korma dengan kualitas yang bagus, beliau
bertanya, “Apakah semua korma Khaibar itu seperti itu?”
Shahabat
mengatakan, “Tidak akan tetapi kami tukar satu sha’ korma
bagus dengan dua sha’ korma kualitas jelek, dua sha’ yang
bagus dengan tiga sha’ korma jelek”.
Nabi bersabda, “Jangan
lakukan semacam itu. Jika korma dibarter dengan korma maka takarannya
harus sama. Solusi yang lain adalah jual korma yang jelek lalu uang
hasil penjualannya digunakan untuk membeli korma yang bagus” [HR Bukhari].
Dalam
hadits di atas, Nabi memerintahkan untuk mengembalikan korma hasil
barter yang terlarang karena transaksi barter tersebut tidak sejalan
dengan aturan Allah dan rasul-Nya sedangkan Nabi bersabda, “Semua
amalan yang tidak sejalan dengan syariat kami maka amalan tersebut
adalah amalan yang tertolak” [HR Bukhari dan Muslim].
Jika demikian, semua transaksi yang haram itu objek transaksinya wajib dikembalikan.
Jika
objek transaksi tidak mungkin dikembalikan semisal ada orang yang
karena tidak mengetahui bahwa ada riba dalam transaksi yang dia lakukan
akhirnya dia berhutang dengan sistem riba. Ketika ada yang mengingatkan
bahwa transaksi yang dia lakukan adalah riba, orang yang berhutang
tersebut menemui pihak yang menghutanginya dan meminta kerelaannya agar
dia tidak perlu bayar bunga pinjaman utang namun pihak yang menghutangi
menolak permintaan tersebut.
Dalam
kondisi semacam ini kewajiban pihak yang berhutang yang merupakan pihak
yang dizalimi adalah bertaubat kepada Allah dan bertekad untuk tidak
mengulangi perbuatannya untuk berhutang dengan sistem ribawi dan tidak
ada tanggungan dosa atasnya karena dia memang tidak mampu membebaskan
diri dari ikatan transaksi tersebut. Sedangkan dosa adalah tanggungan
pihak yang membungakan utang karena sebenarnya dia bisa membebaskan
orang yang berutang dari riba dengan menghapus kewajiban membayarkan
bunga namun dia tidak mau melakukannya.
Akan
tetapi pihak yang berhutang dan yang menghutangi sama sama mengetahui
bahwa yang dilakukan adalah transaksi riba uang bunga alias riba tidak
kita kembalikan kepada pihak yang berutang yang merupakan pihak yang
telah mendapatkan manfaat dari uang milik pihak yang mengutangi. Kita
ambil uang bunga tersebut dari pihak yang menghutangi lantas kita
salurkan untuk berbagai kepentingan umum. Hal dikarenakan pihak yang
dirugikan yaitu orang yang berhutang itu bersedia menjadi nasabah riba
dalam kondisi sadar bahwa itu riba maka tidak boleh baginya mendapatkan
dua hal sekaligus yaitu mendapatkan manfaat dari pihak yang menghutangi
dan mendapatkan pengembalian uang bunga atau riba” [Ibnu Utsaimin
dalam Ta’liq beliau untuk al Qawaid wal Ushul al Jamiah karya Ibnu Sa’di hal 76-77 terbitan Yayasan Sosial Ibnu Utsaimin cet pertama 1430 H].
Artikel www.PengusahaMuslim.com
from http://pengusahamuslim.com/3177-solusi-bila-terlanjur-1687.html